A. Proses Masuk dan Perkembangan Islam di Andalusia
Andalusia yang kini dikenal dengan nama Spanyol, semula disebut dengan nama Vandal. Kemudian orang-orang Arab Islam menyebutnya dengan nama Andalus atau Andalusia. Nama ini merujuk kepada kebiasan dan tradisi masyarakatnya yang masih primitif saat itu bila dibandingkan dengan masyarakat Islam yang telah mencapai banyak kemajuan di bawah pemerintahan khalifah Bani Umayah. Wilayah ini pada abad ke-2 M sampai dengan awal abad ke-5 M berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Kemudian ditaklukkan oleh bangsa Vandal pada awal abad ke-5 M.
Ketika bangsa Gothic berhasil menguasai negeri kaum Vandal ini, bangsa Vandal terusir dan melarikan diri ke wilayah Afrika Utara, tepatnya berada di sebuah kepulauan kecil di ujung benua Afrika, yaitu di pulau Ceuta. Di sinilih seorang bangsawan bernama De Graft Julian memper-tahankan kekuasaan dari serangan raja Roderick. Serangan Roderick dan keinginan Julian untuk membebaskan diri dari kekuasaan bangsa Gothic ini, menimbulkan keinginan Julian untuk meminta bantuan kepada Musa Ibn Nushair, salah seorang gubernur Bani Umayah yang berkedudukan di Afrika Utara. Untuk kepentingan itu, kedua orang penguasa mengadakan perjanjian kerjasama dalam usaha penggulingan Roderick.
Namun sebelum usaha itu dilanjutkan, gubernur Musa Ibn Nushair meminta persetujuan dari khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik. Pada prinsipnya, khalifah tiak keberatan dengan permintaan tersebut, bahkan ia melihat sebagai peluang besar untuk melebarkan sayap kekuasaannya di seberang lautan. Untuk itu, ia memerintahkan gubernur Musa Ibn Nushair melakukan ekspedisi dengan mengirim orang kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan situasi politik di negeri itu, di samping untuk membuka jalan masuknya tentara Islam.
Sesuai dengan isntruksi khalifah, maka pada tahun 9 H/710 M Musa Ibn Nushair mengutus orang bernama Tharif Ibn Malik yang dibantu oleh De Graft Julian menuju Andalusia. Hasilnya, ditemukan jalan yang tidak mendapat banyak hambatan dari pasukan Roderick. Hanya saja, jalan yang harus ditempuh banyak liku-likunya dan terjal di tengah bukit karang, yang kemudian hari dikenal dengan nama Bukit Thariq ( Jabal Thariq atau Giblaltar). Ekspedisi yang dilakukan menghasilkan banyak data dan informasi mengenai keberadaan kekuasaan Roderick. Situasai inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Musa Ibn Nushair dalam usaha penaklukkan ke wilayah Eropa.
Usaha tersebut baru terwujud pada tahun 711 M, ketika Musa Ibn Nushair mengutus pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad. Untuk mempermudah usaha itu, khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik mengirim tentara sebanyak 5000 orang, terdiri dari 4000 tentara biasa dan 1000 pasukan berkuda ditambahn pasukan Musa Ibn Nushair sejumlah 2000 orang tentara, sehingga jumlah pasukan bertambah menjadi 7000 orang tentara. Sementara bantuan yang diberikan De Graft Julian beru¬pa perahu yang dapat dipergunakan untuk menyeberangi selat mediterania ( Laut Tengah). Pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad ini berhasil menyeberangi selat tersebut dan mendarat di sebuah bukit berbatu pada bulan Sya’ban 92 H/ tahun 711 M. Bukit ini kemudian diberi nama sesuai dengan orang yang pertama kali menginjak mendarat di situ, yaitu Giblaltar atau selat Jabal Thariq.
Mendaratnya pasukan Islam di selat Giblaltar di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad didengar oleh Roderick. Hanya saja ketika itu ia sedang menghadapi pemberontakan kelompok Achilla di Andalusia Utara, sehingga ia tidak segera melakukan serangan balik. Ketidakmampuan ini selain disebabkan adanya pemberontakan di dalam negeri, juga karena pendaratan Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya tidak diperkirakan sebelumnya. Menyadari bahaya dan ancaman itu, akhirnya ia membelokkan sekitar 100.000 pasukannya menuju selatan Andalusia untuk menyambut kedatangan tentara Islam.
