A. Perkembangan Peradaban Islam Periode Klasik :
Masa khalifah Usman bin Affan (644-656 M)
Seperti diketahui, bahwa Usman bin Affan merupakan salah seorang khalifah dari al-Khulafa al-Rasyidun. Pada masa pemerintahannya, terutama pada periode per¬ta¬ma, banyak mengalami perkembangan bahkan kemajuan peradaban Islam. Di anta¬ra perkembangan peradaban Islam yang ada ketika itu adalah sebagai berikut :
1. Pembukuan (kodifikasi) al-Qur’an.
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa pada masa pemerintahan kha¬li¬fah Usman bin Affan (644-656 M), terdapat satu prestasi yang dicapai, terutama dalam usa¬ha memeliahara al-Qur’an, yaitu usaha pembukuan al-Qur’an. Usahan ini se¬be¬nar¬nya telah dilakukan jauh sebelum khalifah Usman bin Afan berkuasa, yaitu pada ma¬sa-masa awal pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddieq. Bahkan usaha penulisan wahyu telah dilakukan sejak masa Rasulullah Saw. Setiap menerima wahyu, Rasulul¬lah Saw selalu membacakan dan mengajarkannya kepada para sahabat, serta me¬me¬rintahkan kepada mereka untuk menghafalnya. Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga meme¬rin-tahkan kepada para sahabat yang pandai tulis baca, agar menuliskannya di pelepah kurma, pada lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang. Pe¬rintah ter¬se¬but dilaksanakan dengan baik, dan mereka menuliskannya dengan sangat hati-hati. Ka¬rena al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi setiap muslim. Rasulul¬lah juga mem¬beri nama-nama surat, urutan dan tata tertibnya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Semua tulisan ayat tersebut disimpan di rumah Nabi Muhammad. Ma¬sing-masing sahabat juga menulis untuk disimpan sendiri. Ketika Rasulullah Saw ma¬sih hidup, tulisan-tulisan tersebut belum dikumpulkan atau dibukukan dalam satu mushaf, dan masih tersebar tidak tertata.
Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, dan Abu Bakar menjadi khalifah, banyak sahabat yang meninggal dalam perang Yamamah. Para sahabat yang meninggal dan ha¬fal al-Qur’an sekitar 70 orang. Banyaknya sahabat yang meninggal dalam pertem¬pur¬an tersebut, menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat sendiri, khususnya Umar bin al-Khattab. Umar khawatir jika tidak diperhatikan, maka al-Qur’an akan hi¬lang se¬jalan dengan semakin banyanya sahabat hafalal-Qur’an yang meninggal dunia. Melihat si¬tuasi ini, Umar menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar meng¬him¬pun surat-su¬rat dan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah ditulis menjadi sebuah mushaf. Pada mulanya khalifah Abu Bakar ragu melakukannya, karena hal tersebut belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Tetapi setelah Umar bin al-Khattab meyakinkan khalifah Abu Bakar, bahwa pembukuan al-Qur’an dilakukan semata un¬tuk memelihara al-Qur’¬an dari kepunahan. Penjelasan ini akhirnya diterima khalifah Abu Bakar, dan kha¬lifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin penulisan dan pengum¬pulan al-Qur’an. Penulisan dan pembukuan itu berpedoman pada mushaf yang tersim¬pan di rumah Rasulullah Saw, hafalan-hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk kepentingan mereka sendiri. Penunjukan Zaid bin Tsa¬bit, karena ia juga merupakan salah seorang penulis wahyu. Dengan usaha keras, kete¬kunan dan kesabarannya, Zaid berhasil menuliskan satu naskah al-Qur’an dengan leng¬kap di atas kulit (adim) yang disamak. Setelah selesai, mushaf tersebut diserahkan kepada khalifah Abu Bakar dan disimpan hingga ia wafat. Ketika Umar bin al-Khattab menjadi khalifah, Mushaf tersebut terus dijaga dan berada dalam pengawasan ketat. Sepeninggal khalifah Umar bin al-Khattab, mushaf tersebut disimpan di rumah Hafsah binti Umar, isteri Rasululah Saw.
Pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, terdapat perbedaan cara membaca al-Qur’an di kalangan umat Islam. Hal itu terjadi karena masing-masing ka¬bilah memiliki laughat atau lahjah (dialek) sendiri-sendiri, sehingga ketika membaca al-Qur’an terdapat perbedaan dalam cara membacanya. Persoalan tersebut semakin ber¬tambah ketika wilayah Islam semakin luas. Banyak masyarakat yang baru meme¬luk Is¬lam memiliki cara baca yang berbeda, sesuai dengan dialek masing-masing dae¬rah. Sa¬lah seorang sahabat bernama Huzaifah bin Yaman yang pernah mendengar perbedaan cara membaca al-Qur’an itu mengusulkan kepada khalifah Usman bin Affan agar me¬ne¬tapkan aturan penyeragaman bacaan al-Qur’an dengan membuat mushaf standar, yang akan dijadikan pedoman bagi umat Islam kemudian. Usulan tersebut diterima dan ke¬mudian ia membentuk panitia (lajnah) yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Tugas utama panitia ini adalah menyalin mushaf yang disimpan Haf¬sah dan menyeragamkan di¬a¬lek¬nya atau lahjahnya dengan dialek atau lahjah Quraisy.
Selesai menjalankan tugasnya, panitia mengembalikan mushaf ke Hafsah. Da¬lam tugasnya, Zaid berhasil membuat 6 (enam) buah mushaf. Untuk penyeragaman lahjah, khalifah Usman mememrintahkan agar dikirim ke beberapa wilayah Islam. Sedangkan naskah lain diperintahkan untuk dibakar, sehingga keaslian al-Qur’an dapat dipelihara. Mushaf yang telah dibukukan dan diseragamkan disebut dengan Mushaf Usmani. Mushaf yang disimpan khalifah Usman disebut dengan Mushaf Imam, dan yang lainnya dikirim ke Makah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syria.
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Salah satu implikasi atau dampak positif yang dihasilkan dari perluasan wila¬yah Islam, selain semakin bertambahnya jumlah pemeluk Islam dan luasnya wilayah kekua¬saan Islam, juga berdampak pada semakin berkembangnya pusat-pusat pera¬daban Is¬lam. Perkembangan pusat-pusat kota yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban Islam, menarik perhatian para pendatang. Ketika itu terjadi asimilisi dan akulturasi an¬tara peradaban lokal dengan peradaban baru yang dibawa oleh Islam. Proses akul¬turasi ini menghasilkan peradaban baru yang memperkaya khazanah peradaban Islam.
Di daerah baru atau di pusat-pusat peradaban baru, para ilmuan muslim mela¬kukan riset untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Pada masa awal Islam, ilmu pengetahuan yang berkembang dikategorikan menjadi ilmu naql ( al-ulum al-naqliyah) yang bersumber pada al-Qur’an, dan ilmu aql ( al-ulum al-Aqliyah), yang bersumber pada akal pikiran manusia. Pada masa pemerintahan al-khulafa al-rasyidin, ilmu yang berkembang adalah ilmu naqliyah, belum banyak berkembang ilmu aql. Hal itu dapat dipahami karena mereka adalah para sahabat setia yang patuh menjalankan sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Di antara ilmu yang berkembang pada periode ini adalah ilmu qiraat. Ilmu ini berkembang karena banyak umat Islam membaca al-Qur’an dengan menggunakan dialek atau lahjah mereka masing-masing. Untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an, maka perlu dibuat standar bacaan al-Qur’an. Karena itu, khalifah Usman bin Affan melakukan standarisasi bacaan al-Qur’an dengan membuat mushaf yang disebut Mushaf Usmani atau mushaf imam. Kemudian salinan lainnya dibuat dan dikirim ke beberapa daerah agar semua bacaan memiliki standar yang baku.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah ilmu tafsir. Lahirnya ilmu tafsir karena adanya kebutuhan untuk memahami pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Penaf¬sir¬an al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat atau hadits-hadits Rasulullah Saw. Bahkan ada beberapa sahabat Nabi yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang mereka terima dari Nabi Muhammad Saw. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Ka’ab. Mereka ini dapat disebut sebagai ahli tafsir pada periode klasik Islam.
Sedang ilmu hadis belum berkembang ketika itu. Para sahabat mempelajarai dan mengembangkan ilmu hadits berbarengan dengan usaha mereka mempelajari dan mengembangkan al-Qur’an. Karena untuk memahami al-Qur’an, mereka harus mema¬hami ilmu hadits. Dalam sejarah ilmu tafsir dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur. Di antara beberapa orang sahabat yang menyebarkan hadits atas perintah khalifah Umar bin al-Khattab adalah Abdullah bin Mas’ud pergi ke Kufah. Ma’qal bin Yasar ke Basrah, Ubbadah bin Shamit dan Abu darda pergi ke Syria.
Sementara ilmu Nahwu berkembang di Kufah dan Basrah. Perkembangan ilmu ini karena di kedua wilayah tersebut banyak bermukim orang-orang Arab yang berbicara dengan berbagai dialek. Selain itu, juga bermukim penduduk Persia. Di antara ahli ilmu nahwu pertama adalah Ali bin Abi Thalib, Abul Aswad al-Du’ali.
Ilmu lain yang berkembang ketika itu adalah Khath al-Qur’an. Perkembangan il¬mu ini sangat terkait dengan proses penulisan dan penyebaran al-Qur’an ke berbagai wilayah Islam, serta pengiriman surat-surat diplomasi yang dilakukan sejak jaman Ra¬sululah Saw dan dilanjutkan oleh para sahabat. Dari catatan sejarah diketahui bahwa orang-orang Arab belajar menulis indah berbentuk Nuskhi atau Nabti dari para pedagang yang datang dari Irak. Karena itu, ketika ada usaha penulisan al-Qur’an, maka bentuk tulisan yang dipergunakan adalah bentuk Kufi, sedang untuk surat-menyurat menggu¬nakan Naskhi.
Di samping perkembangan ilmu-ilmu tersebut, pada masa ini juga terjadi per¬tumbuhan ilmu fiqh. Ilmu ini merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan umat Is¬lam untuk memahami dan mempraktikan ajaran Islam. Pada umumnya, para ahli fiqh (fuqaha) adalah juga ahli al-Qur’an dan ahli al-Hadits, karena mereka adalah para sa¬habat awal yang ketika memecahkan suatu masalah selalu bersandar pada al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh karena itu, para fuqaha yang muncul kebanyakan adalah para sa¬habat. Di santara fuqaha saat itu adalah Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, di Madinah, Abdullah bin Abbas, di Makkah, Abdullah bin Mas’ud, di Ku¬fah, Anas bin Malik, di Basrah, Mua’dz bin Jabal, di Syria, dan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, di Mesir.
Sementara pertumbuhan ilmu kedokteran pada masa klasik Islam, belum ba¬nyak dikembangkan. Meskipun begitu, ada salah seorang dokter kenamaan yang ber¬asal dari Tha’if, yaitu al-Harits bin Kaldah (w.13 H). Ia belajar ilmu kedokteran dari Persia. Karena keahliannya ini, ia dijuluki sebagai dokter orang-orang Arab.
3. Perkembangan Sastra
Dalam epistimologi bahasa, sastra adalah inti seni. Sejak pra Islam, bangsa Arab memiliki kemampuan sastra yang sangat tinggi. Banyak sastrawan pra Islam yang terkenal, di antaranya adalah Umru al-Qays dan lain-lain. Ketika Islam ber¬kem¬bang, seni sastra ini terus dipertahankan bahkan diisi dengan nilia-nilai keaga¬maan, sehingga nilai sastra selalu bernafaskan Islam.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, sastra mengalami perkembangan, meski para khalifah saat itu kurang terfokus dalam pengembangan sastra, karena lebih fokus pada proses penulisan dan pembukuan al-ur’an. Tetapi, bagi masyarakat seni, al-Qur’an dan al-Hadits yang tengah mendapatkan perhatian serius, menjadi inspirasi bagi upaya pengembangan sastra Islam.
Pada saat itu, seni sastra yang dikembangkan sangat terpengaruh dari peng¬ua¬saan al-Qur’an dan pengembangan al-Hadits. Paling tidak ada dua bentuk proses yang berkembang ketika itu, yaitu khithabah (seni berpidato) dan Kitabah (seni me¬nu¬lis). Khi¬thabah, menjadi alat yang paling efektif dalam berdakwah. Salah seorang saha¬bat yang ahli berpidato adalah Ali bin Abi Thalib. Khutbahnya dikumpulkan dalam satu buku yang diberi judul Nahjul Balaghah.
Pada masa ini muncul para penyair yang hidup pada dua jaman, yaitu pra Islam dan masa Islam. Mereka biasa disebut dengan Mukhadram. Di anatar meraka adalah Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Zuhair. Hasan bin Tsabit adalah penyair kel¬uarga Rasul. Ia selalu menggubah syair-syair untuk membela Islam dan memuliakan Rasulnya.
4. Perkembangan seni bangunan atau arsitektur
Seni bangunan pertama yang dikembangkan dalam Islam sangat terkait de¬ngan pembangunan masjid, meskipun pada masa-masa awal Islam, seni arsitektur ini belum mengalami perkembangan karena Islam masih berada di Madinah dan Makah, belum keluar dari kedua kota tersebut. Tetapi setelah Islam melebarkan sayapnya, terdapat sentuhan seni bangunan, terutama ketika Islam memasuki wilayah Irak dan Persia. Kedua negeri ini dikenal sebagai negeri yang memiliki seni bangunan yang memiliki nilai seni tinggi. Karena itu, ketika al-Khulafa al-Rasyidun berkuasa, terdapat usaha pengembangan seni bangunan ini. Di antara bangunan yang mendapat sen¬tuhan seni bangunan atau arsitektur adalah masjid al-Haram, masjid Madinah, dan masjid al-Atieq di Mesir.
Masjid al-Haram yang didirikan oleh Nabi Ibrahim mengalami perbaikan terus menerus hingga kini. Masjid ini pada jaman khalifah Umar bin al-Khattab mulai di¬re¬no¬vasi dengan memperluas bangunan majid dengan membeli rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Kemudian pada masa khalifah Usman bin ‘Affan (26 H), juga dila¬kukan per¬luasan bangunan, sehingga bangunan masjid al-Haram semakin tambah luas, bila di¬bandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Seni bangunan juga diterapkan pada pengembangan bangunan masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad Saw setelah tiba di Madinah. Masjid ini kemudian tidak hanya dijadikan sebagai tempat beribadah, juga tempat melakukan musyaarah dalam memutuskan banyak hal yang berkaitan dengan pengembangan Islam ke luar kota Madinah. Diperkirakan pada tahun ke- 7 H, masjid ini diperluas menjadi 350 x 30 meter dengan 3 buah pintu. Kemudian pada tahun ke17 H pada masa khalifah Umar bin al-Khattab, terjadi lagi perluasan bangun¬an. Pengem¬bangan ini terus dilakukan pada masa khalifah Usman bin Affan, bahkan diperindah. Dindingnya diganti dengan batu, dan bidang-bidang dindingnya dihiasai dengan ber¬bagai ukiran. Tiang-tiangnya dibuat dari beton bertulang dan ditatah de¬ngan ukiran, plafonnya dibuat dari kayu pilihan. Ketika itulah mulai diperlihatkan unsur estetisitas atau keindahan seni bangunan dalam masjid ini.
Gambar masjid Nabawi sekarang
Sumber: Wikipedia
Selain pembanguna dan renovasi masjid-masjid, pada masa al-Khulafa al-Ra¬syi¬dun juga terjadi perkembangan dalam seni bangunan, terutama pada kota-kota baru yang dibuat dan dikembangan pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun. Ter¬le¬bih setelah Irak dan Mesir dikuasai. Khalifah umar bin al-Khattab memerin¬tah¬kan untuk membangun kota-kota baru. Di Irak, misalnya dibangun kota Basrah dan Kufah. Di Me¬sir dibangun kota Fusthath. Kamp konsentrasi militer dikembangkan menjadi per¬kam¬pungan dan kota-kota baru. Bangunan- bangunan utama dari sebuah kota yang baru di¬bangun adalah perumahan, masjid jami’ serta masjid-masjid kecil la¬innya. Selain itu, ge¬dung-gedung perkantoran juga dibangun di sekitar masjid yang dilengkapi dengan sa¬rana umum lainnya, seperti kamar mandi umum, saluran dan bak penampung air dan pasar. Bagian-bagian kota dipisahkan oleh jalanan dan lo-rong-lorong yang ditata rapi.
Di antara kota-kota baru yang dibangun pada masa ini adalah :
1. Basrah di bangun pada tahun 14-15 H dengan arsiteknya Utbah bin Ghazwah dengan dibantu oleh sekitar 800 orang pekerja. Untuk keperluan penetuan lo¬ka¬si, khalifah Umar yang menentukannya, yaitu kira-kira 10 mil dari sungai Tigris (Dajlah). Untuk memenuhi kebutuhan air buat penduduk, dibuatlah sa¬luran air (irigasi) dari sungai menuju kota.
2. Kufah dibangun pada tahun 17 H. Kota ini dibangun di atas bekas ibu kota ke¬ra¬jaan Arab sebelum Islam, yaitu Manadzir. Kota ini berjarak sekitar 2 mil dari su¬ngai Eufrat ( Furat). Untuk membangun kota ini, khalifah Umar bin al-Khattab memberikan kepercayaan kepada Salman al-Farisi. Karena kerja keras dan ha¬silnya memuaskan, maka Salman al-Farisi memperoleh pensiun selama hidup¬nya.
3. Fusthath dibangun pada tahun 21 H pada masa khalifah Umar bin al-Khattab. Pembangunan kota ini dilakukan karena khalifah Umar tidak menyetujui usulan gubernur Mesir, Amr bin al-‘Ash untuk menjadikan kota Iskandariyah sebagai ibu kota provinsi Mesir. Alasannya, sungai Nil membatasi kota terse¬but dengan Madinah, sehingga akan menyulitkan hubungan antara pusat de¬ngan daerah. Kota ini di bangun di sebelah Timur sungai Nil. Pembangunan kota ini dileng¬kapi dengan sarana dan prasarana lainnya yang menjadi syarat bagi sebuah kota.
Demikian perkembangan peradaban Islam yang dapat dikaji dan ditemukan pa¬da masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun sekitar tahun 650–an M. Peradaban Is¬lam semakin menampakkan kemajuan ketika dinasti Umayah dan Abbasiyah ber¬kuasa. Un¬tuk melihat perkembangan tersebut, berikut uraiannya.
Peta penyebaran Islam pada masa Nabi dan al-Khulafa al-Rasyidun
Sumber: Wikipedia
B. Perkembangan Peradaban Islam Periode Klasik:
Masa Pemerintahan Dinasti Bani Umayah ( 661-750 M)
Dinasti Bani Umayah merupakan dinasti Islam pertama yang didi¬ri¬kan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41H-132 H/661-750 M. Ber¬dirinya dinasti ini me¬ngalami proses perjalanan yang cukup panjang, sejak dari keinginan Mu’¬a¬wiyah bin Abid Sufyan menjadi gubernur di Damaskus hingga ia memperoleh kekuasaan dari al-Hasan bin Ali. Oleh karena proses pem¬ben-tukan dinasti ini mengalami banyak perso¬al¬an politik, sosial keaga¬ma¬an dan lain-lain, maka perlu dipe¬la¬jari latar belakang dan asal usul dinasti ini.
