A. Kedatangan Islam di Indonesia
Banyak teori yang menjelaskan mengenai kedatangan Islam di Indonesia, baik dari sisi waktu, pembawa, tempat dan cara-cara atau metode yang diper¬gu¬nakan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indo¬ne¬sia telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan Islam di sekitar abad ke- 7 M/abad ke-1 H, dan langsung dari Arab atau Persia. Namun, ada pula yang menga¬takan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia ba¬ru terjadi pada aba ke-11 M/5 H. Bahkan ada yang berpendapat Islam masuk ke In¬do¬ne¬sia pada abad ke-13 M dan berasal dari Gujarat atau India. Teori- teori tersebut memiliki lan¬dasan dan ar¬gu¬mentasi masing-masing, sehingga antara satu teori dengan teori lainnya sebe¬nar¬nya tidak bertentangan, melainkan menjadi pelengkap dari ber¬bagai teori yang ada.
Di antara para ahli yang mengatakan bahwa agama Islam telah datang ke Indonesia (Nusantara) sejak masa-masa awal perkembangannya di Timur Teng¬ah. Mereka antara lain adalah Thomas W. Arnold, Azyumardi Azra, Hamka, Uka Tjan-drasasmita, A. Hasymi, Azyumardi Azra, dan lain-lain.
Para ahli ini mengatakan bahwa berdasarkan data yang dicatat oleh pen¬deta Budha Cina bernama I-Tsing, yang melakukan perjalanan dari Canton me¬nuju India dengan menggunakan kapal Po-sse dan singgah di Bhoga (diduga Palembang, Sumatera Selatan) bahwa di sekitar tahun 674 M di bagian Barat Su¬matera terdapat perkampungan komunitas Arab atau Persia muslim, yang di¬se¬butnya sebagai komunitas Ta- Shih dan Po-sse. Mereka umumnya adalah pa¬ra pedagang yang telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Karena hubungan itu dianggap saling menguntungkan, maka Sriwi¬ja¬ya memberikan daerah khusus bagi pedagang tersebut.
Selain data tersebut, Azyumardi menemukana adanya indikator lain be¬ru¬pa kata bersila. Kata ini menunjukkan bahwa tradisi itu bukan berasal dari tra¬disi keraton, tetapi berasal dari tradisi Arab atau Persia yang egaliter. Sebab, ka¬lau kita lihat dari tradisi keraton, bilamana seseorang ingin bertemu dengan ra¬ja, maka orang tersebut harus merangkak ke depan dan ketika berhadapan de¬ngan raja, ia harus bersujud. Dalam tradisi Arab Islam, sujud hanya diper¬bo¬leh¬kan di hadapan Allah, bukan di hadapan makhluknya.
Berdasarkan teori itu, dapat dikapahami bahwa sebenarnya agama Islam telah datang ke wilayah Nusantara sejak abad ke-7 M atau abad ke-1 H. Agama Islam ini langsung dibawa oleh para saudagar dan muballigh yang berasal dari negeri Arab atau Persia.
Pendapat kedua mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia baru terjadi sekitar abad ke-11 M/5 H. Data ini didasari atas temuan arkeologis berupa batu nisan. Bukti arkeologis tersebut kebanyakan ditemukan di daerah ja¬lur perdagangan internasional serta jalur persimpangan. Batu nisan tertua yang ditemukan di Indonesia berupa batu nisan kuburan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H/Desember 1082 M. Bentuk ni¬san dan tulisannya sama dengan batu nisan Ahmad bin Abu Ibrahim bin Ar¬radh Rahdar alias Abu Kamil (w. Kamis Malam, 29 Safar 431 H/1039 M) yang ditemukan di Phanrang, Vietnam. Pada kedua batu nisan tersebut terdapat ka¬ligrafi Arab de¬ngan jenis huruf Kufi bercorak Timur Tengah, yaitu dengan tan¬da hiasan bentuk kali atau lengkungan pada bagin ujung yang tegak. Gaya hu¬ruf Kufi seperti itu berkembang di Persia pada akhir abad ke-10 M.
Berdasarkan data arkeologis ini, maka dapat diperkirakan bahwa di pe¬si¬sir Utara Jawa Timur, khususnya di Leran, Gresik, telah terdapat se¬ke¬lom¬pok komunitas muslim yang berasal dari Timur Tengah. Dengan kata lain, Is¬lam masuk ke Indonesia berasal dari Timur Tengah yang dibawa oleh para sau¬dagar dan muballigh Arab atau Persia muslim.
Sementara itu, terdapat teori lain yang mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara ( Indonesia) sekitar abad ke-13 M dan berasal dari Gujarat, India. Teori ini didasari atas data-data arkeologis berupa batu nisan pada ma¬kam raja Malikus Saleh yang ditemukan di kerajaan Islam Samudarea Pasai. Ba¬tu nisan ini bertuliskan angka tahun 686 H/1297 M. Berdasarkan hasil pe¬ne¬li¬ti¬an arkeologis, batu nisan ini berasal dari Gujarat, India, dan jenis batu ini sering dipergunakan oleh pemeluk Hindu Gujarat untuk membangun kuil-kuil me¬re¬ka, selain sebagai barang dagangan. Hubungan dagang antara Samu¬dera Pasai terus berlanjut, hingga kedua bangsa ini memeluk Islam.
Teori ini diperkuat oleh pendapat Christian Snouck Hurgronye. Snouck mengatakan bahwa agama Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dan berasal dari Gujarat, India. Teori ini didasari atas hasil analisisnya me¬ngenai adanya unsur-unsur lokal berupa animisme, dan dinamisme yang ter¬da¬pat da¬lam ajaran Islam pada masa itu.