Kedatangan tentara Roderick dengan jumlah yang cukup besar itu, tidak menciutkan hati Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, malah mem-bangkitkan semangat juang untuk meneruskan cita-cita umat Islam menaklukkan Andalusia yang ketika itu berada di bawah pemerintahan raja Roderick. Namun karena tidak sebandingnya pasukan, akhirnya Thariq Ibn Ziyad meminta tambahan pasukan dari Musa Ibn Nushair yang kemudian disanggupi dengan tambahan sekitar 5000 orang tentara, sehingga pasukan Thariq Ibn Ziyad saat itu berjumlah 12.000 orang. Kekuatan yang begitu besar semakin memperkuat keinginan Thariq Ibn Ziyad untuk terus melanjutkan serangan ke wilayah utara Andalusia dan menguasai Spanyol secara keseluruhan.
Kedua pasukan bertemu di sungai kecil yang disebut oleh orang Arab dengan nama Wadi Bekka dekat Guadalete yang mengalir ke selat Tara-falagar. Thariq Ibn Ziyad dengan semangat juang dan didukung oleh 12.000 pasukan menyerang musuh-musuhnya dan memperoleh keme¬nangan, se-hingga Roderick terbunuh dalam peperangan tersebut. Sementara pasukan Roderick menjadi tawanan perang.
Ternyata, cita-cita dan keinginan Thariq Ibn Ziyad tidak hanya sebatas kemenangan di situ, ia berkeinginan untuk meneruskan penyerangannya ke seluruh Andalusia. Setelah melakukan musyawarah dengan pasukannya, akhirnya ia terus melakukan niatnya itu. Untuk kepentingan perluasan tersebut, ia membagi pasukannya menjadi tiga resimen yang ia sebarkan ke seluruh Siberia. Didukung dengan 700 pasukan bekuda, pasukan umat Islam ini menuju Cordova. Sebagian besar penduduk Cordova telah mengungsi ke Toledo, sementara yang masih menetap di kota ini hanyalah putera raja dan keluarganya yang dikawal dengan 400 pasukan berkuda, sehingga memudahkan pasukan umat Islam melakukan serangan ke pusat kekuasaan di Cordova tanpa menimbulkan kurban jiwa masyarakat sipil.
Mengingat daerah itu bersalju, maka tidak begitu mudah tentara Islam menaklukkan Cordova. Untunglah ada seorang pengembala (tidak disebut¬kan namanya) yang memberi petunjuk cara masuk ke benteng istana yang dijaga ketat. Karena cuaca begitu dingin ditambah angin dan hujan salju yang deras, para penjaga benteng tidak mendengar derap langkah pasukan berkuda umat Islam, sehingga umat Islam dengan mudah menyerang dan membuka pintu gerbang benteng istana. Dalam situasi ini putera raja dapat melarikan diri dan berlindung di gereja selama 3 bulan yang kemudian menyerang dan ditangkap. Di kota inilah kemudian orang-orang Yahudi di¬kumpulkan dan menetap. Masyarakat Yahudi terlibat di dalam keme¬nang¬an-kemenangan bangsa Arab Muslim. Mereka memberikan kemu¬dahan umat Islam melakukan penaklukkan kota Rayya, Malaga, Granada di pro¬pinsi Elvira. Penduduk kota Ariola dan Toledo membuka pintu gerbangnya un¬tuk orang-orang Muslim.
Karena jasa-jasa orang Yahudi, kemengangan umat Islam diperoleh tan¬pa perlawanan. Sebagai balas jasa, kaum Yahudi kemudian diperin¬tah-kan untuk tinggal dan menetap di Toledo yang dibantu dengan kawalan pasukan umat Islam. Sementara penduduk asli Toledo melarikan diri dan berlindung di bukit karang. Mereka kemudian menyeberangi Guadalaxana ( Bukit Batu) menuju Medinaceli terus ke Galicia di Barat Laut Andalusia.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya. Sehingga hampir seluruh Andalusia ditaklukan dan berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah yang berkuasa di Damaskus. Dengan cara-cara seperti itulah agama Islam masuk ke Andalusia, sehingga Andalusia menjadi daerah kekuasaan Islam selama lebih kurang 8 (delapan) abad, yaitu dari tahun 711 – 1492 M.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Andalusia pada saat itu telah menjadi salah satu propinsi atau wilayah dari kekuasaan dinasti Bani Umayah, yang kemudian menjadi negara sendiri di seberang lautan Mediterania. Keberhasilan umat Islam meneklukkan Andalusia saat itu, tidak hanya berkat jasa Thariq dan pasukannya, juga jasa-jasa orang lain, seperti Tharif Ibn Malik dan Musa Ibn Nushair, ditambah dengan adanya dukungan material dari De Graft Julian yang menjadi penguasa di Ceuta.
Gambar peta Selat/pegunungan Giblaltar
B. Perluasan Kekuasaan Islam di Andalusia
Kemenangan pertama yang diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, merupakan peluang besar di depan mata bagi Musa Ibn Nushair untuk memperluas wilayah kekuasaan. Untuk itu, Musa Ibn Nushair telah mempersiapkan sekitar 18.000 pasukan guna membantu Thariq Ibn Ziyad memperluas wilayah kekuasaan Islam. Pada musim panas tahun 712 M, Musa Ibn Nushair dengan pasukannya menyeberangi selat dan mendarat di benua Eropa. Musa dan pasukannya berhasil merebut Carmona, salah satu kota terkuat pertahannya di Andalusia. Kemudian ia melanjutkan ke Seville dan merebutnya dari tangan orang-orang Gothic. Karena kalah, orang-orang Gothic banyak yang melarikan diri ke Toledo. Mereka bertahan di kota Toledo selama beberapa bulan, sampai akhirnya kota itu juga jatuh ke tangan pasukan Musa Ibn Nushair. Setelah menguasai Toledo, Musa Ibn Nushair dan pasukannya melanjutkan serangan ke Meride, sebuah kota yang pernah menjadi ibu kota Andalusia.
Ekspansi Musa Ibn Nushair dan pasukannya terus berlanjut hingga akhirnya ia berhasil menaklukkan Barcelona. Dari sini kemudian Musa Ibn Nushair melanjutkan usaha ekspansinya ke Cadiz dan Calica. Di suatu tempat di Talavera, Musa Ibn Nushair bertemu dengan Thariq Ibn Ziyad dan memecat Thariq dari jabatan panglima perang. Pemecatan itu terjajdi karena Thariq Ibn Ziyad dianggap tidak mematuhi perintahnya untuk kembali ke Afrika Utara setelah berhasil menaklukkan beberapa kota di Andalusia. Bahkan kemudian Thariq Ibn Ziyad dipenjara karena kesalahan-kesalahaan yang telah dibuatnya. Di sinilah akhir dari riwayat perjalanan hidup seorang mantan jenderal perang Islam yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di negeri Andalusia.
Ternyata, tujuan ekspansi Musa Ibn Nushair tidak hanya sampai di Talavera, ia berambisi untuk mengejar musuhnya hingga ke pegunungan Pyrenia. Lebih dari itu, ia bahkan memutuskan untuk terus melanjutkan ekspansinya ke wilayah selatan Perancis, hingga akhirnya ia mencapai negeri Konstantinopel.
Namun sebelum usaha itu tercapai, datang perintah dari khalifah Walid Ibn Abdul Malik untuk menghentikan serangannya ke Eropa dan ia diminta kembali ke Damaskus. Kebijakan ini dibuat untuk menghindari bahaya yang lebih besar yang akan mengancam umat Islam di Andalusia. Selain itu, khalifah Walid Ibn Abdul Malik merasa takut apabila pengaruh Musa Ibn Nushair melebihi kekuatan pengaruh khalifah sendiri dan merebut wilayah kekuasaan yang telah diraihnya di Eropa. Instruksi itu diterima Musa Ibn Nushair, dan langsung kembali ke Damaskus. Hanya saja ketika ia tiba di kota itu pada 7ahun 96 H/715 M, khalifah Walid Ibn Abdul Malik telah wafat dan yang berkuasa adalah Sulaiman Ibn Abdul Malik, saudara Walid Ibn Abdul Malik. Khalifah baru ini meminta Musa Ibn Nushair untuk menyerahkan kekuasaan dan harta rampasan yang diperolehnya dari negeri Andalusia.
Keinginan khalifah itu sebenarnya telah dipahami oleh Musa Ibn Nushair. Hanya saja pada waktu itu, semua rampasan perang dan berbagai kemegahan yang diperoleh Musa Ibn Nushair dan Thariq Ibn Ziyad telah diserahkan ke khalifah sebelumnya, yaitu Walid Ibn Abdul Malik. Permintaan itu sebenarnya bisa dipahami oleh Musa Ibn Nushair sebagai taktik untuk menjatuhkan dirinya. Hal ini terbukti ketika ia dimasukkan ke penjara hingga meninggal di ruang tahanan itu. Kebijakan inidikeluarkan khalifah Sulaiman, karena ia merasa tersaingi oleh kekuatan dan pengaruh Musa Ibn Nushair. Satu hal yang sebenarnya tidak mesti terjadi.
Begitulah nasib tokoh penting ini mengakhiiri mas ahidupnya. Ia mengalami nasib serupa seperti Thariq Ibn Ziyad. Ruapnya ini merupakan hukum karma bagi orang yang bertindak sewenang-wenang yang telah memcat dan memenjarakan Thariq Ibn Ziyad hingga akhir hayatnya.
Peta wilayah Islam pada masa awal di Andalusia
Sebelum Musa Ibn Nushair meninggalkan Andalusia atau Andalusia untuk kembali ke Damaskus karena panggilan khalifah, ia telah meminta Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair menggantikan posisinya sementara untuk mengatur semua kepentingan masyarakat di Andalusia. Berdasarkan tugas itu, ia kemudian mengorganisir tata pemerintahan dan membentuk dewan khusus untuk menyusun buku undang-undang yang sah sesuai dengan keadaan penduduk Andalusia. Selain itu, ia juga mencurahkan tanaga dan pikirannya untuk membenahi sistem irigasi dan pertanian, sebuah bidang yang selama ini banyak digeluti masyarakat Andalusia. Sehingga para petani mendapatkan hasil maksimal dari usaha pertanian.
Kebijakan lain yang dikeluarkannya adalah membebaskan Andalusia dan masyarakatnya dari perbuatan lalim orang-orang Gothic. Menurunkan pajak, kebijakan toleransi beragama, menghapuskan diskriminasi karena ras dan agama; memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dan menjamin keamanan serta kesejahteraan, selain perlindungan terhadap harta benda dan jiwa mereka. Kebijakan lain yang tak kalah pentingnya adalah asimilisi, yaitu perkawinan campuran antara orang-orang Arab Islam dengan penduduk setempat. Bahkan Abdul Aziz sendiri menikahi janda Roderick yang masih mempertahankan agama dna keyakinannya semula.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Adul Aziz ini menimbulkan simpati rakyat, sehingga banyak yang memeluk Islam. Proses asismilasi ini merupakan salah satu metode penyebaran Islam yang terjadi di banyak negara, termasuk di Andalusia atau Andalusia.
C. Awal Berdirinya Kekuasaan Islam di Andalusia
Keberhasilan Thariq Ibn Ziyad, Musa Ibn Nushair dan pasukan me¬re-ka dalam pengembangan kekuasaan Islam Bani Umayah di Andalusia, mem¬¬buka lembaran baru sejarah politik Islam. Sebab dengan jatuhnya An-da¬¬lusia dan kota-kota penting lainnya di negeri itu, menambah luas daerah kekuasaan Islam dinasti Bani Umayah. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Thariq Ibn Ziyad oleh Musa Ibn Nushair dan penyerahan ke¬kua-saan Musa kepada anaknya, Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair, menandai awal berdirinya kekuasaan Islam di sana.
Abdula Aziz Ibn Musa Ibn Nushair boleh disebut sebagai peletak pertama berdirinya kekuasaan Islam di Andalusia. Sebab ia merupakan orang pertama yang menjadi penguasa di negeri itu setelah dikalahkan oleh pasukan Islam. Kebijakan-kebijakan politik pemerintahan yang dikeluar¬kan¬nya merupakan bukti kepiawaiannya dalam memimpin negeri yang baru saja porak poranda dilanda perang. Keberhasilannya membangun masyarakat baru dan proses penyebaran Islam, merupakan karya nyata yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Terlepas dari kepentingan politik pribadi dan golongan, hal pasti yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa Abdul Azizlah orang yang pertama kali menjalankan roda peme¬rin¬tahan di negeri Andalusia.
Selama masa pemerintahan kewalian, terdapat sejumlah orang wali yang mewakili pemerintahan Bani Umayah di Andalusia. Di antaranya adalah:
1. Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair (95-97 H/715-717 M). Masa-masa pemerintahannya meru¬pa¬kan periode awal pemerintahan Islam yang tunduk kepada pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Gelar yang dipakai Abdul Aziz saat itu bukan Amir, melainkan Wali, yang merupakan wakil pemerintah Islam Bani Umayah yang berkedudukan di Andalusia. Semua kebijakan yang dikeluarkannya harus mendapatkan persetujuan khalifah. Di antara usaha yang dilakukannya, selain yang telah disebutkan sebelumnya, adalah perluasan wilayah Islam dan menaklukkan kota-kota yang saat itu belum tunduk di bawah kekuasannya. Kota-kota itu adalah Evora, Santarem, Malaga dan Ellira.
2. Harun Ibn Abdurrahman al-Tsaqafi ( 98-100 H/717-719 M).
3. Saman Ibn Malik al-Khaulani (100-102 H/719-721 M).
4. Anbasah (104-107 H/723-726 M). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menguasai wilayah Gallia, Septimia, dan wilayah dekat sungai Rhone.
5. Abd al-Rahman al-Ghafiqi ( 111/730 H). Pada masa pemerintahan-nya ia dapat menguasai wilayah Hertogdom dan Aquitania yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Perancis.
Para wali inilah yang samat berjasa dalam usaha perluasan dan pengembangan wilayah Islam di Eropa. Atas persetujuan khalifah Bani Umayah di Damaskus, mereka terus melakukan pengembangan wilayah hingga mencapai wilayah Perancis. Usaha ini terus dilakukan hingga dikemudian hari datang anak cucu Muawiyah yang mengambil alih jabatan dari para wali tersebut. Di antaranya adalah Abdurrahman al-Dakhil, yang dikenal dengan sebutan Saqar Qurays ( Garuda Qurays) karena keber¬hasil-annya menyelamatkan diri dari serangan pasukan Bani Abbas dan berkuasa di Andalusia. Sejak kedatangannya, sistem pemerintahan menggunakan gelar Amir atau gubernur jenderal. Hanya saja, para amir yang berkuasa di Andalusia tidak tidak memiliki hubungan politik dengan pemerintahan Bani Abbas yang telah mengambil alih kekuasaan Bani Umayah pada tahun 750 M/132 H. Bahkan mereka menjadi penentang kekuasaan Bani Abbas.
Mengingat begitu jauh keberadaan kekuasaan para Amir ini, para khalifah Bani Abbas tidak banyak berhasil menguasai mereka, selain karena orientasi kebijakan pemerintah Bani Abbas sangat berbeda dengan pemerintahan Bani Umayah sebelumnya. Kalau Bani Umayah orientasinya adalah kekuasaan dan perluasan wilayah, maka Bani Abbas memiliki orientasi pengembangan peradaban. Sementara untuk menjaga wilayah diserahkan kepada para gubernur atau bahkan diberikan kepada para penguasa lokal asal saja mereka masih tetap berada di bawah kekuasaan Bani Abbas dan mengakui keberadaannya. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa negara independen yang dikenal dengan nama al-dawlah al-mustaqillah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
salam pak...
BalasHapusbaru aja membaca blog anda ttg Pak Badri...