Selama lebih kurang satu abad berkuasa, dengan 14 (empat belas) orang kha¬li¬fah, terdapat banyak perkembangan dan kemajuan yang dicapai. Di antaranya kema¬ju¬an dalam bidang administrasi pemerintahan, bidang sosial politik, ilmu penge¬ta¬hu¬an dan lain sebagainya.
1. Kemajuan dalam bidang politik
a. Sistem pemerintahan
Terdapat perbedaan yang sangat mencolok yang terjadi pada masa peme¬rin¬tahan dinasti Bani Umayah dengan masa-masa sebelumnya, yaitu masa, khu¬lafaur¬ra¬syi¬din. Perbedaan tersebut adalah bahwa pada jaman khulafaurrsyidin, se¬orang khalifah di¬pilih langsung oleh masyarakat secara demokratis, setelah itu masyarakat secara be¬r¬a¬mai-ramai menyatakan sumpah setia di hadapan khalifah terpilih. Sementara pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, khalifah di¬angkat langsung oleh khalifah sebe¬lum¬nya dengan menunjuk salah seorang ke¬turunan khalifah sebagai putera mah¬kota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khalifah. Sistem penun-jukkan ini me¬nandai era baru dalam sis¬tem pemilihan kepemimpinan Islam.
Sistem pemerintahan yang bersifat monarchi herediteis yang diterapkan pa¬da ma¬sa awal pemerintahan Mu’awiyah, berimplikasi pada perkembangan sis¬tem politik pe¬merintahan sesudahnya. Sebab para khalifah Bani Umayah se-su¬dahnya tetap teus mem¬pertahankan sistem tersebut dengan mengabaikan cara-cara demokratis seperti yang pernah diterapkan pada masa pemerintahan khua¬faurrasyidin. Meskipun banyak pihak yang tidak setuju atas sistem yang diterap¬kan Mu’awiyah, ia tetap pada pendi¬rian bah¬wa ia akan terus menjalankan pe¬me¬rintahan dengan sistem kerajaan yang diterap¬kannya. Mu’awiyah bin Abi Suf¬yan atas anjuran al-Mughirah bin Syu’bah agar peme-rin¬tahan Bani Umayah te¬tap langgeng, maka Mu’awiyah harus merubah sistem pemilihan khalifah. Al-Mughirah mengusulkan agar Mu’awiyah mengangkat Yazid bin Mu’a¬wi¬yah sbagai penggantinya kelak, seperti yang diterapkan oleha para raja di Persia dan Romawi Timur.
Demi menjaga kelangsungan kekuaaan dan stabilitas sosial politik, akhir¬nya Mu’awiyah menyetujui saran dan usul gubernur Kufah ini yang sejatinya akan dico¬pot. Menurut al-Mughirah, belajar dari pengalaman masa lalu bahwa penggantian umat Islam dengan pepilihan secara langsung banyak mengandung risiko. Risikonya antara lain, terjadi pertumpahan darah yang berdampak pada ketidakstabilan negara. Bila ne¬gara dalam keadaan seperti itu, maka akan mudah dihancurkan.
Oleh karena itu, masyarakat yang tidak setuju atas sistem baru yang di-te¬rap¬kan dalam pemilihan kepala pemerintahan atau khalifah, akan dihadapi oleh Mu’a¬wi¬yah bin Abi Sufyan dengan cara-cara kekerasan. Bahkan tak segan ia mengancam akan mem¬bu¬nuh siapa saja yang menolak atas pengangkatan Yazid sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Cara-ca¬ra kekerasan inilah yang di¬terapkan Mu’awiyah dalam mengatasi lawan poli¬tik¬nya yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluar kannya.
Dalam hal ini, banyak sejarawan menyatakan bahwa meskipun Mu’a¬wi-yah tetap mempertahankan gelar khalifah, tetapi dalam menjalankan politik pemerin¬tah¬annya ter¬nyata ia lebih mengacu pada sistem pemerintahan kerajaan atau monarchi. Hal ini di¬tandai dengan kuatnya pengaruh khalifah dalam segala hal, bahkan Mu’a¬wiyah sendiri pernah menyatakan dirinya sebagai raja pertama dari raja-raja Arab.
Pernyataan ini menandakan adanya perubahan sistem kepe¬mimpinan po¬litik dan pemerintahan. Sistem yang akan diterapkan Mu’a¬wiyah dalam menja¬lankan pe¬me¬rintahan adalah sistem kerajaan, bukan sistem syura, seperti yang pernah dite¬rap¬kan dalam masa-masa pemerintahan khula¬faur¬rasyidin. De-ngan demikian, sistem pe¬merin¬tahan yang ada pada masa pemeri¬ntahan dinasti Bani Umayah merupakan sis¬tem pemerintahan monarchi here¬di¬ties yang abso¬lut. Sebab kewenangan ada pada diri sang khalifah. Setiap kebi¬jakan yang dikeluar¬kannya tidak dapat ditentang, sebab ia adalah raja, bahkan ia menyatakan diri¬nya bagai bayang-bayang tuhan di muka bumi.
Setelah Mu’awiyah berkuasa, ia melakukan beberapa perombakan besar-be¬sar¬an dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Mu’awiyah mendirikan lembaga-lem¬baga politik yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan program pemerin¬tahan, di antara lembaga negara yang dibentuknya adalah al-nidlam al-siyasi. Lembaga ini me¬miliki tugas untuk mengkaji masalah jabatan khalifah. Selain itu, dibentuk pula lembaga kementerian (wizarah), yang bertugas menangani masalah-masalah yang ada di de¬part¬e¬men-departeman. Di samping itu, dibentuk pula lembaga kesekretariatan negara (kita¬bah), dan lembaga ke¬a¬manan pribadi khalifah (hijabah). Lembaga ini ber¬tu¬gas menjaga keamanan diri dan keluarga khalifah dari berbagai kemungkinan negatif yang datang dari pi¬hak luar. Sistem hijabah ini ternyata cukup efektif untuk menang¬kal berbagai ke¬mungkinan datangnya serangan ke dalam istana dan keluarga kha¬lifah.
Berbagai lembaga negara yang dibentuk pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah, merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan Islam, karena tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan khula¬faurrasyidin. Dengan pembentukan lembaga-lembaga ini, para khalifah dinasti Bani Umayah dapat men¬ja¬lan¬kan pemerintahan dengan efektif dan menimbul¬kan dampak positif dalam perkem¬bangan peradaban Islam pada masa itu.
b. Pembentukan lembaga Wazir atau Perdana Menteri
Produk kebijakan baru yang dihasilkan pemerintahan Bani Umayah ada¬lah ter¬bentuknya lembaga wazir. Penerapan sistem wazir atau perdana menteri ini untuk per¬tama kali dilakukan oleh khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Se¬orang wazir yang ber¬fungsi sebagai pendamping khalifah, memiliki kewe¬nangan untuk menggantikan beban dan tanggungjawab khalifah dalam menja¬lankan pe¬merintahan sehari-hari, apabila kha¬lifah tengah berhalangan atau tidak dapat menjalankan pemerintahan ka¬rena sesuatu, tetapi seorang wazir tetap akan ber¬tanggungjawab kepada khalifah. Ka¬rena khalifah me¬miliki kekuasaan dan kewe¬nangan mutlak. Di antara syarat yang harus dimiliki seorang wazir adalah cer¬das, cakap, terampil, dapat dipercaya dan mau bekerjakeras untuk ke¬majuan.
Salah seorang wazir pertama yang diangkat oleh Mu’awiyah adalah Zaid bin Abihi. Ia dikenal sebagai salah seorang sahabat yang cerdas, dan memiliki ke¬beranian. Oleh karena itu, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkuasa, ia meng¬angkat Zaid bin Abihi sebagai wazirnya. Konon dalam beberapa catatan sejarah diketahui bahwa Zaid bin Abihi adalah saudara Mu’awiyah. Ia terlahir dari se¬orang ibu yang pernah dini¬ka¬hi ayahnya, yaitu Abu Sufyan. Kelebihan yang ter¬dapat di dalam diri Zaid inilah yang dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk mem¬bantunya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul pada masa-ma¬sa awal pemerintahannya. Pada masa pemerin¬tahan khalifah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Abihi pengikut Ali dan pernah menjadi sa¬lah seorang gu¬bernur. Sejak Mu’awiyah berkuasa, ia bekerjasama untuk membangun kerajaan Bani Umayah.
c. Pembentukan kelembagaan Negara.
Pada masa pemerinatahan al-khulafaurasyidin, para khalifah tidak hanya ber¬fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, juga kepala sebagai aga¬ma. Hal itu disebabkan karena mereka semua adalah para sahabat nabi Muha¬mad Saw, yang menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu pemerintahan. Setiap per¬soal¬an yang muncul di tengah-tengah masyarakat, selalu diselesaikan dengan ce¬pat, tanpa me¬nunggu adanya lembaga yang menangani masalah-masalah ter¬se¬but. Biasanya, para khulafaurrasyidin selalu mengajak diskusi para sahabat un¬tuk menemukan solusi atas berbagai persoalan yang di hadapi, sehingga persoalan dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi pada masa pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah berdiri, terjadi perubahan dalam keta¬ta¬ne¬garaan dan kelembagaan ne¬gara.
Setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah, ada usaha perbaikan sis¬tem kelembagaan negara yang dibentuk. Bentuk kelembagaan negara yang di¬ben¬tuknya adalah; khalifah, ahlul halli wal aqdi, dan qadli al-qudalat. Ketiga lem¬ba¬ga ini me¬miliki tugas, fungsi dan wewenang berbeda. Pembentukan kelem¬ba¬ga¬an negara ini sebenar¬nya bertujuan untuk membantu Mu’awiyah di dalam men¬ja¬lankan peme¬rin¬tahannya.
Khlaifah, adalah kepala negara dan penguasa tertinggi. Kekuasaan yang dimi¬li¬kinya sangat tidak terbatas, sehingga ia menjadi penentu segalanya di da¬lam pem¬bu¬atan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, segala keputusan yang telah dikeluarkan oleh kelem¬ba¬ga¬an lain, harus sepengetahuan dan sesuai deng¬an kehendak khalifah. Tidak boleh pejabat negara yang berada di bawah ke¬ku¬a¬saan khalifah menentukan sendiri kebijakannya tanpa melakukan kordinasi dan seijin khalifah. Oleh karena itu, meskipun memiliki tugas, fungsi dan we¬wenang berbeda, tetapi kepu¬tus¬an tetap ber¬ada di tangan khalifah Mu’awiyah. Karena khalifah adalah kepala negara dan pe¬mimpin tertinggi di dunia Islam.
Sementara ahlul halli wal Aqdi, adalah para anggota dewan, seperi par¬le-men se¬karang. Mereka yang duduk di kelembagaan ini terdiri dari para pakar atau para ahli di bidang masing-masing yang dibutuhkan pemerintahan dinasti Bani Umayah. Lem¬baga ini memiliki tugas untuk melakukan kajian atas ber¬ba¬gai per¬soalan yang di ha¬dapi pe¬merintah, dan mencari solusi terbaik untuk me¬me¬cah¬kan berbagai problem yang di¬ha¬dapi pemerintah; seperti probem sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, per¬tahanan dan keamanan, serta problem-prob¬lem lain. Hasil kajian mereka kemudian dijadikan ru¬mus¬an sebagai bahan pem¬buatan kebijakan pemerintah dinasti Bani Uma¬yah. Apapun hasil temuan dan rumusan mereka, keputusan terakhir ada di tangan khalifah. Khalifahlah yang menentukan apakah hasil temuan dan rumusan mereka akan diterima atau di¬to¬lak. Itulah sistem monarchi absolute yang diberlakukan oleh pemerintahan di¬nasti Bani Umayah. Pembentukan dan keredaan kelembagan ini ha¬nya meru¬pa¬kan bentuk ako¬mo¬dasi dari aspirasi umat Islam dan masyarakat yang adai di ba¬wah kekuasaannya. Hal itu hanya untuk menciptakan citra positif pemerintahan dinasti Bani Umayah di ma-syarakat, agar tidak terkesan otoriter dan absolut.
Sedang Qadli al-Qudlat atau kelembagaan kehakiman yang terdiri dari para ahli hukum Islam dan hukum ketatanegaraan, memiliki tugas, fungsi dan wewenang un¬tuk membantu khalifah dalam membuat keputusan hukum dalam pe¬me¬rintahan. Para pakar yang duduk di lembaga ini melakukan kajian hukum-hukum dan bebagai per¬kara yang ada di masyarakat, kemudian menyele¬sai¬kan¬nya sesuai perkara yang ada. Hasil pemikiran dan konsep-konsep hukum dise¬rahkan kepada khalifah. Setelah ha¬silnya diserahkan kepada khalifah, keputusan untuk menerapkan atau menolaknya, tetap ada di tangan khalifah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketiga lembaga tersebut di atas telah memiliki tugas, fungsi dan wewenang sendiri di dalam menjalankan prog¬ram-prog¬ram kelembagaannya. Tetapi, apapun hasil dan konsep yang dibuat oleh masing-ma¬sing lembaga, keputusan terakhir tetap berada di tangan kha¬li¬fah.keberadaan lem¬ba¬ga-lem¬baga ini hanya untuk membantu pemenerintah di¬nasti Bani Umayah untuk mem¬bantu meringankan pekerjaan khalifah dan ja¬jar¬annya dalam menjalankan roda pemerintahan.
d. Pembentukan Tata Usaha Negara (al-nidlami al-Idary).
Selain terjadi perkembangan dalam bidang politik seperti dijelaskan di ba¬gian sebalumnya, pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah juga terjadi perkem¬bang¬an dalam bidang ke¬tata usahaan negara (al-nidlami al-Idary). Lem¬ba¬ga ini diperlukan untuk mengatur sistem pemerintahan negara, antara pemerin¬tah pusat dengan peme¬rintah daerah atau wilayah. Lembaga tata usaha negara ini membawahi bebarapa de¬partemen, seperti :
a. Departemen perpajakan (diwanul kharraj). Departemen ini bertugas meng¬atur dan mengelola administrasi pajak tanah di daerah-daerah yang bera¬da di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
b. Departemen pos dan perhubungan (diwanul rasail). Departemen ini ber-tugas menyampaikan berita atau informasi dan surat-surat dari dan ke daerah-daerah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
c. Departemen pekerjaan umum (diwanulmusytaghillat). Departemen ini ber¬tugas menangani berbagai kepentingan umum masyarakat.
d. Departemen kearsipan (diwanul khatim). Departemen ini bertugas me-nyimpan berbagai dokumen penting negara yang telah selesai diproses. Lembaga ini sangat penfing, selain karena menyimpan arsip-arsip, juga mengurus surat-surat lamaran khalifah, menyiarkannya, menyetempel dengan cara dibungkus dengan kain, kemudian dibalut dengan lilin, kemudian distempel pada bagian atasnya.
Selain itu, pemerintahan dinasti Bani Umayah juga membetuk lembaga-lem¬baga yang dapat melakukan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Lembaga ini disebut dengan istilah al-imarah alalbuldan. Latar belakang diben¬tuknya lembaga ini karena luasnya wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah, yang terbentang dari Indus hingga Andalus. Pembentukan lem¬baga ini adalah untuk mem¬permudah pola dan koordinasi kerja antara pe¬me¬rintah pusat yang berada di Damas¬kus dengan pemerintah-pemerintah di luar kota Damaskus. Pada masa ini, peme¬rin¬tah dinasti Bani Umayah membagi wi¬layahnya menjadi lima provinsi, yaitu:
a. Provinsi Hijaz, Yaman dan Najd.
b. Provinsi Mesir dan Sudan,
c. Provinsi Irak Arab,(yaitu negeri-negeri Babilonia dan Asiria lama). Irak Ajam, yaitu Persia, Aman, Bahrain, Karman, Sijistan, Kabul, Khurasan, Transoxania, Sind (India, Pakistan dan Afghanistan), dan sebagian negara Punjab.
d. Provinsi Armenia, Azerbeizan dan Asia Kecil.
e. Provinsi Afrika Utara, Libya, Andalusia, Pulau Sicilia, Sardinia dan Baylar.
Untuk menjalankan roda pemerintahan di masing-masing provinsi, di-angkat seorang guberur jenderal, yaitu amir al-umara. Mereka inilah yang men-ja¬di penang¬gung¬jawab atas terselenggaranya pemerintahan di masing-masing provinsi yang berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
Ada hal yang menarik yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah, yaitu pembentukan pengawal khlaifah yang disebut hijabah. Bentuk pengawalan ini diterapkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebelum ia menjadi khalifah, yaitu semasa ia menjabat sebagai gubernur di Damaskus. Pembentukan pasukan pengawal pribadi kha¬lifah ini bertujuan untuk memberikan perlin¬dungan dan keselamatan sang khalifah dari berbagai kemungkinan buru yang akan menimpa diri khalifah. Pem¬ben¬tukan lembaga ini merupakan sesuatu yang baru, karena lembaga ini belum pernah ada pada masa pemerintahan khula¬faur¬rasyidin, apa lagi diterapkan. Karena pada masa itu semua orang percaya atas ke¬amanan diri khalifah, meskipun banyak ketiga orang khalifah meninggal dengan cara mengenaskan karena tidak menda¬pat pengawalam ketat dari para sahabat lainnya.
2. Kemajuan dalam bidang militer
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa para penguasa dinasti Bani Uma¬yah dikenal sebagai penguasa yang memiliki keinginan kuat untuk menye¬barkan Is¬lam ke berbagai wilayah di luar jazirah Arabia. Penyebaran itu bia¬sa¬nya dilakukan de¬ngan cara menaklukkan wilayah-wilayah yang masih dianggap belum Islam. Oleh ka¬rena itu, sejak masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Suf¬yan, usaha untuk menak¬lukkan Kon¬stantinopel, pusat pemerintahan kerajaan Romawi Timur, terus dilakukan. Ia pernah mengirim anaknya bernama Yazid bin Mu’awiyah untuk mengikuti per¬tem¬puran me-lawan kekuatan tentara Byzan¬tium. Untuk mencapai wilayah yang berada di seberang laut tengah itu, Mu’a¬wiyah membangun armada angkatan laut. Bahkan ang¬katan laut ini sudah di¬persiapkannya sejak ia masih menjadi gubernur di Damaskus, ketika men¬jadi wakil khalifah ‘Umar bin al-Khattab dan khalifah ‘Usman bin Affan. Setelah ia menjabat sebagai khalifah, langkah pertama yang dilakukannya adalah me¬la¬ku¬kan kon¬solidasi kekuatan militer guna melawan kekuatan pasukan pemberontak khawarij dan syi’ah. Usahanya ini semakin kuat ketika ia mampu merangkul Zaid bin Abihi untuk bergabung bersamanya dalam membangun peradaban Is¬lam melalui ke¬kuatan khalifah Bani Umayah.
Kekuatan militer dinasti Bani Umayah semakin hebat ketika al-Walid bin Ab¬dul Malik berkuasa. Pasukan Islam yang berada di bawah komando gubernur jenderal Musa bin Nushair, mampu memasuki wilayah Eropa. Di bawah kepe¬mimpinan tiga serangkai, yaitu Musa bin Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad, tentara Islam mampu menaklukkan wilayah Andalusia di Eropa. Se¬lain itu, di wilayah Asia Tengah dan Asia Selatan, pasukan militer Bani Umayah berjaya mengembangkan sa¬yap ke¬kua¬saan dinasti Bani Umayah. Pasukan yang berada di bawah komando gu¬ber¬nur jenderal Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi, berhasil menaklukkan wilayah India di bawah komandan pasukan Muhamad bin Qasim. Sementara wilayah Asia Tengah, kekuatan Islam di ba¬wah komandan pasukan Qutaibah bin Muslim al-Bahili, berhasil memasuki wilayah Transoxania dan wi¬layah Asia Tengah lainnya, seperti Azerbeijan, Sijikstan, Balkh, Bu¬khara dan lain-lain.
Keberhasilan pasukan militer dinasti Bani Umayah dalam menakalukkan wi¬la¬yah yang jauh dari pusat pemerintahan dinasti Bani Umayah ini, menun¬juk¬kan kehe¬batan militer Islam. Keberhasilan ini tentu saja hasil strategi petinggi Bani Umayah dan petinggi militernya yang melakukan pembaharuan dalam bi¬dang kemiliteran. Mereka banyak belajar dari pengalaman bertempur selama mereka melakukan penye¬baran dan perluasan wilayah kekuasaan di luar jazirah Arabia. Bagaimana mengaturn strategi pe-rang dan membangun kekuatan militer yang tangguh. Selain itu, para pang-lima perang juga melakukan pembenahan dan peningkatan mutu alat tempur dengan membuat peralatan tempur sendiri. Untuk keperluan itu, para khalifah bani Umayah, khususnya khalifah al-Walid bin Abdul Malik membangun pabrik-pabrik senjata, se¬perti yang di¬bangun di wilayan Afrika Utara. Pembanguan kapal perang di teluk Rau¬dlah di laut tengah, mempermudah pasukan untuk menaklukkan negara-negara yang berada dekat di laut tengah.
Gambar Peta Wialayah Islam pada Masa Muawiyah
Sumber: Wiikipedia
Keterangan:
██ Peta penyebaranIslam jaman Nabi Muhammad, 612-632
██ Peta Penyebaran Islam jaman al-khulafa al-Rasyidin, 635-661
██ Peta Penyebaran Islam jaman Bani Umayah , 661-750
Banyaknya pengalaman bertempur, menambah wawasan pengetahuan dan ke¬terampilan para panglima perang dalam usaha memperbaiki sistem per¬tahanan. Stra¬tegi dan kekuatan bersenjata Bani Umayah semula hanya me-mi¬liki dua strategi dan formasi kekuatan perang, yaitu kekuatan belakang dan ke¬ku¬at¬an depan. Dari formasi itu ke¬mudian dikembangkan menjadi lima ba-ris¬an. Pa¬sukan barisan inti atau tengah, disebut qalbuljaisyi, barisan kanan disebut al-mai¬manah, barisan kiri disebut al-maisarah, barisan depan disebut al-muqaddimah, dan barisan belakang disebut saqahal-jaisyi.
Perkembangan sistem pertahanan ini merupakan keberhasilan peme¬rin-tah di¬nasti Bani Umayah dalam mengembangkan formasi pasukan. Sehingga sis¬tem per¬ta¬hanan militer semakin tangguh. Dengan kekuatan dan strategi ini, pa¬sukan dinasti Bani Umayah mampu menguasai seluruh wilayah yang ada di ja¬zirah Arabia, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan hingga Eropa.
Pasukan pengintai atau talailah yang dibentuk pemerintah Bani Umayah ter¬nyata cukup efektif untuk mengintai kekuatan musuh. Salah seorang pang-li¬ma intele¬jen yang dikirim untuk memata matai pasukan dan kekuatan musuh adalah Tharif bin Malik. Ia bekerjasama dengan De Graff Julian berhasil me¬nye¬li¬nap ke wilayah Anda¬lusia untuk mencari berbagai informasi mengenai kekuatan yang dimiliki raja Ro¬derick yang ber¬kuasa ketika itu. Setelah ia berhasil meng¬umpulkan berbagai infor¬masi, barulah dikirim pasukan di bawah komando Tha¬riq bin Ziyad, yang kemudian mendarat di sebuah selat yang kemu¬dian dikenal dengan sebutan Jabal Thariq atau Jiblaltar. Keberhasilan Thariq bin Ziyad men¬da¬rat dan menaklukkan Andalusia mem-buktikan kehebatan militer Bani Umayah.
Dengan memahami peristiwa perluasan wilayah Islam pada masa peme¬rin¬tah¬an dinasti Bani Umayah, dapat dikatakan bahwa sudah terjadi perubahan yang luar biasa dalam sistem pertahanan dan keamanaan negara dengan mem¬bentuk pasukan tangguh. Pasukan inilah yang kemudian menjadi ujung tombak penyebaran kekuatan pasukan Islam Bani Umayah, yang wilayah kekuasaannya meliputi Asia, Afrika dan Eropa.
3. Bidang Administrasi dan Pemerintahan.
a. Organisasi Politik ( an-nidham al-siyasi)
Selama masa-masa pemerintahan dinasti Bani Umayah banyak perkem-bangan yang terjadi. Hal tersebut terjadi karena para penguasa dinasti Bani Umayah selalu ber¬orientasi pada upaya perluasan wilayah kekuasaan dan penguatan politik militer guna menjalankan pemerintahan. Untuk mendukung program pembangunan dan ci¬ta-cita serta keingian untuk memperbaiki sistem pemerintahan dan administrasi ne¬ga¬ra, para penguasa banyak mengadopsi sis¬tem pemerintahan Persia, Yunani dan Ro¬mawi, ter¬ma¬suk dalam hal penggantian pucuk pimpinan, sistem politik, militer, admi¬nistrasi peme-rintahan dan lain-lain.
Oleh karena itu, pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah terdapat sis¬tem organisasi politik yang cukup mapan. Organisasi itu meliputi; jabatan al-khilafah, ke¬pala negara; al-wizarah, kementerian, al-kitabah, kesekretariatan, dan al-hijabah, pe¬ngawal pribadi khalifah. Kepala negara disebiut khalifah, yang memiliki kekuasaan pe¬nuh untuk me¬nen¬tukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan. Al-Wizarah, me¬mi¬liki tugas dan fungsi membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakna tugasnya sehari-hari. Sedang al-kitabah, atau sekretariat negara memiliki tugas dan fungsi men¬ja¬lankan hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesekretariatan negara, seperti mencatat dan melaporkan kegiatan-kegiatan di istana, dan lain-lain. Sementara al-hijabah, memi¬liki tugas dan fungsi dalam memberikan keamanan dan perlidungan kepada khalifah dan keluarga istana dari berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa. Kalau di¬gambarkan seperti sekarang, al-hijabah ini sama dengan pasukan pengawal peng¬a¬manan presiden (paspam¬pres).
Untuk kelancaran pekerjaan pemerintah, dibentuk lembaga administrasi nega¬ra, seperti diwanul kitabah, yang membawahi bidang-bidang seperti, katib al-rasail, yaitu sekretaris bidang keuangan. Katibul Jund, sekretaris militer. Katib al-syuhtah, sekretaris bidang kepolisian, dan katib al-Qadhi, sekretaris bidang keha¬kiman.
b. Organisasi Tata Usaha Negara ( annidham al-idari)
Organisasi teta usaha negara yang mengalami perkembangan dan kema¬juan pa¬da masa pemerintahan dinasti Bani Umayah adalah adanya pembagian wilayah ke¬kua¬san antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Peme¬rintah pusat dipe¬gang oleh khalifah, sebagai pengendali semua pemerintah wi¬layah atau daerah, se¬mentara pemerintah daerah dikendalikan oleh seorang gubernur yang disebut wali se¬bagai ke¬panjangan tangan pemerintah pusat. Para gubernur bertanggungjawab kepa¬da pe¬me¬rintah pusat yang berada di bawah kekuasaan khalifah. Para khalifah dengan kekuasaan dan wewenang yang ada pada dirinya dapat mengangkat dan mem¬ber¬hen-tikan para gubernur, terutama bagi yang tidak disukai atau menentang kebijakan pe¬merintah pu¬sat.
Untuk kepentingan pelaksanaan tata usaha negara dalam bidang peme-rin¬tah¬an, pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayah dibentuklah lembaga yang dise¬but departeman (al-dawawin). Departemen-departemen itu adalah sebagai berikut:
1. Diwanul kharraj, yaitu departeman pajak yang bertugas mengelola pa¬jak tanah di daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan dinasti Bani Uma¬yah.
2. Diwanul rasail, yaitu departeman pos dan persuratan yang bertugas me¬nyampaikan berita atau surat-menyurat dari dan ke suluruh wila¬yah ke¬kuasaan dinasti Bani Umayah.
3. Diwanul musytaghillat, yaitu departemen yang bertugas menangani ber¬bagai kepentingan umum.
4. Diwanul khatim, yaitu departemen yang bertugas menyimpan berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting negara.
c. Organisasi Keuangan Negara (annidham al-mal)
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, para khalifah yang ber-kuasa te¬tap mempertahankan tradisi lama, yaitu tetap mengelola baitul mal, baik pemasuk¬an maupun pengeluarannya. Sumber-sumber dana baitul mal diperoleh dari hasil p¬e¬mu¬ngutan pajak pendapatan negara berupa pajak penghasilan dari tanah pertanian yang sering disebut kharraj. Hanya saja pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, pajak tersebut dikurangi, sehingga pemasukan kas negara yang akan di¬setor ke baitul mal mengalami kemerosotan, sehingga ketika khalifah Hisyam bin Abdul Malik kas tersebut terkuras. Untuk menye¬la¬matkan kas negara akhirnya kha¬li¬fah Hisyam bin Abdul Malik menaikkan pajak kepada semua penduduk yang berada di wilayah keku¬a¬saan dinasti Bani Uma¬yah.
Selain dari pajak tanah atau kharraj, pendapat negara juga diperoleh dari jiz¬yah, yaitu pajak pendapatan yang diperoleh dari pajak individu sebagai ben¬tuk kon¬kret dari perlindungan negara atas jiwa dan keluarga masyarakat, teru¬tama masya¬ra¬kat non-muslim yang berada di dalam pengawasan dan keamanan negara Islam, se¬hingga posisi dan status mereka sama seperti masyarakat mus¬lim lainnya yang men¬dapatkan per¬lindungan dan perlakuan yang sama di de¬pan hukum negara saat itu.
Di samping kedua sumber pajak utama sebagai mana disebut di atas, pen¬da¬pat¬an negara juga diproleh dari pajak perdagangan yang dikenakan kepada para pe¬dagang asing yang mengimport barang dagangannya ke dalam wilayah kekuasaan Islam dinasti Bani Umayah. Pajak tersebut disebut dengan istilah usyur, yaitu seper¬sepuluh dari harga barang import. Pendapatan itu diperguna¬kan untuk pembangunan wilayah-wilayah Islam dinasti Bani Umayah.
Dalam catatan sejarah, menurut al-Baladzury, pajak yang terkumpul dari kha¬rraj sebanyak 186.000.000,- dirham (mata uang perak). Kebijakan para khalifah bani Umayah yang mewajibkan pajak kepada seluruh warga masyarakat, terus dilanjutkan sebagai pendapatan untuk untuk dimasukan ke kas negara. Setelah itu, semua pen¬da¬patan yang diperoleh dari hasil penarikan pajak akan di¬per¬gu¬nakan untuk membiayai pembangunan dan gaji para pegawai dan pejabat nega¬ra, selain untuk kepentingan keluarga istana.
d. Organisasi Ketentaraan (annidham al-harbi)
Organisasi ketentaraan pada masa pemerintahan dinasti Bani Uayah me¬rupa¬kan kelanjutan dari kebijakan yang telah dilakukan oleh para penguasa se¬belumnya, seperti para khulafaurrasyidin. Perbedaannya, kalau pada masa sebe¬lumnya semua orang boleh dan berhak menjadi tentara. Tetapi pada masa pe¬merintahan dinasti Bani Umayah, ha¬nya orang-orang Arab atau keturunannya yang hanya boleh manjadi panglima ten¬tara. Sementara yang bukan berasal dari orang Arab atau keturunan Arab tidak men¬da¬patkan kesempatan dan bahkan ti¬dak dibolehkan menjadi panglima tertinggi di dalam ketentaraan. Pucuk pim¬pinan dalam militer harus orang yang berasal dari keturunan bangsa Arab. Ke¬bijakan yang sangat diskriminatif dengan me-nomor¬duakan masyarakat yang bu¬kan berasal dari keturuan Arab, sangat menge¬ce¬wakan masyarakat, sehingga se¬ring terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh ma¬syarakat non Arab di luar jazirah Arabia.
Dalam formasi tempur, pamerintah dinasti Bani Umayah mempergu¬na-kan tak¬tik dan strategi tempur kerajan Persia. Formasi itu terdiri dari pasukan inti, yang di¬sebut qalbul jaisyi, yang diisi oleh komandan pasukan. Al-maimanah, yaitu pasukan sayap kanan, al-maysarah, pasukan sayap kiri, al-mutaqaddimun, yaitu pasukan yang me¬nempati posisi terdepan, dan saqah al-jaisyi, yaitu pasukan yang menempati posisi pa¬ling belakang, yang bertugas menjaga keamanan dari belakang.
Di belakang pasukan tempur biasanya ada pasukan lain yang disebut rid, yaitu pasukan logistik yang menyiapkan bahan makanan, obat-obatan dan se¬ba¬gainya. Se¬lain itu ada pasukan yang disebut talaiyah, yaitu pasukan pengintai atau intelejen. Pasukan tempur terdiri dari: farsan, yaitu pasukan berkuda atau Kaveleri, rijalah, pa¬sukan pejalan kaki atau infanteri, dan ramat, yaitu pasuan pemanah.
e. Organisasi Kehakiman (annidham al-Qadla.)
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, telah terjadi pemisahan ke¬kua¬saan antara ekskutif (pemerintah) dengan yudikatif (kehakiman atau peng¬adilan). Da¬lam pelaksanaannya, kekuasaan kehakiman dibagi menjadi tiga ba¬gian, yaitu al-Qadla, al-Hisbah, dan al-Nadhar filmadlamin. Untuk mengetahui ma¬sing-masing ba¬gian keha¬kiman tersebut, berikut penjelasannya.
1. al-Qadla, yang bertugas menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan nega¬ra.
2. al-Hisbah, yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan persoal¬an pidana yang memerlukan tindakan atau penye¬le-sai¬an secara cepat.
3. al-Nadhar filmadlami, yaitu mahkamah tinggi atau mahkamah ban¬ding, se¬macam mahkamah agung di Indonesia.
4. Kemajuan dalam bidang Sosial Budaya
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, beberapa cabang seni bu¬daya mengalami kemajuan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa dan seni bangunan. Beri¬kut uraian singkat mengenai perkembangan dan kemajuan dalam bidang sosial buda¬ya.
a. Kemajuan dalam bidang Bahasa dan Sastra
Di antara salah satu faktor terjadinya kemajuan dalam bidang bahasa dan sas¬tra adalah karena luasnya wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah. Wilayah yang luas dengan beragam penduduk dan bahasa yang berbeda, menambah per¬benda¬ha¬ra¬an kata menjadi semakin kaya dalam penggunaan bahasa komu¬ni¬kasi di antara pen¬duduk. Akan tetapi, pada masa pemerintahan khalifah al-Wa¬lid bin Abdulm Malik, terjadi penye¬ra¬gaman bahasa. Semua bahasa dae¬rah, terutama dalam bidang admi¬nis¬trai dan pemerintahan, diharuskan meng¬gu¬nakan bahasa Arab. Dengan demikian, ba¬hasa Arab mengalami kema¬juan yang cukup berati pada masa itu.
Selain faktor tersebut di atas, beberapa kota besar seperti Kufah, Basrah, Da¬mas¬kus, dan lain-lain, merupakan pusat kegiatan pengembangan sastra. Per¬temuan pera¬daban antra bangsa yang telah maju sebelumnya dengan bangsa Arab muslim, me¬nam¬bah semarak kegiatan sastra dan bahasa, sehingga ber¬kem¬bang pesat ilmu ba¬hasa dan sastra Arab. Banyak sastrawan lahir dan mengembangkan kemampuannya dalam bi¬dang ini. Di antara para ahli bahsa dan sastrawan yang terkenal pada saat itu adalah:
a. Nu’man bin Basyir al-Anshary (w.65 H).
b. Ibn Mafragh al-Hamiri (w.69 H).
c. Miskin Addaramy, (w.90 H).
d. Al-Akhthal (w.95 H).
e. Jarir (w.111 H).
f. Abul Aswad al-duwali (w.69 H).
g. Al-Farazdaq (w.0 H)
h. Ar-Rai (w.90 H).
i. Abu Najam al-Rajir (w.130 H)
j. Abul Abbas al-Am’a
k. Asya Rabiah (w.85 H).
Dari pemikiran dan kreatifitas mereka inilah kemudian bahasa dan sastra Arab mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat berarti bagi dunia Is¬lam hingga kini. Permikiran dan karya mereka inilah yang kemudian dikem¬bangkan lebih jauh pada masa pemerintahan dinasi Bani Abbasiyah.
b. Kemajuan dalam bidang Seni Rupa
Seperti telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa salah satu orientasi pemerintahan dinasti Bani Umayah adalah pengembangan wilayah ke¬kua¬saan. Usaha ini bukan berarti mengabaikan pengembangan bidang ilmu pe¬ngetahuan, sastra dan seni lainnya. Terbukti banyak ditemukan berbagai per¬kembangan dan ke¬majuan yang terdapat pada masa pemerintahan, salah satu¬nya adalah perkem¬bangan seni rupa.
Seni rupa yang berkembang pada masa pemerintahan dinasti Bani Uma-yah hanyalah seni ukir dan seni pahat. Seni ukir yang berkembang pesat pada ma¬sa itu adalah penggunaan khat Arab (kaligrafi) sebagai motif ukiran. Banyak ayat al-Qur’an, hadis Nabi dan rangkuman syair yang dipahat dan diukir pada tem¬bok bangunan masjid, istana dan gedung-gedung.
Masjid Ummayah di Damasku
Sumber: Wikipedia
Di antara kemajuan dalam bidang ini dapat dilihat pada dinding Qushir Amrah, istana mungil Amrah. Bangunan ini merupakan sebuah istana musim panas yang terletak di daerah pegunungan, sebelah Timur Laut Mati sekitar 50 mil dari kota Amman, Yordania. Istana yang dibangun oleh khalifah al-Walid bin Abdul Malik ini dirancang untuk tempat peristirahatan pada musim panas dan waktu berburu, se¬hingga tempat tersebut sering disebut dengan istana ber¬buru.
c. Seni bangunan atau arsitektur.
Para penguasa dinasti Bani Umayah tidak hanya mampu menjalankan pe¬me¬rin¬tahan dan persoalan-persoalan politik militer, mereka juga memiliki cita rasa seni yang tinggi, terutama cita rasa dalam seni bangunan. Oleh karena itu, banyak para penguasa dinasti Bani Umayah mahir dalam seni ar¬sitektur. Mereka mencurahkan perhatian demi kemajuan bidang ini. Di antara hasil kreatifitas sebagai bentuk per¬wu¬judan cita rasa seni rupa itu adalah berdirinya sejumlah bangunan megah, misalnya masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina, ter¬ke¬nal dengan Kubbah al-Sakhra, yaitu kubah batu yang didi¬ri¬kan pada masa peme¬rintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 691 M. Bangunan itu me¬rupakan salah satu peninggalan terindah dari masa kejayaan dinasti Bani Uma¬yah. Bangunan masjid tersebut merupakan ba¬ngunan masjid yang ditutup atap¬nya dengan kubah. Selain itu, Abdul Malik juga membangun masjid al-Aqsa yang tidak kalah tinggi nilai seni arsitekturnya. Dengan gaya arsitaktur tinggi juga terdapat di Da¬mas¬kus yang dibangun oleh al-Walid bin Abdul Aziz sebagai masjid istana. Ruangan masjid ini dihiasi berbagai ornamen yang terbuat dari batu pualam (marmer) dengan bentuk mosaik yang indah.
Masji al-Aqsha, Palestina
Sumber: Wikipedia
5. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
Meskipun para penguasa dinasti Bani Umayah lebih mengutamakan usa¬ha pe¬ngembangan wilayah kekuasaan dan memperkuat angkatan bersenjatanya, ternyata ba¬nyak juga usaha positif yang dilakukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu cara untuk mendorong agar ilmu pengetahuan itu ber¬kembang adalah de¬ngan memberikan motivasi dan anggaran yang cukup besar yang diberikan untuk pa¬ra ula¬ma, ilmuan, seniman dan satrawan. Tujuannya antara lain agar para ulama, para il¬mu¬an, sastrawan dan seniman, bekerja secara maksimal dalam mengem¬bangkan ilmu pe¬ngetahuan Islam, dan tidak lagi memikirkan masalah keuangan rumah tangga mereka.
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu adalah ilmu agama, ilmu sejarah dan geografi, dan ilmu kedokteran. Untuk mengetahui me¬ngenai per¬kem¬bangan ilmu-ilmu tersebut, berikut uraiannya.
a. Ilmu-ilmu agama. Di antara ilmu-ilmu agama yang mengalami
perkem¬bangan pada masa ini adalah ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu fiqih. Ilmu al-Qur’an telah mengalami perkembangan lebih awal daripaa ilmuhadis. Sebab proses pembukuan ilmu hadis ba¬ru terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101H). Sejak saat itu, ilmu hadis mengalami per¬kem¬bangan dengan pesat. Sementara ilmu fiqih baru mengalami per¬kem¬bangan pada ma¬sa-masa sesudahnya. Di antara ahli hadis yang sangat ber¬ja¬sa dalam pengem-bangan ilmu hadis adalah al-Zuhry.
b. Ilmu sejarah dan geografi. Ilmu ini juga mengalami perkem¬bang¬an yang cu¬kup baik pada masa ini. Salah seorang sejarawan yang telah berhasil men¬ca¬tat be¬r¬bagai peristiwa sejarah yang terjadi pasa masa pemerintahan sebe¬lum¬nya dan masa pemerintahan di¬nasti Bani Umayah adalah Ubaid bin Syaryah al-Jurhumi. Ia di¬pe¬rintah oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menulis bu¬ku se¬ja¬rah ma¬sa lalu dan masa Bani Umayah. Di antara karyanya adalah Kitab al-Muluk wal akhbar al-Madhi (Buku catatan sejarah raja-raja masa lalu). Selain Ubaid bin Syar¬yah al-Jurhumi, terdapat sejarawan lain, yaitu Shuhara Abdi, yang menulis buku kitabul amsal.
c. Ilmu kedokteran. Ilmu ini belum mengalami kemajuan berarti pa¬da masa pe¬merintahan dinasti Bani Umayah. Tetapi pada masa pemerintahan al-Wa¬lid bin Abdul Malik telah terjadi perkem¬bangan yang cukup baik dalam bidang il¬mu kedokteran, karena pada tahun 88 H/706 M, ia telah berhasil mendirikan sekolah tinggi kedokteran. Al-Walid memerintahkan kepada pa¬ra dokter un¬tuk melakukan berbagai kegiatan riset dengan anggaran yang cukup. Para dokter yang bertugas di lembaga tersebut digaji oleh negara. Al-Walid mela-rang para penderita penyakit kusta men¬ja¬di pengemis di jalan-jalan. Untuk itu, bahkan khalifah telah me¬nyediakan dana khusus bagi para penderita penyakit kusta.
6. Orientasi dan Kebijakan Politik Bani Umayah :
Perluasan Wilayah dan Pengembangan infrastruktur
Kebijakan politik dinasti Bani Umayah, selain melakukan konsolidasi ke dalam dengan melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pemerintahan, juga melakukan upaya ekspansi wilayah kekuasaan. Ekspansi ini selain bertujuan menyebarkan misi Is¬lam, juga memperluas pengaruh kekuasaan Islam kepada masyarakat yang masih be¬lum tunduk di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah. Di antara usaha perluasan yang dilakukan pada masa dinasti Bani Umayah adalah sebagai berikut:
a. Penaklukan Afrika Utara
Selama masa pemerintahannya, Muawiyah bin Abi Sufyan telah mela-ku¬kan ber¬bagai kebijkan untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Hal itu dila¬kukan se¬te¬lah ia berhasil melakukan pengamanan situasi di dalam negeri. Muawiyah segera melakukan pengerahan pasukannya untuk menga¬dakan upa¬ya perluasan wilayah kekuanan. Salah satunya adalah upaya pe¬naklukan ke wilayah Afrika Utara.Upaya ini merupakan salah satu peristiwa penting dan bersejarah selama masa-masa kekua¬saannya 661-680 M).
Usaha ini dilakukan Muawiyah, karena para penjajah bangsa Romawi terus me¬lakukan perlawanan di wilayah Afrika Utara. Perlawanan bangsa Romawi ini sa¬ngat mengganggu usaha dan kerja gubernur ‘Amr bin al-‘Ash yang sedang memim¬pin wila¬yah Mesir. Oleh karena itu, Muawiyah bin Abi Sufyan memerintahkan ‘Amr bin al-‘Ash untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk itu, ‘Amr bin al-‘Ash mengir¬im seorang jen¬deral bernama Uqbah bin Nafi’.Usahnya ini berhasil, sehingga ia dan pasukannya menguasa kota Qairuwan hingga ke selatan Tunisia pada tahun 50 H/670 M. Kota Qai¬ruwan kemudian dijadikan sebagai benteng perta¬hanan dan pusat pemerintahan pro-vinsi dan pangkalan militer untuk wilayah Afrika Utara. De¬ngan kekuatan militer dan pertahanan yang cukup memadai, akhirnya pasukan Ro¬mawi dapat dikalahkan dan ter¬usir hingga ke sebuah pulau kecil di Afrika Utara. Pu¬lau itu bernama Septah atau Ceu¬ta.
Meskipun bangsa Romawi berhasil diusir dan dikalahkan pada tahun 50/670 M, bangsa Romawi berhasil mempengaruhi bangsa Barbar untuk melakukan perla¬wanan terhadap bangsa Arab Muslim. Oleh karena itu, Uqbah bin Nafi’ melakukan serangan kembali. Namun sebelum usaha itu berhasil, Muawiyah mengganti guber¬nur Uq¬bah bin Nafi. Posisi Uqbah kemudian digantikan oleh Abul Muhajir. Di ba¬wah kepemim¬pinan Abul Muhajir, pasukan muslim berhasil menaklukkan suku Barbar dan mengajak mere¬ka untuk masuk Islam.
Gambar Peta Wialayah Islam pada Masa Muawiyah
Sumber: Wiikipedia
Keterangan:
██ Peta penyebaranIslam jaman Nabi Muhammad, 612-632
██ Peta Penyebaran Islam jaman al-khulafa al-Rasyidin, 635-661
██ Peta Penyebaran Islam jaman Bani Umayah , 661-750
b. Penaklukkan Konstatinopel.
Salah satu ambisi Muawiyah adalah mengadakan penyerangan ke ibu kota By¬zantium, yaitu Konstantinopel.Untuk maksud ini, Muawiyah telah mem¬per¬siap¬kan se¬buah pasukan besar terdiri dari 1700 kapal perang lengkap dengan berbagai peralatan tempur. Pasukan ini dipimpin oleh putera kesa-yangannya, yaitu Yazid bin Abi Sufyan. Pasukan perang ini kemudian menuju ke pulau-pulau yang berada di sekitar Laut tengah. Pada tahun 53 H, pasukan Yazid berhasil menguasai pu¬lau Rho¬desia. Tahun 54 H berhasil menaklukkan pulau Kreta. Dari situ pa¬sukan umat Islam terus melanjutkan perjalannya hingga akhirnya dapat me¬naklukkan pulau Sicilia dan pualu Arwad yang tidak jauh dari Kons¬tan¬ti¬no¬pel.
Setelah berhasil menaklukkan pulau-pulau di Laut Tengah, pasukan umat Islam mempersiapkan diri di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Auf untuk menak¬luk¬kan Konstan¬tinopel. Dalam rombongan pasukan ini, ikut pula Abu Ayyub al-Ashary, Ab¬dullah bin Zubeir, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, selain Yazid bin Mua¬wiyah. Tiba di dekat kota Konstantinopel, pasukan Islam melakukan pe¬nge¬pungan selama lebih ku¬rang 7 tahun. Tetapi karena kuatnya benteng per¬ta¬hanan dan pasu¬kan Islam diserang dari berbagai arah, akhirnya usaha pe¬nak¬luk¬kan kota tersebut mengalami kegagalan. Dalam misi ini, salah se¬orang tokoh Islam gugur, yaitu Abu Ayyub al-Anshary. Usaha penak¬luk¬kan kota ini terus di¬lakukan pada masa-masa sesudahnya, dan baru dapat di¬kua¬sai umat Islam pada masa pemerin¬tahan dinasti Usmani, ketika Muhamad al-Fatih menakluk¬kan kota itu pada tahun 1453 M.
c. Usaha perluasan wilayah ke Timur.
Usaha perluasan wilayah kekuasaan Bani Umayah tidak hanya dila¬ku-kan ke ba¬gian barat, seperti Mesir dan Afrika Utara hingga kepulauan Laut Tengah, juga dila¬ku¬kan ke wilayah Timur, seperti Turkistan, Sijistan, Balkh dan lain-lain. Pada tahun 44 H, Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim pasukan di ba¬wah pimpinan al-Muhallab bin Sha¬farah untuk menaklukkan wilayah Sindus, yaitu daerah yang membentang mulai dari Kabul hingga Multan. Dalam usaha ini al-Muhallab berhasil menaklukkan daerah-dae¬rah tersebut, tanpa mengalami banyak hambatan. Karena pasukan Islam begitu kuat, se-mentara pasukan lawan tidak.
Selain itu, usaha yang dilakukan pasukan Islam ini tidak hanya menggunakan kekuatan militr, juga melalu pendekatan kemanusiaan dan keagamaan, sehingga ba¬nyak di antara merreka yang menerima umat Islam dengan senang hati. Tanpa mela¬ku¬kan perlawanan. Usaha perluasan wilayah kekuasaan Islam yang dilakukan oleh kha¬lifah Muawiyah ini berhasil menam-bah luas wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah ini. Sehingga luas wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah meliputi wila¬yah ja¬zirah Arabia, Anak Benua India, Afrika, dan sebagian kepulauan Laut Tengah. Dengan ke¬mauan keras dan ambisi pribadinya, Muawiyah berhasil meng¬ga¬bungkan.
Usaha perluasan wilayah terus dilakukan, bahkan lebih intensif lagi, terutama pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abdul Malik (50-96 H/668-715 M). yang melakukan perluasan wilayah ini hingga mencapai Eropa. Berikut uraian singkatnya.
d. Penaklukan Asia Tengah
Wilayah Asia Tengah di kepulauan Transoxania, tanah air bangsa Tur¬ki ter¬diri dari beberapa kerajaan kcil, seperti kerajaan Balkh, Bukhara, Far¬ghana dan Kha¬warizm. Kerajaan-kerajaan kecil ini selama masa peme¬rin¬tahan di¬nasti Bani Umayah seringkali mengganggu aktifitas politik peme¬rintahan. Un¬tuk menyele¬saikan gang¬guan tersebut, pemerintan Bani Umayah pernah mengirim Yazid bin Muhallab, Te¬tapi karena ia di¬pan¬dang oleh Hajjaj bin Yu¬suf tidak mampu meng¬a¬tasi persoalan ter¬sebut, Hajjaj memecat dari jabat¬an¬nya sebagai penglima militer di wilayah tersebut. Kemudian Hajjaj meng¬u¬tus Qutaibah bin Muslim al-Bahily menggantikan kedu¬duk¬annya sebagai peng¬lima mi¬liter.
Setelah menjadi panglima yang diberi kepercayaan oleh Hajjaj bin Yu-suf, Qu¬tai¬bah bin Muslim berhasil mengatasi berbagai pemberontakan dan ge-jolak sosial politik di wilayah Asia Tengah. Wilayah-wilaha yang melaku¬kan perla¬wan¬an terse¬but kemudian dikuasai dan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam Bani Uma¬yah. Usaha pe¬nye¬rangan pertama dilakukan Qutai-bah ke wilayah Balkh ibu kota Turkistan pada tahun 705 M. Kota tersebut dapat dikuasai dengan mudah. Raja-raja di negeri ini menyerah kepada Qutaibah dan menyatakan bersedia membayar pajak kepada pemerintahan pu¬sat di Damaskus.
Selesai menaklukan Turkiskan, Qutaibah melanjutkan penaklukan ke wila¬yah Bukhara. Setelah melalui pertempuran kecil, Qutaibah berhasil menguasi ne¬geri Bu¬khara tersebut. Kemudian sekitar tahun 710 M, Qutaibah menyeberangi Selat Oxus dana berhasil mengalahkan raja Khawarizm.
Ketika mendengar adanya gerakan pemberontakan di wilayah Khura-san, ia kembali ke Khurasan dan berhasil mengatasi para pemberontak yang ingin memi¬sahkan diri dari pmerintahan diniasti Bani Umayah. Selama lebih kurang dua ta¬hun, Qutaibah berhasil menaklukan dan menguasai wilayah Timur lain¬nya. Se¬hingga seluruh kota di wilayah Farghana dan per¬batasan daratan Cina dapat dikuasainya dan menjadi wilayah jajahan dinasti Bani Umayah. Kemudian pada tahun 714 M Qutaibah melakukan se¬rangan ke negeri Cina-Turkistan dan berhasil menguasai kota Yashgar. Namun setelah kematian khalifah al-Walid pada tahun 96 H/715 M, wilayah ini melepaskan diri dari pemerintahan dinasti Bani Umayah. Usaha merebut kota ini kemu-dian dilanjutkan pada masa-masa pemerintahan Islam lainnya.
e. Penaklukan kembali wilayah Afrika Utara
Pada masa-masa khalifah sebelumnya, terutama masa Abdul Malik bin Mar¬wan (65-86 H/685-705 M), beberapa wilayah Afrika Utara berhasil dikuasai oleh pa¬sukan Uqbh bin Nafi’ dan panglima Abul Muhajir. Namun setelah per-gantian kekha¬lifahan di Damaskus, wilayah Afrika Utara melepas¬kan diri. Bangsa Barbar terus me¬lakukan ge¬rakan pemberontakan untuk mele¬paskan diri dari pemerintahan dinasti Bani Umayah. Usaha untuk tetap mem-pertahankan wilayah Afrika Utara yang diang¬gap sa¬ngat pen¬ting bagi peme-rintahan dinasti Bani Umayah ini, terus dilakukan, khususnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik. Untuk mengatasi berbagai pem-beronntakan yang terjadi di wilayah ini, khalifah al-Walid bin Abdul Malik mengirim pasukan di ba¬wah pimpinan Musa bin Nushair. Selain sebagai pang¬lima, Musa bin Nushair juga men¬jabat sebagai gubernur di wilayah Afrika Utara.
Berbagai gangguan dan gerakan pemberontakan yang dilakukan suku Bar¬bar dan orang-orang Romawi, dapat diatasi oleh Musa bin Nushair. Sehingga be¬berapa wi¬layah Laut Tengah dapat dikuasai, seperti kota Mayor-ca, Minorca, Ivica, dan wi¬layah perbatasan Spanyol. Keberhasilan Musa bin Nushair menguasai wi¬layah Afrika Utara membuka jalan bagi tentara Islam untuk menklukan wilayah Spanyol di Eropa.
f. Penaklukan Spanyol( Andalusia)
Penaklukan Spanyol merupakan peristiwa penting dalam perjalanan seja¬rah umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah (661-750 M). Pe¬naklukan Spanyol dapat dilakukan pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Ab¬dul Malik. Spanyol merupakan wilayah bagian kerajaan Romawi. Ketika penguasa se¬tempat dikalahkan oleh pasukan Gothic, Spanyol memasuki periode peme¬rin¬tah¬an yang lalim dan korup. Para penguasanya menindas dengan kejam ma¬syarakat yang ke¬banyakan para petani. Para petani ini dibebani dengan pajak yang sangat berat. Se¬men¬tara kelas menengah-atas, yang kebanyakan kaum bangsawan dan orang kaya, dibe¬bas¬kan dari berbagai pungutan pajak. Kaum budak benar-benar tertindas. Mere¬ka tidak memiliki kebebasan sama sekali. Bahkan mereka tidak diberi kesem¬patan untuk mela¬kukan pernikahan.
Sementara itu, para pemeluk agama Yahudi dipaksa untuk memeluk aga¬ma Kristen. Mereka yang melakukan perlawanan dan pemberontakan dibantai habis. Pen¬dek kata, para penguasa ketika itu sangat berindak di luar batas ke¬manusiaan. Para pe¬nguasa memaksakan kehendaknya untuk kepuasan pribadi. Masyarakat dibiarkan men¬derita dan sengsara. Kenyataan ini sangat berbeda de¬ngan kenyataan yang ada di wila¬yah-wilayah Islam.
Keberhasilan Roderick menguasai wilayah Spanyol membuat dirinya ber¬ambisi untuk menguasai wilayah Afrika Utara. Sehingga kepulauan Ceuta (Sep¬tah) yang di¬kuasai De Graft Julian dikuasai Roderick. Terusirnya raja Julian dari wilayah Ceuta, membuat dirinya tidak punya pi¬lihan lain kecuali meminta bantuan kepada penguasa Afrika Utara, yaitu guber¬nur Musa bin Nushair. Julian meminta bantuan kepada Musa bin Nushair untuk mengusir Roderick dari wilayah kekuasaannya. Permintaan itu di¬sambut dengan baik oleh Musa bin Nushair. Tetapi sebelum ia melancarkan serangan guna membantu Julian, Musa bin Nushair meminta ijin kepad khalifah al-Walid bin Ab¬dul Malik. Permohonan tersebut dikabulkan oleh khalifah al-Walid.
Sebelum melakukan serangan ke wilayah Spanyol, Musa bin Nushair ter¬le¬bih dahulu mengutus orang kepercayaannya bernama Tharif bin Malik untuk me¬nye¬lidiki keadaan di Spanyol. Penyelidikan ini mendapat bentuan dari Julian be¬rupa pe¬minjaman kapal layar untuk berlayar ke Spanyol. Dari hasil penye¬li¬dikan itu, Tharif memberikan data dan informasi penting mengenai keadaan sebenarnya dan dari daerah mana ten¬tara Islam akan masuk.
Dari data dan informasi itu, Musa bin Mushair mempersiapkan pasukan se¬kitar 7.000 tentara untuk melakukan penyerangan ke Spanyol. Untuk me¬mim¬pin penye¬rang¬an itu, Musa bin Nushair memberikan keprcayaan kepada Thariq bin Zi¬yad. Berbekal informasi dan data yang diperoleh Tharif bin Malik, akhirnya Thariq bin Ziyad berhasil memasuki wilayah benteng pertahanan Spanyol di se¬buah selat, yang kemudian selat ini dikenal dengan sebutan Selat Jabal Thariq atau Giblaltar. Penaklukan ini terjadi pada tahun 711 M. Dari selat Giblaltar ini, Thariq bin Ziyad dan pasukannya merangsek ma¬suk ke wilayah kekuasaan Roderick di Spanyol. Roderick terdesak hingga ke te¬bing su¬ngai Guadalete. Karena terdesak, Roderick mencerburkan diri ke sungai ter¬sebut dan tewas. Setelah berhasil mengalahkan Roderick, Thariq dan pasuk¬an¬nya menguasai Sidonia, Carmona dan Granada.
Setelah berhasil menguasai wilayah tersebut, Thariq membawa pasukan¬nya un¬tuk menguasai Cordova dan Toldo, ibu kota pemerintahan Spanyol. Jadi da¬lam wak¬tu yang singkat, Thariq bin Ziyad dan pasukannya berhasil dengan mu¬dah mengua¬sai Spanyol. Keberhasilan Thariq bin Ziyad menguasai Spanyol membangkitkan ke¬inginan Musa bin Nushair mengunjungi wilayah itu. Karena itu, sekitar tahun 712 M, Musa bin Nushair membawa 18.000 pasukannya ke Spanyol dan mendarat di wilayah itu pada bulan Juli 712. Dengan mudah Musa menaklukan wilayah Seville dan sejumlah kota kecil lainnya. Di dekat kota Toledo, Musa bin Nushair menjum-pai Thariq bin Ziyad. Pa¬da kesempatan itu, Musa bin Mushair memarahi Thariq yang tidak mela¬porkan harta rampasan perang. Tetapi akhir¬nya keduanya menca¬pai kesepakatan untuk bekerjasama dan membentuk pa¬sukan gabungan Islam gu¬na me¬lancarkan se¬rangan lebih jauh ke wi¬layah Spa¬nyol lainnya. Pasukan ga¬bungan ini berhasil meng¬uasai Sarragosa, Terragona, dan Barcelona. Setelah itu, pa¬sukan Musa bin Nushair mengerahkan pasukannya untuk menaklukan wilayah Eropa lainnya.
Peta wilayah Islam di Andalusia
Sumber: Wikipedia
Namun, sebelum ia berhasil menguasai Eropa, Musa bin Nushair dipang¬gil ke istana khalifah al-Walid. Sebab khalifah mendengar adanya informasi me¬ngenai per¬la¬kuan kasar yang dilakukan Musa kepada Thariq. Khalifah memang¬gilnya untuk kem¬bali dan menemuninya di Damaskus. Tetapi sebelum ia me¬ninggalkan Spanyol, Musa bin Nushar menetapkan akanya yang bernama Abdul Aziz sebagai raja muda di Spa¬nyol. Abdullah sebagai gubernur Afrika Utara dan Abdul Malik sebagai guber¬nur Ma¬roko. Dengan membawa harta rampasan yang banyak, Musa bin Nushair per¬gi menuju Damaskus untuk menyerahkan harta rampasan tersebut. Namun sebelum Musa sampai di Damaskus, khalifah al-Walid meninggal dunia pada tahun 96 H/715 M.
Terlepas dari konflik antara Musa bin Nushair dengan Thariq bin Ziyad, yang keberhasilan tentara Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nu¬shair ini membawa citra bagi umat Islam. Sebab penaklukan Spanyol mem¬buka lem¬baran ba¬ru dalam perjalanan sejarah politik militer umat Islam, khu¬susnya pada masa dinasti Ba¬ni Umayah (661–750 M). Karena umat Islam telah membebaskan ma¬syarakat Spanyol dari kekejaman dan kelalimaman penguasa Roderick.
Jatuhnya Spanyol dan beberapa kota penting di negeri itu, membuka jalan ba¬ru bagi upaya umat Islam untuk menyebarkan Islam ke seluruh Eropa. Namun sa¬yang, konflik intern kemudian menjadi penyebab utama kehancuran penguasa Islam di Spa¬nyol dan menyebabkan mereka terusir dari negeri itu ada tahun 1492 M.
C. Perkembangan Peradaban Islam Periode Klasik:
Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132-656 H/750- 1258 M), me¬rupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengem¬bangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monu¬men¬tal dalam berbagai bidang ilmu penge-tahuan, peradaban Islam, sosial budaya, dan se¬ba¬gainya, tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inlah yang menjadi ujung tombak di dalam pengembangan ilmu penge¬ta¬huan dan peradaban Islam serta kemajuan sosial budaya.
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa peme¬rin¬tah¬an dinasti Ababsiyah di dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, ter¬masuk kemajuan dalam bidang sosial dan budaya. Untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan sosial budaya yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, berikut uraiannya.
1. Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya
Selama masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah (7501258 M), ba¬nyak per¬kembangan yang terjadi, di antaranya adalah perkembangan bah¬kan kemajuan dalam bidang sosial budaya. Di antara perkembangan itu adalah bidang :
a. Seni Bangunan dan Arsitektur:
1. Seni Bangunan dan Arsitektur Masjid.
Masjid merupakan banguan tempat ibadah umat Islam yang meru-pakan wakil paling menonjol dari arsitektur Islam. Oleh karena itu, masjid merupakan seni arsitektur Islam yang tidak ada tandingannya. Arsitektur Islam yang berkembang pada masa di¬nasti Bani Abbasiyah masih mengacu pada perkembangan seni arsitektur Islam pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa Nabi, al-Khulafa al-Rasyidun, dan masa Bani Uma¬yah. Salah satu bengunan masjid yang didirikan pada masa pemerintahan Bani Abbas adalah bangunan masjid Samarra, di Bagdad. Masjid ini sangat indah yang me¬wakili ke¬indahan seni arsitektur pada jamannya. Masjid ini dilengkapi oleh sahn, sebuah leng¬kungan menyerupai bentuk piring. Se¬ke¬li¬ling pinggir sahn dilengkapi dengan se¬rambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Umumnya masjid tidak menggunakan daun pintu, begitu juga masjid Sa¬marra. Pintu-pintu terbuka ini berujung pada satu titik. Dengan demikian, terlihat ba¬risan pintu yang berbentuk kerucut.
Hal penting lainnya dari gaya dan seni arsitektur masjid Samarra adalah tiang-tiang yang dipasang beratap lengkung. Tiang-tiang tersebut di-bangun dengan meng¬gunakan batu bata. Tiang-tiang yang dibangun dari batu bata itu berbentuk segi de¬la¬pan dan didirikan di atas dasar segi empat. Kemudian dasar-dasar ini ditopang oleh ti¬ang-taing dari marmer bersegi delapan. Kemudian disambungkan ke bagian lain deng¬an mempergunakan logam atau besi berbentuk lonceng. Masjid ini merupakan bang¬un¬an yang memiliki seni arsitektur sangat megah pada jamannya.
Selain masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur bangunan yang luar biasa, masjid Ibnu Thulun juga memiliki keistimewaan dari segi seni bangunan atau arsi¬tek¬turnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 M oleh Ahmad bin Thulun, salah seorang pe¬nguasa di wilayah Mesir.
Masji al-Mustanshiriyah, Bagdad.
Sumber: Wikipedia
2. Seni Bangunan Kota
Peradaban Islam mengalami masa keemasan pada masa peme¬rin¬tah¬an dinasti Bani Abbasiyah (750-1258 M). Seni bangunan Islam yang pada mulanya hanya seder¬ha¬na yang menjelma dalam bentuk masjid, kemudian berangsung-angsur merambah ke seni bangunan lain, setelah umat Islam memperoleh pengetahuan dan tehnik dari te¬na¬ga ahli dari wilayah-wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Meskipun begitu, seni bangunan Islam masih mempunyai ciri khas dan gayanya yang tersendiri, yang terwujud dalam bentuk pilar, lengkung kubah, hiasan lebah ber¬gantung (muqarnashat) yang menonjol bersusun di depan masjid dan di menara tempat adzan ataupun di puncak pilar. Pembanguan kota-kota baru dan pembaharuan kota-kota di seluruh wilayah pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, telah membuka jalan bagi pembangunan gedung-gedung, istana, masjid dan sebagainya. Di antara sekian banyak kota yang dibangun dalam masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah adalah kota Bagdad, yang dibangun oleh Abu Ja’far al-Mansur (136-158 H/754-775). Tempat yang dipilih untuk membangun kota itu adalah lokasi di tepi sungai eufrat ( furat) dan dajlah (tigris). Pembangunan ini diarsiteki Hajjaj bin Arthah dan Amran bin Wadldlah, dua orang arsitek terkenal saat itu. Tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan kota ini sekitar 100.000 orang.
Arsitektur kota Bagdad berbentuk bundar, gaya baru dari seni bangunan kota Islam. Di pusat kota, dibangun istana khalifah dan masjid jami’. Di sekeliling istana dan masjid terdapat alun-alun, selain ada asrama pengawal, rumah komandan pengawal dan rumah kepala polisi. Di sekitar pemukiman itu, barulah dibangun rumah-rumah untuk para putera khali¬fah dan kerabatnya, para pegawai dan para inang pengasuh istana. Setelah itu, barulah dibangun istana-istana para menteri dan pembesar negara la¬in¬nya.
Di sekeliling kota, dibangun pagar tembok yang sangat kuat dan tinggi, dengan empat pintu masuk dari empat penjuru. Selain itu, kota di¬hi¬asi dan dilengkapi dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan masjid dan berbagai tempat rekreasi. Se¬lain itu, pembagian kota dilakukan secara teratur, ada daerah pe¬rumahan, daerah pasar, daerah industri dan sebagainya. Masing-masing da¬erah memiliki perang¬kat yang dibu¬tuhkan bagi pembangunan dan pe¬ngem¬bangan daerah tersebut.
Istana yang dibangun oleh khalifah al-Mansur di pusat kota bernama Qashru al-Dzahab (Istana Keemasan) yang luasnya sekitar 160.000 hasta persegi. Sedang masjid jami’ di depannya memiliki luas aeral sekitar 40.000 hasta persegi. Istana dan masjid tersebut merupakan simbol pusat kota. Dari setiap sudut perempatannya terdapat jalan raya utama ke arah luar kota. Di kiri kanan jalan tersebut dibangun gedung-gedung indah dan ber¬tingkat.
Dalam waktu yang relatif singkat, Bagdad menjadi kota yang ramai dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, sekitar tahun 157 H, khalifah al-Mansur membangun istana baru di luar kota yang diberi nama Istana Abadi (Qashrul Khuldi). Khalifah al-Mansur membagi kota Bagdad menjadi empat daerah, yang masing-masing daerah dikepalai oleh seorang naib amir (wakil gu¬ber¬nur) dan tiap-tiap daerah diberi hak mengurusi wilayah sendiri, yaitu daerah yang otonom.
2. Perkembangan dan Kemajuan Bahasa dan Sastra
Perkembangan seni bahasa dan kesusastraan, baik puisi maupun prosa menga¬lami kemajuan yang cukup berarti. Hal itu disebabkan karena basasa dan kesusatraan merupakan salah satu perhatian besar para pe¬ng¬u¬asa Bani Abbas dan juga para ahli bahasa dan seniman. Untuk mengetahui hal tersebut, berikut uraian singkatnya:
a. Perkembangan Puisi.
Berbeda dengan masa pemerintahan dinasti Bani Umayah yang be¬lum banyak melahirkan sastrawan yang membawa aliran baru. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, terjadi perubahan dan perkembangan puisi de¬ngan aliran baru dalam sajak-sajaknya, baik isi, uslub, tema ataupun sa¬sar¬annya, sehingga dalam hal-hal tersebut para sastrawan pada jaman peme¬rintahan Bani Abbas mengungguli keterampilan para sas¬trawan sebelum¬nya.
Para penyair pada masa pemerintahan Bani Umayah, masih kental dalam mem¬pertahankan keaslian warna Arabnya, sehingga mereka meng-hindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab. Sedangkan para sas-trawan pada jaman pemerintahan Ba¬ni Abbas, telah melakukan perubahan kebiasaan tersebut. Mereka telah mampu meng¬kom¬bina¬sikan¬nya dengan sesuatu yang bukan berasal dari tradisi Arab. Oleh karena itu, pada masa ini sajak-sajak memiliki ciri khas, seperti :
1. Penggunaan kata uslub dan ibarat baru.
2.Pemakaian pengertian-pengertian baru karena mereka memiliki imajinasi yang cukup luas dan kemampuan menyadur dari sum¬ber lain.
3. Pemujaan yang berlebihan terhadap sesuatu.
4. Penciptaan sajak yang melukiskan khamar dan sajak cabul.
5. Pengutaraan sajak lukisan yang hidup.
6. Pemakaian sajak ratapan.
7. Penyusupan ibarat filsafat untuk memperkembang ilmu akal.
8. Penggunaan keindahan kata (badi’)
9. Pengutaraan cinta kasih.
10. Perombakan adat kebiasaan lama dalam persajakan.
11. Kalahiran kritikus sastra dalam jaman ini.
Perubahan tersebut disebab¬kan oleh be¬berapa faktor. Faktor-faktor tersebut Antara lain adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya perubahan corak dan tata nilai kehidupan.
2. Terjadinya evolusi kehidupan material.
3. Terjadi peluasan makna kebangsaan yang telah melampaui batas- batas jazirah Arabia.
4. Pengaruh kebudayaan asing, terutama kebudayaan Persia.
5. Dukungan kuat dari para khalifah dan para pembesar istana lain¬nya.
Oleh karena itu wajar kalau kemudian pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak bermunculan penyair terkenal. Di antara meraka adalah se¬bagai berikut:
1. Abu Nuwas (145-198 H). Nama aslinya adalah Hasan bin Hani’. Se¬orang penyair naturalis yang sangat perindu, pelopor pembawa aliran baru dalam dunia sastra Arab Islam.
2. Abu ‘Athahiyah (130-211 H). Nama aslinya adalah Ismail bin Qasim bin Suwaid bin Kisan. Penyair ulung pembawa perubahan, melepaskan diri dari ikatan-ikatan lama, menciptakan gaya dan pengertian baru dalam dunia sastra.
3. Abu Tamam (wafat 232 H). Nama aslinya adalah Habib bin Auwas ath-Tha’i. Penyair terkenal dengan ratapannya. Memiliki kemampuan menciptakan ibarat yang dalam dan menyusun uslub yang me¬na¬wan.
4. Da’bal al-Khuza’i (wafat 246 H). Nama aslinya adalah Da’bal bin Ali Razin dari Khuza’ah. Penyair besar yang berwatak kritis. Hampir se¬mua karya sastra dan sastrawannya mendapat kritikan tajam dari penyair ini.
5. Al-Buhtury ( 206-285 H). Nama aslinya adalah Abu Ubadah Walid al-Buhtury al-Quhthany ath-Tha’i. Penyair pemuja dan pelukis alam mempersona.
6. Ibnu Rumy (221-283 H). Nama aslinya adalah Abu Hasan Ali bin Abbas. Penyair yang paling berani menciptakan tema-tema barudan paling mampu mengubah sajak-sajak panjang.
7. Al-Mutanabby (303-354 H). Nama aslinya adalah Abu Thayib Ahmad bin Husin al-Kufy. Penyair istana yang haus hadiah, pemuja yang pa¬ling handal.
8. Al-Mu’arry (363-449 H). Nama aslinya adalah Abu A’la al-Mu’arry. Penyair ber¬bakat yang memiliki pengetahuan luas dan menjadi ke-sayangan ulama, para menteri danpara pejabat pemerintahan.
Selain para penyair yang telah disebutkan di atas, masih banyak pe-nyair yang muncul pada masa pemerintahan Bani Abbas yang memiliki an¬dil cukup besar di dalam perkembangan ilmu bahasa dan kesusastraan Is¬lam.
b. Perkembangan Prosa.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, telah terjadi perkem-bangan yang sangat menarik dalam bidang prosa. Hal itu disebabkan antara lain karena dukungan para penguasa dan kemampuan personal yang dimi¬liki masing-masing sastrawan. Ba¬nyak buku satra dan novel, riwayat, kum¬pu¬l¬an nasihat dan uraian-uraian sastra yang di¬karang atau disalin dari ba¬ha¬sa asing. Di antara tokoh dan pengarang terkemukan pada masa pemerin¬tah¬an dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Abdullah bin Muqaffa (wafat tahun 143 H). Ia telah merintis jalan baru bagi para pengarang prosa. Abdullah telah mengarang berbagai bu¬ku prosa, di antaranya adalah Kalilah wa Dimnah. Kitab ini ter¬je¬mah¬an dari bahasa Sansekerta, karya seorang filosuf India bernama Bai¬da¬ba. Karya ini berisi tentang kisah binatang dan burung yang ber¬in¬tikan filsafat akhlak untuk membina budi pekerti dan mem¬bangun jiwa. Ia menyalin ke dalam bahsa Arab dengan bagus sekali. Karya Ab¬dullah kedua adalah Kitabul Adabish Shagir, yang berisikan ten¬tang akhlak, fil-safat dan pergaulan. Karya lainnya adalah Risalah fil Akhlak, yang berisi ten¬tang akhlak.
2. Abdul Hamid al-Katib. Ia dipandang sebagai pelopor seni mengarang surat, se¬hingga cara-caranya mengarang surat kemudian menjadi aliran yang memiliki banyak pengikut.
3. Al-Jahidh (wafat 255 H). Nama lengkapnya adalah Abu Usman Umar bin Bahar bin Mahbub al-Kanany al- Lisy. Ia pengarang prosa angkatan kedua dalam jaman di¬nasti Abbasiyah. Ia telah mengarang banyak buku, di antaranya adalah Kitabul Bayan wat Tibyan, Kitabul Haya¬wan, Kitabul Mahasin wal Adidad, Kitabul Bukhala, Kitabut Taj. Semua karyanya ini memiliki nilai sastra tinggi, sehingga menjadi bahan rujukan dan bahan bacaan bagi para sastrawan kemudian.
4 Ibnu Qutaibah ( wafat 276 H). Nama lengkapnya adalah Muhamad bin Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dinawary. Lahir di Kufah pada tahun 213 H. Ia di¬ke¬nal sebagai ilmuan dan sastrawan yang sangat cerdas dan memiliki penge¬ta¬hu¬an yang sangat luas tentang bahasa dan kesusastraan, berani dan tegas. Ia penga¬rang pertama yang be¬rani melakukan kritik sastra. Karyanya yang ter¬ke¬nal antara lain adalah Uyunul Akhbar, Kitabul Ma’arif, al-Imamah was Siyasah, Adabul Katib, dan lain sebagainya.
5. Ibnu Abdi Rabbih (wafat 328 H). Nama lengakapnya adalah Abu Umar Ahmad bin Muhamad bin Abdu Rabbih al-Qurthuby. Ia seorang ulama yang memiliki penge¬tahuan tentang manusia, penyair berbakat yang memiliki kecenderungan ke sajak drama, sesuatu yang sangat langka dalam tradisi sastra Arab. Karya ter¬kenalnya adalah al-Aqdul Farid, semacam ensiklopaedia Islam yang memuat ba¬nyak ilmu pe¬ngetahuan Islam.
c. Perkembangan Seni Musik
Pada umumnya orang Arab memiliki bakat musik, sehingga seni su¬ara atau seni musik menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak jaman ja¬hiliah. Setelah mereka masuk Islam, baka musik terus berkembang dengan jiwa dan semangat baru. Al-Qur’an deng¬an bahasanya yang sangat indah memberi nafas baru bagi musik Arab, bahkan men¬do¬rong mereka untuk pengembangan baka musiknya. Hal ini terus berkembang pada masa Bani Umayah dan hingga Abbasiyah. Pada masa pemerintahan dinasti Abba¬si¬yah, musik Islam menga-la¬mi masa kejayaan. Karya dan pemikiran seniman tersebut me¬rupakan ben-tuk dari rasa cinta mereka terhadap Islam. Hal itu diawali dari :
1. Penyusunan Kitab Musik.
Kegiatan penterjemahan yang dilakukan oleh umat Islam ketika itu tidak hanya terbatas dalam bidang ilmu pengetahuan, sains dan filsafat, juga mencakup karya-karya musik. Karya musik yang mereka terjemahkan menambah wawasan pengetahuan me¬reka tentang musijk, sehingga lambat laun mereka mampu menciptakan karya musik Is¬lam. Bahkan dengan ke-mampuan yang mereka miliki, mereka mampu menciptakan karya baru dan menyempurnakan karya lama. Sehingga seni musik ini menjadi kha¬za¬nah peradaban umat Islam.
Di antara para pengarang karya kitab muski adalah sebagai berikut :
a. Yunus bin Sulaiman (wafat tahun 765 M). Beliau adalah pengarang teori musik pertama dalam Islam. Karyanya dalam bidang musik sangat bernilai, sehingga banyak musikus Eropa yang meniru gaya musik yang diciptakan oleh Yunus bin Sulaiman.
b. Khalil bin Ahmad (wafat tahun 791 M). Beliau mengarang buku-buku teori mu¬sik mengenai noot dan irama. Karya Khalil kemudian dija¬di¬kan sebagai ba¬han rujukan bagi sekolah-sekolah tinggi musik di se¬luruh dunia.
c. Ishak bin Ibrahim al- Mousuly, (wafat tahun 850 M). Ia telah berhasil mem¬perbaiki musik jahiliah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal ada¬lah Kitabul Ilhan wal Ghanam (buku noot dan irama). Karena begitu terkenalnya Ishak, dia mendapat gelar Raja Musik ( imamul mughanniyin).
d. Hunain bin Ishak (wafat tahun 873 M0. Ia telah berhasil me¬ner¬je-mahkan buku-buku teori musik karangan Plato dan Aristoteles yang berjudul Problemata dan De Anima dan karangan Gelen, De Voe.
e. Al-Farabi. Selain sebagai seorang filosuf, ia juga dikenal sebagai se-orang se¬ni¬man dan ahli musik. Karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan menjadi bahan rujukan bagi para seni¬man dan pemusik Eropa.
2. Pendidikan Musik.
Para khalifah dan pembesar istana Bani Ab¬bas memiliki perhatian yang sangat besar terhadap musik. Untuk ke¬pen¬tingan itu, banyak didirikan lembaga pendidikan musik. Sekolah musik yang paling baik adalah sekolah musik yang didirikan oleh Sa’a¬duddin Mukmin (wafat 1294 M). Karyanya berjudul Syarafiya menjadi bahan rujukan dan dikagumi masyarakat musik di dunia Barat.
Di antara latar belakang penyebab maraknya lembaga pendidikan musik ber¬munculan pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah adalah ka-rena kemampuan ber¬main musik menjadi salah satu syarat untuk men¬jadi pegawai atau untuk memperoleh pekerjaan di lembaga pemerintahan.
4. Kemajuan dalam Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, kegiatan pendidikan dan pe¬ng-ajaran men¬capai kemajuan yang gemilang. Sebagian khalifah Abba¬siyah me-rupakan orang berpen¬didikan. Sebenarnya, pada masa akhir pemerin¬tahan Bani Umayah kegiatan pendidikan telah tersebar di wilayah muslim, tapi baru pada masa pemerintahan Bani Abbaslah bi¬dang pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan pesat. Pada masa itu, mayoritas umat Islam mampu membaca dan menulis, mereka juga dapat memahami al-Qur’an. Pada masa ini, pendidikan tingkat dasar diselenggarakan di masjid-masjid, di mana al-Qur’an merupakan bahan rujukan wajib.
Selain itu, terdapat juga kegiatan pendidikan dan pengajaran di ru¬mah-rumah penduduk dan di tempat-tempat umum lainnya, misalnya mak¬tab. Terdapat juga se¬jum¬lah lembaga sekolah masjid-masjid, seperti zawiyah, hanqah dan lain-lain. Menurut kete¬rangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar diperguna¬kan se¬bagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar.Pendidikan pada masa pe¬me¬rintahan Bani Abbas tidak hanya diikuti oleh anak-anak pada tingkat dasar saja, juga terdapat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah dan madrasah nidza¬mi¬yah yang tidak hanya ada di Bagdad, juga ada Persia. Madrasah ini di¬di¬ri¬kan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir Sultan Saljuk antara tahun 1065-1067 M dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama yang ter-besar pada masa dinasti Ab¬basiyah.
Kurikulum pendidikan pada tingkat dasar terdiri dari pelajaran membaca, me¬nulis, tata bahasa, hadits, prinsip-prinsip dasar matematika dan pelajaran syair. Se¬dang¬kan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran tafsir al-Qur’an, pemba¬hasan kandungan al-Qur’an, sunnah Nabi, fiqh dan ushul fiqh, kajian ilmu kalam (teo¬logi), ilmu mantiq (retorika) dan kesusasteraan. Kaum terpelajar tingkat tinggi menga¬dakan peng¬kajian dan penelitian mandiri di bidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musik dan kedokteran.
Ilustrasi gambar Ibn Rusyd sedang berdiskusi
Sumber: Wikipedia
C. Kemajuan Bani Abbasiyah dalam ilmu pengetahuan
Dinasti Bani Abbaisyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, me¬ru-pakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli di dalam upaya pe¬ngem-bangan ilmu pegetahuan dan peradaban Islam. Upaya pengembangan ini mendapat tanggapan atau respons yang sangat baik dari para ilmuan. Se¬bab, pemerintah dinasti Abbasiyah telah me¬nyi¬ap¬kan segalanya untuk ke¬pentingan tersebut. Di antara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah, seperti baitulhikmah, majlis munadzarah, dan pusat-pusat studi lain, seperti zawiyah, hanqah, kuttab, dan lain-lain, bahkan pergu¬ruan tinggi berupa madrasah nidzamiyah. Selain itu, para ilmuan digaji sangat ting¬gi dan kebutuhan hidup mereka dijamin negara, sehingga mereka me¬la¬ku¬kan riset sangat serus tanpa memikirkan hal-hal lain di luar riset dan pe¬nu¬lisan karya-karya mereka. Bahkan khalifah Bani Abbasyah, meminta siapa saja termasuk para pejabat dan tentara yang kebetulan memasuki wilayah baru, untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan per¬a¬daban untuk dibeli kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dari proses inilah lambat laun umat Islam mampu mengembangan ilmu penge¬tahuan dan peradaban Islam yang menjadi bahan rujukan bagi ilmuan mo¬dern.
Untuk mengetahui bagaimana para khalifah memberikan dorongan bagi para ilmuan muslim untuk berusaha mengembangkan ilmu penge¬ta¬huan dan peradaban Islam, dan bidang-bidang ilmu apa saja yang dikem¬bangkan, berikut uraiannya.
a.. Bidang-bidang Ilmu Pengetahuan yang Dikembangkan
Bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu antara lain sebagai berikut:
1. Filsafat
Proses penterjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa pe¬me¬rin-tahan di¬nasti Bani Abbasiyah, mengalami kemajuan cukup besar. Para penterjemah saat itu ti¬dak hanya menterjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa Yunani-Romawi, Persia, India, Assyria saja, juga mencoba mentrans¬fernya ke dalam bentuk pe¬mikiran. Proses ini biasanya disebut dengan istilah Hellenisasi. Melalui proses ini, karya-karya bangsa-bangsa tersebut kemudian dimodofikasi, sehingga menjadi sebuah pemi¬kir¬an khas Islam. Di antara tokoh yang memberikan andil cukup penting di dalam per¬kembangan ilmu dan filsafat Islam adalah :
1. Al-Kindi ( 185 -260 H/801 – 873 M) .
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak bin Sabbah bin Imran al-Ash’¬ats bin Qays al-Kindi. Ia adalah filosuf muslim pertama yang berasal da¬ri suku Kindah.’ al- Kindi berusaha menjelaskan hubungan agama dengan filsafat. Ia mengatakan antara filsafat dengan agama tidak ada per¬ten¬tangan dan tidak perlu diper¬tentang¬kan, karena keduanya sama-sama men¬cari kebenaran. Titik temu pa¬da ke¬benaran inilah yang ke¬mu¬dian menye¬bab¬kan banyak ilmuan muslim dan lainnya mengkaji pemikiran filsafat Yu¬nani-Romari sehingga filsafat menjadi salah satu hasil dan bentuk pemikiran muslim yang sangat cemerlang saat itu.
Dalam catatan M.M Syarif, al-Kindi memiliki karya sejumlah 270 bu¬ah, berupa tulisan yang mencakup pemikiran ilmu pengetahuan lain, seperti filsafat, kedokteran, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, psikologi, poli¬tik, dan lain-lain. Karya dan pemi¬kirannya ini memberikan motivasi bagi para filosuf dan ilmuan lain untuk melakukan kajian yang sama, sehingga ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perekembangan yang sangat pe¬sat.
Manuskrip karya al-Kindi
Sumber: Wikipedia
2. Abu Nasr al-Faraby, (258-339 H/870-950 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhamad al- Farabi. Lahir di Wasi, sebuah desa di Farab wilayah Transoxania. Ia merupakan salah seorang filosuf yang memiliki wawasan pengetahuan cukup luas. Hal ini dapat dilihat dari karya dan pemikirannya dalam fusus al-hikam, al-mufarriqat,Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah, dan lain-lain. Di an¬tara pemikirannya yang sangat cemerlang dalam bidang filsafat adalah filsafat emanasi (pancaran).
3. Ibnu Sina ( 370-428 H/980-1037 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husein bin Abdillah bin Sina. Lahir di Afsyana, sebuah tempat di dekat kota Bukhara. Ibnu Sina adalah salah seorang ilmuan dan filosuf muslim yang gemar mencari ilmu pengetahuan. Pengembaraan ilmiahnya melewati batas-batas tempat kelahirannya, sehingga Ibnu Sina menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, selain filsafat.
Ibnu Sina
Sumber: Wikipedia
Di antaranya kedokteran, yang kemudian dituangkan da¬lam bentuk karya yang sangat monumental yaitu al-Qanun fi al-Thib (ensikolpaedia ke-dokteran). Karyanya ini mernjadi bahan rujukan para ilmuan dan dokter dunia hingga abad ke-18 M. Di antara pemikiran filsafat yang dikembangkannya adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan Nabi, serta filsafat wujud. Semua pemikiran itu menjadi bahan diskusi para filosuf muslim kemudian.
Kitab al-Qanun fi al-Thibb, karya Ibnu Sina
Sumber:
Sumber : Wikipedia
4 .Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M).
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhamad bin Yahya al-Sha’igh. Di Barat dikenal dengan nama Avempace. Ia lahir di Saragossa, Spanyol. Selain menguasai filsa¬fat, Ibnu Bajjah juga menguasa tata bahasa dan sastra Arab dengan bagus. Karenanya wajar kalau kemudian ia memiliki banyak karya. Di antara karyanya adalah risalatul wada, akhlak, kitab al-Nabat, risalah al-itti¬shal al-‘Aql bil Insan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nafs, risalah al-ghayah al-in¬saniyah, dan lain-lain.
5.Ibnu Thufail (w.581 H/1186 M).
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhamad bin Abdul Malik bin Muhamad bin Muhamad bin Thufail. Ia adalah seorang ilmuan dan filosuf ke-namaan pada masa itu. Selain menguasai biidang filsafat, ia juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan, se¬perti kedokteran, matematika, dan sastra Arab. Di antara karya filsafat monumen¬tal¬nya adalah Hay bin Yaqdzan (si hi¬dup bin si bangkit).
6. Al- Ghazali ( 1059-1111 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang ter¬le¬tak di dekat Thus, Khurasan. Di masa kecil ia belajar di Nisapur, kota il¬mu pe¬ngetahuan dan peradaban Islam terke¬nal dan terpenting di Khurasan. Imam Al-Ghazali menuntut ilmu dari Imam al-Ha¬ra¬main al-Juwaini, guru be¬sar di Madrasah Nidzamiyah Nisapur. Selain belajar ilmu kalam, ia juga banyak be¬la¬jar ilmu pengetahuan lainnya, seperti filsafat, kimia, matematika, kedok¬ter¬an, daan sebagainya.
Pada masa awal perkenalannya dengan dunia pemikiran kalam, ia sempat ragu atas pemikiran kalam yang ada. Hal ini dapat dilihat dari kar-yanya berjudul al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan).Dalam karyanya ini sebenarnya ia ingin mencari kebenaran yang hakiki. Ia tidak mau percaya begitu saja dengan pe¬mikiran orang lain dalam bidang kalam.
Pengembaraannya dalam bidang kalam dalam mencari kebenaran yang hakiki, juga dilakukanya dalam bidang filsafat. Ia meragukan banyak pemikiran para filosuf yang dikatakannya telah rancu. Hal ini dapat dilihat dari karyanya yang hingga saat ini masih dapat ditemukan, yaitu ; Tahafut al-Falasifah( kerancuan pemikiran para filosuf).
Al-Ghazali
Sumber: Fendra.blogsome.com
Ketika al-Ghazali tidak menemukan argumen yang kuat dalam kedua bidang tersebut, akhirnya melakukan pencarian diri mengenai hakikat yang sebenarnya. Semua itu ditemukan dalam bidang tasawuf. Dalam bidang inilah ia baru mencapai kepuasaan dalam usahanya mencari kebenaran yang hakiki.
g. Ibnu Rusyd ( 520-595 H/1126-1196 M).
Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhamad bin Ahmad bin Muhamad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam ling¬kungan keluarga terdidik, sehigga ia menjadi seorang yang terdidik pula. Selain me¬nguasai filsafat, ia juga menguasai berbagai il¬mu pengetahuan lain seperti ilmu fiqh, ba¬hasa dan sastra Arab, matema¬tika, fisika, astronomi, logika, dan ilmu kedokteran. Di an¬tara karyanya yang hingga kini masih dapat ditemukan adalah Bidayah al-Mujtahid, yang mem¬bahasa ilmu hukum, dan Kitab al-Kulliya, yang membahas ilmu kedokteran. Selain itu, ia juga banyak melakukan komentar terhadap hasil karya pemi¬kiran Aristoteles, sehingga ia dikenal sebagai seorang komentator Aris¬to¬te¬les kenamaan, karena kritikan dan komentarnya yang sangat tajam.
Gambar Ibnu Rusyd
Sumber: Wikipedia
Dalam bidang filsafat, pendapatnya hampir sama dengan al-Kindi. Ia menga¬takan bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, karena tugas filsafat adalah mengetahui pencipta alam dan segala isinya. Bahkan ia menganjurkan bahwa mem¬pe¬lajari filsafat itu wajib hukumnya, karena an¬tara Islam dan filsafat memiliki tugas yang sama, yaitu mencari tahu tentang pencita alam semesta dan isinya ini. Kalau di Barat (Spanyol) Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator terhadap pemi¬kiran filsafat Aristoteles, di dunia Timur, ia dikenal sebagai fi¬losuf yang membela pe¬mikiran para filosuf dari serangan al-Ghazali. Kar¬yanya dalam bidang ini tertuang dalam Fashl al-maqail fi ma baina al-Hikmah wa al-Syar’iyyah min al- ittishal.
Pemikian dan karya para filosuf muslim yang hidup pada jaman per-tengahan dan masa Bani Abbas, menjadi bahan rujukan para ilmuan dan fi-losuf kemudian. Dari karya mereka inilah kemudian bangsa-bangsa Barat, mencapai masa kejayaan, karena mereka mulai terbuka pikiran dan wawas-annya semakin bertambah dengan menterje¬mahkan karya umat Islam ke da-lam bahasa Yunani(Eropa). Dari situlah dikenal masa aufklarung, renesaince, yang melahirkan suatu jaman idustri yang disebut revolusi in¬dustri.
2. Ilmu Kalam
Akulturasi budaya yang disebabkan oleh menggelobalnya Islam se¬ba-gai agama dan peradaban, menimbulkan tantangan-tantangan baru bagi para ulama. Kaum Mu’¬tazilah (rasionalis muslim) adalah pembela gigih ter¬hadap serangan Yahudi, Nas¬rani dan Wasani. Karena itu, golongan Mu’¬ta¬zilah memberi andil besar da¬lam menciptakan ilmu kalam.
Menurut A. Hasymy, lahirnya ilmu kalam karena dua faktor: Per¬ta¬ma, untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halya mu¬suh me-makai senjata itu. Kedua, karena semua masalah, termasuk masalah agama, telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Di antara para pelopor ilmu kalam yang terbesar yaitu; Washil bin Atha, Baqillani, Asyary, Ghazali, Sajastani, dan lain-lain.
Selain ilmu-ilmu agama yang telah berkembang pada masa Bani Ab-basiyah, se¬perti dijelaskan terdahulu, juga terdapat ilmu-ilmu lain yang juga tidak kalah pen¬tingnya yang berkembang saat itu, seperti ilmu qiraat, ilmu bahasa, sastra, tata bahasa, ilmu tasawuf.
3. Ilmu Kedokteran.
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang me¬ng¬a¬lami per¬kem-bangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu telah di-di¬rikan apotik yag pertama di du¬nia, yaitu tempat menjual obat. Di sam¬ping itu juga telah di¬di¬ri¬kan sekolah farmasi. Sekolah kedokteran di¬leng¬kapi dengan rumah sakit sehingga menjadi lembaga yang mengga¬bung¬kan usaha penyem¬buhan dengan pengajaran obat-obatan, farmakologi, dan bidang-bidang yang ter¬kait. Pada masa al-Makmun para apoteker telah di¬wajibkan menempuh ujian sebagaimana para tabib. Ujian ini dilak¬sa¬nakan atas perintah khalifah, ka¬rena telah terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter, sehungga pada tahun 931 M diadakan ujian massal bagi seluruh dokter yang ada dalam negeri. Kemudian pemerintah mengeluarkan ijazah res¬mi untuk para dokter yang lulus ujian. Setelah itu diha¬pus¬kan para tabib yang kurang mampu dan tabib-tabib yang palsu.
Pada wal abad ke-9 Harun al-Rasyid mendirikan rumah sakit Islam de-ngan mencontoh rumah sakit yang ada di Persia. Tidak lama setelah itu diikuti pendirian 34 rumah sakit Islam di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran, antara la¬in adalah al-Razi. Ia adalah seorang ahli fikir asli dan ahli kli¬nik. Menurut cerita, ketika ia mencari tempat yang paling baik untuk sebuah rumah sakit besar, ia meng¬gantungkan keratan-ke¬ratan dagig di beragai tempat. Di ma¬na keratan-ke¬rat¬an da¬ging yang paling lama bertahan tidak busuk, di situlah dipilih oleh al-Razi untuk dijadikan sebagai tempat rumah sakit. Ia diang¬gap sebagai orang yang menemukan benal pontanel untuk diper¬gu¬nakan dalam ilmu bedah. Karangan al-Razi yang ter¬pen¬ting adalah al-hawi yang diter¬je¬mahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 M. Karangan ini berabad-abad la¬manya mem¬pu¬nyai pengaruh besar dalam pikiran dunia Barat.