Menurutnya, ajaran Islam yang diterima oleh pemeluknya di Indonesia, telah tercemar oleh ajaran mistisisme. Lebih jauh Snouck menggambarkan hal tersebut dengan aliran air sungai yang mengalir. Indonesia digambarkannya se¬bagai hilir, tempat air sungai berhenti. Sementara Arab, Timur Tengah di¬gam¬barkannya dengan hulu sungai. Kalau agama Islam datang dari Arab, maka ajaran yang diterima masyarakat Indonesia juga masih murni. Tetapi kenya¬ta¬annya, ajaran Islam yang dianut masyarakat muslim Indonesia pada masa itu telah tercemar oleh tradisi lokal berupa ajaran animisme dan dinamisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhamad di Makah dan Madinah.
Meskipun teori ini tidak begitu kuat, banyak ahli atau sejarawan Indo¬nesia yang berpedoman pada teori ini. Hal itu didasari atas kenyataan sejarah bahwa masih banyak sejarawan Indonesia yang mampu mengungkap data-data penting yang diambil dari manuskrip yang banyak terdapat di Indonesia. Mes¬kipun begitu, teori ini menjadi pelengkap dari beberapa teori yang telah di¬ke¬mukakan para ahli sejarah Indonesia.
Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dipahami bahwa Islam datang ke Indonesia melalui beberapa periode. Periode pertama (abad ke-7 hingga abad ke12 M), merupakan awal kedatangan dan pembentukan komunitas muslim, terutama para pedagang muslim. Karena itu, penyebaran agama Islam juga masih sangat terbatas. Para penyebar agama Islam ini berasal dari negeri-negeri Islam, baik di Timur Tengah maupun di India. Pada umumnya mereka adalah para saudagar kaya yang juga bertindak sebagai juru dakwah.
Sementara periode kedua (abad ke-13 hingga abad ke 16 M), merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam awal. Karena itu pula, pada periode ini pe¬nye¬baran agama Islam telah meluas, bahkan sudah membentuk kekuatan sosial po¬litik yang mengambil bentuk kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan Islam Peurlak dengan raja muslim pertama, Sultan Muhamad Amir Syah (1225-1263 M), kerajaan Islam Demak (1500-1546 M), Pajang (1546-1582 M), Mataram (15¬82-1788 M), Cirebon (1452 M ), Banten (1526 -1811 M), Kerajaan Islam Sukadana (1590 M), Kerajaan Islam Banjar (1550 -1860 M), Kerajan Islam Gowa (1519-1669 M), dan lain-lain.
B. Penyebaran Islam di Indonesia
Seperti ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa agama Islam masuk ke Indonesia terjadi secara periodik, tidak sekaligus. Pada bagian ini akan di¬urai¬kan mengenai penyebaran Islam dan media yang dipergunakan oleh para pe¬da¬gang dan muballigh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Paling tidak, ter¬da¬pat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia, se¬perti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan Tasawuf. Berikut uraian singkat mengenai hal tersebut.
1. Perdagangan
Pada tahap awal, saluran yang dipergunakan dalam proses islamisasi di Indonesia adalah perdagangan. Hal itu dapat diketahui melalui adanya ke¬si¬bukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 M hingga abad ke-16 M. Ak¬tivitas perdagangan ini banyak melibatkan bangsa-bangsa di dunia, ter¬masuk bangsa Arab, Persia, India, Cina dan sebagainya. Mereka turut ambil bagian dalam perdagangan di negeri-negeribagian Barat, Tenggara, dan Timur Benua Asia.
Saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat menguntungkan, karena para raja dan bangsawan turut serta dalam ativitas perdagangan ter¬se¬but. Bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham perdagangan itu. Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan informasi penting yang dicatat Tome’ Pires bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang ketika itu penduduknya masih kafir. Mereka berhasil men¬di¬ri¬kan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar, sehingga jum¬lah mereka semakin bertambah banyak. Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan mereka menjadi penduduk muslim yang kaya raya.
Pada beberapa tempat, para penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bu¬pa¬ti-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir pulau Jawa banyak yang masuk Islam. Keislaman mereka bukan hanya disebabkan oleh faktor politik dalam negeri yang tengah goyah, tertapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan para pedagang muslim. Hubungan ekonomi perdagangan ini sangat menguntungkan secara material bagi mereka, yang pada akhirnya memperkuat posisi dan kedudukan sosial mereka di masyarakat Jawab. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekua¬saan di tempat tinggal mereka.
Hubungan perdagangan ini dimanfaatkan oleh para pedagang muslim sebagai sarana atau media dakwah. Sebab, dalam Islam setiap muslim memiliki kewajiban untuk menyebarkan ajaran Islam kepada siapa saja dengan tanpa paksaan. Oleh karena itu, ketika penduduk Nusantara banyak yang berinteraksi dengan para pedagang muslim, dan keterlibatan mereka semakin jauh dalam aktivitas perdagangan, banyak di antara mereka yang memeluk Islam. Karena pada saat itu, jalur-jalur strategis perdagangan internasional hampir sebagian besar dikuasai oleh para pedagang muslim. Oleh karena itu, bila para penguasa lokal di Indonesia ingin terlibat jauh dengan perdagangan internasional, maka mereka harus berperan aktif dalam perdagangan internasional dan harus sering berinteraksi dengan para pedagang muslim.
2. Perkawinan
Dari aspek ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial eko¬no¬mi yang lebih baik daripada kebanyakan penduduk pribumi. Hal ini me¬nye¬babkan banyak penduduk pribumi, terutama para wanita, yang tertarik untuk menjadi isteri-isteri para saudagar muslim. Hanya saja ada ketentuan hukum Is¬lam, bahwa para wanita yang akan dinikahi harus diislamkan terlebih dahulu. Para wanita dan keluarga mereka tidak merasa keberatan, karena proses peng¬islaman hanya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, tanpa upacara atau ritual rumit lainnya.
Setelah itu, mereka menjadi komunitas muslim di lingkungannya sendiri. Keislaman mereka menempatkan diri dan keluarganya berada dalam status so¬sial dan ekonomi cukup tinggi. Sebab, mereka bukan lagi orang Jawa atau Indo¬nesia yang kafir, tapi muslim yang kaya dan berstatus sosial. Kemudian setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka semakin luas. Akhrinya timbul kampung-kampung dan pusat-pusat kekuasaan Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula para wanita muslim yang di¬kawini oleh keturunan bangsawan lokal. Hanya saja, anak-anak para bang¬sa¬wan tersebut harus diislamkan terlebih dahulu. Dengan demikian, mereka men¬jadi keluarga muslim dengan status sosial ekonomi dan posisi politik penting di masyarakat.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja atau anak adipati. Ka¬rena raja, adipati atau bangsawan itu memiliki posisi penting di dalam ma¬sya¬rakatnya, sehingga mempercepat proses islamisasi. Di antara salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah perkawinan antara raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, antara Sunan Gunung Jati dengan puteri Ka¬wunganten, Brawijaya dengan puteri Campa, orang tua Raden Patah, raja ke¬rajaan Islam Demak, dan lain-lain.
3. Pendidikan
Proses islamisasi di Indonesia juga dilakukan melalui media pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan lembaga pendidikan Islam, berupa pesan¬tren. Pada lembaga inilah para ulama memberikan pengajaran keilmuan Islam (tafaqquh fiddien) melalui berbagai pendekatan., sampai kemudian para santri yang mempelajari keilmuan Islam, mampu menyerap pengetahuan keagamaan dengan baik. Setelah mereka dianggap mampu, mereka kembali ke kampung halaman untuk mengembangkan agama Islam dan membuka lembaga yang sa¬ma. Dengan demikian, semakin hari lembaga pendidikan pesantren menga¬lami perkembangan, baik dari segi jumlah maupun mutunya.
Lembaga pendidikan Islam ini tidak membedakan status sosial dan kelas, siapa saja yang berkeingian mempelajari atau memperdalam pengetahuan ke¬a¬gamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga pendidikan ini. Dengan de¬mi¬kian, pesantren-pesantren dan para ulamanya telah memainkan peran yang cu¬kup penting di dalam proses pencerdasan kehidupan masyarakat, sehingga ba¬nyak masyarakat yang kemudian tertarik memeluk Islam.
Di antara lembaga pendidikan pesantren yanng tumbuh pada masa awal Islam di Jawa adalah pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Den¬ta. Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, popularitasnya melampui batas pulau Jawa hingga ke Maluku. Masyarakat yang mendiami pulau Maluku, ter¬u¬tama Hitu, banyak yang berdatangan ke pesantren Sunan Giri untuk belajar il¬mu agama Islam. Bahkan Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diun¬dang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak di antara mereka yang menjadi khatib, muadzin, hakim (qadli) dalam masyarakat Maluku dengan memperoleh imbalan cengkeh.
Dengan cara-cara seperti itu, maka agama Islam terus tersebar ke seluruh penjuru Nusantara, hingga akhirnya banyak penduduk Indonesia yang menjadi muslim. Oleh karea itu, dapat dikatakan bahwa model pendidikan pe¬san¬tren yang tidak mengenal kelas menjadi media penting di dalam proses pe¬nye¬baran Islam di Indonesia, bahkan kemudian diadopsi untuk pengem¬bang¬an pendi¬dik¬an keagamaan pada lembaga-lembaga pendidikan sejenis di Indonesia.
4. Tasawuf
Media lain yang juga juga tidak kalah pentingnya dalam proses Isla¬mi¬sa¬si di Indonesia adalah Tasawuf. Salah satu sifat khas dari ajaran ini adalah ako¬modasi terhadap budaya lokal, sehingga menyebabkan banyak masyarakat In¬donesia yang tertarik menerima ajaran tersebut. Pada umumnya, para pengajar tasawuf atau pa¬ra sufi adalah guru-guru pengembara, dengan sukarela mereka menghayati ke¬miskinan, mereka juga seringkali berhubungan dengan perda¬gangan, mereka mengajarkan teosofi yang telah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam hal magis, dan memiliki kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang menikahi gadis-gadis para bangsawan setempat.
Dengan tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan kepada para penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam p;ikiran mereka yang sebelumnya memeluk agama Hindu, sehingga ajaran Islam dengan mudah diterima mereka. Di antara para sufi yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan de¬ngan alam pikiran Indonesia pra-Islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini terus di¬anut bahkan hingga kini.
5. Kesenian.
Media Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah melalui pertunjukkan wayang. Seperti diketahui bahwa Sunan Kalijogo adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah materi dalam setiap pertunjukkan yang dilakukannya. Sunan Kalijogo ha¬nya meminta kepada para penonton untuk mengikutinya mengucapkan dua ka¬limat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih diambil dari cerita Ra¬ma¬yana dan Mahabharata, tetapi muatannya berisi ajaran Islam dan nama-nama pahlawan muslim.
Selain wayang, media yang dipergunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah seni bangunan, seni pahat atau seni ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Di antara bukti yang dihasilkan dari pengembangan Islam awal adalah seni bangunan masjid Agung Demak, Sendangduwur, Agung Kase¬puh¬an, Cirebon, masjid Agung Banten, dan lain sebagainya. Seni bangunan masjid yang ada, merupakan bentuk akulturasi dari kebudayaan lokal Indonesia yang sudah ada sebelum Islam, seperti bangunan Candi. Salah satu dari sekian banyak contoh yang dapat kita saksikan hingga kini adalah masjid Kudus dengan me¬naranya yang sangat terkenal itu. Hal ini menunjukkan sekali lagi bahwa proses penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para penyebar Islam me¬lalui cara-cara damai dengan mengakomodasi kebudayaan setempat. Cara ini sangat efektif untuk menarik perhatian masyarakat pribumi dalam memahami gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh para muballigh, sehingga lambat laun mereka memaluk Islam.
C. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Sebelum berkembangnya lembaga pendidikan formal, di Indonesia sudah ada lembaga pendidikan nonformal yang dimulai dari lembaga masjid. Masjid biasanya dijadikan tempat diskusi atau muzakarah, selain untuk tempat shalat. Pada tahun 1354 M, ada catatan yang dimuat Ibnu Batutah dalam karya monumentalnya, al-Muhazdzdab Rihlah Ibn Batutah. Dalam catatan itu disebutkan bahwa ketika ia berkunjung ke kera¬ja¬an Islam Samudera Pasai, ia mengikuti raja melakukan diskusi dalam bentuk halaqah di masjid setelah shalat Jum’at hingga Ashar. Dari data itu dapat diketahui bahwa masjid dengan halaqah-nya,merupakan tempat pendidikan agama yang paling awal, sebelum berkembang lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Setelah itu, berkembang lembaga pendidikan bernama Meunasah, Dayah, dan Rangkang di Aceh. Ketika dikelola oleh para ulama besar, lembaga pendidikan ini ber-kembang menjadi sema¬cam lembaga pendidikan tinggi. Nuruddin ar-Raniri dan Abdur¬rauf Sing¬kel, merupa¬kan para ulama yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Banyak murid yang datang untuk belajar di Dayah, misalnya Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan, Pa¬ria¬man, Sumatera Barat. Sekembalinya dari Dayah, ia mendirikan lem¬ba¬ga pendidikan da¬sar di tempat¬nya. Lembaga pendidikan ini diberi nama Surau. Materi yang diberikan, baik di Dayah maupun di Surau, berkaitan dengan ilmu agama Islam, seperti al-Qur’an, ilmu fiqih, tauhid, akhlak, dan tasawuf.
Sebelum Islam, Surau di Minangkabau berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Tetapi setelah Islam, Surau dipergunakan untuk tempat shalat, pengajaran dan pengembangan Islam, seperti belajar membaca al-Qur’an, dan lain-lain. Selain itu, Surau hanya dijadikan tempat pelakasanaan shalat lima waktu, dan tidak dipergunakan untuk shalat Jum’at. Oleh karena itu, Surau seperti Mushalla atau Langgar di Jawa. Su¬rau pertama yang didirikan di Minangkabau adalah Surau Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman,Sumatera Barat. Surau inilah yang menjadi cikal bakal lembaga pen¬didikan Islam yang berkembang di Sumatera Barat. Para murid Syaikh Burhanuddin Ulakan yang telah menamatkan pendidikannya, kembali ke kampung halaman dan ke¬mudian mendirikan lembaga yang sama untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan dalam sistem pendidikan Islam.
Di Jawa, lembaga pendidikan Islam disebut pesantren. Lembaga pendidikan ini sebenarnya merupakan produk lokal. Sebab sebelum Islam datang, lembaga pendidikan sejenis yang dikenal dengan sebutan shastri, sudah dikenal dan dijadikan sebagai lem¬baga pendidikan Hindu. Setelah Islam, model lembaga pendidikan ini tetap diper¬ta¬han¬kan dengan mengubah orientasi dan materi pendidikannya. Lembaga pendidikan ini dijadikan sebagai tempat penyebaran Islam di Jawa dan luar Jawa yang melakukan Is¬lamisasi. Pesantren pertama yang didirikan di Jawa adalah pesantren Giri dan pesan¬tren Gresik, di Jawa Timur. Pesantren Gresik didirikan oleh Sunan Gresik atau Maulana Ma¬lik Ibrahim. Lembaga pendidikan ini dijadikan sebagai tempat mendidik kader mu¬bal¬ligh yang akan menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan pesantren Giri di¬di¬rikan oleh Sunan Giri atau Raden Paku pada tahun 1485 M. sekembalinya dari me¬nun¬tut ilmu di Makkah. Di Giri, ia dikenal sebagai kyai besar berpengaruh, sehingga Sunan Giri diberi gelar dengan sebutan Prabu atau raja Satmata. Ia membangun istana dan masjid sebagai sebuah kerajaan Islam, sehingga ia digelari prabu-ulama. Prabu Satmata sebagai orang pertama yang membangun pusat pendidikan sekaligus pusat berkhalwat.
Pesantren Giri tidak hanya dikunjungi oleh para penuntut ilmu dari Jawa, uga dari luar Jawa; seperti dari Maluku, terutama Hitu. Usai menunutut ilmu, para santtri tersebut kembali ke daerah masing-masing untuk menjadi guru agama atau khatib, mo¬din, qadi, yang mendapat upah dalam bentuk hasil bumi, seperti cengkeh dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, banyak berdiri lembaga pendidikan sejenis di daerah lain, seperti Ampel, yang didirikan oleh Sunan Ampel; di Tembayat, yang didirika oleh Sunan Tembayat, Gunung Jati, di Cirebon. Sunan Gunung Jati juga diberi gelar kebangsawanan Raja Pandito Ratu, yang bertugas sebagai raja dan sekaligus pe¬nyebar Islam, khususnya di Cirebon.
Selain di Jawa, di kerajaan Islam Banjar, Kalimantan, juga terdapat lembaga pen-didikan sejenis, yang disebut Langgar. Orang pertama yang mendirikan Langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menunutut il¬mu di Aceh dan Makah. Sekembalinya dari Makah, ia mendirikan Langgar di pinggiran ibu kkota kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Dalam Pagar. Langgar di Banjarmasin, banyak kemiripan dengan pesantren di Jawa.
Sementara itu, di daerah Sulawesi, Sultan Alauddin Raja Gowa ke-14, adalah orang pertama yang mendirikan masjid di Bantolo. Masjid di sini tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat, juga tempat pendidikan dan pengajaran ilmu agama Islam. Pengajar per¬tama adalah Dato Ri Bandang, seorang ulama dari Minagkabau dan pernah mondok di pesantren Giri. Dalam penyebaran Islam di sini, Dato Ri Bandang dibantu oleh Dao Pat¬timang dan Dato Ri Tiro, keduanya juga berasal dari Minangkabau. Selanjutnya, masjid tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam atau pesantren. Dari lembaga pendidikan ini Syaikh Yusuf al-Makassar, menyelesaikan pendidikan dasar¬nya, kemu¬dian dilanjutkan ke Aceh dan ke Makkah. Materi pelajaran yang diberikan di sini meliputi fiqh, tasawuf, tafsir, hadits, balaghah, dan mantiq ( Logika).
Pada umumnya, metode pengajaran yang dipergunakan dalam penyampaian materi pendidikan adalah Sorogan dan Bandongan. Metode Sorogan adalah metode pe¬ngajaran yang besifat perorangan, biasanya bagi santri pemula. Sedangkan Metode bandongan adalah metode yang dipergunakan dalam pengajaran bersifat massal. Se¬ke¬lompok santri mendengarkan seorang guru atau kyaimembaca, menerjemahkan, mene¬rangkan, mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab yang disebut Kitab Kuning de¬ngan cepat. Dalam hal ini, kyai atau syaikh, biasanya dibantu oleh murid-murid senior yang dipangggil ustadz. Ustadz yang banyak pengalaman dan pengetahuannya disebut dengan kyai muda.
Berbeda dengan lembaga pendidikan modern, pendidikan pesantren tidak me¬miliki kurikulum. Kurikulumnya ditentukan oleh kyai atau pimpinan pesantren itu sendiri. Materi kurikulum diberikan sesuai dengan keahlian piminan pondok pesantren. Bila di Jawa materi yang dipelajari bersumber dari kita-kitab klasik dalam bahasa Arab, maka di beberapa tempat, seperti di Sumatera dan Kalimantan, buku-buku yang dipelajari merupakan buku karya ulama Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu, meski ada juga yang bersumber pada buku-buku Islam klasik.
Di Jawa, setelah berdirinya kerajaan Islam Demak, pendidikan Islam semakin bertambah maju. Karena pemerintah memperhatikan pengembangan pendidikan Islam. Pada tahun 1476 M, berdiri organisasi peduli pendidikan yang disebut Bayankare Islah. Organisasi memiliki rencana program seperti; mendirikan masjid Agung yang dapat di-jadikan tempat pengajaran atau pendidikan Islam. Kitab-kitab yang dipergunakan dalam pengajaran Islam pada masa kerajaan Islam Demak antara lain adalah Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi. Selain itu, diajarkan ju¬ga kitab Suluk yang berisi ajaran tasawuf, dan primbon, yang berisi ajaran atau we¬jangan para wali.
Pada masa pemerintahan kerajaan Islam Mataram, pengembangan pendidikan dijadikan prioritas utama dalam pengembangan Islam di daerah-daerah. Di setiap ka¬bu-paten didirikan lembaga pendidikan Islam dan yang diberi tanggungjawab untuk me-ngembangkan dan mengajarkan agama Islam adalah Ketib atau Modin. Materi pelajaran agama yang diberikan di setiap desa adalah al-Qur’an juz ‘Amma. Selain itu, juga diberikan materi adalah pokok-pokok ajaran agama Islam, seperti ibadah, rukun iman, rukun Islam dan sebagainya. Sistem pengajaran yang diberikan adalah hafalan.
Kemudian pada beberapa kabupaten, diadakan pesantren besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan. Para guru yang mengajar disebut kyai dan bergelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai. Para guru itu adalah Ulama Kraton, tingkat kedudukannya sama dengan kedudukan penghulu kabupaten. Sedangkan Kyai Anom seperti Ketib termasuk ke dalam golongan priyayi ulama kabupaten.
Kitab-kitab yang dipergunakan di pesantren besar adalah kitab Islam klasik berbahasa Arab. Pada umumnya pelajaran berbentuk syarah dalam bermacam-macam cabang ilmu, seperti fiqih, tafsir, hadits, ilmu kalam,dan tasawuf. Selain itu juga diajarkan ilmu nahwu, sharaf, dan falak. Selain pesantren besar, juga ada pesantren khusus atau ta¬khassus, yang mengajarkan suatu ilmu tertentu. Begitu juga ada pesantren tarekat, yang mengajarkan tarekat.
Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan mengalami perubahan, terutama setelah campur tangan Belanda pasca perjanjian Giyanti 1755 M ke dalam kerajaan Islam Mataram. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Belanda memberikan pendidikan dasar non pesantren. Belanda beranggapan bahwa alumni lembaga pendidikan Islam, sema¬cam pesantren tidak dapat diandalkan. Karena mereka tidak bisa tulis baca huruf latin guna memahami peraturan dan perundangan pemerintah Belanda. Padahal, untuk men¬jadi pegawai, mereka harus pintar tulis baca huruf latin. Untuk kepentingan itu, Belanda mulai mendirikan lembaga pendidikan sekuler. Pendirian lembaga pendidikan ini selain untuk kepentingan politik administrasi, juga untuk membendung laju per¬tum¬buhan pe¬santren di Indonesia.
Di antara usaha itu adalah pendirian sekolah pribumi yang dilakukan Van den Capellen pada tahun 1819 M. Melalui surat edaran yang dikeluarkannya, Van Den Ca¬pellen menginstruksikan kepada para bupati, agar secepatnya mendirikan lembbaga pendidikan sekular yang dapat mempercepat proses rekruitmen pegawai yang bisa tulis baca. Selain itu, diharapkan, pribumi dapat mengerti peraturan perundanganyang di¬bu¬at pemerintah kolonial Belanda. Sebab selama ini, menurut pemerintah Belanda bahwa lembaga pendidikan pesantren, masjid, mushalla, surau, dayah dan lain-lain, tidak da¬pat membantu pemerintah. Karena para santri hanya mampu menulis dan membaca huruf Arab, dan tidak bisa tulis baca huruf latin.
Meskipun ada kebijakan seperti itu, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam di tanah air, tidak dapat dibendung, bahkan mengalami perkembangan. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengasi kehidupan ber¬agama dan pendidikan Islam. Kemudian pada tahun 1925 M pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat lagi, bahwa tidak semua kyai atau ulama boleh memberikan pelajaran mengaji, yang disebut dengan istilah Ordonansi Guru. Salah satu faktor penyebab keluarnya kebijakan politik seperti ini, adalah munculnya berbagai organisasi massa Islam, seperti Muham¬madiyah pada 1912 M, Syarikat Islam, al-Irsyad, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Ulama pada 1926 dan sebagainya.
Peraturan lebih ketat lagi dikeluarkan pemerintah Belanda pada tahun 1932 M. Dengan peraturan ini, pemerintah Belanda dapat dengan mudah menutup lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tidak memiliki izin pendirian. Peraturan ini disebut dengan Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan karena ada usaha ma¬sya¬rakat muslim menolak kehadiran lembaga pendidikan sekuler yang dikelola gereja, se¬lain untuk membendung laju pertumbuhan lembaga pendidikan Islam.
Kemudian pada tahun 1901 M Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis, yang memberikan hak-hak pendidikan dasar kepada masyarakat pribumi. Lembaga pendi¬dikan ini didirikan hingga tingkat desa. Tujuannya, untuk mencetak tenaga yang dapat bekerja di lembaga-lembaga pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial Belanda tidak mau mengakui lulusan lembaga-lembagaa pendidikan Islam, karena mereka dianggap tidak cakap tulis baca huruf latin dan tidak bisa bekerja di perusahaan-perusahaan atau di birokrasi.
Kebijakan ini membuka mata masyarakat pribumi. Mereka mulai mengenal sistem pendidikan modern dengan sistem kelas, memakai meja tulis, metode belajar mo¬dern, dan pengetahuan umum. Selain itu, mereka juga bisa membaca koran dan majalah untuk mengikuti perkembangan zaman. Akhirnya, masyarakat terdirik memiliki pan¬dangan yang rasional. Pandangan ini menjadi pemicu masyarakat muslim untuk mela¬kukan pembaharuan dalam bidang agama dan pendidikan. Dari sinilah muncul gerakan pembaharuan pendidikan Islam di tanah air.
Gerakan pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Timur Tengah me¬nambah darah segar bagi usaha umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Pembaharuan pendidikan Islam dilakukan oleh Muhammadiyah, Nu dan lain sebagainya. Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah modern dengan sistem klasikal dan kurikulum yang mengacu pada pendidikan umum. Sedang NU, sejak 1919 pesantren Tebuirang, Jombang, Jawa Timur, juga menggu¬nakan sistem klasikal. Bahkan sejak 1952 M, Pondok Pesantren Tebuirng, telah memiliki jenjang pendidikan MI ( Mad¬rasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan Mu’allimin 5 (lima) tahun. Ku¬ri¬kulum yang diberikan merujuk pada kurikulum pememrintah dan pesantren dengan pembagian 70 % pendidikan agama dan 30 % pendidikan umum.
Ketika Jepang menjajah, pendidikan Islam tidak mengalami perbaikan signifi¬kan. Karena lembaga-lembaga pendidikan ini terus diawasi, karena sebagian besar men¬jadi basis perlawanan terhadap pemerintah Jepang. Akan tetapi, untuk pendidikin umum, pemerintah pendudukan Jepang melakukan perubahan untuk pendidikan dasar menjadi 6 (enam) tahun. Selain itu, juga didirikan Sekolah Umum dan Sekolah Guru. Sekolah Umum terdiri dari : Sekolah Rakyat 6 (enam ) tahun, Sekolah Menengah 3 (tiga) tahun, dan Sekolah Menengah Tinggi 3 (tiga) tahun. Sedang untuk Sekolah Guru terdiri dari: Sekolah Guru 2 (dua) tahun, Sekolah Guru 4 (empat) tahun dan Sekolah Guru 6 (enam) tahun.
Ada hal menarik yang perlu dicermati bahwa pada masa pendudukan Jepang, bahasa pengantar yang dipergunakan dalam proses kegiatan bekajar mengajar di kelas adalah bahasa Indonesia. Bahkan bahasa Indonesia Indonesia dijadikan sebagai mata pelajaran utama pada setiap sekolah. Sementara bahasa Jepang adalah bahasa wajib. Se¬dang bahasa daerah hany diberikan kepada siswa kelas 1 dan 2, sampai murid ter¬sebut memahami bahasa Indonesia. Hanya saja, para siswa setiap hari diperintahkan untuk kerja baki (kinrohosyi ), seperi mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menamam bahan makanan, membersihkan asrama, memperbaiki jalan, dan lain-lain. Selain itu, para siswa wajib mengikuti latihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Serta digembleng agar memiliki semangat Jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, dan melakukan penghormatan ke arah istana kaisar dan bendera Jepang. Para guru diberikan latihan fisik dan kemampuan berbahasa Jepang. Semua itu dilakukan pe¬me¬rintah pendudukan Jepang untuk mencapai tujuannya memenangkan perang Asia Ti¬mur Raya.
Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah sekolah-sekolah yang didirikan pada zaman pemerintahan kolonnial Belanda, termasuk sekolah-sekolah agama dan pesan¬tren dibuka lagi. Tetapi, penyelenggaraannnya harus diserahkkan ke pemerintahan pen¬dudukan tenttara Jepang.
Untuk mendapatkan tenaga guru yang profesional, pada Juni 1942 Je¬pang me¬la-kukan pelatihan di Jakarta, dengan materi utama pendidikan, bahasa, adat istiadat, la¬gu-lagu Jepang, oleh raga, dasar—dasar pertahanan, dan sebagainya. Mereka yang te¬lah selesai mengikuti pelatihan, sekembalinya ke daerah masing-mmasing, mereka menjadi pelatih para guru yang lain, sehingga menjadi alat propaganda Jepang. Secara sosial, para guru mendapatkan posisi dan status sosial yang baik di kalangan masyarakat.
Akan tetapi, ada kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang tidak positif dalam dunia pendidikan, yaitu penutupan perguruan tinggi. Hanya empat perguruan tinggi yang kemudian dibuka kembali pada tahun 1943, yaitu Perguruan Tingggi Ke¬dokteran (Ika Daigaku) di Jakarta, kini Universitas Indonesia (UI) dan Perguruan Tinggi Teknik di Bandung, kini Institut Teknologi Bandung (ITB), Perguruan Tinggi Kedok¬ter¬an Hewan di Bogor, kini Institus Pertanian Bogor (IPB), dan Perguruan Pamongpraja di Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat perhatian dan kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Mahmud Yunus, sa¬lah seorang ahli pendidikan Islam mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama diberikan pada sekoah-sekolah umum dan gurunya mendapatkan gaji yang sa¬ma seperti yang diterima guru-guru umum. Usulan itu diterima pemerintah In¬donesia, sehingga kurikulum agama menjadi salah satu komponen pendidikan di sekolah-se¬kolah umum hingga saat ini. Selain itu, madrasah dan pesantren juga mendapat per¬ha¬tian serius dari pemerintah. Untuk menangani masalah ini, pemerintah Indonesia membentuk Departemen Agama pada 3 Desember 1946. Departemen ini salah satu tu¬gasnya adalah mengurusi masalah pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren.
Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren yang dulunya hanya me¬nye¬leng-garakan pendidikan tradisional, mulai ada yang membuka lembaga pendidikan formal, mulai dari MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), MA (Madrasah Aliyah, bahkan kini banyak yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam, Institut Agama Islam atau Universitas Islam, dan seterusnya. Hal ini membutkikan bahwa pendidikan agama telah mendapat perhatian serius dari pe¬me¬rintah. Terlebih dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasi¬on¬al, posisipendidikan agama menempati kedudukan yang sama dengan lembaga-lem¬baga pendidikan umum yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional.
Selain menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, Departemen Agama juga menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, mulai dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri ( IAIN) dan Universitas Islam negeri (UIN). Perubahan beberapa IAIN menjadi UIN menandai adanya keseriusan peme¬rin¬tah dan pengelola lembaga pendidikan untuk menyejajarkan pendidikan tinggi agama dengan pendidikan tinggi umum.
D. Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia
Kedatangan agama Islam ke Indonesia tidak hanya berpengaruh ter¬ha¬dap ke¬ya¬kinan masyarakat pribumi, juga berpengaruh terhadap kebudayaan In¬donesia secara keseluruhan. Penerimaan Islam oleh masyarakat Indonesia sang¬at berkaitaan dengan corak Islam sufistik yang berkembang, sehingga mudah diterima karena sesuai dengan kebudayaan lokal yang ada. Ciri sufistik tersebut yang menyebabkan Islam disambut baik dan dapat diinteg¬rasikan ke dalam pola sosial, budaya dan politik yang sudah ada. Para tokoh yang sudah dikenal masyarakat Jawa dalam pengembangan Islam adalah wali sembilan (wali sanga).
Berbagai cara telah ditempuh oleh para wali. Sunan Kudus, misalnya, menggu¬nakan sapi (hewan suci umat Hindu) sebagai media dakwah pada masyarakat yang se¬bagian besar beragama Hindu. Sunan Kalijaga menciptakan perayaan Sekaten ( asal kata dari syahadatain) untuk memperingati maulid Nabi Muhamad Saw dengan gamelan sekaten yang dibunyikan di masjid Agung dekat keraton. Sekatenan diakhiri dengan upacara grebeg yang disertai dengan pembacaan Sirah Nabi (riwayat hidup Nabi Mu¬hamad Saw) dan sedekah se¬ka¬ten. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan cerita-cerita wayang yang di¬se¬laraskan dengan cerita Mahabharata dan mengadakan pertun¬jukan wayang de¬ngan ucapan dua kalimat syahadat. Contoh cerita wayang yang dicip¬takannya adalah cerita Serat Dewa Ruci yang mengibaratkan usaha ke araah tarekat, ha¬kikat hingga ma’rifat. Sunan Giri menciptakan kitab ilmu falak yang dise¬suai¬kan deng¬an alam pikiran Jawa. Kitab ini digubah oleh Ronggowarsito dengan nama Serat Widya Praddana.
Dalam kitab ini dijumpai penanggalan yang berlaku bagi orang Jawa yang dida-sarkan atas prinsip ilmu falak Islam, yang meliputi nama-nama hari, tanggal, tahun dan windu. Adapun istilah-istilah yang masih mengandung un¬sur-unsur Hindu Budha di¬gubah dengan istilah Islam. Sunan Giri juga menga¬rang kitab ilmu firasat yang memuat nasib, tentang naas, nasib malang atau keberuntungan yang kemudian terkenal dengan nama juru ramal, dan lain sebagainya.
Pengaruh Islam juga tampak jelas dalam tradisi keraton. Akar geneologis (asal-usul) teratas raja Jawa dilukiskan dalam konsep Nur-Roso dan Nur Cahyo yang menurut istilah keraton melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewasebagai nenek moyang raja-raja Jawa. Istilah Nur Roso dan Nur Cahyo berkaitan langsung dengan konsep Nur Muhamad dalam khazanah sufistik Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyaknya budaya sufistik yang dipinjam oleh kebu¬da¬yaan keraton menunjukkan besarnya penga¬ruh Islam.
Selain itu, pengaruh Islam juga dapat ditemukan dalam budaya populer. Hal ini tampak dari kosa kata bahasa Jawa dan Melayu yang banyak menyerap konsep Islam dalam upacara. Selain kata benda, istilah ilmu pengetahuan pun banyak yang berasal dari bahasa Arab, seperti wahyu, ilham, wali, siasat, madrasah, masjid, dewan, rakyat, majlis, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut sebelumnya tidak dikenal dalam kha¬za¬nah budaya populer.
Pengaruh Islam itu juga dapat dilihat dari berbagai bentuk seni tari, seni musik, seni arsitektur, seni kaligrafi, dan sebagainya. Tari Seudati dan tari Saman dari Aceh, atau tari Srundul, Kuntulan, Emprak, dan tari Badui dari Jawa menegaskan adanya pengaruh tersebut. Pengaruh Islam dalam seni musik juga dapat disaksikan dalam seni musik qasidah, gambus, dan lain-lain.
Selain hal tersebut di atas, banyak pula unsur Islam yang mempengruhi perkem-bangan kebudayaan Indonseia, antara lain dalam upacara perkawinan, kelahiran, ke¬ma¬tian dan sebagainya. Unrus-unsur lokal yang berbau Hindu-Budha digantikan dengan unsur-unsur Islam, sehingga kehadiran Islam tidak mematikan pertumbuhan dan per¬kembangan kebudayaan Indonesia pra-Islam, bahkan justeru menjadi perekat yang sa¬ngat kuat.
E. Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan Indonesia
Kedatangan agama Islam ke Indonesia tidak hanya berpengaruh ter¬ha¬dap keyakinan masyarakat pribumi, juga berpengaruh terhadap kebudayaan In¬donesia secara keseluruhan. Penerimaan Islam oleh masyarakat Indonesia sang¬at berkaitaan dengan corak Islam sufistik atau tasawuf yang berkembang, se¬hingga mudah diterima karena sesuai dengan kebudayaan lokal yang ada.
Ciri sufistik tersebut yang menyebabkan Islam disambut baik dan dapat diinteg-rasikan ke dalam pola sosial, budaya dan politik yang sudah ada. Para tokoh yang sudah dikenal masyarakat Jawa dalam pengembangan Islam adalah wali sembilan (wali sanga).
Berbagai cara telah ditempuh oleh para wali. Sunan Kudus, misalnya, menggunakan sapi (hewan suci umat Hindu) sebagai media dakwah pada ma¬sya¬rakat yang sebagian besar beragama Hindu. Sunan Kalijaga menciptakan perayaan Sekaten ( asal kata dari syahadatain) untuk memperingati maulid nabi Muhamad Saw dengan gamelan sekaten yang dibunyikan di masjid Agung de¬kat keraton. Sekatenan diakhiri dengan upacara grebeg yang disertai dengan pembacaan Sirah Nabi (riwayat hidup Nabi Muhamad Saw) dan sedekah se¬ka¬ten. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan cerita-cerita wayang yang di¬se¬laraskan dengan cerita Mahabharata dan mengadakan pertunjukan wayang de¬ngan ucapan dua kalimat syahadat. Contoh cerita wayang yang diciptakannya adalah cerita Serat Dewa Ruci yang mengibaratkan usaha ke araah tarekat, ha¬kikat hingga ma’rifat. Sunan Giri menciptakan kitab ilmu falak yang dise¬suai-kan dengan alam pikiran Jawa. Kitab ini digubah oleh Ronggowarsito dengan nama Serat Widya Praddana.
Dalam kitab ini dijumpai penanggalan yang berlaku bagi orang Jawa yang didasarkan atas prinsip ilmu falak Islam, yang meliputi nama-nama hari, tanggal, tahun dan windu. Adapun istilah-istilah yang masih mengandung un¬sur-unsur Hindu Budha digubah dengan istilah Islam. Sunan Giri juga menga¬rang kitab ilmu firasat yang memuat nasib, tentang naas, nasib malang atau keberuntungan yang kemudian terkenal dengan nama juru ramal, dan lain sebagainya.
Pengaruh Islam juga tampak jelas dalam tradisi keraton. Akar geneologis (asal-usul) teratas raja Jawa dilukiskan dalam konsep Nur-Roso dan Nur Cahyo yang menurut istilah keraton melahirkan nabi Adam dan dewa-dewasebagai nenek moyang raja-raja Jawa. Istilah Nur Roso dan Nur Cahyo berkaitan langsung dengan konsep Nur Muhamad dalam khazanah sufistik Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyaknya budaya sufistik yang dipinjam oleh kebu¬da¬yaan keraton menunjukkan besarnya pengaruh Islam.
Selain itu, pengaruh Islam juga dapat ditemukan dalam budaya populer. Hal ini tampak dari kosa kata bahasa Jawa dan Melayu yang banyak menyerap konsep Islam dalam upacara. Selain kata benda, istilah ilmu pengetahuan pun banyak yang berasal dari bahasa Arab, seperti wahyu, ilham, wali, siasat, mad¬ra¬sah, masjid, dewan, rakyat, majlis, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut sebe¬lum¬nya tidak dikenal dalam khazanah budaya populer.
Pengaruh Islam itu juga dapat dilihat dari berbagai bentuk seni tari, seni musik, seni arsitektur, seni kaligrafi, dan sebagainya. Tari Seudati dan tari Saman dari Aceh, atau tari Srundul, Kuntulan, dan Emprak, dari Jawa menegaskan adanya pengaruh tersebut. Pengaruh Islam dalam seni musik juga dapat disaksikan dalam seni musik qasidah, gambus, dan lain-lain.
Selain hal tersebut di atas, banyak pula unsur Islam yang mempengruhi perkembangan kebudayaan Indonseia, antara lain dalam upacara perkawinan, kelahiran, kematian dan sebagainya. Unrus-unsur lokal yang berbau Hindu-Budha digantikan dengan unsur-unsur Islam, sehingga kehadiran Islam tidak mematikan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Indonesia pra-Islam, bahkan justeru menjadi perekat yang sangat kuat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar