A. Kondisi Masyarakat Sepeninggal Rasulullah Saw
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad Saw, selain sebagai rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah be-liau wafat, fung¬sinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi ra¬sul merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, seba¬gai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang meng¬gantikan. Oleh karena itu, pascawafatnya rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhamad, ssungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati. Untuk memerkuat pida¬tonya itu, Abu Baar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144.
•
Artinya;
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatang¬kan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat mus¬lim Madinah yang tengah ber¬mu¬sya¬warah guna menentukan siapa pengganti Muham¬mad Saw sebagai pemimpin peme¬rin¬tahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîeq sebagai pe-mim¬pin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal da¬lam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafa al-Rasyidun, yakni para pemimpin peng-ganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana. Me¬re-ka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial politik, juga masalah-masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah para sahabat ra¬sulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mumpuni.
Meskipun hanya berlangsung selama lebih kurang 30 tahun, masa peme¬rintahan al-Khulafa al-Rasyidun, merupakan masa yang sangat penting dalam perja¬lan¬an sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi kemajuan yang cukup signifikan dalam ba-nyak hal, terutama dalam bidang sosial politik dan pemerintahan. Pada pa¬ruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya, pergolakan sosial terjadi karena mun¬cul¬nya kelompok pembangkang yang terdiri dari para nabi palsu, mereka yang menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat dise¬le¬saikan dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial poli-tik yang terjadi pasca wafatnya Rasululah Saw, membuat suasana politik menjadi ter-ken¬dali, sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekua¬sa¬an Is¬lam. Keadaan ini merupakan fondasi besar dalam menciptakan ketenangan dan keda-maian di masa-masa sesudahnya, sehingga Islam dapat bertahan hingga kini.
B. Sistem Pemilihan Khalifah
Persoalan pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd Saw wafat, adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Mu-hammad Saw sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah Saw menjadi pe-mimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau mem¬bi-ca¬rakan siapa yang berhak menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan, Rasululah menyerahkannya kepada umat Islam. Tetapi, ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam berma-syarakat dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang ter-jadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tatacara ter-sebut sesuai dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern se-perti sekarang ini. Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah beri¬kan bagi umat Islam dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka menga¬jukan calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum Muhajirin me¬nekankan pada aspek kesetian dan perjuangan dalam masa-masa awal pengembangan Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk itu, mereka mengajukan nama calon, yaitu Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait, menghendaki agar Ali bin Abi Thalib dica¬lonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin Abi Thalib dalam permu¬sya¬wa¬ratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya sebagai anak angkat sekaligus me¬nantu Rasulullah Saw.
Perdebatan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muha¬mad Saw sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di ka¬langan umat Islam, antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perde¬bat¬an panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi un¬tuk menduduki jabatan khalifah.
Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar ber-pidato sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah. Mes¬kipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku seba¬gaimaa aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, jangan sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran ser¬ta ke-tulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Be¬liau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak menda¬pat-kan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemim¬pin¬annya agar pelak¬sanaan pemerintahan ber¬ja-lan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, la tidak gila jabatan dan juga tidak gila kedudukan, jabatan dan harta,
Sementara Umar bin al-Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka ma-syarakat dan disetujui secara aklamasi oleh umat Islam. Proses pengangkatan ini di-awali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta Umar bin al-Khattab bersedia meng¬gan-tikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijthad ini didasari atas kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu timbul¬nya krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal umat Islam, jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu Bakar al-Shiddieq. Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi peng-gantinya. Permintaan inipun disetujui oleh Umar, hanya Umar meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, agar ti¬dak terjadi salah paham. Permintaan itu dipenuhi, untuk itu kemudian Abu Bakar me¬minta pendapat para sahabat mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu Bakar terbaring sakit di tempat tidur. Pilihan itupun disetujui oleh para pemuka masyarakat, Kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian ia membai’at Umar bin al-Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiew meninggal dunia. Peristi¬wa ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang ‘Usmân bin ‘Affân dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Dewan ini dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang sakit. Prosedur ini ditempuh guna memaksimalkan potensi yang ada di ma-sing-masing sahabat, selain masih tetap mempertahankan prinsip syura, yang diajar¬kan Nabi Muhammad Saw. Hanya modelnya yang berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa sebelumnya. Pemilihan melalui Dewan Enam ini, diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal yang mampu menjalankan amanah demi pe-negakkan Islam dan pengembangannya ke luar jazirah Arabia.
Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika kha-lifah Umar ibn al Khattab sakit. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengatasi per¬so¬alan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepe¬mim¬pinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zu¬bair bin ‘Awwâm, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf, dan Sa'ad bin Abî Wa¬q¬qâsh. Dewan ini ber¬tugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan meng-gantikannya sebagai khalifah.‘Abdurrahmân bin ‘Aûf dipercayakan menjadi ketua pa-nitia pemilihan terse¬but.
Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan ha¬rus didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pe¬milihan tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat suara seimbang, maka kepu¬tusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang men¬jadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar.
Setelah ‘Umar bin al-Khattâb meninggal dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pe¬milihan. Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi bebe¬rapa tokoh ter¬ke¬muka dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Ke¬mu¬dian menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan kha¬lifah ‘Umar ibn al-Khattâb.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf men¬de-ngarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai la-pisan masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemi¬lihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan ha¬rap-an, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu dise¬babkan ka-rena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masya¬ra¬kat meng-inginkan ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dica-lonkan timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf cenderung kepada ‘Us¬mân ibn ‘Affân, se¬mentara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Alî bin Abi Thâlib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang sedang be-rada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapat¬nya. Keempat, baik ‘Usmân ibn ‘Affân maupun ‘Alî bin Abî Thâlib, masing -masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan kha¬li-fah. Namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhir¬nya pro-ses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang me¬me-nangkan ‘Usmân bin ‘Affân terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, se¬dang ‘Alî bin Abi Thâlib, memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usmân bin ‘Af¬fân ke kur¬si kekuasaan. Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf meng¬angkat tangan ‘Usmân bin ‘Affân sebagai tanda penga¬kuannya sebagai khalifah baru, peng¬ganti khalifah ter¬dahulu, yaitu ‘Umar ibn al-Khattâb.
Ketika terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang me¬man-faatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan para kerabatnya. ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah se¬lama 12 tahun.
Sementara itu, tampilnya ‘Alî bin Abi Thâlib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalifah ‘Us-mân bin ‘Affân oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. ‘Alî bin Abi Thâlib diangkat oleh jama’ah umat Islam dan sebagian besar adalah para pemberontak. Dalam situasi seperti itu, haraus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun ketika itu yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi ‘Alî bin Abi Thâlib masih hidup.
C. Berbagai Kebijakan Pemerintahan al-Khulafaal-Rasyidun.
1. Kabijakan khalifah Abu Bakar al-Shiddieq.
Selama masa pemerintahan al-Khuafa al-Rasyidun yang berlangsung selama le-bih kurang 30 tahun, banyak kebijakan yang dikeluarkan. kebijakan-kebijakan terse¬but semuanya bermuara pada upaya pengembangan peradaban Islam dan mem¬per¬tahan-kan ajaran Islam dengan sebaik-baknya.
Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, situasi sosial politik dan keagaman sangat tidak kondusif bagi pengembangan wilayah kekuasaan Islam, kare¬na pada saat itu banyak persoalan yang dihadapi khalifah. Di antara kebijakan yang dike-luarkan pada masa itu adalah memberantas kaum murtad (kaum riddah), pem¬be-rantasan kaum munafik, dan para nabi palsu.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi persoalan politik keaga¬ma¬an, terutama penentangan dari kaum murtad (kaum riddah), memberantas nabi palsu, dan mereka yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah Abu Ba-kar melakukan musyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski terjadi perbedaan pendapat mengenai tindakan apa yang harus di¬lakukan, ia te-tap tegar, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan meme¬rangi semua go-long¬an yang menyimpang dari kebenaran, sehingga semuanya kem¬bali ke jalan yang benar atau gugur sebagai syahid dalam menegakkan dan mem¬per¬juangkan kemuliaan agama Islam.
Ketegasan khalifah Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir se¬lu¬ruh umat Islam. Untuk memerangi masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis yang dilakukan khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengi¬riman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada meraka dan mengajak untuk kembali ke¬pa¬da ajaran Islam yang benar, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Usa¬ha ter¬sebut tidak mendapat respons positif, bahkan mereka malah menun-jukan penen¬tang¬annya. Berdasarkan ini, maka khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk memerangi mereka. Usaha ini berhasil gemilang. Kebijakan tersebut dilakukan bertu¬juan agar ter¬cipta suasana yang aman, bersatunya kembali umat Islam dibawah sistem pemerintahan khalifah. Lebih dari itu semua, demi tegaknya keadilan. Hal lain yang dilakukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai sekretaris negara, selain Umar bi al-Khattab dan Ubaidillah bin Jarrah.
Selama masa pemerintahnnya yang berangsung lebih kurang 2 tahun 3 bulan, banyak hal yang talah dilakukannya. Hal terpenting lainnya yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah memberikan perlindungan kepada mustad’afin¸ kaum yang lemah dari kesewenang-wenangan. Dalam masalah ini, ia akan bertid akadil. Siapapun yang melakukan kesewenangan akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain mengatasi krisis keimanan dengan munculnya kaum murtad, khalifah Abu Bakar juga melakukan pengamanan dalam masalah kaum munafik. Ia meman-dang bahwa gerakan kaum munafik merupakan sebuah ge¬rakan yang sangat ber¬ba-haya, karena hampir di seluruh penjuru Arabia muncul gerakan semacam ini. Mes¬ki-pun begitu tanpa rasa gentar sedikitpun, Abu Bakar menyusun kekuatan untuk me-numpas gerakan tersebut dengan semangat perju¬angan penegakkan Islam. Dalam waktu satu tahun Abu Bakar berhasil mengem¬balikan stabititas politik pemerintahan Islam.
Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok ter¬se¬but, Abu Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batal-yon untuk dikirim ke berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-ma¬sing ko-mandan bantalyon, Abu Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang ter¬libat dalam pemberontakan agar kembali kepada ajaran Islam. Apabila mereka me¬no¬lak ajakan tersebut, maka mereka boleh diperangi sampai habis.
Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada si¬kap¬nya mela-wan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid meru-pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk meme¬rangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil menga¬lahkan me¬reka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhir¬nya menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad. Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalah¬kan kekuatan Musailamah al-Kazaab. Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di Yamamah tahun 633 M. Musai¬la¬mah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan me¬re¬ka.
Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua di antaranya tewas terbunuh da¬lam peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu Saj'ah dan Thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam. Keber-ha¬silan Abu Bakar dan pasukannnya dalam memberantas para pem¬bangkan, selain mem¬perkokoh identitas Islam, juga membuka gerbang kejayaan Islam di masa-masa selan¬jutnya. Kemenangan pasukan Islam dalam meredam ge¬jolak dalam negeri me-nim¬bul¬kan semangat diri dan kepercayaan diri untuk me¬lanjutkan ekspansi ke wila¬yah By¬zantium dan Sasania.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Ba¬kar memerintahkan Khalid ibn al-Walid untuk menaklukkan wilayah-wilayah per¬ba¬tasan Syria dan la berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium.
2. Kebijakan khalifah Umar bin al-Khattab
Periode Umar bin al-Khattab boleh dibilang periode yang cukup aman dan ten-tram. Tidak banyak pemberontakan yang terjadi. Bahkan dalam catatan sejarah Is¬lam, periode kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab disebut sebagai masa yang cukup makmur, aman dan damai. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan untuk mem-bangun sistem pemetintahan negara, agar lebih efektif dan efisien, sehingga hasil pembanguan dapat dirasakan secara merata ke segenap masyarakat yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Ada dua arah kebijaan yang dilakaukan khalifah Umar bin al-Khattab. Per¬ta¬ma, kebijakan internal, yaitu membangun sistem pemetintahan dalam negeri dengan mem-bentuk departemen-departemen yang menangani masalah-masalah sosial politik dan se¬bagainya. Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan usaha memperluas wilayah penye¬baran Islam ke luar jazirah Arabia.
Pembentukan beberapa departeman, merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindai lagi, karena wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Mesir dan be¬be-rapa wilayah lainnya di Jazirah Arabia. Untuk mempermudah sistem ketatanegaraan dan pelayanan, maka dibentuklah departemen-departemen tersebut. Model ini di-adopsi dari sistem pemerintahan Persia.
Tugas utama lembaga ini adalah menyampaikan perintah khalifah ke beberapa daerah atau wilayah yang jauh dari Madinah. Untuk melancarkan hubungan antar daerah, wilayah negara dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufha, Palestina, dan Mesir. Masing-masing propinsi berada di bawah kekuasaan seorang gubernur, seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa'ad ibn Abi Waq¬qash. Basrah di bawah kekuaaaan 'Athbah ibn Khazuan, dan Fusthath di bawah kekuasaan 'Amr ibn al-‘Ash.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar juga mulai ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah perpajakan, khalifah Umar bin al-Khattab membagi warga negara menjadi dua bagian; pertama, masyarakat muslim, dan kedua, masyarakat non-muslim, yang disebut alh al-dzimmi, atau warganegara non muslim yang mendapat pelindungan (suaka) negara. Untuk warga negara muslim, mereka wa-jib bayar zakat. Sedangn non muslim, mereka dikenalan jizyah (pajak per¬orangan), dan kharraj, pajak tanah. Sementara untuk masalah hukum, khalifah me¬ne¬rapkan peraturan yang berbeda. Bagi muslim, diberlakukan hukum Islam. Sedang non muslim diber¬la-ku¬kan hukum menurut agama atau adat istiadat mereka masing-masing.
Untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan, kahlifah Umar bin al-Khat-tab mengubah sistem sentralisisasi menjadi desentralisasi. Untuk menjaga keamanan, khalifah juga membentuk jawatan kepolisian atau diwan al-syurthah, dan jawatan peker¬jaan umum. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah Umar bin al-Khattab lembaga keuangan yang disebut Baitul Mal. Sejak masa itu, pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab telah memiliki mata uang sendiri.
Kebiajakan lain yang sangat monumental adalah penetapan tahun hijriyah se¬ba-gai tahun baru umat Islam. Penetapan tahun baru umat Islam ini atas inisiatif Alî bin Abî Thâlib, yang kemudian direspon oleh khalifah ‘Umar bin al-Khâttab.
Dalam usaha penetapan itu terjadi diskusi antara tokoh umat Islam, antara lain Alî bin Abî Thâlib. Ada yang meng¬usul¬kan penetapan tahun baru umat Islam didasari atas seja¬rah kela¬hiran Nabi Muhammad Saw, atau hijrah Madinah. Alî bin Abî Thâlib mengu¬sul¬kan agar penetapan tahun baru umat Islam dida¬sari atas peristiwa hijrah Nabi dan umat Islam ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima khalifah Umar bin al-Khattab dan ke¬mudian disepakati untuk dijadikan sebagai ta¬hun baru umat Islam, yaitu pada tahun 622 M/ 1 H.
3. Kebijakan Khalifah Usman bin Affan
Situasi ini sangat berbeda pada masa pemerintahan khalifah ‘Usmân bin Af¬fân. Pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, da¬mai, tenteram dan sejahtera. Karena situasinya sangat mendukung bagi usaha me¬lan¬jutkan program pemerintahan yang dibuat pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab. Tetapi pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis ke¬per¬ca¬yaan yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena ada sekelompok orang yang terdiri dari keluarga dekatnya yang meman¬fa¬at¬kan posisi Usman bin Affan. Hal ini kurang disadari khalifah Usman, sehingga ba¬nyak kroni dan orang-orang terdekatnya memanfaatkan ketulusan dan kejujuran kha¬lifah.
Dalam be¬berapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer, mi-salnya meng¬angkat para pejabat negara, seperti gubernur dari keluarganya sendiri. Kha¬lifah Usman mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai Sekretaris Negara, al-Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, menggan¬tikan posisi Sa’ad. Al-Walid bin Uqbah adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan. Se¬lain itu, ia juga menem¬pat-kan sepu¬punya, Abdullah bin Sa’ad, sebagai gubernu Mesir, menggantikan posisi ‘Amr bin al-‘Ash. Kebijakan ini menuai protes keras dari masya¬rakat Kufah dan Me¬sir, serta para pendukung ‘Amr bin al-‘Ash. Kebikajakan lain yang menuai protes ma-syarakat adalah kebijakan satu mushaf, dan menghapus mushaf-mus¬haf lain yang beredar di ma¬sya¬rakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu menyamakan seluruh mushaf dengan mus¬haf yang ada di tangan khalifah Usman, yang sudah dibukukan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddieq.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, tanah rampasan pe¬rang menjadi miliki negara. Tetapi pada masa khalifah Usman bin Affan, tanah ter¬se¬but di-bagikan. Tu¬juannya sebenarnya baik, agar tanah tersebut menjadi lebih pro¬duk¬tif. Bah-kan ia mengangkat juru hitung (sawafi) untuk mengurusi semua itu. Te¬tapi ka¬rena si¬tu-a¬sainya tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis kepercayaan dan konflik, ma¬ka situasinya jadi berbbeda. Masyarakat menolak dan memprotes ke¬bi¬jak¬an tersebut. Penolakan dan demonstrasi anti Usman ini berujung pada peristwa ter-bunuhnya kha¬lifah oleh orang tak dikenal.
Meskipun begitu, banyak jasa dan usaha yang dilakukan khalifah Usman ber¬ni-lai positif. Misalnya, ia membangun angkatan laut, hingga pasukan Islam dapat me-nye¬berangi lautan dan menyeberkan agama Islam ke luar jazirah Arabia. Selain itu, ia juga membangun dan memperbaiki masjid Nabawi, membangun jalan, jembatan, membang¬un bendungan di kota Madinah agar tidak banjir ketika musim banjir tiba.
4. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sebagai khalifah keempat, tampaknya Ali bin Abi Thalib meneruskan kebi¬jak¬an yang pernah ditempuh oleh khalifah Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab. Ia me¬ne¬rap-kan prinsip-prinsip baitul mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengem¬ba¬li¬kan se¬mua tanah yang diambilalih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaharaan nega¬ra. Begitu juga ia menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar hu¬kum yang jelas yang diberikan khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani Umayah.
Di samping itu, khalifah Ali mengganti semua gubernur yang diangkat pada ma¬sa Usman dan tidak disukai masyarakat. Karena ia berasumsi bahwa, selain karena para gubernur tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling ber-tang¬gung¬jawab atas kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada 12 Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, khalifah Ali meminta agar gubernur Kufah, al-Walid bin Uqbah mengudurkan diri. Begitu juga kepada Mu’¬awi-yah agar me¬letakkan jabatan gubernur Syria.
Permintaan tersebut ditolak, sehingga timbul kerusuhan dan konflik berkepan-jangan antara khalifah Ali dengan para pejabat gubernur tersebut. Penolakan ini beru-jung pada sebuah pertempuran di Shiffin pada 38 H/657 M. Pertempuran ini memper-lemah kekuatan khalifah Ali dan memperkuat posisi Mu’awiyah. Karena pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali dan mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali. Mereka yang masih setia kepada kha-lifah Ali disebut kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka yang menyatakan de-serse disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang paling gencar mela¬ku-kan gerakan untuk membunuh khalifah Ali dan Mu’awiyah serta mereka yang ter¬libat dalam fakta perdamaian ( Tahkim ) di Daumatul Jandal.
Penolakan juga datang dari kubu sahabat Nabi lainnya, seperti Thalhah, Zu¬bair dan Aisyah. Keributan antara khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada per¬tempuran kecil yang dikenal dalam sejarah Islam dengan Waq’ah al-Jamal atau Perang Unta. Konflik ini kalau tidak teratasi dengan baik,akan menimbulkan perang terbuka antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah.
D. Penataan Birokrasi Pemerintahan
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, sistem pemerintahan masih mengacu pada sistem yang pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad Saw. Pa¬da masa Nabi, sistem pemerintahan bersifat sentralistik, di mana kekuasaan ekskutif, legislatif dan yudikatif berada pada satu tangan. Akan tetapi, pada masa pememrin-tahan khalifah Umar bin al-Khattab, semua berdiri sendiri, bahkan terjadi de¬sen-tralisasi. Setiap wilayah atau daerah memiliki kewenangan mengatur pemerin¬tahan dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Untuk itu, khalifah Umar bin al-Khattab membangun jaringan pemrerintahan sipil yang sempurna, tanpa mengkuti atau mencontoh sistem pemerintahan lain. Pada masa pemerintahannya, terdapat dua lembaga penasihat, yaitu majlis yang bersidang atas pemberitahuan atau informasi umum, dan majlis yang hanya membahas masalah-masalah yang sangat penting. Selain majlis penasihat, setiap warga negara memiliki satu suara dalam pe-merintahan negara.
Selain itu, wilayah negara terdiri dari propinsi-propinsi yang memiliki oto¬no¬mi penuh. Setiap propinsi dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut Amir atau gubernua. Di setiap propinsi tetap berlaku adat kebiasaan setempat selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah pusat. Para gubernur propinsi dan para pejabat distrik sering diangkat melalui pemilihan. Pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab menjamin hak-hak warga negara dan mereka bebas menggunakannya. Kha-lifah tidak memberikan hak istimewa tertentu kepada siapapun dari warga negara yang ada. Bah¬kan tidak seorangpun memperoleh pengawal. Tidak ada istana dan pa-kaian kebe¬saran, baik untuk khalifah maupun para pejabat negaralainnya. Hal itu di-lakukan agar tidak ada perbedaan antara penguasa dengan rakyat biasa. Selain itu, setiap waktu ma¬sya¬rakat dapat bertemu dengan khalifah.
Untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan, khalifah membentuk bebe¬ra-pa lembaga atau organisasi ketetanegaraan yang didasari atas hasil pemikiran dan ijti-had khalifah Umar bin al-Khattab. Organisasi-organisai tersebut antara lain mi¬sal¬nya;
1. Pembentukan lembaga politik ( al-nidham al-Siyasiyah) yang meliputi :
a. al-Khilafah. Sistem ini terkait dengan sistem pemilihan khalifah.
b. al-Wizariyah. Para wazir atau menteri yang membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
c. al- Kitabah. Sistem ini terkait dengan masalah pengangkatan sesrorang untuk menjabat di sekretariat negara.
2. al- Nidham al-Idary, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan tata usaha administrasi negara.
3. al- Nidham al-Maly, organisasi keuangan negara. Lembaga ini mengelola masuk ke¬luarnya uang negara. Untuk itu dibentuk baitulmal.
4. al-Nidham al-Harby, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan ma¬sa¬lah ketentaraan. Organisasi mengurusi masalah ketentaraan, masalah gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng perta¬han-an.
5. al- Nidham al-Qadha’i, yaitu sistem yang berkaitan dengan masalah kehakiman, yang meliputi masalah pengadilan, pengadilan banding, dan pengadilan damai.
E. Perluasan Wilayah dan Penyebaran Islam.
Selama periode kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun, banyak usaha per¬lu¬as¬an wilayah dalam rangka pengembangan Islam. Pada masa khalifah Abu Bakar al-Shid-dieq, terjadi perluasan wilayah Islam ke Irak dan Persia.
Pada tahun ke-12 H, khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukannya ke Irak yang dipimpin Khalid ibn Walid dan dibantu oleh aI-Mutsanna ibn Haritsah dan Qa'qa' ibn 'Amr. Wilayah Irak pada waktu itu merupakan daerah jajahan kerajaan Persia., se-hingga bila telah berhasil menguasai Irak, maka akan sangat mudah menguasai wilayah Persia lainnya. Sebelum melakukan penaklukkan, Khalid ibn al-Walid, sesuai perintah Abu Bakar, telah melakukan diplomasi dengan mengirim surat kepada Hormuz, se¬orang panglima perang Persia, untuk mengajak diri dan pasuk¬an¬nya masuk Islam.
Namun permintaan ini ditolak oleh Hormuz dengan alasan bahwa mereka lebih suka berperang melawan tentara Islam dari pada harus menerima Islam sebagai agama baru mereka. Karena tawaran ini ditolak, maka tidak ada pilihan lain bagi Khalid ibn al-Walid kecuali harus memerangi pasukan Hormuz. Dalam peperangan ini, pa¬suk¬an Khalid ibn al-Walid berhasil mengalahkan panglima Hormuz di ta¬ng¬an¬nya sen¬diri. Hal ini berdampak pada wilayah kekuasaan Hormuz. Dengan tunduknya Hormuz serta pasukannya, berarti wilayah mereka jatuh ke tangan kekuasaan Islam di bawah ko-mando Khalid ibn al-Walid. Daerah -daerah yang ditaklukan Khalid ibn al-Walid pada waktu itu ialah Mazar, Walajah. Allis, Hirrah, Anbar, Ainnuttamar, dan Daumatul Jan¬dal.
Selain Irak dan Persia, khalifah Abu Bakar juga mengirimkan pasukannya ke wi-layah Syria. Untuk menaklukkan daerah ini, khalifah Abu Bakar memper¬ca¬yakan ke¬pa-da panglima perang Usman ibn Zaid ibn Haritsah. Sebenarnya pa¬sukan ini telah di-persiapkan sebelumnya oleh Rasulullah, tetapi belum terlaksana karena terdengar berita Rasulullah wafat, sehingga kegiatan tersebut sempat tertunda. Penaklukkan wi-la¬yah ini baru dilakukan pada masa pemeritahan kha¬lifah Abu Bakar. Pasukan Usa¬mah mulai bergerak dari negeri Qudha'ah, lalu me¬masuki kota Abil. Dalam pe¬pe¬rangan ini, pasukan Usamah mendapat ke menangan yang gemilang. Sehingga wila¬yah itu jatuh ke tangan kekuasaan Islam.
Selain Usamah ibn Zaid, khalifah juga mengirim pasukan lainnya ke wila¬yah Palestina di bawah komando Palestina Amru ibn 'Ash. Ke Roma di bawah komando Ubaidah ibn Jarrah. Ke Damaskus, dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Ke Yordania dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah. Untuk menghadapi pasukan besar Islam ini, He¬raklius mengirim sekitar 240.000 tentara ke daerah-daerah kekuasaannya di Syiria, Pa¬lesitina, Damaskus, dan sebagainya. Dalam mengha¬da¬pi kekuatan besar ini, umat Islam bersatu dalam satu barisan kekuatan besar. Pe¬nyatuan ini dilakukan atas usulan yang diajukan Khalid ibn al-Walid dan men¬dapat persetujuan Khalifah Abu Bakar. Akhirnya kedua pasukan besar itu, yakni pasukan Islam dan paukan Heraklius, berte-mu di salah satu tempat bernama Yarmuk. Sehingga pertempuran itu disebut pepe-rangan Yarmuk.
Dalam pertempuran kali ini, kekuatan Islam tidak sebanding dengan keku¬atan yang dimiliki Heraklius, yaitu sekitar 30.000 sampai 40.000 pasukan, sehingga pepe-rangan ini berjalan cukup lama. Peperangan ini baru berakhir pada masa peme¬rin¬tahan Umar ibn al-Khattab.
Meskipun Abu Bakar al-Shiddieq berkuasa hanya lebih kurang 2 tahun 3 bu¬lan, banyak usaha yang dilakukannya dalam mempertahankan eksistensi Islam dan pe-ngembangan peradabannya. Menurut beberapa ahli, jika Abu Bakar tidak berhasil me-nengahi konflik internal umat Islam di Tsaqifah Bani Saidah, maka Is¬lam hanya tinggal nama. Selain itu, keberhasilnnya mempertahankan akidah Islam dari rong¬rongan orang-orang murtad, dan orang-orang yang mengaku nabi palsu serta mereka yang tidak mau membayar zakat, maka Islam tidak akan bertahan lama. Tapi, berkat pertolongan Allah dan usaha keras para sahabat Nabi dalam mempertahankan akidah dan memper¬juang¬kan kebenaran Islam, agama Islam masih tetap eksis hingga kini dan untuk masa yang akan datang hingga akhir ja¬man. Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah sesudah Abu Bakar al-Shiddieq, yaitu khalifah Umar bin al-Khattab.
Sementara pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, terjadi juga usaha perluasan wilayah Islam. Usaha tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Perluasan wilayah Islam ke Syria dan Palestina
Sebelum masuk ke wilayah kekuasaan Islam, Syria dan Palestina berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, karena masyarakatnya selalu dibebani dengan berbabagai pungutan dan pajak yang harus mereka bayar kepada pemerintahan ke-kaisaran Byzantium (Romawi Timur). Hal ini tentu saja membuat rakyatnya mende¬rita, tidak hanya menderita lahir, juga menderita batin.
Selain itu, mereka juga dipaksa untuk mengikuti aliran agama yang tidak se¬pa-ham dengan mazahab yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Syria dan Pales¬ti¬na. Para penguasa Byzantium mcmaksakan kehendaknya agar masyarakat yang ber¬ada di wilayah kekuasaanya mengikuti mazhab Kristen Nestroit yang menganut ajar¬an Trinitas, sedangkan mayoritas masyarakat Syria dan Palestina menganut mazhab Jacobit yang menganut paham monofisit, yaitu percaya hanya kepada Tuhan Yang Esa.
Keadaan tersebut tentu saja membuat masyarakat Syria dan Palestina me¬nanti kehadiran sang pembela yang akan membebaskan mereka dari cengkeraman penjajah Byzantium tersebut. Untuk itulah pengiriman pasukan ke Syiria dan Palestina sangat diperlukan. Sehingga kedua kota tersebut dapat ditaklukkan pada masa pemerin¬tah¬an khalifah Umar bin al-Khattab.
Setelah kemenangan umat Islam dalam pertempuran Yarmuk pada tahun 13 H, Abu Ubaidah ibn Jarrah mencoba menaklukkan beberapa wilayah di Syria dan Pa¬les-tina. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 14 HDamaskus dapat dikuasai. Pada ta¬hun 16 H tentara Islam di bawah pimpinan Amr ibn al-'Ash dapat menaklukkan ten¬tara Romawi di Ajnadin. Secara berturut-turut beberapa kota di sekitar Syria dan Pa¬lestina juga dikuasai, seperti Baitul Maqdis dikuasai umat Islam pada tahun 18 H. Dengan jatuhnya Baitul Maqdis, maka seluruh wilayah Syria dan Palestina berada di bawah wilayah kekuasaan Islam.
2. Perluasan wilayah Islam ke Irak dan Persia
Setelah Syiria dan Palestina dapat dikuasai, maka khalifah Umar bin al-Khat¬tab. melanjutkan usahanya untuk memperluas pengaruh Islam ke Irak dan Persia. Sebe¬nar-nya Irak sudah dapat dikuasai oleh tentara Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar di bawah komando panglima Khalid ibn al -Waild. Akan tetapi ketika pa¬sukan Khalid meninggalkan Irak dan membantu pasukan Islam lainnya di Syiria, ke¬sempatan itu dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk mengusir umat Islam ke¬luar dari Irak di bawah pimpinan panglima Rustum. Oleh karena itu, Umar mengirim Sa'ad ibn Abi Waqqash untuk menundukkan kembali Irak dan Persia. Setelah melalui peperangan yang dahsyat, akhirnya Irak dan Persia dapat dikuasai kembali pada tahun 21 H, dalam perang Nahawand dan Qadisia kemudian juga ditaklukkan.
Jatuhnya Qadisia. merupakan pertanda kemenangan besar bagi tentara Islam, karena kota ini merupakan pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird, Kisra Persia. Sejak saat itu, perkembangan Islam di Persia semakin maju, karena semua masya¬ra¬kat-nya telah memiliki peradaban yang cukup tinggi dan mereka memadukannya de¬ngan ajaran Islam yang telah mereka anut.
3. Perluasan wilayah Islam ke Mesir
Ternyata beban berat yang harus dipikul akibat penjajahan bangsa Ro¬mawi Ti-mur tidak hanya menimpa penduduk Syria dan Palestina, juga me¬nimpa penduduk Mesir. Mereka merasa tersiksa karena tekanan pemerin¬tahan Byzan¬tium yang meng-haruskan seluruh penduduk Mesir membayar pajak melampuai batas kemam¬puan¬nya, selain dari perbenturan antara ideologi agama yang dianut penguasa dengan yang dianut masya rakatnya.
Karena mereka tidak tahan atas perlakuan semena-mena dan tidak ma¬nusiawi seperti itulah kemudian mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madi-nah. Untuk itu khalifah Umar ibn al-Khattab pada tahun ke-18 H atau 639 M meme-rintahkan pasukan muslim yang sedang berada di Palestina untuk melanjutkan per¬ja-lanannya ke Mesir. Pasukan itu berada di bawah koman¬do 'Amr bin al-'Ash yang me-mimpin 4000 tentara. Amr bin al-'Ash dan pasu¬kannya memasuki wilayah Mesir melalui selat Wadi al-'Arish. Setelah menak¬luk¬kan beberapa kota kecil, akhirnya ia menaklukkan kota Fushthat setelah meng¬adakan pengepungan terhadap kota ter¬sebut selama kurang lebih 7 bulan.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab, wilayah keku¬a¬saan Islam telah meluas mulai dari sungai Eufrat sebelah Barat dan Sungai Jihun di sebelah Timur, sebelah Selatan Laut Hindia dan di bagian Utara negeri Ar¬me¬nia, Dengan demi-kian, wilayah kekuasaan Islam saat itu telah mencapai wilayah Eropa Timur.
Sedang pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, terjadi pula pe-ngembangan wilayah kekuasaan Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Perluasan Khurasan
Khalifah Usman bin Affan mengutus Sa'ad bin ’Ash bersama Huzaifah bin Ya-man untuk memimpin pasukan Islam ke Khurasan. Di dalam rombongan pasukan ini ikut pula beberapa orang sahabat Nabi Saw yang lain. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Khurasan dapat dikuasai.
2. Perluasan ke Armenia
Khalifah usman bin Affan mengutus Salam Rabiah al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. la berhasil mengajak kerjasama dengan pen¬duduk Aremenia untuk me¬ne-rima ajaran Islam. Namun begitu, ia juga banyak mendapat tantangan dari me¬reka yang tidak suka atas dakwah Islam yang dikembangkannya. Tetapi semua itu dapat di-atasi dengan cara memerangi mereka hingga mereka menyatakan tunduk di bawah pe-merintahan Islam.
3. Perluasan Islam ke Afrika Utara (Tunisia).
Afrika Utara sebelum kedatangan Islam merupakan satu wila¬yah yang berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Perla¬kuan para penjajah terhadap penduduk tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada pemerintahan Islam di Madinah. Untuk itu, khalifah Usman bin Affan mengirim Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sa'ad bin Abi Sarah untuk memim¬pin pasukan menaklukkan Afrika Utara dan meng¬usir bangsa Romawi. Pasukan Islam mendapat simpati dan dukungan yang kuat dari masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah Afrika Utara, berarti wilayah itu berada di bawah kekuasaan Islam.
4. Penaklukan Ray dan Azerbeijan
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab. Masya¬rakat Azer¬bei¬jan selalu membayar pajak, Tetapi pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan banyak di antara mere¬ka yang menolak membayar pajak bahkan banyak di antara me-reka yang mem¬bang¬kang dan memberontak terhadap peme¬rintahan Islam di Ma¬dinah. Untuk mengatasi hal itu, khalifah Us¬man bin Affan memerintahkan Wa¬lid bin Uqbah yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Kufah untuk memberantas para perusuh tersebut. Walid bin Uqbah menge¬rahkan 6000 pasukan untuk menge¬pung penduduk Azerbeijan dan 4000 pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua wi¬la-yah pem¬berontak dapat dikuasai.
Sedang pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak terjadi usa¬ha perluasan wilayah kekuasaan Islam. Karena selama masa-masa kepemim¬pin¬an¬nya, se-lalu dihadapkan pada persoalan dan konflik internal berkepanjanga hingga akhir ha-yatnya. Khalifah Ali hanya berusaha mempertahankan wilayah kekuasaan yang ada su-paya tetap utuh berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Meskipun begitu, terdapat perkembangan yang cukuk bagus, terutama dalam bidang ilmu bahasa dan sastra Arab. Pada masa ini muncul seorang ahli tata bahasa Arab ( ilmu nahwu), yaitu Abul Aswad al-Du’ali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Slots Casinos in San Francisco - Mapyro
BalasHapusCasinos 정읍 출장샵 in 청주 출장샵 San 여주 출장샵 Francisco 경산 출장샵 - Mapyro 대전광역 출장안마