Nama lain yang gemilang di dunia kedokteran ialah Ibn Sina. Ka¬rang-annya yang berbentuk ensiklopedia al-Qanun fi al-Thib, yang diter¬je¬mah¬kan orang dengan nama Canon, dianggap se¬bagai bahan terbaik dalam bidang ke-dokteran di perguruan-perguruan Eropa. Karangan lain yang te¬lah diter¬je-mahkan ke dalam bahasa Inggris Materia Medica memuat kira-kira 760 obat-obatan, dipakai sebagai pedoman utama untuk ilmu kedokteran Barat pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-17 M. dengan de¬mikian tidak meng¬he¬ran-kan jika potret Ibn Sina dan al-Razi dijadikan hiasan di ruang besar Fa¬kultas Kedokteran Uni¬ver¬si¬tas Persia.
4 Ilmu Kimia.
Ilmu kimia juga temasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikem¬bang-kan oleh kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eks¬pe-rimen obyektif, hal ini me¬ru¬pa¬kan suatu perbaikan yang tegas dari cara spe¬ku-lasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari ge¬jala-gejala dan mengumpulkan kenya¬taan-kenyataan untuk mem¬bu¬at hipo¬tesa dan untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar ber¬da¬sar¬kan ilmu pengetahuan.
Di antara tokoh kimia adalah Jabir bin Hayyan. Ia ber¬pen¬dapat bahwa logam se¬perti timah, besi dan tembga dapat di¬ubah menjadi emas atau pe¬rak dengan meng¬gu¬nakan obat ra¬ha¬sia. Ia pun mencurahkan seluruh tena¬ganya untuk meneliti hal itu. Ia menge¬tahui cara membuat asam belerang, asam sen-dawa dan aqua regia yang dapat meng¬han¬curkan emas dan perak. Selain itu ia telah memperbaiki teori Aristoteles mengenai cam¬puran logam, sehingga teori-teori itu berlaku hingga zaman permulaan ilmu kimia mo¬dern. Selain ilmu kedokteran dan kimia masih banyak ilmu la¬in yang dikem¬bangkan kaum muslimin saat itu, seperti ma¬te¬ma¬tika dan astronomi yang ti¬dak diuraikan dalam makalah ini.
Jabir ibn Hayyan
Sumber: pharmu.corner.com.
ilustrasi gambar Ibn Haytham, ahli kimia dan optic.
Sumber: Wikipedia
5 Matematika
Di antara ilmu lain yang dikembnagkan pada masa pemerintahan Ba¬ni Abba¬si¬yah adalah ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang ka¬re¬na kebutuhan dasar pemerintah untuk menentukan waktu yang tepat dalam setiap pembangunan. Semua sudut harus dihitung dengan tepat, supaya ti¬dak terdapat kesalahan dalam pem¬bang¬unan gedung-gedung dan sebagai¬nya.
Pada mulanya, ilmu matematika yang dikembangkan umat Islam be¬r-asal dari berbagai saduran dan terjemahan karya-karya bangsa Yunani-Ro-mawi dan India. Ketika Hajjaj Ibin Yusuf menjadi gubernur di Persia, ia ba-nyak menemukan manuskrip (nas¬kah) ilmuan terkenal, seperti Euclides (ah¬li matematika yang hidup pada tahun 300 SM) ber¬judul elements yang sudah diterjemahkan kemudian diserahkan kepada khalifah Ha¬run al-Rasyid. Pe-ngetahuan umat Islam dalam bidang matematika diperkaya dengan waris¬an ilmu dari India, misalnya buku berjudul Zij al-Shindhind yang diter¬je¬mahkan dan disadur oleh Muhamad bin Ibrahim al-Fazari. Karya ini kemudian diserahkan ke¬pada kha¬lifah al-Manshur. Ringkasan dari buku ini kemudian disadur dan dikem¬bang¬kan oleh Muhamad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M) menjadi sebuah ilmu hitung atau ma¬tematika bidang al-Jabar, yang me-ngabadikan namanya dalam ilmu logaritma.
Al-Khawarizmi
Sumber: visipramudia.wordpress.com
Di antara penemuan itu adalah penemuan angka nol, satu, dua, dan seterusnya, yang dikenal dengan sebutan nomer atau angka Arab (Arabic Numeric). Penemuan angka inilah yang men¬jadikan dunia Islam menjadi sangat terkenal, hingga banyak melahirkan mate¬ma¬ti¬ka¬wan terkenal, seperti al-Khawarizmi dan lain-lain.
6 Sejarah
Pada masa ini, kajian sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu, misalnya sejarah hidup Nabi Muhamad Saw. Minat pada kajian bidang ini sangat be¬sar, sehingga para khalifahpun banyak yang memberikan dukungan moral dan material, se¬hingga menghasilkan karya besar dalam ilmu sejarah. Da¬lam perkembangan awal, para ilmuan atau sejarawan tidak hanya tidak hanya menjadikan hadits, berupa perka¬taan dan perbuatan Nabi Muhamad Saw, dalam menentukan suatu hukum, juga masalah kronologis atau rang¬kaian persitiwa tertentu. Dari siilah lahir karya besar yang ditulis oleh seja¬rawan kenamaan, misalnya Muhamad bin Ishaq (w.152 H/768 M). Ia berhasil menyusun kitab Sirat al-Nabawiyah Li Ibn Ishaq, yang kemudian disunting oleh mu¬ridnya, Ibn Hisyam ( w.230 H/845 M), menjadi Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam. Ilmuan lainnya yang juga berkecimpung di dalam biang sejarah adalah al-Waqidi (w.208 H/823 M), Muhamad bin Sa’ad (w.230H/845 M) yang menulis karya berjudul al-Thabaqat al-Kubra sebanyak 8 (delapan) jilid, dan Abu Ubaidah (w. 825 M).
7 Ilmu Bumi
Dalam tradisi Islam, ilmu bumi tidak dapat dipisahkan dengan astro¬no-mi. Ahli ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi, yang termasyhur pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai kawas¬an Arab. Upaya al-Kalbi ini kemudian diikuti oleh beberapa orang ahli ilmu bumi lainnya, seprti Muhamad bin Musa al-Kha¬warizmi. Al-Khawarizmi ini ti¬dak hanya melakukan revisi (kajian ulang) mengenai teori Ptolemaeus ten-tang geografi, juga mengoreksinya dalam beberapa rin¬cian. Bersama 70 orang ahli bumi, al-Khawarizmi membuat peta dunia (globe) pertama pada tahun 830 M. Dia juga dilaporkan telah mengukur volume dan keliling bumi atas perintah khalifah al-Makmun. Di antara karyanya berjudul Kitab Surah al-Ard ( Morfologi Bumi), sebuah koreksi atas karya Ptolemeaus, merupakan landasan ilmiah bagi para ahli ilmu bumi muslim sesudahnya.
Usaha al-Khawarizmi dilengkapi oleh al-Muqaddasi Abu Abdillah (w. 985) de¬ngan melakukan pengembaraan panjang selama dua puluh tahun mengunjungi banyak negara, sehingga menghasilkan sebuah ensiklopedi ilmu. Kemudian pada abad ke-10, al-Astakhri menerbitkan buku geografi negeri-negeri Islam dengan peta berwarna. Al-Biruni pada awal abad ke 11 M melengkapi karya al-Astakhri ini dengan menerbitkan buku geografi Ru¬sia dan Eropa Utara. Selai itu, al-Biruni juga memberikan sumbangan besar dalam bidang geologi dan geografi, terutama tentang ledakan geologis dan meta-rulgi, hingga pengukuran lintang bujur, serta metode menentukan po¬sisi relatif suatu tempat terhadap tempat yang lain.
8 Astronomi
Ilmu perbintangan atau astronomi juga mendapat perhatian serius dari para il¬muan muslim ketika itu. Karena itu, mereka terus melakukan kajian untuk mengem¬bangkan ilmu tersebut. Tokoh astro¬nomi Islam pertama adalah Muhamad al-Fazani. Ia mengoreksi tabel yang ada berdasarkan teks astronomi India Shiddanta yang ditulis oleh Brhama¬na¬gupta. Kitab ini merupakan rujukan utama hingga masa khalifah al-Mak¬mun. Ia juga mengarang bebarapa syair astronomis dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang dipergunakan untuk mempelajari ilmu per¬bin¬tangan pertama di kalangan muslim.
Selain al-Fazani, banyak ahli astronomi yang bermunculan saat itu, di antaranya adalah Muhamad bin Musa al-Khawarizmi (w.847 M). Selain sebagai seorang astro¬nom, ia juga seorang ahli matematika. Dialah pembuat tabel astronomi Zij as- Sindi (Tabel India) yang diterjemahkan ke dalam bahasa La¬tin oleh Adelard dari Bath dan sangat populer di Eropa pada abad per¬tengah¬an.
Sementara itu, Habasyi al-Hasib al-Marwazi telah melakukkan obser-va¬si sejak usia lima belas tahun. Ia memimpin penyusunan tiga tabel Zij al-Makmun (Tabel al-Makmun) pada masa pemerintahan khalifah al-Makmun. Tabel pertama mengkritik metode al-Khawarizmi, kedua menulis tentang al-Zij al-Mumtahan, ketiga al-Zij asy-Syah. Al-Mar¬wazi juga menulis beberapa karya astronomi yang dikutip dalam Fihrist (indeks) karya al-Nadim. Selain mereka, masih banyak lagi astronom muslim yang hi¬dup pada jaman pe¬me-rintahan Abbasiyah; misalnya al-Farghani, al-Battani, al-Biruni, Abdurrahman al-Sufi, yang menulis banyak buku tentang astronomi, seperti al-Ka¬wa¬kib ( planet-planet), al-Tazkirah, (pengingat), dan Matarib al-Syu’arat (tempat-tem-pat sinar). Ia juga mencatat observasi astronomi atas ribuan bintang dan membuat gambar banyak planet.
6. Kemajauan ilmu pengetahuan Agama
pada masa Dinasti Bani Abbasiyah
Perhatian pemerintah dinasti Abbasiyah juga ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan. Di antara ilmu pengetahuan agama yang dikembang¬kan dan mencapai kemajuan adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Hadis
Berawal dari kepentingan untuk melakukan penafisaran (interpretasi) ter-hadap al-Qur’an, maka para penguasa Bani Umayah melakukan pencarian, pengumpulan dan pem¬bu¬kuan hadis-hadis Na¬bi. Padahal sebelumnya, para sa¬habat dan tabiin ma¬sih ber¬selisih paham mengenai perlu tidaknya membu-kukan ha¬dis itu. Namun akhirnya perse¬li¬sihan itu hilang dan berganti de¬ng¬an kese¬pa¬katan bahwa pengum¬pulan hadis itu perlu dilak¬sa¬nakan.
Oleh karena itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Uma¬yah, mem¬punyai rencana dan se¬kaligus melaksanakan pembukuan hadis itu. Da¬lam masa pemerintahannya, ia telah me¬me¬rin¬tahkan kepada Abu Bakar bin Mu¬ham¬mad bin ‘Amr bin Hazm, gu¬bernur Madinah, (w.117 H) untuk mengumpul¬kan dan mem¬bu¬kukan hadis. Hanya saja hasil pe¬ng¬um-pulan itu tidak sampai ke¬pa¬da kita. Hal itu di¬sebabkan antara lain karena Umar bin Abdul Aziz keburu meninggal setelah satu tahun memerintahkan Abu Bakar mengum¬pulkan Hadis, sehingga karya itu be¬lum dapat dise¬le-saikan. Karenanya, hasil tersebut tidak sempat tersosi¬ali¬sa¬si¬kan deng¬an baik. Mes¬ki¬pun begitu, usaha yang dilakukan khalifah Umar bin Abdul Aziz, patut dihargai. Ka¬re¬na ia telah membuka jalan bagi upaya penulisan dan pembukuan hadis yang dilakukan para ahli sesudahnya.
Pada pertengahan abad ke-2 H. telah terjadi bentuk baru dalam pem-bukuan Ha¬dis, yaitu pembukuan yang berdiri sendiri terlepas da¬ri siste¬ma¬tika fiqih dan tidak di¬masukkan ke dalamnya aqwal al Shahabah dan Fatawa al Tabi’in, sebagaimana yang dila¬kukan oleh pa¬ra ulama pada pertengahan abad kedua hijriah. Pada abad ke-2 H. mu¬lai diadakan kritk Hadis dan kritik terhadap sanad.
Di antara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah imam al-Bukhari. Nama asli¬nya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah bin Mar¬di¬zah al-Bukhari. Ia lahir di kota Bukhara pada ta¬hun 194 H. Bukhara merupakan salah sa¬tu kota yang terkenal dan pernah menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tengah. Keter¬tarikannya pada ilmu hadis, karena sejak masa kanak-kanak ia sudah belajar hadis dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang ahli hadis yang memiliki hubungan baik dengan imam Malik, Muhamad bin Zaid dan Abdullah bin Mubarak. Mereka ini adalah para tokoh ahli hadis yang terkenal dan berpengaruh di kalangan ulama hadis kateika itu. oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau sejak masa kanak-kanak ia telah mampu meng¬hafal sekitar 70.000 Ha¬dis, bahkan ia mengetahui sebagian besar tanggal lahir, wafat dan tempat tinggal pa¬ra pera¬wi hadis-hadis tersebut. Kemudian pada umur 17 Tahun, imam al-Bukhari sudah hafal dua kitab hadis karangan Ibn al-Mu¬barak dan al-Waqi’. Kemampuannya menghafal ribuan hadis, menunjukkan bahwa al-Bukhari memi¬liki kecerdasan yang luar biasa. Hal itu dapat dilihat dari kemam¬pu¬annya melakukan kritikan terhadap sanad, matan dan rawi hadis.
Sanad adalah orang yang mendengar atau menerima hadis dari rasulullah, lalu menceritakannya kembali kepada orang lain. Orang inilah yang menjadi matarantai sebah hadis rasulullah. Sementara mata adalah isi atau kalimat dari sabda atau gadis rasulullah. Sedang rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis-hadis rasulullah saw.
Di dalam usahanya untuk mengumpulkan hadis-hadis, imam al-Bukhari mela¬ku¬kan perjalanan ilmiah atau rihlah ilmiah mulai dari Balkh, Nai¬sa¬bur, Rai Bag¬dad, Bashrah, Kuffah, Makkah, Madi¬nah, Mesir, Da¬mas¬¬kus, Hims, dan Qai¬sari¬yah. Dalam perjalanannya menimba ilmu pengetahuan, ia sempat tinggal dan me¬ne¬tap di kota Ma¬kah selama lebih kurang dua tahun. Setelah itu, ia melanjutkan perjalannya ke Ma¬dinah dan belajar ilmu hadis dari para ahli hadis terkenal di Madinah. Di antara guru hadis yang sempat di-datanginya adalah Ishak bin Rahwi dan Ali al-Mada’ini. Per¬jalanan ini memerlukan waktu lebih kurang selama 16 ta¬hun.
Dari hasil pe¬ngembaraan ilmiahnya ini, imam al-Bukhari menghasilkan se¬bu¬ah karya dalam bidang ilmu hadis yang sangat monumental, yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Kitab ini menjadi bahan rujukan bagi siapa saja yang ingin mem¬pelajari ilmu hadis dan ingin melakukan kritikan atau takhrij hadis-hadis ra¬sulullah saw. Setelah ia berhasil melakukan kajian dan pengembaraan ilmiah dengan hasil kar¬ya yang monu¬mental, akhirnya pada tahun 256 H dalam usia 62 tahun imam al-Bukhari meninggal du¬nia.
Tokoh ilmu hadis kedua yang juga memiliki reputasi dan hasil yang sa-ngat me¬muaskan adalah imam Muslim. Nama aslinya adalah Abu al-Husein bin Habaj al-Nai¬sabury. Ia lahir di Nisapur pada tahun 817 M. Dalam upaya meng¬um¬pulkan ha¬dis-hadis, imam Muslim pergi melakukan perjalanan ilmiah atau rihlah ilmiah ke Irak, Hi¬jaz, Syam, Mesir dan berkali–kali ke Bagdad. Ketika imam al-Bukhari da¬tang ke Naisabur, imam Muslim datang kepadanya dan menerima serta belajar hadis da¬ri¬nya. Dalam mempe¬la¬jari ilmu hadis, imam Muslim juga belajar dengan ulama hadis lain, selain imam Bu¬kha¬ri. Mereka antara lain adalah imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Qarir, Qutaybah bin Said,Abdullah bin Maslama, dan lain-lain.
Seperti halnya imam Bukhari, imam Muslim juga me¬miliki kitab hadis hasil karya sendiri, yaitu kitab al-Jami’ Shahih Muslim. Kitab ini me¬mi¬liki kualitas yang sa¬ma dengan kitab karya imam Bukhari. Bedanya, kalau di dalam Kitab al-Jami’ Shahih al-Bukhari, pe¬nyusunan bab-babnya didasari atas permasalahan yang ada dan juga di¬buat penafsiran hukumnya. Semenara dalam karya imam Muslim, karyanya disu¬sun berdasarkan sub¬jek-subjek dan membuat kompilasi hadis-hasid sahih, tanpa ada pe¬naf¬siran hukum. Imam Muslim wafat pada tahun 870 M dalam usia 53 tahun.
Selain imam al-Bukhari dan imam Muslim masih ada lagi tokoh-to¬koh hadis la¬in yang cukup terkenal, seperti Ibnu Majjah (wafat ta¬hun 273 H), Abu Daud (wafat ta¬hun 275 H), al-Tirmidzi, dan al- Nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Pada abad ke-3 H orang Islam mulai marasa perlu ter¬ha¬dap tafsir ayat-ayat al-Qur’an, kaena semakin jauh tenggang waktu tu¬runnya ayat, apalagi go-longan non Arab (‘ajam) yang kurang menguasai bahasa arab, sebagai bahasa pengantar untuk me¬ma¬ha¬mi al-Qur’an.
Seperti halnya para ahli hadis yang ingin melakukan pen¬ca¬ri¬an dan pem¬bukuan hadis, para ahli tafsir (mufassir), juga me¬la¬ku¬kan hal yang sama. Mereka mela¬cak in¬for¬masi tafsir suatu ayat dengan kajian ilmiah. Terdapat dua cara yang ditem¬puh oleh para mufassir dalam me¬naf¬sir¬kan ayat-ayat al-Qur’an. Per¬tama, metode tafsir bi al-ma¬’tsur, yatiu metode pe¬nafsiran oleh sekelompok mu¬fassir de¬ng¬an cara memberi penafsiran (interpretasi) al-Qur’an dengan hadis dan pen¬je¬las¬an para sahabat. Dalam per¬kem¬bang¬an¬nya, kelompok ini me¬ma¬sukkan juga pendapat ahl al-kitab yang telah masuk Islam, ju¬ga pendapat orang-rang yang menguasai kitab Taurat dan In¬jil. Hal ini memicu per¬se¬lisihan di antara para ahli tafsir yang kemudian me¬mun¬cul¬kan kelom¬pok kedua yang melakukan pe¬nafsiran al-Qur’an dengan melihat ke-pada bahasa dan arti lafdzi, sehingga muncul kamus-kamus bahasa yang di-gunakan untuk lebih men¬dalami arti, ah¬wal, alfadz, dan memperjelas struk¬tur kata yang sulit.
Metode kedua disebut Tafsir Dirayah atau Tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-Aqli, ya¬itu me¬nafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada ha¬dis. Pada masa Bani Abbasiyah ini ditandai dengan mun¬cul¬nya kelompok Mu¬’tazilah yang tidak terikat oleh al-hadis maupun perkataan sahabat atau aqwal al-Sahabah.
Di antara tokoh-tokoh mufassir bi al-ma’tsur adalah; imam al-Thabary, al-Suda, Mu¬qatil bin Sulaiman. imam al-Thabary dikenal sangat teliti dalam meri¬wa-yat¬kan, baik yang datang dari rasul, sahabat maupun tabi’in. Ia menulis tafsir yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz. Al-Suda, me¬nyan¬darkan tafsirnya pada Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabat lain. Ia wafat pada tahun 127 H. Semen¬tara Mu¬qatil bin Sulaiman dalam melakukan ana¬lisis tafsirnya, selain menyan¬dar¬kan pada para sahabat, juga mengutip riwa¬yat dari Taurat. Imam Syafi’i meng¬anggap pen¬ting kitab ini, karena apa yang di¬ana¬lisisnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui oleh ba¬nyak orang. Dalam konteks ini ia mengatakan bahwa tiap orang memerlukan ti¬ga hal, yaitu al-Muqatil dalam tafsir, Ali Zuhair bin Abi Salam da-lam Syi’ir, dan Abu Hanifah dalam ilmu kalam.
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, dan masa-masa sebe-lumnya, al-Qur’an sudah men¬jadi sumber bacaan (re¬fe¬rensi) bermacam-macam il¬mu. Sebagai con¬toh, para ahli bahasa telah menti¬tik¬beratkan kaidah-kaidah Nah¬wu dalam al-Qur’¬an, ahli sejarah meni¬tik¬be¬rat¬kan pada berita-berita yang ber¬hubungan dengan sejarah hidup Nabi Mu¬hamad, para ahli ilmu peradaban Is¬lam mengkaji dari al-Qur’an un¬sur-unsur pikiran Is¬lam yang penting di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain¬nya.
c. Ilmu Fiqh
Dalam bidang fiqh, para fuqaha,yaitu ahli ilmu fiqih yang ada pada masa Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab-kitab fiqh tekenal hingga sa¬at ini, mi¬salnya Imam Abu Ha¬nifah (w. 150 H). Ia menyusun kitab Mus¬nad al-Imam al-‘A’¬dham atau fiqh al-Akbar; Imam Malik (97-179 H) menyusun kitab al-Muwatha’; Imam Syafi’I (150-204 H), me¬nyu¬sun kitab al-UmI dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibin Hanbal (780-855 M) menyusun kitab al-Musnad.
Secara garis besar para fuqaha masa itu dapat dibagi menjadi dua go-long¬an, yai¬tu ahl-al-hadis dan ahl al-ra’yi. Ahl al-hadis ya¬itu golongan yang me-nyan¬dar¬kan ke¬pada hadis dalam meng¬am¬bil hukum (istinbath al-hukm). Pemuka go¬longan ini adalah imam Ah¬mad bin Hanbal. Sementara ahl al-ra’yi, ada-lah go¬longan yang menggunakan akal di dalam mengambil hukum (istinbath al-hukm). Salah seorang tokoh dalam bi¬dang ini adalah imam Abu Ha¬ni¬fah.
Selain itu, pada masa ini telah terjadi pertentangan antara ahli hu¬kum me¬nge¬nai sumber pengambilan hukum. Pertentangan ini berkisar antara al-Sun¬nah, al-Qiyas, Ijma’ dan Taklif. Qiyas, artinya menganalogikan sesuatu hukum pada yang lain. Se¬dang Ijma’, adalah kumpulan pendapat ulama, atau keputusan ber¬sama yang dike¬luarkan para ula¬ma untuk menetapkan suatu perkara atau suatu hukum. Para ahli yang bertikai itu ber¬pandangan apa¬kah al-Sunnah merupakan sa¬tu sumber di antara sumber pengambilan hu¬kum sebagai pe¬nyem¬purna al-Qur’an? Jika ya, bagaimana melak¬sana¬kan¬nya? Se¬lain itu, ada¬lah al-qiyas dan al-ra’yi. Apabila tidak terdapat di da¬lam nash al-Qur’an dan al-hadis, apa diper¬bo¬lehkan meng¬gu¬nakan akal? Hal lain yang menjadi perdebatan lebih lanjut ada¬lah, soal ijma’. Apakah Ijma’ termasuk salah satu sumber pengambilan hukum fiqh ? Begitu juga soal Taklif yang diambil dari dua kata fi’il amr dan fiil nahyi, apakah wajib ? Dari pertentangan itu, lahirlah ilmu Ushul al-Fiqh. Berbeda dengan ma¬sa sebe¬lumnya, masa ini hasil pemikiran para fuqaha telah dibukukan dan kemu¬dian disebar luaskan oleh murid-murid mereka ke berbagai penjuru dunia Islam.
Adapun para imam mazhab fiqih empat yang kita kenal hingga kini adalah sebagai berikut:
1.. Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M).
Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthy. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M ketika Bani Umayah mengalami masa keja¬ya¬an-nya. Imam maz¬hab yang dikenal sebagai saudagar penjual pakaian di Kufah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung dinasti Bani Umayah dan awal Di¬nasti Bani Ababsiyah. Ia sem¬pat berjumpa dengan imam Anas bin Malik dan me¬riwayatkan hadisnya. Ia sangat ketat dalam penerimaan hadis. Ia tidak mudah menerima hadis tanpa disertai dengan sikap kritis.
Dasar atau pokok pegangan mazhab yang dibangunnya adalah al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas dan istihsan. Al-Qur’an baginya adalah dasar hukum pertama dalam mene¬tapkan hukum. Jika tidak dijumpai di dalam al-Qur’an, maka dasar hukum diambil dari sunah. Jika tidak dijumpai di dalam sunah, maka diambil ijma’, yakni kesepakatan sa¬ha¬bat tentang pemaknaan atas al-Qur’an dan sunah. Jika dalam ijma’ tidak dijumpai kete¬tapan hukum atas suatu perkara, maka di¬gu¬nakanlah qiyas. Apabila ketetapan suatu hu¬kum tidak dijumpai di dalam al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas, maka digunakanlah is¬tih¬san.
Di antara karya Imam Abu Hanifah dalam bidang fiqih adalah al-Fiqh al-Akbar, yang berisi pengetahuan tentang Allah SWT. Kitab Fiqih Imam Hanafi peringkat per¬tama membahas masalah uhsul yang disebut Zahir al-Riwayah, yang membicarakan me¬ngenai masalah hukum yang diriwayatkan dari sahabat maz¬hab ini, yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhamad.
2. Imam Malik (93-179 H/716-795 M).
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Amir bin Amr bin Ha¬ris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Ia salah seorang ke¬tu-runan bangsa Yaman, lahir di Madinah pada masa khalifah al-Walid bin Abdul Malik tahun 93 H/716 M dan wafat pada masa Harun al-Rasyid tahun 179 H/795 M. Ia terkenal dengan se¬butan Imam Dar al-Hijrah, yang menjadi panutan pendu¬duk Madinah. Kepakarannya dalam bidang ilmu fiqih dan ilmu hadis setelah ta¬bi’in, juga terkenal sebagai ahli ilmu kalam, sebagaimana tercermin dalam kar¬ya¬nya al-Muwaththa.
Imam Malik berguru menuntut ilmu dari Nafi Maula bin Amr (w. 117H/ 735 M) dan Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124H/742 M). Gurunya dalam bidang fiqih adalah Rabi’ah bin Abdurrahman yang dikenal dengan nama Rabi’ah al-Ra’yi (w. 136 H/753 M). Dalam hal lain, Imam Syafi’i menganggap Imam Malik adalah gu¬runya, karena ia sempat me¬nun¬tut ilmu dan bertanya banyak hal kepada Imam Malik.
3. Imam Syafi’i ( 150-204 H/767-820 M).
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhamad bin Idris al-Hasyimi al-Muthalibi bin Abbas bin Usman bin As-Syafi’i. Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 H/767 M dan wafat di Mesir pada tahun 204 H/820 M. Sejak kecil ia telah menjadi yatim. Kemudian diajak ibunya pergi ke Makah, tempat kelahiran nenek moyangnya. Sejak usia kanak-kanak ia telah hafal al-Qur’an dan belajar sastra Arab dari sastrawan terkenal di peda¬laman (al-Badiyah) kepada al-Huzail, hingga ia menguasai bahasa dan sastra Arab de¬ng¬an baik. Bahkan dalam usia 15 tahun ia telah diijinkan oleh gurunya, Muslim bin Khalid, seorang mufti Makah untuk mengeluarkan fatwa. Setelah itu, ia pergi ke Madinah un¬tuk berguru kepada imam Malik bin Anas. Di kota ini ia belajar dengan Imam Malik dan mengkaji ki¬tab al-Muwaththa dengan baik. Bahkan dalam tempo 9 malam ia telah meng¬hafal keseluruhan isi kitab tersebut dengan baik.
Setelah itu ia melakukan pengembaraan ilmiahnya ke Yaman, Bagdad (182-195 H/798-811 M), Makah (187-195 H/803-811 M) untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal mengenai ilmu fiqih dan ushul fiqih, hingga Mesir (200-204H/816-820 M). Di kota-kota inilah ia banyak bertemu dengan para ahli dalam berbagai bidang penge¬ta¬hu¬an, sehingga wawasannya semakin bertam-bah. Di Bagdad, Imam Syafi’i menulis buku berjudul al-Hujjah, yang kemudian dikenal dengan istilah qalul qadim. Setelah keper¬gi¬annya ke Mesir, ia mengarang mazhabnya yang baru.
Pokok mazhabnya secara berturut-turut merujuk kepada al-Qur’an, sunah, ijma’, dan qiyas. Ia tidak mengambil aqwal al-shahabah sebagai rujukan. Menurut¬nya, pendapat para sahabat adalah ijtihad yang mengandung kemungkinan sa¬lah dan benar. Ia juga meninggalkan praktik istihsan yang dipakai oleh mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Di anatara karyanya yang sangat monumental adalah al-Umm dan al-Risalah.
d. Imam Hanbali (164-241 H/780-855 M).
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah atau Ahmad bin Muhamad bin Han-bal. La¬hir di Bagdad pada tahun 164 H/780 M. Dalam perjalanan hidupnya, ia banyak mela¬ku¬kan pengembaraan ilmiah untuk menuntut ilmu pengetahuan dari para ulama terkenal saat itu. Ketika berada di Bagdad, ia berguru kepada Imam Syafi’i. Imam Ahmad bin Han¬bal pernah mengalami masa-masa pahit ketika al-Makmun berkasa. Ia mengalami mih¬nah, ujian khusus bagi para hakim dan ulama mengenai kemakhlukan al-Qur’an, yang menyebabkan ia dipenjara ka-re¬na tidak mau mnegakui kemakhlukan al-Qur’an.
Pokok mazhabnya sama dengan mazhab Syafi’i, yaitu al-Qur’an, sunah, fatwa sa¬habat, ijma’, qiyas, istishab, al-mashalihul mursalah dan al-Zara’i. Ia tidak me-nulis kitab fiqih, melainkan para muridnya yang menghimpun pemikirannya di kemudian hari. Mes¬ki¬pun begitu, ia dikenal sebagai penulis kitab hadis, yaitu Musnad Ahmad binu Hanbal, yang memuat 40.000 hadis. Selain itu, ia juga dikenal sebagai tokoh yang menerima ar¬gumentasi dengan hadis mursal dan hadis dha’if hingga klasifikasi hadis hasan.
Pemikiran para ahli fiqih tersebut kemudian tersebar melalui pemikiran murid-murid mereka yang ada di seluruh penjuru dunia Islam saat itu. Sehingga pemikiran pa¬ra imam mazhab fiqih tersebut dikenal dan dipraktikkan di dalam kehidupan ma¬sya¬ra¬kat muslim sehari-hari.
d. Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofis menimbulkan gejolak pe¬mi¬kir¬an di antara umat Islam, sehingga banyak di antara para pemikir muslim mencoba men¬cari bentuk gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Situasi politik dan perdebatan ka¬lam, menjadi salah satu faktor penyebab banyak ulama Islam mencari jalan menuju Tu¬han melalui pendekatan tasawuf. Mereka berusaha mendekatkan diri pada Tuhan me¬lalui jalan atau tahapan-tahapan yang disebut maqam. Maqam-maqam inilah yang dija¬dikan dasar bagi para sufi untuk men¬ca¬pai kedekatan dengan Tuhan. Para sufi banyak yang meninggalkan kenikmatan duniawi dan kesenangan sasaat, sehingga kegiatan mereka hanya berkisar pada kegiatan ber ibadah kepada Allah SWT.
Tahapan atau maqam yang mesti dilalui oleh para sufi adalah :
a. Zuhud, yaitu kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi. Setelah tahapan inilah baru seseorang bisa meningkatkan dirinya menjadi se¬orang sufi. Salah seorang tokoh sufi yang masuk ke dalam kategori ini adalah Sufyan as-Sauri (97-161 H/716-778 M), Abu Hasyim, (w.150 H), dan Jabir bin Hasyim (w.190 H0. Mereka telah menjadi sufi karena telah me¬ninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materialistis.
b. Mahabbah,yaitu rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah SWT. Dalam tahapan ini, seorang zahid harus menambah kecintaannya yang men¬da-lam kepada Allah SWT. Salah seorang tokoh terkenal dalam hal ini ada-lah Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H/801 M). Baginya, zuhud harus dilandasi oleh Mahabbah. Sebab ke¬pa¬tuh¬an kepada Allah SWT bukanlah tujuannya, karena ia tidak mengha¬rapkan nik¬mat surga dan takut siksa neraka, tetapi ia mematuhi-Nya kerana cinta yang mendalam kepada-Nya.
c. Ma’rifat, yakni pengalaman ketuhanan. Pembicaraan tentang ma’rifat telah terli¬hat pada ucapan Zun Nun al-Misri dan Junaid al-Bagdadi. Zun Nun al-Misri lahir di Akhmim pada tahun 155-245 H/772-860 M. Pada tahun 214 H/829 M ia di¬tangkap dengan tuduhan melakukan bid’ah dan dikirim ke Bagdad untuk di¬penjarakan. Tetapi setelah diadili, khalifah memerin¬tah¬kan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Mesir.
d. Fana dan Baqa, yaitu suatu keadaan di mana seorang sufi belum dapat menya¬tu¬kan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya. To¬koh sufi yang pertama kali memperkenalkan masalah ini adalah Abu Ya¬zid al-Bustami (w. 874 M).
e. Ittihad dan hulul, yaitu fase di mana seorang sufi telah merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan. Tokoh sufi yang masuk ke dalam kategori ini ada¬lah Abu Yazid al-Bustami. Sementara hulul adalah suatu fase di mana Tu¬han, dalam pandangan kaum sufi, telah bersemayam dalam diri manusia. Tokoh sufi yang masuk ke dalam kategori ini adalah al-Hallaj(244-309 H/ 859-913 M).
Selain mereka yang telah diswebutkan di atas, masih banyak terdapat sufi lain yang terkenal, di antaranya adalah Imam al-Ghazali (w.1111). Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai filosuf, dan mutakallim. Di antara karya besarnya dalam ilmu tasawuf adalah Ihya Ulum al-Din.
7. Meneladani ketekunan para ulama
dalam dalam mengembangkan ilmu agama Islam
Para ulama yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah memi¬liki semangat yang luar biasa di dalam mencari ilmu. Semangat yang kuat itu terlihat dari keinginan mereka untuk menuntut ilmu kepada para ulama be¬sar yang ada saat itu. Mereka rela meninggalkan kampung halaman guna men¬dapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak memikirkan masalah jabatan dan kedudukan tinggi serta go¬da¬an harta. Para ulama, seperti imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, imam Abu Ha-nifah, imam Syafi’i, imam al-Ghazali dan lain-lain, merupakan contoh nyata dari para ilmuan muslim yang memiliki semangat tinggi dan keinginan besar untuk mencari ilmu dan mengembang¬ka¬nnya demi kepentingan kemajuan umat Islam. Dengan semangat tinggi dan keyakinan yang kuat itulah akhirnya para pencari ilmu menjadi ulama ter¬ke¬nal di seluruh dunia. Dengan ilmu yang dimilikinya, para ulama pada masa pe¬me¬rin¬tahan dinasti Ba¬ni Abbasiyah terus berusaha dengan tekun mengkaji dan me¬ngem¬bangkan ilmu pengetahuan keagamaan, sehingga ilmu agama Islam men¬capai puncak kejayaan pada masa-masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah.
Selain itu, para ulama yang menjadi panutan saat itu selalu bekerja keras dengan penuh kesabaran di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidak pernah merasa lelah apalagi mengeluh untuk mencari dan mengembangan ilmu. Mereka bahkan mera¬sa memiliki kewajiban untuk mencari ilmu agama dan menyebarkannya kepada masya¬rakat agar masyarakat memiliki pengetahuan dan kecerdasan di bidang ilmu penge¬ta-huan agama Islam, sehingga apa yang mereka lakukan selalu didasari atas pengetahuan dan keyakinan yang tinggi mengenai ajaran agama Islam. Upaya para ulama ini di da¬lam menyerbarkan ajaran Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan, tidak mengenal pamrih. Sikap mereka yang tidak pamrih inilah yang harus ditoladani oleh siapa saja yang menghendaki dirinya memperoleh apa yang dicita-citakan. Di samping ketulusan, juga kesabaran dan ketekunan yang mereka miliki di dalam mencari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya kepada umat Islam, juga merupakan sikap dan sifat yang perlu di¬contoh.
Para ulama yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, juga adalah paraintelektual muslim yang sangat teliti di dalam melakukan kajian dan analisis ilmu pengetahuan. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan fatwa atau konsep tanpa terlebih dahulu melakukan kajian dan diskusi secara seksama. Selain itu, para ulama di masa ini juga adalah kaum terdidik yang memiliki sikap terbuka. Mereka siap me¬ne¬rima kritikan dan saran dari siapa saja, asal kritikan yang memberikan masukan dan manfaat bagi upaya pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan agama. Bahkan, hubungan antara mereka sebenarnya adalah hubugan antara guru-murid. Hubungan inilah yang menjadi salah satu sebab banyak kaum intelektual muslim saat itu selalu ter¬buka untuk mendiskusikan pengetahuan masing-masing. Sikap kritis dan terbuka di dalam pengembangan ilmu pengetahuan inilah yang juga patut untuk dicontoh oleh umat Islam kemudian yang ingin mencari, mengembangkan dan memajukan ilmu aga¬ma Islam.
Dari sekian sikap dan kepribadian yang telah disebutkan, terdapat satu sifat yang ada di dalam diri para ulama yang hidup masa pemerintahan dinasti Bani Abba¬si¬yah, yaitu berakhak mulia. Para ulama saat itu, meskipun mereka orang-orang terdidik, cerdas, dan memiliki status sosial yang tinggi, mereka te¬tap seorang ilmuan yang ren¬dah hati dan tidak sombong. Mereka adalah para ulama yang memiliki akhlak mulia, sehingga mereka sangat dihormati oleh pe¬nguasa, masyarakat ilmiah dan masyarakat umum. Sifat-sifat ini juga yang harus kita toladani. Seorang intelektual akan dikenang dan ilmunya akan bermanfaat bila ia mampu mempertahankan citra dirinya sebagai intektual muslim, yang memiliki sifat-sifat terpuji, seperti tidak sombong, rendah hati, terbuka, teliti, ta¬wakal kepada Allah, tekun, sabar dan lain-lain.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar