Senin, 31 Agustus 2009

Sejarah Islam Periode Makkah

Sejarah Islam Periode Makkah

Sebagaiman kamu ketahui bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, merupakan agama terakhir yang menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Kenapa begitu? Karena Islam, sebagai agama terakhir, diturunkan bukan hanya untuk masyarakat tertentu, seperti agama Yahudi dan Nasrani untuk Bani Israil, tetapi untuk semua umat manusia. Bahkan bukan hanya untuk kepentingan manusia, juga untuk kepentingan semua makhluk di muka bumi ini. Hal ini dapat dilihat dari surat al-Anbiyâ ayat 107.

Artinya :
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw sekitar 15 abad lalu, bukan tidak mendapat hambatan dan tantangan dari masyarakat Arab yang telah memiliki tradisi adan kepercayaan yang sudah mapan. Mereka menolak karena tidak dapat mem¬bedakan antara kenabian Muhammad dan masalah-masalah sosial politik. Masyarakat Arab sebelum Islam, terutama kaum Qurays, sebagai salah satu kabilah terbesar di Makah, adalah kabilah yang sangat kuat menentang dakwah Nabi Muham¬mad Saw.
Akan tetapi, berkat usaha keras ditambah sifat-sifat yang ada pada diri Nabi Muhammad Saw, seperti penyayang, pemaaf, tanggungjawab, bersikap adil, santun, ke¬luhuran budi, dan seorang pemimpin pemberani, semua tantangan dan hambatan tersebut dapat diatasi dengan baik, sehingga pada masanya, agama Islam tersebar ke seluruh jazirah Arabia, kemudian diteruskan oleh para sahabat dan generasi sesudah sahabat.

Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut, ada baiknya di¬pelajari terlebih dahulu mengenai keadaan bangsa Arab sebelum kerasulan Muhammad Saw. Karena dengan begitu, kamu akan dapat memahami alasan atau argumentasi yang ada di benak kaum musyrik Qurays, mengapa mereka begitu bersemangat menentang ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan dakwah Islam pada peiode Makkah, berikut uraiannya.

A.Masyarakat Arab Pra Islam

1.Kepercayaan Masyarakat Makah Pra Islam
Sebelum agama Islam datang, masyarakat Arabia memiliki beberapa agama dan kepercayaan misalnya bangsa Arab Qathan (kaum Saba) yang bermukim di Yaman menganut agama dan kepercayaan Shabaiyah, yaitu suatu kepercayaan yang berkem¬bangdikalangan masyarakat Qathan tentang adanya kekauatan yang terdapat pada bintang-bintang dan matahari. Setelah hancurnya bendungan Maâ’rib masyarakat Qathan terpencar kebeberapa tempat dibagian utara Yaman, sehingga lama-kelamaan kepercayaan yang mereka anut mengalami perubahan ketika mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat dan kebudayan lain.

Masyarakat kota Makah sebelum mereka menyembah berhala, batu-batuan dan pepohonan adalah penganut agama Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As, yaitu agama yang mengajarkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka wajib percaya dan menyembah. Namun karena adanya keterputusan Risalah, akhirnya me¬reka me¬nyembah selain Allah. Proses perpindahan kepercayaan ini berawal ketika salah seorang pembesar suku Khuza’ah bernama Amir Ibn Lubai pergi ke Syam (Syria). Di kota itu ia melihat tata cara peribatan masyarakatnya yang sangat aneh yang berbeda dengan tata cara peribadatan yang biasa mereka lakukan, yaitu menyembah berhala. Ia mulai tertarik untuk mempelajari dan mempraktikan tata cara peribadatan tersebut. Untuk keperluan peribadatan tersebut, Amir Ibn Lubai meminta sebuah berhala dari suku Amaliqah sebagai kenang-kenangan dan akan dijadikan alat alat perantara dalam peribadatan masyarakat Arab Makah guna mendekatkan diri kepada tuhannya. Berhala itu diberi nama Hubal. Berhala ini kemudian diletakan di Ka’bah dan dijadikan sebagai pimpinan berhala-berhala lainnya seperti Latta, Uzza dan Manat.

Selain berhala-berhala tersebut, mereka juga membuat berhala-berhala lain yang diletakan di antara bukit Shafa dan Marwa. Tidak kurang dari 360 berhala yang di¬le¬takan di sekeliling Ka’bah sebagai sesembahan. Dengan demikian, masuk¬lah keper¬ca¬yaan baru ke dalam tradisi keberagamaan masyarakat Makah. Kota Makah kemudian menjadi pusat penyembahan berhala.

Apa yang dilakukan masyarakat kota Makah ini kemudian ditiru oleh ma-sya¬rakat Arab lainnya yang datang ke kota Makah ketika mereka melaksanakan haji. Para peziarah itu bertanya kepada masyarakat kota Makah, khusunya susku Qurays dan Khuza’ah tentang berhala-berhala tersebut. Untuk apa berhala-berhala tersebut dile¬tak¬kan di sekeliling Ka’bah. Penduduk dan pembesar suku Qurays dan suku Khuza’ah mengatakan bahwa berhala-berhala tersebut akan dijadikan perantara dalam peri¬ba¬dat¬an mereka yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan. Setelah mendapat penjelasan tersebut, akhirnya para peziarah itu mengerti dan meniru apa yang dilakukan oleh ma¬syarakat kota Makah. Sejak saat itulah banyak masyarakat Arab yang melakukan pe¬nyembahan terhadap berhala dan mereka menciptakan berhala-berhala untuk disem¬bah.
Ka’bah dan kota Makah dahulu

Sumber: al-asra jisru da’wah dan wikipedia

Di samping adanya kepercayaan dan penyembahan berhala yang dilakukan masyarakat Arab kota Makah pra Islam.terdapat pula kepercayaan lain yang mereka yakini seperti:
a.Meyembah malaikat. Sebagian diantara masyarakat Arab jahiliyah ada yang menyembah dan menuhankan malaikat. Bahkan ada yang berang¬gapan bahwa malaikat adalah puteri tuhan.
b.Menyembah jin, ruh, atau hantu. Sebagian lagi ada yang menyembah jin, hantu dan ruh leluhur mereka. Bahkan ada suatu tempat yang mereka keramatkan yang mereka sebut dengan Darahim. Mereka selalu menga¬da¬kan sesajian berupa kurban binatang sebagai bahan sajian agar mereka terhindar dari mara bahaya dan bencana.
Pada saat menjelang kelahiran agama Islam, muncul sekelompok orang dari kalangan masyarakat Arab yang berusaha melepaskan diri dari penyembahan berhala, dan menyebarkan ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As. Diantara mereka adalah Waraqah Ibn Naufal, Umayah Ibn Shalt, Qus Saidah, Usman Ibn Khuwairis, Abdullah Ibn Jahsyi dan Zainal Ibn Umar. Mereka inilah yang disebut sebagai kelom¬pok orang yang menentang tradisi kepercayaan dan praktik peribadatan yang banyak dilakukan masyarakat Arab di kota Makah saat itu. Namun, sayang sebelum agama Islam berhasil disiarkan di kota tersebut dan kota-kota lainnya mereka telah tiada.

2. Kondisi sosial masyarakat Makah pra Islam

Kondisi kehidupan Arabia menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan jaman jahiliyah. Hal itu dikarenakan kondisi sosial politik, keaga¬ma¬an dan moralitas (akhlak) masyarakt Arab saat itu sudah sangat tidak baik. Kebia¬saan-kebiasaan buruk seringkali mereka lakukan misalnya meminum arak hingga mabuk, berjudi, berzinah, merampok dan lain sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan itu mereka lakukan karena dalam waktu yang begitu lama, masyarakat Arab tidak memiliki Nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing me¬reka. Selain itu mereka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan sistem dan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat beberagamaan me¬reka tidak berbeda jauh de¬ngan masyarakat primitif.

Dalam hal kepemimpinan politik, masyarakat Arab jahiliyah yang telah ter¬pecah menjadi banyak suku, memiliki seorang pemimpin besar. Masing-masing su¬ku memiliki wewenang untuk menentukan peperangan, pembagian harta ram-pasan dan pertempuran tertentu. Selain itu, seorang Syaikh atau Amir tidak memi¬li¬ki wewenang apapun
dalam mengatur anggota kabilahnya.

Sesungguhnya sejak jaman jahiliyah, masyarakt Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidakadilan, kejahatan dan keyakinan terhadap takhayul.

Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan sangat rendah sepan-jang sejarah umat manusia. Masyarakat Arabia pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan, bahkan lebih hina lagi. Karena wanita sama sekali tidak men¬da¬patkan penghormatan dalam status sosial dan tidak memiliki kekuatan apapun un¬tuk melakukan pembelaan. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya dan menceraikan mereka semuanya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi yang sangat buruk yang suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan merah bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan.

Selain itu, sistem perbudakan juga meraja lela. Budak dipelakukan ma-jikan¬nya secara tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup la¬yaknya manusia merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang dan barang dagangan dijual atau di¬bunuh.

B.Pengembangan Misi Islam Periode Makah
1.Langkah awal dakwah Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw adalah salah seorang anggota Bani Hasyim, suatu ka¬bi¬lahyang ada di dalam suku Qrays. Ia lahir pada tanggal 12 Robiul Awal tahun gajah ber¬tepatan dengan 20 Agustus 570 M dan dibesarkan keluarga yang baik-baik hingga men¬jelang dewasa. Pendidikan yang diberikan keluarga dan para penga¬suh¬nya membekas di dalam dirinya, sehingga ia menjadi orang yang mendapat julukan al-Amin.

Menjelang usianya yang keempat puluh, beliau sudah terlalu biasa memi-sah¬kan diri dari kehidupan masyarakat, bersemedi atau berhalwat di gua Hira, sebuah tempat yang terletak beberapa kilo meter dari kota Makah. Di tempat itu Muham¬mad Saw ber¬usaha menenagkan jiwanya hinga berlama-lama dengan cara ber¬ta¬fakur. Pada tanggal 17 ramadhan tahun 611 M, malaikat jibril datang kehadapannya untuk me¬nyampaikan wahyu yang pertama. Malaikat Jibril meminta Muhammad Saw untuk membaca wahyu itu.

Artinya:
“ Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan nama Tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia relah mengajar manusia yang tidak mereka ketahui”. (QS.al-’Alaq ayat 1-5)
Namun Muhamad Saw tidak mampu melakukannya. Beliau berkata:”Saya tidak bisa membaca”. Perintah itu berkali-kali dilakukan, hingga akhirnya Muham¬mad Saw mampu membaca wahyu pertama itu dengan baik.

Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad Saw telah dipilih Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul. Dalam wahyu pertama ini Nabi Muhammad Saw dengan harap-harap cemas menanti kedatangannya di tempat sama. Dalam keadaan bingung itulah kemudian malaikat Jibril datang kembali membawa wahyu kedua yang membawa perintah untuk berdakwah. Wahyu itu adalah surat al-Mudatstsir ayat 1-7.

Artinya:
” Hai orang-orang yang berselimut, bangu dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkan perbuatan dosa, dan janganlah (memberi maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah”.

Dengan turunnya wahyu kedua itu, mulailah Rasulullah melakukan dak-wah. Langkah pertama yang dilakukan adalah berdakwah secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan rekan-rekanya. Hal itu dilakukan karena selain perintah Allah, secara real, Muhammad Saw belum memiliki pengikut yang dapat membantunya untuk meyebarkan ajaran Islam. Namun, beliau terus berusaha menjelakan ajaran Islam kepada keluarga dan kawan dekatnya. Karena itulah orang yang pertama menerima dawahnya adalah keluarga dan para sahabat dekatnya. Mula-mula isterinya, Siti Khadijah menerima ajakan tersebut. Lalu sepupunya yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Kemudian Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, seorang pengasuh Nabi Muhammad sejak ibunya Siti Aminah masih hidup.

Di antara sahabat dekat Rasul yang berhasil mengajak kawan karibnya untuk menerima dakwah Islam adalah Abu Bakar. Abu Bakar di kenal sebagai seorang pedagang yang amat luas pergaulannya. Melalui beliau banyak orang masuk Islam. Di antaranya adalah Usman Ibn Affan, Zubair Ibn Awwam, Abdurrahman Ibn ‘Auf, Sa’ad Ibn Abi Waqqash, Thalhah Ibn Ubaidillah, Abu Ubaidillah Ibn Jarrah, al-Arqam Ibn Abi al-Arqam, beberapa penduduk Makah lainnya dari kabilah Qurays.Mereka langsung di bawa Abu Bakar ke hadapan Nabi Muhammad Saw dan menyatakan keislamannya. Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Assabiqunal Awwalun, yakni orang-orang yang pertama memeluk Islam.

Setelah beberapa lama Rasulullah melakukan dakwah secara rahasia turunlah perintah Allah agar beliau melakukan dakwah secara terbuka dihadapan umum. Hal ini dituturkan dalam QS al-Hijr ayat 94.

Artinya:
“Maka jelaskanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”

Langkah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam berdakwah secara terbuka adalah mengundang dan menyeru kerabat dekatnya dari Bani Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka “ saya tidak melihat seorang pun dari kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Saya bawakan kepada mu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya untuk mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak, kecuali Ali Ibn Abi Thalib.

Langkah dakwah seterusnya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw adalah menyeru masyarakat umum. Mereka mulai menyeru ke segenap lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat bangsawan, hingga kelas hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Peremuan dengan pendu¬duk Mekah dilakukan di bukit Shafa. Dalam pertemuan itu Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa ia diutus oleh Allah untuk mengajak mereka menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala.
Masayarakt Qurays tidak percaya sama sekali bahkan mendustakan dan menge¬jek Nabi Muhammad Saw. Diantara yang mendustaan itu adalah Abu Lahab dan is¬terinya. Isi pidato itu antara lain adalah:

1.Peringatan dan ancaman Allah bagi orang yang tidak beriman. Sebaliknya, kenikmatan dan surga bagi orang beriman dan beramal shaleh.
2.Bahwa pada hari kiamat nantibeliau tidak dapat memberikan pertolongan kecuali amal perbuatan manusia itu sendiriyang akan menolongnya.
3.Permohonan kepada keluarganya supaya dapat membantu dan memelihara agama Islam.

Mendengar seruan itu, Abu Lahab berkata kasar,“kurang ajar kau hai Muham¬mad! Apakah hanya untuk ini kau kumpulkan kami?” Kemudian Abu Lahab meng¬ambil batu dan melemparkannya ke Nabi Muhammad Saw. Dalam menghadapi peris¬tiwa itu beliau bersikap tenang dan berjiwa besar. Ia hadapi semuanya dengan kesa¬baran tawakal kepada Allah. Dari peristiwa itu turunlah wahyu Allah yang mengutuk Abu Lahab dan isterinya. (Surat al-Lahab ayat 1-5).

Artinya:
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa[1607]. 2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. 3. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. 4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar[1608]. 5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

Dengan seruan secara terbuka itu, Nabi Muhammad dan Islam menjadi per¬hatian dan perbincangan dikalangan masyarakat kota Mekah. Masyarakat Qurays ber¬anggapan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas. Oleh karena itu, mereka tidak peduli dan berusaha menen¬tangnya habis-habisan hingga agama Islam tersebut lenyap dari muka bumi ini. Bahkan mereka tidak memperdulikan keberadaan agama Islam di tengah-tengah kehidupan dan kepercayaan masyarakat Arab yang telah mengakar dalam tradisi kehidupan ma¬syarakatnya. Selain itu, mereka mulai mengatur strategi untuk mengacaukan kegiatan dakwah Islam dan berusaha menghambat gerak laju perkembangan agama Islam di kota Mekah an masyarakat Arab lainnya.

Meskipun begitu, Rasulullah Saw terus berdakwah tanpa mengenal lelah, Tidak memperdulikan ejekan dan gangguan yang ditujukan kepadanya dan para sahabatnya yang lain. Bahkan beliau terus berusaha berjuang untuk menegakkan risalah Allah itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat Arab yang tidak baik itu.

2.Respon Masyarakat Mekah terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw

Dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah Saw, baik secara diam-diam mau¬pun secara terbuka, mendapat tanggapan (respon) yang beragam, ada yang menerima dan banyak pula yang menolak. Sejumlah kecil mereka yang menerima ajaran Islam adalah para sahabat dan keluarga dekat Rasulullah Saw, meskipun ada juga keluarga dekatnya yang menolak misalnya Bu Lahab. Nabi Muhammad bersama para sahabatnya berusaha secara bersama-sama menyebarkan ajaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Mekah.

Salah seorang sahabat dekat beliau adalah Abu Bakar Al-Shiddik. Abu Bakar dikenal
dikalangan masyarakat Qurays sebagai seorang saudagar kaya dan memiliki status sosial tinggi serta mempunyai pengaruh yang cukup besar, hingga disegani oleh kawan maupun lawan.

Melalui pengaruhnya, Abu Bakar telah berhasil menarik simpati kawan-kawan¬nya untuk menerima Islam dan membela perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam perjuangannya menyebarkan ajaran Islam. Diantara mereka yang berhasil diajak masuk Islam adalah Usman Ibn Affan, Zubair Ibn Awwam, Sa’ad Ibn Abi Waqqash, Arqam Ibn Abi Arqam, dan lain-lain. Dari mereka itulah kemudian agama Islam tersebar dan menjadi agama yang dicintai masyarakat Arab.

Salah satu upaya untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat kota Me¬kah adalah pengajaran agama yang dilakukan di rumah Arqam Ibn Abi Arqam. Dari ke¬giatan pengajaran agama kepada sekelompok kecil masyarakat Arab kota Mekah inilah nantinya Umar Ibn Khattab masuk Islam.

Meskipun bisa dikatakan bahwa masyarakat Arab di kota Mekah ada yang me¬nerima ajaran Islam secara ikhlas, tapi pada umumnya masyarakt Arab kota Mekah menolak dan tidak menghendaki kehadiran Islam dan umat Islam di kota tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai penghinaan bahkan ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw dan umat Islam.

Dalam menghadapi tanggapan yang tidak menyenangkan ini, Rasulullah terus saja menyebarkan ajaran Islam meskipun ia bertaruh nyawa. Karena beliau berke¬ya¬kinan bahwa Islam merupakan agama yang paling benar yang mengajak umatnya menuju keselamatan di dunia dan di akherat. Beliau mengajarkan bahwa hanya Allah yang wajib disembah, karena tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.

3.Hambatan dan Rintangan Dakwah Islam di Mekah.

Pada umumnya orang kafir Qurays tidak senang menerima kehadiran agama Islam di tengah-tengah kehidupan mereka. Para tokoh masyarakatnya mulai menye¬bar¬kan isu yang tidak benar mengenai ajaran yang di bawa Nabi Muhammad Saw, sebagai salah satu cara untuk menghambat gerakan Islamisasi sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh oleh isu-isu yang menimbulkan fitnah tersebut. Salah seorang tokoh masyarakat Qurays yang selalu menghalangi gerakan dakwah Nabi Muhammad Saw adalah Abu Lahab. Ia mulai menghasut masyarakat Arab Qurays supaya membenci Nabi Muhammad Saw dan Islam. Bahkan Abu Thalib, paman Nabi yang memelihara dan mengasuhnya sejak kecil juga dihasut untuk melarang Nabi Muhammad Saw agar tidak menyebarkan ajaran Islam. Bahkan Abu Thalib seringkali mendapat ancaman dan dipaksa untuk memenuhi keingnan masyarakat Qurays tersebut.

Karena tidak tahan atas terror yang diarahkan kepadanya, maka pada suatu ke¬tika, Abu Thalib membujuk Nabi Muhammad Saw agar bersedia menghentikan kegi¬at¬an dakwahnya. Karena banyak tokoh masyarakat kafir Qurays yang mengancamnya bila tidak berhasilmembujuk Muhammad Saw untuk menghentikan gerakan dakwah¬nya. Namun permohonan pamannya itu tidak dikabulkan, bahkan ia berkata dengan tegas: “ wahai pamanku, demi Allah sekiranya matahari diletakan disebelah kananku, dan disebelah kiriku supaya aku berhenti berdakwah, pasti aku tidak akan mau ber¬henti berdakwah, sampai Allah memberiku kemengangan atau aku binasa dalam per¬juangan”.

Mendengar perkataan dan tekad bulat Nabi Muhammad Saw untuk terus ber¬juang, Abu Thalib tidak bias berbuat banyak kecuali menyerahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad Saw,. Hanya saja ia berpesan, agar waspada dalam menyebarkan dak¬wah Islam dan berusaha menghindari ancaman masyarakat Qurays.

Pada waktu itu, orang-orang Qurays tidak berani berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad Saw untuk memintanya agar meninggalkan kegiatan dakwa, karena mereka masih memandang posisi social pamannya, yaitu Abu Thalib, sebagai salah seorang tokoh masyarakat Qurays. Tetapi mereka berani mengambil tindakan terhadap keluarga sahabat Nabi.

Melihat usaha pendekatan Abu Thalib gagal dan agam Islam terus memperoleh pengikut, Abu Jahal dan Abu Sufyan mendatangi Abu Thalib kembali sambil meng¬ancam. Mereka berkata: “ Hai Abu Thalib, kamu sudah tua, kamu harus mampu men¬jaga dirimu dan jangan membela Muhammad. Kalau hal itu dilakukan terus, maka keluarga kita akan pecah”. Tetapi ancaman itu juga tidak berhasil. Hal itu disebabkan karena tekad kuat Nabi Muhammad Saw sudah bulat untuk terus melaksanakan dak¬wah Islam kepada masyarakat Mekah meskipun ia harus bertaruh nyawa.

Gagal melakukan pendekatan melalui jalur kekeluargaan, akhirnya pimpinan masyarakat Qurays lainnya dating ke Abu Thalib untuk membujuknya agar bias meng¬hentikan kegiatan dakwah kemenakannya itu. Kali ini bukan ancaman yang diberikan, melainkan tawran. Ia menawarkan seorang pemuda tampan bernama Amrah Ibn al-Walid yang usianya sebaya dengan Nabi Muhammad Saw. Lalu mereka berkata: “ Hai Abu Thalib, Muhammad saya tukar dengan pemuda ini. Peliharalah orang ini dan serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”.

Mendengar ancaman dan tekanan itu, Abu Thalib menjawab dengan suara lan¬tang.,“ Hai orang kasar, silahkan dan berbuatlah sesukamu, aku tidak takut”. Kemudian Abu Tahlib mengundang keluarga Bani Hasyim untuk meminta bantuan dan menjaga Muhammad dari ancaman dan penganiayaan kafir Qurays.

Setelah gagal melakukan tekanan kepada Nabi Muhammad Saw, dan Abu Tha¬lib pemimpin Qurays mengutus Uthbah Ibn Rabi’ah untuk membujuk Nabi Muham¬mad Saw agar menghentikan dakwahnya. Untuk itu, ia menawarkan beberapa pilihan kepada Nabi Muhammad. Lalu ia berkata: “ Hai Muhammad, bila kamu menginginkan harta kekayaan, saya sanggup menyediakannya untuk mu. Bila kamu menginginkan pangkat yang tinggi, saya sanggup mengangkatmu menjadi raja, dan bila kamu meng¬inginkan wanita cantik, saya sanggup mencarikannya untuk mu. Tetapi dengan syarat kamu menghentikan kegiatan dakwahmu “.

Mendengar tawaran itu, Nabi Muahmmad Saw menjawab dengan tegas melalui surat Ha Mim Sajadah ayat 1-37. Demi mendengar firman itu, Uthbah tertunduk malu dan hati kecilnya membenarkan ajaran Muhammad Saw. Kemudian ia kembali ke ka¬umnya dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Kemudian ia menganjurkan kepada masyarakat Qurays dan kawan-kawanya untuk menerima ajakan Muhammad Saw daripada memusihinya.

Namun, mereka yang tidak senang dengan ajakan Nabi Muhammad Saw terus berusaha mengganggu dan merintangi dakwah Nabi dengan berbagai cara, termasuk penyiksaan dan pembunuhan. Di antara sahabat Nabi Muhammad yang mendapat siksaan dari kafir Qurays adalah Bilal Ibn Ranah, Yasir, Amr Ibn Yasir, Sumaiyah (isteri Yasir), Khabbab Ibn Aris, Ummu Ubais, Zinnirah, Abu Fukaihah, al-Nadyah, Amr Ibn Furairah dan Hamamah. Mereka menerima siksaan diluar batas perike¬ma¬nu¬siaan. Misalnya dipukul, dicambuk tidak diberi makan dan minum. Bilal di jemur di terik matahari dan diatasnya diberi batu besar. Isteri Yasir yang bernama Sumaiyah di¬tusuk dengan lembing sampai terpanggang. Siksaan itu ternyata tidak hanya dialami oleh hamba sahaya dan orang-orang miskin, tetapi juga dialami oleh Abu Bakar al-Shiddiq, Zubair Ibn Awwam.
Namun sik¬saan yang dialami Abu Bakar tidak berlang¬sung lama karena ia mendapat pertolongan dari sukunya yaitu Bani Taymi.

Hambatan, gangguan dan ancaman terus berlangsung dilakukan masyarakat kafir Qurays terhadap umat Islam hingga akhir umat Islam diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Habsyi (Ethiopia). Salah satu alas an mengapa negeri itu menjadi temapt hijrah karena negeri itu dipimpin oleh seorang raja Kristen yang taat bernama Nejus. Dlam pandangan umat Islam raja ini selalu berlaku adil dan melindungi mereka yang membutuhkan perlindungan. Oleh karena itu, ketika umat Islam dating, mereka disambut hangat oleh Nejus, bahkan raja itu memberikan perlindungan kepada umat Islam ketika para tokoh Qurays meminta agar raja mengembalikan para peng¬ungsi tersebut.

4.Boikot dan Rencana Pembunuhan terhadap Nabi Muhammad Saw.

Kegagalan masyarakat kafir Qurays dalam membujuk Nabi Muhammad Saw untuk meninggalkan dakwahnya, justeru memperkuat posisi umat Islam di kota Mekah. Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum kafir Qurays. Mereka men¬coba menempuh cara-cara baru, yaitu melumpuhkan kekuatan Nabi Muhammad Saw, yang bersandar pada perlindungan keluarga Bani Hasyim. Caranya adalah memboikot mereka dengan memutuskan segala bentuk hubungan dengan Bani Hasyim. Tidak seorang pun dari penduduk Mekah yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan itu di buat dalam bentuk piagam dan di tandatangani bersama serta disimpan di dalam Ka’bah.

Dengan pemboikotan ini seluruh umat Islam terkepung dilembah pegunungan dan terputus dari berbagai komunikasi dengan dunia luar. Pemboikotan ini berlang¬sung selama lebih kurang 3 tahun yang dimulai pada bulan Muharram tahun ke-7 ke¬nabian, bertepan dengan tahun 616 M. Diantara isi piagam pemboikotan ini adalah se¬bagai berikut:

1.Mereka tidak akan menikahi orang-orang Islam
2.Mereka tidak akan menerima permintaan nikah dari orang-orang Islam
3.Mereka tidak akan berjual beli apa saja dengan orang-orang Islam
4.Mereka tidak akan berbicara dan tidak akan menengok orang-orang Islam yang sakit
5.Mereka tidak akan menerima permintaan damai dengan orang-orang Islam, sehingga mereka meyerahkan Muhammad untuk di bunuh.

Akibat pemboikotan tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan kemiskinan dan kesengsaraan yang tiada bandingnya saat itu. Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Qurays menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang sangat keterlaluan. Di antara mereka adalah Zubair Ibn Umayah, Hisyam Ibn Amr, Muth’im Ibn Adi, Abu Bakhtari Ibn Hisyam, dan Zama’ah Ibn al-Aswad. Mereka merasa iba dengan penderitaan yang dialami Bani Hasyim dan umat Islam. Akhirnya mereka merobek isi piagam tersebut dan mengenyahkannya. Dengan perobekan itu, otomatis pemboikotan berakhir.


C.Strategi Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad Saw.

a.Hijrah ke Habsyi yang pertama

Peyiksaan dan penganiyaan kafir Qurays yang di luar batas perike¬manu-sia¬an terhadap orang-orang muslim membuat hati Nabi Muhammad Saw tidak tahan melihat penderitaan itu. Akhirnya Nabi Muhammad Saw menyarankan kepada para sahabatnya untuk mengungsi ke Habsyi guna menghindar dari gangguan, siksaan dan ancaman orang-orang kafir Qurays. Anjuran tersebut ditanggapi secra positif oleh para sahabat Nabi. Oleh karena itu pada bulan ke tujuh tahun kelima kenabian berangkatlah 11 (se¬belas) orang laki-laki beserta 4 (empat) wanita. Kemudian rombongan berikutnya me¬nyusul hingga jumlah yang hijrah ke Habsyimencapai 70 (tujuh puluh) orang. Di antaranya adalah Usman Ibn Affan,dan isterinya, Ruqayah puteri Nabi Muhammad Saw, Zubair Ibn Awwam, Abdurrahman Ibn Auf, Ja’far Ibn Abi Thalib, dan lain-lain. Kedatangan orang-orang Islam di Habsyi disambut deng¬an baik oleh raja Nejus. Bahkan ia memberikan pelindungan dan diijinkan untuk melaksanakan ibadah Islam.
Keadaan itu berubah ketika orang-orang Qurays mengirim utusan kepada raja Nejus. Mereka meinta agar raja Habsyi itu mengembalikan orang-orang muk-min ke negeri aslnya, yaitu Mekah. Namun permintaan itu ditolaknya. Bahkan umat Islam mendapatkan perlindungan khusus dan tempat yang layak di negeri itu serta diizinkan untuk tinggal selamanya.

Sementara ketika umat Islam berada di Habsyi, Rasulullah tetap tinggal di kota Mekah. Beliau terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Qurays, meskipun mendapat ancaman dan gangguan yang luar biasa. Usaha Rasulullah Saw ini ternyata tidak sia-sia. Ia berhasil mempengaruhi bebrapa tokoh Qurays, misalnya Hamzah Ibn Abdul Muthalib yang masuk Islam pada tahun 615 M yang bertepatan pada tahun keenam kenabian.

Islamnya Hamzah Ibn Abdul Muthalib berawal dari suatu peristiwa peng-a¬niayaan yang dilakukan Abu Jahal terhadap Nabi Muhammad Saw. Abu Jahal mem¬perolok-olok dan akan membunuhnya saat itu. Ketika peristiwa itu di dengar Hamzah, ia marah dan terus mendatangi Abu Jahal. Ketika bertemu Abu Jahal, ia langsung memukulnya dan menghardik. Dia berkata apakah kamu akan mem-bunuh orang yang mengatakan bahwa Allah adalah Tuhannya? Setelah kejadian itu, Hamzah merasa kasihan dan berusaha melindungi perjuangan Nabi Muham¬mad. Sejak itulah ia menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah Saw.

Sementara Islamnya Umar bin al-Khattab berawal ketika ia bermaksud mem¬bunuh Nabi Muhammad Saw yang sedang berada di rumah Arqam bin Abi Ar¬qam. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdillah dan mena-nya¬kan ke mana tujuan Umar. Umar menjawab ia akan membunuh Nabi Muhammad Saw yang di¬anggap telah memecah belah masyarakat Arab. Nu’man berkata lagi, bagaimana anda bisa membunuh Muhammad sementara adik ipar Anda telah menjadi pengi¬kutnya yang setia. Mendengar keterangan itu Umar bin al-Khattab marah besar dan langsung menemui adiknya, yaitu Fatimah dan Said bin Zaid suami Fatimah yang se¬dang belajar al-Qur’an. Setibanya di tempat tujuan Umar langsung memukul Sa’id hingga berdarah. Umar bertanya, apa yang kamu baca? Sya membaca al_Qur’an. Berikan kepada saya! Pintanya. Tidak ! kata Fatimah nanti kau hinakan dia. Tidak! Aku berjanji.” Mendengar jawaban dan ketulusan Umar, akhirnya Fatimah memberikan ayat yang sedang dibaca. Setelah membaca ayat tersebut, Umar terketuk hatinya dan langsung mendatangi Nabi Muhammad Saw untuk menyatakan keislamannya.

Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin al-Khattab adalah berkat usaha Nabi Muhammad Saw yang tidak kenal lelah dan tidak takut karena ancaman dalam berdakwah. Selain itu, keislaman mereka berdua memperkuat posisi umat Islam yang mendapat ancaman dari orang-orang kafir Qurays yang saat itu sedang berada di Habsyi.

b.Hijrah ke Habsyi kedua

Umat Islam yang hijrah ke Habsyi pertama berlangsung selama dua bulan. Setelah itu mereka kembali lagi ke Mekah. Melihat keberhasilan umat Islam bertahan mendapat perlindungan di Habsyi serta semakin banyak jumlahnya di kota Mekah, kafir Qurays semakin geram. Mereka semakin memperkuat penganiayaan terhadap orang-orang Islam. Karena itulah Nabi Muhammad Saw menyarankan kembali kepada umat Islam untuk hijrah kembali ke Habsyi. Hijrah kedua ini diikuti oleh 101 orang diantaranya terdapat 18 orang wanita yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Kepergian umat Islam yang kedua ini ke Habsyi masih mendapat sambutan yang hangat dari raja Nejus. Mereka di beri kebebasan untuk menjalankan ibadahnya dan boleh bebas memilih ingin tetap tinggal di Habsyi selamanya tau tidak. Rupanya kebaikan hati raja Nejus ini membuat marah orang-orang kafir Qurays. Mereka tidak tahan dan terus berusaha untuk menghambat langkah perkembangan Islam dengan berbagai cara. Untuk itu orang-prang kafir Qurays mengirim ’Amr bin al-’Ash dan Abdullah bin Rabiah menghadap raja Nejus dengan harapan permintaan mereka kali ini untuk mengirimkan kembali para muhajirin mendapat sambutan positif dari raja Nejus.

Melihat keseriusan orang-orang kafir Qurays ini, raja nejus berusaha mengum¬pulkan umat Islam untuk diminta penjelasan yang sebenarnya. Dalam kesempatan ini Ja’far bin Abi Thalib bertindak senagai wakil dan juru bicara umat Islam untuk menje¬laskan hal yang sebenarnya mengenai ajaran Islam kepada raja Nejus. Setelah dijelaskan panjang lebar mengenai Islam dan ajarannya yang di bawa Nabi Muhammad Saw yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut raja, akhirnya raja mengerti dan memin¬ta utusan tersebut kembali ke Mekah. Setelah itu, raja Nejus pun masuk Islam.

Melihat kegagalan yang kedua kali ini, orang-orang kafir Qurays semakin gencar menyebarkan isu kebohongan mengenai ajaran yang di bawa Nabi Muhammad Saw dan berusaha mempersempit gerak langkah perjuangan Islam.

3.Msi ke Thaif

Pada tahun kesepuluh kenabian dikenal dengan tahun duka bagi Nabi Muham¬mad Saw. Sebab kedua orang yang sangat dicintainya telah meninggal dunia, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Kedua orang ini adalah pembela dan pelindung yang sangat tabah, kuat dan disegani masyarakat Mekah. Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Qurays semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi Muhammad Saw. Karena penderitaan yang dialami Nabi Muhammad Saw semakin hebat, ia bersama Zayd berencana pergi ke Thaif guna meminta bantuan serta perlindungan dari keluarganya yang berada di kota itu, yaitu Kinanah yang bergelar Abu Jalail dan Mas’ud yang bergelar Abu Kuhal serta Habib. Mereka adalah para pembesar dan penguasa di Thaif yang berasal dari keturunan Tsaqif. Ketiganya adalah Amir bin Umair bin Auf al-Tsaqafi.

Karena mereka adalah para pembesar dan orang-orang terhormat di kota itu. Nabi Muhammad Saw berharap dakwahnya diterima mereka dan masyarakt Thaif. Hal itu dilakukan Nabi Muhammad Saw karena beliau beranggapan akan mendapat pertolongan, perlindungan dan bantuandari kerabatnya itu. Akan tetapi harapan terse¬but tidak menjadi kenyataan, karena mereka tidak mau memberikan perlindungan dan bantuan apapun kepada Muhammad Saw. Bahkan Ia diusir dan dihina dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Ia di usir dan dilempari batu oleh para pemuda kota Thaif. Mereka tidak mau mengambil risiko dari bantuan yang akan diberikan. Karena mereka akan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari masyarakat Mekah bila memberikan bantuan atau bahkan menerima Islam sebagai agama baru mereka. Para pembesar kota Thaif enggan menolong Muhammad, karena mereka beranggapan Muhammad adalah orang gila yang terusir dari Mekah. Selain itu berdasarkan informasi yang mereka terima dari Abu Jahal, bahwa apa yang diajarkan Muhammad adalah kebohongan besar yang akan menyesatkan bangsa Arab.

Perlakuan masyarakat Thaif ini membuat luka hati dan badan. Ia terluka hatinya karena gagal mendapat perlindungan dan bantuan dari sanak saudaranya di Thaif. Terluka badannya karena masyarakat kota Thaif melemparinya dengan batu hingga badannya terluka. Akhirnya beliau kembali ke kota Mekah. Sebelum sampai di kota kelahirannya, ia singgah di suatu tempat dipinggiran kota di sisi perkebunan anggur kepunyaan Uthbah dan Syaibah anak Rabiah. Di tempat itu beliau duduk sambil merenungi peristiwa yang baru saja dialaminya dikota Thaif. Sambil menengadahkan mukanya kelangit beliau berdoa mengadukan nas binya kepada Allah. Beliau berkata, ” Ya Allah, hanya Engkau lah tempat aku mengadukan kelemahanku. Ya, Allah, Engkau maha penyayang, maha pelindug orang-orang lemah, aku berlindung kepada-Mu ya Allah”.

Penderitaan yang dialami Nabi Muhammad Saw dan apa yang sedang dilaku¬kannya di dekat perkebunan anggur tidak lepas dari perhatian keluarga Rabiah. Betapa sedihnya Uthbah dan Syaibah melihat penderitaan Nabi. Untuk itu, mereka mengutus budaknyabernama adas yang beragama Nasrani datang menemui Nabi Saw dan memberinya anggur. Nabi Muhammad Saw tertegun ketika Adas datang membawa anggur yang akan diberikan kepadanya. Anggur itu lalu diambil Nabi Muhammad Saw dan dimakannya. Sambil meletakan tangan diatas buah anggur, Nabi Saw mengu¬cap¬kan lafal Bismillah, kemudian anggur itu dimakannya.

Mendengar ucapan itu, Adas merasa heran karena kalimat itu belum pernah diucapkan oleh penduduk Thaif. Adas tidak berani bertanya lebih jauh. Akhirnya Nabi Muhammad Saw mulai bertanya asal-usul dan agamanya. Adas menjawab, saya berasal dari negeri Niniveh. Agama saya Nasrani. Lalu Nabi bertanya lagi. Kamu berasal dari negeri Yunus anak Matta? Dari mana kenal Yunus anak Matta? Tanya Adas. Dia saudara k, dia seorang Nabi, dan aku juga seorang Nabi. Jawab Nabi Muhammad Saw. Dalam riwayat lain, setelah kejadian itu Adas masuk Islam.

Misi Nabi ke kota Thaif untuk meminta bantuan dari sanak saudaranya tidak mendapat tanggapan yang berarti, karena mereka menolak dan bahkan penduduknya memperlakukan Nabi dengan cara kasar., yaitu melempari batu dan menghi¬na¬nya di muka umum hingga beliau terluka. Dari sini dapat kita katakan nahwa misi tersebut gagal. Meskipun begitu, ternyata masih ada orang yang peduli dengan misi perjuangan Nabi Muhammad Saw yaitu keluarga Rabiah.
Daerah Thaif

2. Perjajnjian Aqabah

a. Kunjungan jama’ah Yastrib ke Mekah
Ancaman, gangguan dan siksaan yang dialami dan umatIslam di kota Mekah dari orang-orang kafir Qurays, semakin menjadi. Mereka terus berusaha mencari kele¬mahan dan keterangan yang ada pada umat Islam untuk dijadikan bahan ejekan, hinaan dan siksaan. Melihat kenyataan seperti itu, Nabi Muhammad Saw memandang bahwa Mekah tidak dapat di andalkan lagi sebagai basis perjuangan dakwah Islam. Oleh ka¬rena itu, Nabi pernah berusaha mencari tempat lain, seperti ke Thaif. Dikota ini ia ber¬harap mendapatkan perlindungan dan bantua dari sanak saudranya. Tapi ternyata ha¬rapan itu sia-sia belaka, bahkan Nabi Muhammad Saw mendapat penghinaan dan lem¬paran batu hingga dirinya terluka.

Cobaan berat yang dialami Nabi Muhammad Saw selama mengungsi di Thaif te¬rasa menyuramkan semangat perjuangannya. Pada saat yang demikian, tiba-tiba ter¬bersit seberkas harapan dalam pikiran Nabi bersamaan dengan datangnya musim haji. Ketika upacara haji hampir selesai, Nabi Muhammad Saw menaruh perhatian terhadap suatu kerumunan yang tediri dari 6 orang pemuda yang tampak seperti orang-orang asing. Mereka adalah para pemuda yang datang dari Yastrib. Lalu Nabi Muhammad menemui mereka dan menyampaikan ajaran Islam yang diterimanya dari Allah SWT. Beliau juga menganjurkan kepada mereka agar mengikuti seruan Tuhan. Selain itu, beliau juga menyampaikan penderitaan dan siksaan yang dilakukan kafir Qurays kepadanya dan kepada umat Islam. Ajaran Islam dan keluh kesah yang disampaikan Nabi kepada mereka mendapat simpati, sehingga mereka mau menerima ajaran itu.

Dalam kesempatan itu pula, Nabi Muhammad Saw bertanya kepada mereka. Apakah mereka bersedia menerima dan melindungi Nabi seandainya Nabi pindah ke Yastrib. Keenam pemuda yang telah menyatakan keislamannya, belum berani mem¬berikan jaminan keselamatan kepada dri Nabi dan umat Isam lainnya, bila mereka pindah ke Yastrib. Sebab mereka sendiri sedang terlibat permusuhana di negerinya. Setibanya di yastrib keenam pemuda itu menyebarkan berita tentang datangnya se¬orang rasul di tengah-tengah masyarakat Arab untuk menunjukan mereka jalan yang lurus dan menyelamatkan mereka dari jalan kehidupan yang sesat. Sebagian pengikut Yahudi yag menanti-nanti datangnya rasul terakhir, sebagaimana yang dinyatakan da¬lam kitab suci mereka, dengan gembira menyampaikan berita tersebut.

Sejumlah orang Yastrib datang ke Mekah setiap datangnya musim haji. Sebagian mereka yang telah menerima seruan Nabi Muhammad Saw menyatakan keimanannya kepada ajaran Islam yang disampaikan rasulullah Saw. Peristiwa ini merupakan titik terang dalam perjalanan Risalah Nabi Muhammad Saw. Karena penerimaan masyarakat Yastrib terhadap misi yang disampaikannya akan membuka lembaran barudalam usaha beliau menyampaikan ajaran Islam.

c.Perjanjian aqabah I

Pada tahun ke-12 kenabian, bertepatan dengan tahun 621 M, Nabi Muhammad Saw menemui rombongan haji dari Yastrib. Rombongan haji tersebut berjumlah sekitar 12 orang. Kepada mereka Nabi Muhammad saw menyampaikan dakwahnya. Seruan itu mendapat sambutan hangat sehingga mereka menyatakan keislamannya di hadapan Nabi Muhammad Saw. Pertemuan tersebut terjadi di salah satu bukit di kota Mekah, yaitu bukit Aqabah.

Disinilah mereka mengadakan persetujuan untuk membantu Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam. Oleh karena pertemuan tersebut dilakukan di bukit Aqabah, maka kesepakatan yang mereka buat disebut Perjanjian Aqabah. Isi perjanjian Aqabah itu antara lain sebagai berikut:
1.Mereka menyatakan setia kepada Nabi Muhammad Saw.
2.Mereka menyatakan rela berkurban harta dan jiwa.
3.Mereka bersedia ikut menyebarkan ajaran Islam yang dianutnya
4.Mereka menyatalan tidak akan menyekutukan Allah
5.Mereka menyatakan tidak akan membunuh.
6.Mereka menyatakan tidak akan melakukan kecurangan dan kedustaan

Ketika rombongan akan kembali ke Yastrib, Nabi Muhammad Saw mengutus salah seorang sahabatnya bernama Mush’ab bin Umair untuk membantu penduduk Yastrib yang telah menyatakan keislamannya dalam menyebarkan ajaran Islam di kota tersebut. Setibanya di Yastrib mereka giat mendakwahkan ajaran Islam kepada masya¬rakat, sehingga dalam waktu singkat agama Isalam berkembang dan pengikutnya sema¬kin bertambah.

d.Perjanjian Aqabah II

Pada tahun ke-13 kenabian bertepatan dengan tahun 622 M, jamaah Yastrib datang kembali ke kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Jamaah itu berjumlah sekitar 73 orang. Setibanya di kota Mekah mereka menemui Nabi Muhammad Saw, dan atas nama penduduk Yastrib mereka menyampaikan pesan untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Pesan itu adalah berupa permintaan masyarakat Yastrib agar Nabi Muhammad bersedia datang ke kota mereka, memberikan penerangan tentang ajaran Islam dan sebagainya. Permohonan itu dikabulkan nabi Muhammad Saw dan be¬liau meyatakan kesediaanya untuk datang dan berdakwah di sana. Untuk memper¬kuat kesepakatan itu, mereka mengadakan perjanjian kembali di bukit Aqabah. Kare-nanya, perjanjian ini di dalam sejarah Islam di kenal dengan sebutan Perjanjian Aqabah II.

Diantara isi perjanjian Aqabah II ini adalah sebagai berikut:
1. Penduduk Yastrib siap dan bersedia melindungi Nabi Muhammad Saw.
2.Penduduk yastrib ikut berjuang dalam membela Islam dengan harta dan jiwa.
3.Penduduk Yastrib ikut berusaha memajukan agama Islam dan menyiarkan kepa¬da sanak keluarga mereka.
4.Penduduk Yastrib siap menerima segala resiko dan tantangan.

Dengan keputusan ini terbukalah dihadapan Nabi Saw harapan baru untuk memperoleh kemenangan, karena telah mendapat jaminan bantuan dan perlin¬dungan dari masyarakat Yastrib. Sebab itu pula, kemudian nabi Saw meme-rintah¬kan kepada sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib, karena di kota Mekah mere¬ka tidak dapat hidup tenang dan bebas dari gangguan, ancaman dan penyiksaan dari orang-orang kafir Qurays.
Selain itu, ada beberapa faktor yang mendorong Nabi memilih Yastrib se-bagai tempat hijrah umat Islam.

Pertama Yastrib adalah tempat yang paling dekat.
Kedua, sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau telah mempunyai hubungan baik dengan
penduduk kota tersebut. Hubungan itu berupa ikatan per¬sau¬daraan karena kakek Nabi, Abdul Mutahalib beristerikan orang Yastrib. Di samping itu, ayahnya dimakamkan di sana.
Ketiga, penduduk Yastrib sudah dikenal Nabi karena kelembutan budi pekerti dan sifat-sifatnya yang baik.
Keempat, bagi diri Nabi sendiri, hijrah merupakan keharusan selain karena pe¬rintah Allah SWT.

Pengertian Sejarah dan Kebudayaan Islam

A. Pengertian Sejarah dan Kebudayaan Islam
Perlu kamu ketahui bahwa Sejarah Kebudayaan Islam merupakan sa¬lah satu mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan, peranan kebu¬da¬yaan atau peradaban Islam dan tokoh-tokoh yang ber¬prestasi dalam sejarah di masa lampau, mulai dari perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw hingga masa modern ini, termasuk masyarakat Islam di Indonesia. Dalam kata lain, Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang menanamkan pe¬ngetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masya¬rakat Islam dari masa lampau hingga masa kini
Namun, sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut di atas, ada baiknya kamu mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian sejarah, pengertian kebudayaan dan pengertian Islam.

1. Pengertian Sejarah
Pengertian sejarah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek bahasa dan apek istilah. Apabila ditinjau dari aspek bahasa, maka kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun, yang artinya pohon. Kata ini masuk ke dalam bahasa Melayu sekitar abad ke-14 M dan kemudian megambil bentuk kata Syajarah yang mirip sekali dengan ucapan bahasa Indonesia modern yang dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi kata Sejarah.
Selain kata sejarah, terdapat istilah lain yang sering digunakan oleh ma-sya¬rakat Indonesia, yaitu kata silsilah, yang merujuk pada asal usul keluar¬ga atau nenek moyang; riwayat serta hikayat yang selalu dikaitkan dengan ce¬rita yang diambil dari kehidupan; serta kata tarikh, yang berkaitan dengan waktu dan kejadian atau sebuah peristiwa.
Dengan kata lain, kata Syajarah yang berarti pohon merupakan gambaran suatu rangkaian geneologi, yaitu pohon keluarga yang memiliki hubungan erat antara akar, batang, cabang, ranting dan daun serta buah. Oleh karena itu, kese¬luruhan elemen pohon ini memiliki keterkaitan erat, meskipun terkadang hanya dilihat batang pohon saja, atau buahnya saja, tetapi adanya pohon dan buah tidak terlepas dari peran akar. Itulah filosofi sejarah, yang mempunyai keterkaitan erat antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Sedang kata sejarah menurut istilah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang berkaitan dengan berbagai proses kehidupan manusia, dan dipelajari di masa kini untuk diambil hikmahnya bagi perjalanan ke¬hi¬dupan manusia di masa-masa mendatang.
Di dalam hakikat sejarah, menurut Ibnu Khaldun, terkandung pengertian ob¬servasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda nyata, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Sedang menurut Franz Rosental, sejarah adalah deskripsi tentang aktivitas manusia yang terus menerus baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Sementara sejarah, menurut Nourozzaman ash Shid¬diqie, adalah perstiwa masa lampau yang tidak sekedar informasi tentang terjadinya peristiwa, juga memberikan penafsiran (interpretasi) atas peristiwa yang terjadi dengan melihat kepada hukum sebab akibat. Dengan adanya penafsiran ini, maka sejarah sangat terbuka apabila diketemukan adanya bukti-bukti baru. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sayyid Quttub, bahwa sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peris¬tiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat.
Jadi, menurut Fatah Syukur, sejarah bukan sekedar catatan bagi orang-orang yang lahir dan orang-orang yang mati dan sekedar mengungkap kehidupan para penguasa dan biografi para pahlawan, sejarah juga merupakan suatu ilmu yang membentangkan perkem¬bangan masyarakat, yaitu suatu proses yang panjang sekali. Sejarah berbeda dengan hikayat, legenda, kisah dan sebagainya. Sejarah harus dapat dibuktikan kebe¬nar¬an¬nya dan logis. Oleh karena itu, cerita yang tidak masuk akal, apalagi tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka tidak dapat dikategorikan se¬bagai sejarah. Sejarah adalah suatu kisah manusia dalam perjuangannya untuk me¬realisasikan tujuan pe-perangan yang diterjuninya, pengetahuan yang ia peroleh dari dirinya dan dari alam sekitarnya, penemuan-penemuan yang ia capai, kota-kota yang ia bangun, peme¬rin¬tah-pemerintah yang ia dirikan, perundang-undangan yang men¬jadi pedomannya, perwujudan eko¬nomi, aktivitas yang ia lakukan, peninggalan-pe¬ninggalan peradaban yang ia tinggalkan, ide-ide pemikiran yang ia anut kemudian mungkin menggan¬ti¬nya dengan yang lain.

2. Pengertian Kebudayaan
Setelah kamu memahami pengertian sejarah, maka selanjutnya kita akan membicarakan tentang pengertian kebudayaan. Secara bahasa, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhaya, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Dalam konteks ini, ada ahli yang mengatakan bahwa kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk, yaitu budi-daya, yang berarti daya dari budi. Oleh karena itu, mereka membedakan antara budaya dengan kebu¬dayaan. Karena itu, budaya diartikan sebagai daya dari budi yang berupa cipta, rasa, karsa dan rasa manusia. Sedang kebudayaan merupakan hasil dari cipta, karsa dan rasa.
Sedangkan menurut istilah pengertian kebudayaan merupakan keselu-ruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan da¬lam menghadapi lingkungannya. Jadi, kata kebudayaan memiliki pe¬ngertian yang sangat luas, karena mencakup berbagai bentuk cara kehidupan ma¬nusia, baik yang bersifat jasmaniah maupun ruhaniah.
Menurut Kuntjaraningrat, bila dilihat dari sisi antropologi budaya, paling ti¬dak, kebudayaan mempunyai tiga wujud, Pertama, wujud ideal, yaitu wujud ke¬bu¬da¬yaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, per¬aturan dan sebagainya, Kedua, wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Oleha karena itu, dapat dipahami bahwa di dalam kebudayaan terdapat un¬sur-unsur yang bersifat universal yang merupakan refleksi hasil kebudayaan. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Alat perlengkapan hidup manusia, seperti pakaian, rumah, kendaraan, persenjataan dan sebagaianya.
2. Mata pencaharian hidup, seperti bercocok tanam, beternak, berburu, berdagang dan sebagainya.
3. Pranata sosial, seperti hukum, aturan perkawinan, dan sebagainya.
4. Bahasa, baik lisan maupun tulisan.
5. Kesenian, baik seni rupa, seni suara, seni drama, maupun seni gerak, dan sebagainya.
6. Ilmu pengetahuan
7. Religi atau agama.
Ketujuh unsur tersebut di atas merupakan unsur kebudayaan yang ada di ma¬na sajak, sejak dahulu hingga kini. Oleh karena itu, pengertian kebudayaan meli¬puti seluruh cara kehdupan manusia dalam kelompoknya, di samping se¬bagai kesatuan wadah dari segala bentuk seni.

3. Wujud Kebudayaan
Secara teoritis wujud kebudayaan menurut J.J. Hoenigman, dibedakan men¬jadi tiga: yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.
a. Gagasan (Wujud ideal).
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abs¬trak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menya¬takan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga ma¬sya¬rakat tersebut.
Gambar wujud Kebudayaan Islam

Sumber: Republika onlien.
b.Aktivitas (tindakan).
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berin-teraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut po¬la-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi da¬lam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Pesta upacara Tabui, di Pariaman

Sumber: opensorce.or.id
c. Artefak (karya).
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari ak¬tivi¬tas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dengan memahami teori tersebut di atas kiranya dapat dipahami bahwa wujud dari Kebudayaan Islam bisa dalam bentuk wujud ideal, berupa gagasan dan pemikiran, peraturan atau norma-norma Islam, yang terkadang pemikiran tersebut dituangkan ke dalam bentuk tulisan para sarjana muslim, seperti gagasan yang dutulis oleh para imam mazhab dalam bentuk kitab fiqh, tafsir, hadits dan seba¬gai¬nya.
Bagian dalam masjid al-Hamra, Granada, Spanyol

Sumber: Wikipedia
Sementara wujud kebudayaan Islam dalam bentuk aktivitas berupa sistem sosial, yang mengatur pola hubungan antara satu masyarakat muslim dengan muslim lainnya atau antara muslim dengan non muslim, dan sebagainya. Bisanaya wujud kebudayaan seperti ini tertuang dalam tata aturan pemerintahan dan sistem sosial politik dan kemasyarakatan Islam. Sedangkan wujud dari kebudayaan Islam dalam bentuk artefak dapat dilihat dalam bentuk peninggalan material berupa mata uang, alat-alat pertanian, per¬senjataan, bangunan istana, bangunan masjid, pusat-pusat pendidikan, dan lain sebagainya.
B. Pengertian Kebudayaan Islam
Seperti yang kamu ketahui pada bagian sebelumnya bahwa pengertian ke¬bu¬da¬yaan secara sederhana dapat dipahami sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk memahami ling¬kungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam meng¬hadapi lingkungannya. Dalam konteks ini, kebudayaan Islam merupakan keselu¬ruhan ak¬tivitas manusia muslim dan hasilnya yang di dalamnya terkandung penge¬tahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemam¬puan-kemam¬puan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Karena kebu¬dayaan Islam dilandasi atas agama Islam, maka kebu¬da¬ya-an Islam me¬miliki beberapa keunikan dibandingkan dengan kebudayaan lain. Ke¬unikan itu da¬pat dilihat dari adanya keinginan kuat mempertahankan moral atau akhlak dalam menciptakan suatu kebudayaan Islam, selain selalu dikaitkan deng¬an keber¬a¬daan Tuhan, toleransi, persaudaraan, kewajiban menuntut dan me¬ngembangkan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Sebagai salah satu contoh, pem¬bangun¬an masjid deng¬an segala arsi¬tek¬turnya, merupakan bentuk perwujudan dari kreativitas umat Islam dalam peng¬ab-diannya kepada Allah SWT. Pengem¬bangan ilmu penge¬tahuan dan seba¬gainya, me¬rupakan penerapan dari ajaran Is¬lam yang meng¬haruskan umat Islam melakukan pembacaan atau riset ter¬hadap alam dan segala isinya.
C. Wujud Kebudayaan Islam
Bila melihat teori di atas, bahwa wujud dibedakan men¬jadi tiga: yaitu ga¬gasan, aktivitas, dan artefak, maka wujud kebudayaan Islam juga tidak lepas dari tiga unsur tersebut. Hanya saja, wujud kebudayaan Islam selalu bernafaskan ajar¬an Islam dalam setiap penciptaan dan kreasi umat Islam. dalam bentuk gagasan, yaitu wujud ideal, maka bentuk kebudayaan Islam terdapat dalam alam pemi¬kir¬an masyarakat muslim. Jika masyarakat muslim menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan Islam berada dalam karangan atau karya para penulis muslim.
Dalam catatan sejarah Islam, banyak lahir tokoh-tokoh pemikir muslim yang mewujudkan pemikirannya dalam bentuk karya tulis, seperti al-Kindi, al-Fa¬rabi, Ibn Sina, al- Rasi, Ibn Rusyd, dan lain-lain. Karya mereka hingga kini masih dapat dibaca oleh masyarakat dunia. Begitu juga wujud kedua, yaitu aktivitas, yang melahirkan norma-norma dan perilaku yang didasari atas ajaran Islam.
Ibn Sina, filosuf dan dokter muslim kenamaan

Sumber: Wikipedia
D. Tujuan dan Manfaat Mempelajari Sejarah dan Kebudayaan Islam
Tahukan kamu bahwa dengan mempelajari Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), kamu tidak hanya dapat melihat dan menganalisis peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sekarang, juga masa-masa yang akan datang. Sebab, kamu akan mampu berpikir secara kronologis dan memiliki penge¬tahuan tentang masa lalu yang dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan perkembangan, perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya Islam di masa yang akan datang.
Selain itu, Sejarah Kebudayaan Islam merupakan pelajaran penting seba¬gai upaya untuk membentuk watak dan kepribadian ummat. Sebab dengan mem¬pela¬jarinya, generasi muda akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari perjalanan suatu tokoh atau generasi terdahulu. Dari proses itu dapat diambil banyak hikmah, ibrah atau pelajaran, sehingga masyarakat muslim, termasuk sis¬wa siswi madrasah mampu memilih dan memilah mana aspek sejarah yang perlu dikem¬bangkan dan mana yang tidak perlu. Keteladanan dari para tokoh atau pe¬laku sejarah inilah yang ingin ditransformasikan kepada generasi muda, disam¬ping nilai informasi sejarah penting lainnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Sejarah dan Kebuduayaan Islam merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah ummat, bangsa, negara, mau¬pun individu. Di antara pelajaran penting yang dapat diambil dari Sejarah dan Kebu¬da¬yaan Islam adalah mengambil sesuatu yang baik dari suatu ummat, bang¬sa dan ne¬gara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan ter¬ha¬dap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari. Karena melalui Se¬jarah dan Kebudayaan Islam, kamu dapat mengetahui betapa ummat Islam pernah mencapai suatu kejayaan yang diakui oleh dunia international. Pada saat itu banyak orang-orang non Muslam yang belajar kepada ilmuwan Muslim, baik secara lang¬sung maupun tidak. Banyak karya-karya tokoh ilmuwan Muslim yang dipakai se¬bagai referensi ilmuwan Eropa sampai hampir tujuh abad, misal¬nya karya Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Alhawarizmi dan lain sebagainya. Kejayaan itu tentu tidak dapat dicapai begitu saja, tanpa adanya suatu sebab yaitu usaha maksimal dari para ilmuwan Muslim dan dukungan sarana dan prasarana dara donatur dan birokrat, sebagaimana kejayaan yang pernah dicapai masa Abasiyah periode awal.
Dalam kata lain, setelah kamu mempelajari materi Sejarah dan Kebu¬da-ya¬an Islam (SKI), maka kamu akan memperoleh inspirasi dan motivasi untuk me¬ngenal, memahami, menghayati Sejarah dan Kebudayaan Islam yang mengan¬dung nilai-nilai kearifan yang dapat dipergunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian muslim yang baik.



D. Ringkasan

Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) terdiri dari 3 (tiga) kata, yaitu Sejarah, Kebudayaan dan Islam. Menurut bahasa, sejarah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syajaratun, artinya pohon. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut berubah menjadi sejarah. Sedang menurut istilah, se-jarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang berkaitan dengan ber¬ba¬gai proses kehidupan manusia, dan dipelajari di masa kini untuk diambil hikmahnya bagi perjalanan ke¬hi¬dupan manusia di masa-masa mendatang.
Secara bahasa, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhaya, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Sedangkan me¬nurut istilah pengertian kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh ma¬nusia dan digunakan sebagai pedoman untuk memahami ling¬kungannya dan se¬bagai pedoman untuk mewujudkan tindakan da¬lam meng¬hadapi lingkungannya.
Menurut Kuntjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu; Per¬tama, wu¬jud ideal, yaitu wujud kebu¬da¬yaan sebagai suatu komplek ide-ide, ga¬gas¬an, nilai-ni¬lai, norma-norma, per¬aturan dan sebagainya, Kedua, wujud kelakuan, yaitu wujud ke¬budayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam ma¬syarakat. Ketiga, wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Jadi, Sejarah dan Kebudayaan Islam merupakan keseluruhan ak¬tivitas ma¬nu¬sia muslim dan hasilnya yang di dalamnya terkandung penge¬tahuan, keperca¬yaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemam-puan lain yang dida¬pat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Glossary
Sejarah = berasal dari bahasa Arab, syajaratun, artinya pohon. Kemu¬dian berubah menjadi kata sejarah dalam bahasa Indonesia modern.
Silsilah = kata yang merujuk pada asal usul keluar¬ga atau nenek moyang;
Riwayat serta hikayat = bagian dari sejarah yang selalu dikaitkan dengan ce-rita yang diambil dari kehidupan;
Tarikh = bagian dari sejarah yang berkaitan dengan waktu dan keja¬dian atau sebuah peristiwa.
Tahqiq = satu usaha yang dilakukan oleh para sejarawan untuk melakukan ob¬servasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda nyata, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.
Ibnu Khaldun = serjana muslim terkemuka dan bapak sosiologi Islam pertama di dunia.
Buddhaya = bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal.
Wujud ideal = yaitu wujud kebu¬da¬yaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, per¬aturan dan se¬bagainya,
Wujud kelakuan = yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ak¬tivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud benda = yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.

Konflik Politik Pasca Khalifah Usman bin Affan

Gerakan Demonstrasi Anti Usman ibn ‘Affan :
Konflik Internal Umat yang Berkelanjutan

A. Pengantar

Dalam catatan sejarah, munculnya gerakan demonstrasi anti Usman dise-babkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kebi¬jak¬an yang dikeluarkan berada di luar tradisi yang diterapkan khalifah Umar ibn al-Khattab. Di anta-ranya, khalifah memberikan kekuasaan kepada klan Umayah dan klan Makah lainnya, dengan mengabaikan para sahabat dan kelompok Madinah, misalnya mengang¬kat juru hitung (sawafi) dari kalangan keluarga sendiri, penerapan sis-tem pemerintahan yang bersifat sentralitik, dan menguasai pendapatan seluruh propinsi Kebijakan lain yang di¬anggap keluar dari tradisi khalifah sebelumnya adalah pemberian ijin kepada para sahabat untuk pergi meninggalkan kota Ma-dinah, sehingga banyak sahabat yang kemudian menetap di wilayah Kufah, Bas-rah, dan Damaskus. Praktik ko¬lu¬si dan nepotisme ini pada akhirnya menim¬bul-kan protes keras masyarakat yang tidak puas atau merasa dirugikan. Protes ini tidak hanya di Madinah, juga ma¬syarakat luar kota Madinah, terutama Kufah, Basrah, dan Mesir. Kelompok ma¬syarakat ini mendatangi kediaman khalifah dan mengepungnya hingga akhirnya khalifah Usman ibn Affan tewas mengenaskan di tangan para pemberontak pada 35 H/656 M.
Kematian khalifah Usman ibn Affan, tidak menye¬le¬sai¬kan persoalan. Se-bab Ali ibn AbiThalib, orang yang menggantikan kedu¬du¬kan¬nya, dianggap tidak legitimated karena tidak mendapat dukungan mayoritas umat. Ia hanya mem¬peroleh dukungan dari kelompok pemberontak, dan ke¬mu¬dian baru didukung oleh Talhah, dan Zubeir setelah terpaksa. Terpilihnya Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, juga tidak menyelesaikan masalah politik, sebaliknya malah memper¬panjang krisis akibat banyaknya protes dari kelompok pendukung Usman (Us¬maniyyun) dan mereka yang tidak puas. Krisis ini ber-ujung pada pertempuran di Shiffin yang diselesaikan lewat tahkim. Akibatnya, muncul kelompok penentang baru Ali, yaitu Khawarij. Keberadaan kelompok ini mempersulit usaha Ali untuk menyelesaikan krisis politik pasca Usman ibn Affan. Berikut uraian mengenai pokok pembicaraan ini.

B. Gerakan Pemberontakan Anti Usman Ibn ‘Affan
Setelah Umar ibn al-Khattab meninggal, kepemimpinan umat Islam berpindah tangan ke Usman ibn Affan. Ia berkuasa selama lebih kurang 12 tahun, yaitu mulai dari tahun 24-36 H/644-656 M. Pada paruh pertama pe-merin¬tahannya, kebijakan yang dijalankan merupakan kelanjutan dari kebi-jakan politik khlaifah Umar ibn al-Khattab (13-24 H/634-644 M). Namun pa-da paruh selanjutnya, pengaruh keluarga mulai mendominasi keputusan-ke-putusan yang diamblinya. Ketetapan yang diberlakukan sering berten¬tangan dengan hal-hal yang seharusnya dilaksanakan dalam mengendalikan peme-rintahan. Di antaranya adalah pemberhen¬tian hampir semua gubernur yang diangkat khalifah Umar, yang kemudian digantikan oleh para pejabat baru yang masih terhitung kerabatnya. Akibat dari tindakan ini adalah mun¬cul-nya kekecewaan, ketidak¬puasan, dan kegelisahan di kalangan sebagian besar masyarakat. Keadaan ini semakin memuncak, setelah para gubernur baru berlaku sewenang-wenang, seperti Ibn Sarah di Mesir. Kekisruhan po-litik ini mulai dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok tertentu yang tidak menyukai kepemimpinan Usman ibn Affan. Di antara mereka yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ‘Abd Allah ibn Saba (Sabaiyah). Ia mulai me¬lakukan propaganda ke tengah-tengah masyara¬kat dengan teori wi-sayah, ya¬itu bahwa sebenarnya Nabi Muhammad mening¬galkan wasiat yang me¬ne¬tapkan Usman ibn Affan sebagai peng¬gan¬tinya. Dengan ajaran ini, ber-arti yang berhak memegang jabatan khilafah adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, dan Us¬man ibn Affan yang masa itu tengah memegang jabatan, dinilainya se¬ba-gai perampas hak Usman ibn Affan. Provokasi ini berhasil mempe¬ngaruhi massa yang kala itu tidak merasa puas dengan ber¬bagai kebijakan khalifah Usman ibn Affan. Mereka mulai melakukan ge¬rak¬an perlawanan guna me-nentang kepemimpinan khalifah Usman. Pem¬be¬ron¬takan ini berujung pada peristiwa pembunuhan khalifah Usman ibn Affan. Menurut Muhammad Amhazun, dalam bukunya Tahqieq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah, menyebut-kan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya pemberontakan anti Usman ibn Affan, di antaranya pertama, adalah perbedaan karakter ke-pemimpinan, kedua, perbedaan visi politik, ketiga, adanya perubahan sosial dan kemak¬muran, dan keempat, pengaruh gerakan Sabaiyah.1
Seperti didinggung pada bagian terdahulu bahwa bahwa sepeninggal khalifah Umar ibn al-Khattab (13-24 H/634-644 M), kekuasaan pemerin¬tahan dipegang oleh khalifah Usman ibn Affan (24-36 H/644-656 M). Perbedaan karakter keduanya membawa perubahan sikap mereka terhadap rakyat. Khalifah Umar ibn al-Khattab terkenal sebagai seorang yang berpendirian keras, tegas dalam bertindak, baik untuk dirinya maupun untuk bawahan¬nya. Sementara khalifah Usman ibn Affan dikenal sebagai seorang lemah lembut dan lebih halus dalam bersikap, sampai-sampai Usman sendiri ber¬do’a,”mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadanya dan orang yang berlaku seperti Umar”.2 Karena itu, seperti diketahui bahwa pada pe¬riode pertama masa pemerintahannya, ia disukai rakyat karena kelem¬but¬an dan sikapnya yang lunak kepada rakyat, setelah sebelumnya Umar ber¬si¬kap keras dan tega kepada mereka. Karena sikapnya ini, ada yang meng¬gam¬bar¬kan kecintaan rakyat kepada Usman bagaikan cintanya kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari catatan Ibn Qutaybah dalam karyanya al-Maarif. Dalam konteks ini, Ibn Qutaybah mengatakan bahwa aku mencin¬tai¬mu dan Tuhan, cinta kaum Qurays dan Usman.3 Tidak diketahui secara pasti siapa yang membuat ungakapan tersebut. Hal pasti yang dapat dikatakan di sini adalah mereka kemungkinan besar adalah para pendukung setia Usman. Namun, sikap lembut yang diperlihatkan khalifah Usman ibn Affan ini membuat adanya perbedaan mencolok antara dirinya dengan Umar ibn al-Khattab, terutama dalam menangani masalah-masalah sosial dan politik. Si¬kap tersebut bukan tidak disadari Usman, ia sebenarnya menyadari semua itu, karena ia berkeinginan semua persoalan akan dapat diatasi dengan ke¬lembutan. Hanya saja kemudian sikap lemah lembutnya ini menjadi bume¬rang bagi perjalanan karier politik pemerintahannya, terutama ketika kebi¬jakannya dipengaruhi kerabat dekatnya. Kenyataan lain, seperti diungkap al-Thabay, bahwa meskipun ia lemah lembut, bukan berarti ia tidak menyadari sikapnya ini. Usman sendiri telah menyadarinya ketika ia berkata kepada kelompok penentang pada saat ia menjebloskan mereka ke dalam tahanan. Ia berkata kepada mereka tahukah kalian mengapa kalian menentangku, yang mendorong kalian menentangku adalah karena sikapku ini.4 Ketika muncul keinginan para sahabat dan kerabatnya agar Usman membunuh para pem¬bangkang, ia menolak permintaan tersebut. Karena me¬nurut¬nya, mereka be¬lum termasuk ke dalam kategori kafir dan Usman me¬maafkan mereka. Kha¬lifah Usman, menurut al-Thabary, membiarkan dan memaafkan para pem¬bangkang dengan maksud memberikan pelajaran ke¬pada mereka. Kami akan memberikan pelajaran kepada mereka, dan kami tidak akan menghukum se¬seorang kecuali jika ia melakukan pelaggaran atau jelas-jelas menjadi kafir.5 Kemungkinan hal serupa tidak akan terjadi pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab, sebab ia akan selalu berlaku tegas bagi mereka yang melanggar dan memberontak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya pemberontan anti Usman pada masa peme¬rin¬tahannya adalah ka-rena sikapnya yang lemah lembut dan karakternya yang berbeda dengan khalifah Umar ibn al-Khattab. Karena sikapnya ini, ba¬nyak dimanfaatkan oleh mereka yang tidak suka terhadap berbagai kebi¬jak¬an khalifah Usman ibn Affan, yang berakhir pada kamatian. Selain perbedaan karakter kepe-mimpinan yang dimiliki kedua kha¬lifah itu, juga terdapat perbedaan visi po¬litik mengenai penyebaran sahabat. Pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn a-Khattab terdapat larangan ba¬gi para pemuka Qurays dari go-longan Muhajirin untuk pergi ke luar wi¬la¬yah, kecuali dengan ijin dan untuk waktu tertentu.6 kebijakan itu dikeluarkan khalifah, antara lain, karena ia khawatir terjadinya malapetaka yang menim¬pa mereka, selain akan sulit melakukan komunikasi dengan mereka. Se¬men¬tara khalifah Usman mem¬be-rikan kebe¬basan kepada mereka untuk pergi me¬ninggalkan Madinah. Dalam konteks ini, al-Sya’bi, seperti dikutip al-Thabary mengatakan ketika Usman berkuasa, ia memberi kelonggaran kepada mere¬ka, merekapun pergi ke ber-bagai nege¬ri, sehingga mereka menjauh dari ma¬syarakat. Sikap Usman ini lebih mereka sukai daripada sikap dan kebijakan Umar ibn al-Khattab.7 M¬e-reka pergi ke luar Madinah karena mereka melihat ada sesutu yang menjan-ji¬kan di kota baru, yaitu melimpahnya harta gha¬ni¬mah yang diperoleh umat dalam pe¬nak¬lukan wilayah. Mereka pergi dan me¬netap dalam waktu yang re¬latif cukup lama, karena banyak yang senang ber¬ada di bawah kepe¬mim-pinan orang Qurays.8 Perbedaan visi politik khalifah Usman dengan khalifah Umar dalam kebijakan pemberian ijin para sahabat pergi meninggalkan Ma-dinah, ber¬dampak pada melemahnya dukungan politik pada khalifah, se-hingga ketika terjadi pemberontakan yang menen¬tang berbagai kebijakan po¬litiknya, kha¬li¬fah seolah berada sendirian dan tidak banyak mendapat du-kungan dari para sahabat, karena mereka berada jauh di luar kota Madinah. Faktor ini juga merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan anti Usman.
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah adanya perubahan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan khalifahUsman ibn Affan. Seba-gaimana diketahui bahwa pada masa khalifahUsman ibn Affan terdapat per-kembangan-perkembangan penting dalam kehidupan negara Islam. Khalifah Usman memerintah negara Islam setelah berkembang dari negara dengan wilayah terbatas (the city state ) di Madinah, kemudian meluas ke jazirah Ara-bia, menjadi negara besar yang bersifat internasional yang wilayah kekua¬sa-annya menjangkau Iraq, Syam, Mesir, Afrika, Armenia, Persia dan sebagian pulau-pilau di Laut Tengah (Mediterania Sea),10 satu wilayah kekuasaan yang sangat luas melebihi luasanya wilayah masa kekuasaan sebelumnya. Per-luas¬an wilayah tersebut sangat berpengaruh pada keadaan negara, karena sema¬kin kompleksnya masyarakat. Selain itu, perluasan itu menandai adanya satu generasi muslim baru (muallaf) yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan. Mereka berasal dari berbagai suku dan latar belakang tra¬disi dan agama yang berbeda. Masyarakat muslim membaur dengan ma¬sya¬rakat setempat, baik lewat perkawinan maupun lewat pergaulan hidup se¬hari-hari, dan sebaliknya. Dari pergaulan ini terjadi interaksi sosial yang me¬lahirkan generasi baru muslim yang berbeda dengan generasi awal Islam. Contohnya adalah pembauran antara suku-suku Arab yang berasal dari Utara dengan yang berasal dari Selatan, seperti suku Rabi’ah dengan suku Mudhar dengan suku-suku dari Hejaz dan Najd.11 Mereka amat berbeda dengan generasi muslim pertama. Generasi muslim pertama memiliki kelebihan dengan kekuatan iman dan pemahaman yang benar terhadap inti ajaran Islam, serta kepatuhan mereka terhadap peraturan Islam secara menyeluruh. Karena mereka memper¬oleh pengetahuan dan ajaran agama langsung dari Rasul Allah Saw. Sementara pada generasi baru, tampaknya, kenyataan itu tidak seperti pada generasi awal. Akibatnya, ketika wilayah kekuasaan Islam semakin besar, banyak di antara mereka yang memiliki ambisi pribadi, fanatisme kesukuan dan golongan untuk menjadi penguasa. Oleh karena itu, ketika mereka berkuasa prilaku mereka ada yang menyalahi norma-norma ajaran Islam. Akibatnya, rakyat tidak menyukai mereka dan bahkan berusaha melakukan gerakan perlawanan, seperti yang akan dije¬las¬kan pada bagian lain. Kenyataan ini bukan tidak diketahui khalifah Usman. Dalam pengamatan Amhazun, mengutip pendapat Ibn Asakir dalam kitab Tarikh Dimasq, mengatakan bahwa untuk mengatasi persoalan itu khalifah Usman mengirim surat kepada para gubernurnya untuk mengan¬ti¬sipasi ber¬bagai kemungkinan adanya gerakan perlawanan dari masyarakat. Dalam su¬ratnya itu khalifah Usman menyata-kan bahwa rakyat telah menyebarkan hujatan yang mengarah pada keru-suhan. Persoalan itu timbul menurut kha¬lifah karena tiga hal; yaitu mengejar keduniaan (kesenangan duniawi), am¬bisi kekuasaan dan kedengkian.12 Da-lam riwayat al-Madaini, sebagaimana penuturan Usman yang dikutip Amha-zun,13 bahwa khalifah Usman me¬nge¬luh atas terjadinya perubahan kondisi sosial umat Islam saat itu. Karena per¬ubahan itu berdampak pada kurang patuhnya masyarakat generasi baru ter¬hadap pemerintahan Islam yang berada di bawah kekuasaanya.
Persoalan perubahan masyarakat Islam, juga terungkap dalam surat yang dikirim gubernur Kufah, Sai’d ibn al-‘As. Ia menjelaskan kondisi ma-syarakat Kufah yang tengah resah, karena banyak orang salih (baik) ter¬ka-lahkan. Mereka yang berkuasa adalah orang-orang yang tidak baik. Ini me-nandakan bahwa persoalan sosial muncul karena adanya sekelompok orang dengan menggunakan kekuatan kelompoknya untuk menguasai kelompok tertentu, sehingga masyarakat menjadi resah. Keadaan ini tentu saja sangat berpengaruh pada keadaan dan stabilitas sosial politik Islam pada masa pemerintahan khalifahUsman ibn Affan. Sebenarnya proses asimiliasi dan hasilnya sangat bernilai positif bagi perkembangan Islam, karena dengan begitu Islam semakin banyak dianut dan penyeberannya tidak lagi hanya menggunakan kekuatan, bisa dilakukan melalui pendekatan sosial dan kebudayaan. Hanya saja pada waktu itu, mereka yang menjadi generasi baru, dalam analisis Amhazun, belum memiliki pendidikan yang cukup, juga belum mampu menghayati jiwa semangat Islam seperti yang ada pada generasi awal Islam, baik Muhajirin mapun Ansar. Selain itu, masih menurut Amhazun, ketika terjadi pemberontakan (fitnah) kelompok generasi pertama Islam, tidak mampu mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang tengah melanda umat Islam ketika itu, karena generasi baru tersebut lebih banyak dari generasi awal Islam. Akibatnya, gelombang fitnah yang terjadi ketika itu tidak dapat dibendung, apalagi mereka yang melakukan gerakan perlawan-an anti Usman berdatangan dari berbagai belahan wilayah Islam yang lain yang berasal dari berbagai suku dan kabilah.14 Kenyataan ini, menurut Ah-mazun lebih jauh, diperkeruh dengan banyaknya daerah yang baru ditak-luk¬kan, di mana para mawla (mantan budak) belum terbebas dari tradisi jahi-li¬yah mereka. Di antara penyebabnya adalah tidak adanya keseimbangan an-tara gerakan perluasan horizontal pada penaklukan-penaklukan dengan per-luasan vertikal, berupa peningkatan pendidikan dan pemahaman al-Qur’an dan al-Sunnah kepada masyarakat. Gerakan jihad seharusnya didampingi oleh para juru da’wah dan diikuti oleh para pengajar untuk mengajarkan agama kepada masyarakat. Karena jika tidak, akan berakibat pada labilnya barisan Islam danmemperbesar jurang pemisah anatara para pejuang (ten-tara) penakluk dengan penduduk daerah-daerah yang ditaklukkan. Hal ini memunculkan fenomena negatif yang pada gilirannya sangat berpengaruh pada solidaritas barisan serta kesatuan politik dan pemerintahan Islam.15
Akan tetapi, hemat penulis, fenomena negatif tersebut—untuk saat itu—sulit dihilangkan dengan cepat, meskipun dibarengi dengan usaha gi-gih dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Hal itu disebabkan karena eks¬pansi wilayah berlangsung secara cepat dan meluas, sementara kemampuan sumber daya manusianya dalam bidang pendidikan dan pengajaran tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk di daerah-daerah tersebut. Begitu juga waktu yang relatif singkat tidak cukup untuk menanamkan pen¬didikan dan pengajaran Islam ke dalam diri mereka, sehingga—di samping faktor-faktor lain—ikut menjadi penyebab munculnya persoalan-persoalan sosial politik dan sosial keagamaan, yang pada gilirannya akan menciptakan instabilitas politik pemerintahan khalifah Usman ibn Affan.
Faktor penting lainnya yang juga sangat berperan dalam kemunculan gerakan perlawanan anti Usman adalah merebaknya pengaruh kelompok Sabaiyah, yang dimotori oleh Abd ibn Saba. Ia membawa paham wasaya, yang menyatakana bahwa yang berhak memperoleh jabatan khilafah adalah Ali ibn Abi Thalib, bukan Usman. 17 Konsep ini sengaja disebarkan agar ma-syarakat terprovokasi untuk melakukan pemberontakan melawan Usman dan 19 Kelompok ini menjadikan Mesir sebagai basis kekuatan mereka. Di sini ia membentuk barisan penentang khalifah Usman dan mengarahkan massa menuju Madinah. Banyak isu yang dilontarkan ketika itu, seperti ketidak¬su¬kaan mereka atas gubernur Mesir, Ibn Sarah, yang diangkat khalifah yang ternyata masih ada hubungan saudara dengan khalifah. Usaha mempro¬vo¬kasi massa dilakukan, sehingga massa yang terpengaruh mulai memper¬siap¬kan diri menuju Madinah. Hanya saja, ketika mereka tiba di Madinah, sa¬habat mempertanyakan kedatangan mereka, sebab dikhawatirkan keda¬tang¬an mereka karena termakan isu yang disebarkan Ibn Saba’. Dalam kesem¬pat¬an itu, Malik al-Asytar al-Nakha’i meragukan kedatangan mereka, sebab “jangan-jangan Ibn Saba’ telah menipu khalifah Usman dan kalian.”20 Ke¬da¬tangan kelompok ini ke Madinah untuk meng-klarifikasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Mesir, dan meminta khalifah menjelas¬kannya. Kalau khalifah berkilah dan tidak mampu memberikan penjelasan, mereka akan terus melakukan perlawanan hingga pemerintahan khalifah Usman tumbang. Setelah berdemonstrasi, mereka kembali ke daerah masing-masing dan berjanji akan datang kembali pada bulan Syawwal tahun 35 H (655 M) tahun itu juga.21
Pada waktu yang disepakati, akhirnya mereka datang kembali ke Madinah sebagai jamaah haji. Seperti diceritakan Saif, yang dikutip al-Tha-bary, Saif menjelaskan bahwa pada tahun 35 H penduduk Mesir datang ke Madinah dalam empat kelompok, masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin, sedikitnya jumlah mereka sekitar 600 orang. Selain itu, penduduk Kufah dan Basrah juga datang ke Madinah.22 Kedatangan mereka selain un¬tuk berhaji, juga untuk menemui para sahabat, seperti ‘Ali, Thalhah, dan Zu¬beir di Madinah meminta penjelasan mengenai kebijakan-kebijakan khalifah Usman ibn Affan. Mereka mendapat jawaban yang tidak memuaskan, lalu mereka kembali ke tempat masing-masing dan merencanakan tindakan beri¬kutnya. Namun, sebelum mereka tiba di Mesir, para pemberontak yang ber¬a¬sal dari Mesir dikejutkan oleh penemuan surat yang berisi perintah untuk membunuh para pemberontak yang kembali dari Madinah. Membaca surat tersebut, mereka tidak jadi kembali ke Mesir, justeru berbalik arah dan kem¬bali menuju Madinah untuk meminta penjelasan lebih jauh kepada Ali dan Usman. Ketika ‘Ali ditanya, ia menjawab tidak tahu, mereka menuju rumah Usman dan menanyakan hal yang sama, dan mereka mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya mereka berkesimpulan bahwa ada rencana busuk dari penguasa untuk membunuh mereka. Karena itu, sebelum mereka dibunuh, para pemberontak mengepung dan kemudian membunuh khalifah Usman ibn Affan pada tahun 36 H.23
Selain ketiga faktor penyebab kemunculan gerakan anti khalifah Us-man ibn Affan, masih terdapat banyak faktor penye¬bab lainnya, salah satu-nya, seperti ditulis Haekal dalam karyanya Usman ibn Affan. Ia menjelaskan di antara faktor penyebab terjadi¬nya perseteruan di antara umat Islam pada masa khalifah khalifah Usman adalah, pertama, adanya per¬saingan keras an-tara Bani Hasyim dengan Bani Umayah, yang me¬mang sudah ada sejak se¬be-lum Islam. Kedua, ketidakpuasan orang-orang Arab atas dominasi Qurays, dan ketiga, timbulnya perasaan dominasi Arab atas non-Arab.24Dalam sejarah klasik masyarakat Arab diketahui bahwa jauh sebelum masyarakat Arab memeluk Islam, terdapat persaingan antar suku, di antaranya adalah per-saingan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah. Setelah mereka menjadi Muslim, persaingan itu sempat terkubur. Tetapi setelah Rasul wafat, mulai terlintas dalam pikiran Bani Hasyim mengenai kepemimpinan, bahwa mere-kalah yang harus menjadi pengganti Muhammad. Hanya saja, tampaknya pikiran semacam ini ketika itu tampaknya masih setengah hati atau malu-malu, karena kedua khalifah yaitu Abu Bakar dan Umar mampu men¬ja¬lan-kan pemerintahan dengan baik, sehingga keinginan untuk memperoleh ke-kuasaan untuk sementara dapat ditahan.25
Di samping adanya ketidakpuasan orang-orang Arab atas dominasi Qurays, masih ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh dalam politik pemerintahan khalifah Usman, yaitu perasaan adanya superioritas dan do-minasi Arab terhadap non Arab. Kelompok masyarakat non Arab, seperti Persia, Yahudi dan penganut agaman Nasrani, merasakan adanya dominasi itu. Dalam pandangan masyarakat non Arab, menurut Haekal, sebelum Is-lam, masyarakat ini tidak memiliki kekuasaan apa-apa, tetapi setelah Islam berkem¬bang dan menguasa beberapa wilayah di luar Hejaz, mereka mulai menjadi penguasa lokal yang semua didominasi Arab. Hal ini menimbulkan kecem¬buruan masyarakat non Arab, yang pada akhirnya mereka melakukan gerakan perlawanan atas pemerintahan khalifahUsman ibn Affan.29 Faktor-fektor tersebut merupakan penyebab melemahnya kekuasaan pemerintahan khalifah Usman yang membawa pada kehancuran ditandai dengan meing-galnya khalifah Usman pada tanggal 12 Dzul Hijjah 35 H. 30

C. Kebijakan Satu Mushaf :
Tindakan yang Dianggap Melanggar Tradisi.
Protes massa atas berbagai kebijakan khalifah Usman ibn ‘Affan tidak hanya datang dari masyarakat umum, juga dari orang yang cukup disegani, seperti Thalhah, Zubeir, Aisyah, Ammar ibn Yassar, ‘Amr ibn al-Ash, Abu Dzar, ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf, ‘Abd Allah ibn Mas’¬ud, al-Miqdad ibn al-As-wad, Hujr ibn ’Adi, Hashim ibn Uthbah, Sahal ibn Hunaif, Abi Ayub al-An-shari, dan Jabir ibn ‘Abd Allah al-Anshari.33 ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf sendiri malah mengkritik kebijakan khalifah yang mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf dan membakar mushaf lainnya. Tindakan ini menurut nya telah melanggar tradisi Nabi, karena telah menghilangkan kreatifitas umat Islam. 34 Kebijakan satu mushaf dengan membakar mushaf lain bukan keinginan Usman, melainkan keinginan Hudzaifah ibn al-Yaman yang di¬sampaikan kepada khalifah Usman dalam sebuah pertemuan. Hudzaifah menilai bila tidak diambil tindakan secepatnya, ma¬ka al-Qur’an akan ter¬distorsi, karena ternyata setiap wilayah memiliki mushaf tersendiri. Kebijak¬an ini membuka peluang bagi para pemberontak yang memang tidak suka terhadap khalifah Usman untuk melakukan perlawanan, sehingga situasi semakin tak menen-tu. Bahkan penduduk Madinah menghendaki agar kha¬lifah Usman ibn ‘Af-fan bertobat dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah dila¬ku-kannya kepada masyarakat, kalau tidak mereka akan me¬merangi Usman,35 dan mengancam akan mengganti Usman dengan sahabat Nabi yang lain.36 Ancaman penduduk Madinah membuat gusar khalifah.
Untuk itu, ia mengirim surat kepada Muawiyah agar membantunya menyelesaikan krisis politik yang tengah dihada¬pi. Dalam surat itu, khalifah menjelaskan bahwa penduduk Madinah telah kafir dan tidak mau patuh lagi kepadanya.37Berdasarkan isi surat itu, Muawiyah berkesimpulan bahwa pen¬duduk Madinah, yang mayoritas kaum Ansar, telah berkonspirasi deng-an penduduk Mesir, Kufah dan Basrah untuk men¬jatuhkan khalifah Usman ibn Affan. Thalhah pun tidak lepas dari tudingan itu, sebab ia berada di sisi Us¬man ketika ia dikepung. Ketika pasokan air dan makanan tidak di¬ijinkan ma¬suk oleh para pemberontak, Mu’awiyah menganggap Thalhah adalah orang yang paling ber¬tanggungjawab dalam masalah tersebut.38
Selain penduduk Madinah, juga terdapat penduduk daerah lain yang melakukan pemberontakan, misalnya Mesir, Kufah dan Basrah. Para pem-berontak yang datang dari Mesir, menurut al-Thabary berjumlah sekitar 600 orang (sich) dan dibagi ke dalam empat rombogan. Gerakan ini dipimpin langsung oleh Amr ibn Budail ibn Warqa’ al-Khuza’i.39 Kedatangan mereka kembali ke Madinah sebenarnya untuk meminta konfirmasi mengenai surat yang dibawa oleh kurir misterius yang isinya memerintahkan gubernur Me-sir ‘Abd Allah ibn Sa’ad ibn Abi Sarah untuk membunuh para pem¬bangkan setibanya di Mesir. Kurir dan surat misterius ini membuat khalifah Usman pusing, bahkan menurut al-Dinawari, ia mengeluh kepalanya pusing karena memikirkan perbuatan masyarakat terhadap dirinya.
Gerakan kelompok anti Usman yang berasal dari penduduk Kufah dipimpin oleh al-Asytar al-Nukha’.40 Kelompok ini juga melakukan tuntutan yang sama, yaitu mencopot al-Walid ibn Uqbah yang mereka nilai telah me-nyalahi ketentuan syari’at, karena ia suka mabuk-mabukan. Untuk kepen-tingan umum, akhirnya al-Walid ibn Uqbah dicopot dan digantikan posisi-nya oleh Said ibn al-‘Ash. Kemudian Usman menghukum al-Walid.41 Na-mun, setelah tuntutan mereka dipenuhi, para pemberontak tidak meng¬hen-tikan gerakannya, malah menyusun kekuatan kembali guna mela¬kukan pe-ngepung rumah kediaman khalifah Usman yang menyebab¬kannya terbu¬nuh pada 12 Dzul Hijjah 35 H.
Dengan demikian, sebenarnya kebijakan khalifah mengenai satu mushaf, yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani, bukan merupakan faktor utama munculnya gerakan pemberontakan anti Usman. Sebab, masih banyak kebijakan kebijakan lain yang justeru merupakan faktor utama, yaitu nepotisme, yang memberikan kedudukan strategis bagi keluarga dan kerebat dekatnya.

D. Ali VS Mu’awiyah :
Usaha Merebut Mahkota Khilafah
Setelah khalifah Usman terbunuh, Thalhah dan Zubeir mendatangi Ali ibn Abi Thalib dan meminta kesediaannya untuk menjadi khalifah peng-ganti Usman60 Kedatangan mereka didasai atas realitas politik bahwa massa pemberontak telah melakukan baiat Ali ibn Abi Thalib.61 Di antara alasan mengapa mereka memilih Ali, seperti dikatakan ibn Qutaibah, karena Ali lebih berhak karena kedekatannya dengan Nabi dalam hubungan kekerabat-an. Pada mulanya Ali menolak, dan mengatakan kepada massa ketika itu, tinggalkan aku dan cari yang lain. Karena masalah ini bukan urusan kalian, tetapi urusan para tokoh ahl al-shurabersama ahl al-Badr. Siapa saja yang dise-tujui oleh tokoh-tokoh itu, dialah yang berhak menjadi khalifah. Karena itu, kami akan berkumpul dan memba¬hasnya.62 Akan tetapi, karena desakan massa yang membutuhkan seorang pemimpin dalam situasi kritis seperti itu, akhirnya Ali menerima tawaran itu, selain tidak ada sahabat yang mau me¬nerima tawaran jabatan khilafah. Maka dibai’atlah Ali di masjid di hadapan kaum Muhajirin dan Ansar pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H (17 Juni 656 M).63 Pembai’atan ini dilakukan oleh para sahabat, seperti Thalhah ibn Ubaid Allah dan Zubeir ibn al-‘Awam. Keduanya melakukan bai’at setelah dipaksa oleh yang lain atau melakukannya setengah hati. Begitu juga sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Abd Allah ibn Umar melakukan bai’at setelah umat Islam melakukannya.
Penobatan Ali mendapat tantangan tidak hanya dari Mu’awiyah, juga datang dari beberapa sahabat kelompok Ansar (nufairan yasiran). Mereka adalah Hassan ibn Sabit, Ka’ab ibn Malik, Maslamah ibn Mukhallid, Abu Sa’id al-Khudri, Muhammad ibn Maslamah, al-Nu’man ibn Busyair, Zaid ibn Sabit, Rafi’ ibn Khudaij, Fudhalah ibn Ubaid, dan Ka’ab ibn ‘Ujrah. Mereka disebut kelompok Usmaniyyah, para pendukung Usman.64 Alasan penolakan mereka, menurut al-Thabai cukup beragam. Misalnya, Zaid ibn Sabit, ia me¬nolak karena ia adalah orang kepercayaan Usman ibn’Affan yang mengurusi depar¬temen keuangan dan bait al-mal. Ka’ab ibn Malik, juga orang keper¬ca¬yaan khalifah Usman sebagai pengumpul sadaqah.65 Dengan demikian, da¬pat dikatakan bahwa penobatan ‘Ali sebagai khalifah saat itu masih di¬ang¬gap kontroversial, karena tidak mendapat dukungan bulat dari masyarakat, bahkan ada sebagian tokoh Madinah seperti Qudamah ibn Madz’un, Abd Allah ibn Sallam dan al-Mughirah ibn Syu’bah, tidak melakukan bai’at, malah justeru pergi meninggalkan Madinah menuju Syam.66
Berbeda dengan penduduk Kufah dan Madinah, orang-orang Basrah malah menginginkan Thalhah menjadi khalifah, sedang penduduk Makah menginginkan Zubeir ibn al-Awwam. Tetapi kemudian masyarakat Basrah juga menyatakan bai’at kepada ‘Ali. Sementara itu, Mu’awiyah ibn Abi Suf-yan sebagai gubernur Syam menolak melakukan bai’at. Bahkan dengan ter-buka Mu’awiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah, karena meng¬ang-gap dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikanUsman ibn Affan.67 Dalam beberapa keterangan yang dicatat al-Thabari, Ibn Qutaybah, Mu’a¬wi-yah adalah orang yang paling berhak menuntut balas atas kematian Usman ibn ‘Affandan mengendalikan pemerintahan, karena ia adalah wali-nya.68 Mu’awiyah dan kelompoknya, menurut al-Farsyi tidak mau bai’at kepada awalnya bukan karena ia membangkang (bughat), tetapi karena ia meng¬hen-daki agar Ali menangkap dan menghukum pembunuh Usman. 69
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apapun alasan yang dike-mukakan Mu’awiyah saat itu untuk tidak tunduk kepada Ali, karena ia se¬be-narnya hanya mengulur waktu menunggu saat yang tepat untuk mem¬per¬o-leh kedudukan sebagai khalifah. Sebab, dia melihat tampaknya tidak mung-kin ketika itu Ali menangkap dan menghukum para pemberontak yang membunuh khalifah Usman ibn Affan, karena mereka adalah orang-orang yang mengantarkan Ali menjadi khalifah. Selain itu, kursi kekuasaan dan ja-batan khilafah merupakan mahkota yang harus direbut dari tangan orang yang cukup diperhitungkan karena mendapat dukungan dari para sahabat dan tokoh-tokoh penting ketika itu. Karena itu ia mencoba mengulur waktu menunggu saat yang tepat guna mengambil alih kekuasaan itu dari tangan Ali. Ia tidak akan melakukan kudeta meskipun secara militer dan massa Mu’awiyah memiliki kekuatan dan pendukung yang relatif cukup banyak di wilayah Syam. Padahal, dalam berbagai propaganda yang dilakukannya, ia selalu menganggap dirinyasebagai wali Usman ibn ‘Affandan berhak me-nuntut balas atas kematian Usmanserta berhak pula menjadi pengganti-nya. Mu’awiyah dan kelompok pendukungnya, terutama ‘Amr ibn al-‘Ash, dalam keterangan Ibn Qutaybah dan analisis Watta, bahwa ia melakukan propaganda di Syam bahwa Mu’awiyaha dalah orang yang paling berhak menduduki jabatan khilafah, karena ia adalah walinya. Hal ini didasari atas sebuah ayat yang menyatakan bahwa siapa yang terbunuh secara aniaya, maka kami menjadikan walinya sebagai penguasa. Dasar inilah yang dija¬di-kan argumen Mu’awiyah dan para pendukungnya untuk menolak ke¬khi¬la-fahan Ali, dan mengklaim dirinya sebagai wali Usman ibn Affan.70
Jadi, sebenarnya problem yang menjadi penghambat Mu’awiyah un-tuk tidak mengakui kekhalifahan Ali awalnya adalah persoalan qisas, bukan semata masalah khilafah. Hal ini seperti diungkap oleh al-Thabai bahwa Mu’awiyah dan para pendukungnya berpendapat Ali harus terlebih dahulu melakukan qisas terhadap pembunuh Usman baru mereka akan ikut bai’at.71 Apabila tidak dilakukan, maka pedang akan bicara. Begitu surat jawaban yang dikirim Mu’awiyah..72 Jawaban ini mengisyaratkan Mu’awiyah lebih senang berperang ketimbang taat kepada Ali. Sebab argumentasi wali Usman tidak memiliki alasan yang kuat, sebab menurut Ali Mu’awiyah salah se-orang tulaqa, yaitu orang yang dibiarkan tetap hidup bebas pada waktu fath al-Makkah.73
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebenarnya jabatan khi¬la-fah hanya Aliyang berhak memegangnya saat itu, karena ia mendapat pengakuan dari Thalhah, Zubeir dan masyarakat muslim lainnya, baik di Madinah, Makah maupun Kufah dan Basrah. Sementara Mu’awiyah sendiri tidak memiliki hak atas jabatan itu, meskipun ia mengatakan bahwa ia ada-lah wasinya Usman. Tetapi, Mu’awiyah tinggal diam. Dengan berbagai cara dilakukannya untuk memperoleh jabatan tersebut, termasuk melawan kekuatan Alidi Siffin yang diselesaikan lewat tahkim, yang menandai ke¬ka-lahan Ali dalam berdiplomasi dan berpolitik. Usaha untuk mengga¬bungkan kekuasa¬annya dengan kekuasaan Ali baru tercapai setelah al-Hasan meng¬a-kui kekuasan yang ada pada Mu’awiyah dalam peristiwa ‘am al-jama’ah 661 M di Maskin.


E. Tahkim : Kemenangan Politis Mu’awiyah
Seperti diketahui bahwa perselisihan yang terjadi antara khalifah Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah berujung pada konflik fisik yang terjadi dalam perang Siffin (38 H/657 M). Pertempuran itu berawal dari penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali. Penolakan ini jelas mengindikasikan bah-wa Mu’awiyah termasuk salah seorang pembangkang yang mesti diperangi. Sebelum perang dilaksanakan, Aliterlebih dahulu mengirim Jarir ibn Abd Allah al-Bujali untuk bertemu Mu’awiyah di Syam, dan menyampaikan pesan Aliagar Mu’awiyah mau mengakui kekhalifahannya, tapi permin¬ta-an itu ditolak. Karena menolak, lalu Ali mempersiapkan sekitar 5000 tentara untuk menyerang Mu’awiyah. Mendengar berita itu, Mu’awiyah melakukan musyawrah dengan ‘Amr ibn al-‘Ash. Hasilnya, ‘Amr ibn al-‘Ash menya-rankan agar Mu’awiyah mempersiapkan pasukan guna membendung kekuatan Ali yang tengah menuju Kufah.74
Akhirnya kedua pasukan bertemu di daerah Siffin.75 Pada sat itu Ali masih berusaha melakukan cara terbaik guna meyelesaikan konflik tersebut dengan cara lain, selain peperangan. Untuk itu, ia mengirim tiga orang utus-an menghadap Mu’awiyah untuk mengajaknya agar ia tunduk di bawah kekuasaan khalifah Ali ibn AbÌ Talib, demi persatuan umat Islam. Tetapi, seperti disinggung bagian sebelumnya, ajakan tersebut disambut dingin oleh Mu’awiyah dan para pendukungnya. Mu’awiyah baru akan mengakui ke¬khilafahan Ali bilamana ia mampu menyelesaikan kasus tragedi pem¬bu-nuh¬an khalifah Usman ibn Affan. Jawaban ini tentu saja menimbulkan ke-kece¬waan Ali, karena sebenarnya ia menginginkan semua persoalan dila-kukan dengan cara-cara damai, bukan kekerasan, apalagi peperangan. Akan tetapi, melihat gelagat yang tidak baik, maka peperanganpun tidak dapat di-hindari.
Kemudian pada hari kedua pertempuran, Mu’awiyah tampaknya mulai terdesak. Karena itu, atas anjuran Amr ibn al-Ash, Mu’awiyah menem-puh cara tipu muslihat dengan memerintahkan pasukannya yang ada pada garis depan agar mengangkat al-Qur’an dengan ujung tombak, sebagai per-tanda peperangan harus segera dihentikan untuk dicari jalan keluar yang lebih baik yang didasari atas kitab suci al-Qur’an.76 Dengan cara ini, pe¬pe-rangan nyaris terhenti dan keputusan selanjutnya diserahkan kepada dua orang juru runding masing-masing. Keputusan apapun yang dihasilkan oleh juru runding (arbiter) tidak dapat dibantah.
Dari pihak , Abu Musa al-Asyari dipilih sebagai wakil juru runding, setelah sebelumnya terjadi perdebatan di antara kelompok pendukung , karena  menghendaki agar Abd Allh ibn Abbas sebagai juru runding, tapi diprotes karena ia masih saudara dekat . Sementara dari pihak Muwiyah, Amr ibn al-As yang ditunjuk sebagai juru runding. Apabila kedua juru runding tersebut tidak dapat mencapai kata sekapakat, maka keputusan diserahkan kepada sebuah komisi yang terdiri dari 800 orang, dengan perhitungan suara terbanyak. Ide perundingan ini sangat mengecewakan sebagian pendukung khalifah . Mereka mengecam kebijakan khalifah yang berkenan menerima tawaran perundingan di tengah pertempuran yang hampir dimenangkannya, meskipun sebenarnya sebagian lainnya yang mengusulkan agar khalifah  menerima tawaran damai tersebut. Sebagian pasukan  yang kecewa atas kenyataan ini menyatakan diri keluar dari barisan  (Khawrij). Kelompok ini kemudian melakukan tindakan teror terhadap kelompok  dengan melakukan gerakan pengacauan di beberapa tempat.
Dalam perundingan yang dijalankan di Adruh, Dawmat al-Jandal tahun 659 M. Dalam sejarah diketahui bahwa orang yang pertama tampil ke depan adalah Abu Musa al-Asyary dan Amr ibn al-As, keduanya bersepakat untuk memutuskan bahwa  dan Muwiyah, keduanya harus melepaskan klaim sebagai khalifah, dan harus dipilih orang lain untuk menjabat sebagai khalifah. Berbeda dengan apa yang telah disetujui Amr ibn al-As, yang mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan , dan menolak penjatuhan Muwiyah.77
Bagaimanpun, peristiwa tersebut sangat merugikan  dan mengun¬tung¬kan Muwiyah, sebab yang yang menjadi khalifah sebenarnya adalah , sedang Muwiyah hanya sebagai gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada  sebagai khalifah. Dengan tahkim ini, kedudukan atau posisi Muwiyah telah naik menjadi khalifah tidak resmi, sementara  berada dalam posisi yang kalah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau keputusan tersebut ditolak , dan ia tidak mau meletakkan jabatannya sampai akhirnya ia meninggal pada tahun 661 M,78 yang dalam analisis Lapidus, sebuah sikap yang tidak ada gunanya sama sekali.79
Dengan mencermati sekilas peristiwa tahkim sebagaimana disebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa posisi  jatuh, sementara posisi Muwiyah menguat. Menguatnya posisi Muwiyah karena ia, menurut analisis Lapidus, banyak mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat Arab yang memandang bahwa Muwiyah memiliki kekuatan yang tangguh dan mampu menjalankan pemerintahan bersama dengan kaum elite muslim Arab. Sementara posisi , karena melakukan kebijakan yang tidak populer ketika itu, seperti mencopot para gubernur yang diangkat , dan sebagainya, semakin melemah dan mengalami keterpurukan setelah peristiwa tahkim.80
Kemenangan politis Muwaiyah dalam peristiwa tahkim meluruskan jalan karier politiknya. Sebab kemudian banyak migran Arab yang tidak setuju atas berbagai kebijakan khalifah , mendukungnya untuk terus mencapai kedudukan tertinggi dalam jabatan pemerintahan Islam, yaitu khalifah, dan ia baru berhasil menggapainya setelah mendapat pengakuan dari para pendukung  melalui tangan l-asan dalam sebuah fakta perdamaian yang terjadi di Maskin tahun 661 M, lebih kurang setelah enam bulan  meninggal dunia.




1 Muammad Ahmazun ( selanjutnya disebut Ahmazun), Tahqieq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah: Min Riwayat al- Imam al-°abr wa al-Muhaddisin, ( Riyadh : Maktabah al-Kausar, 1994M/1415 H), hlm. 210-220. Lihat pula Muammad Husein Haekal ( selanjutnya disebut Haekal), n ibn Affn, , bab 4, hlm, 114-130

2 Abu Jafar ibn Jarr al-°abr ( selanjutnya disebut al-°abr), al-Umam wa al-Mulk, J.4. ( Beirut: Muassasah al-Alam al-Islami li al-Matbuah, 1989) , hlm, 362. lihat Jalal al-Dn al-Suy¯i (selanjutnya disebut al-Suy¯i),Tarkh al-Khulaf, ( Beirut : Dar el-Fikr, 1974 M/1394H), hlm, 146-147
3 Lihat Abd Allh ibn Muslim Ibn Qutaybah, al-Marif, ( Beirut: Dar el-Kutub al-Ilmiah, 1407 H), hlm, 83.
4 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 251.
5 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 346.

6 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 397
7 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 398.
8 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm, 398.
9 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm, 397.

10 Lihat Khalifah ibn al-Khayyat, Tarkh Khalfah, (ed). Akram al-Umari, ( Beirut: Dr el-Qalam, 1397 H), hl, 157-167. Lihat pula Muammad Salih Amad al-Farasi, Fasl al-Khitb f Mawqif al-Ashb R A, ( Mesir: Dar el-Salam, 1996 M/1416 H), Cet. I, hlm. 48-60.
11 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 45.
12 Amhazun, Taqq. hlm, 223.
13 Amhazun, Taqq,, hlm, 224

14 Ahmazun, Taqq, hlm. 224.

15 Ahmazun, Taqq, hlm, 224-223

16 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 378

17 Tidak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa akan terjadi reinkarnasi pada diri Muammad. Ia mengatakan sungguh aneh bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Isa akan bangkit kembali, sementara Muammad tidak. Hal itu didasari atas firman Allah QS al-Qasas ayat 85, padahal Muammad lebih berhak reinkarnasi ketimbang Isa. Ia juga mengkalim adanya wasiat Nabi kepada  dengan mengatakan, ada seribu Nabi, dan setiap Nabi mempunyai wasi, penerima wasiat.  adalah wasi Muammad. Lalu ia mengatakan Muammad adalah penutup para Nabi dan  adalah penutup para wasi. Lihat al-°abr, Tarkh, J.3. 378-79,.
18 Al-°abr, Tarkh, J.3. 379. Lihat Ibn Kasir, al-Bidyah wa al-Nihyah,, J.7. (Beirut : Dr el-Fikr, 1398 H), hlm, 183.

19 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 380.
20 Al-°abr, Tarkh, J.3. hl, 381.

21 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 382.
22 Al-°abr, Tarkh, J.3, hlm, 385-99, Lihat pula al-Baladzury, Ansab al-Asyraf, hlm,1.

23 Al-°abr, Tarkh, J. 3, hlm, 399-415.
24 Muammad Husein Haekal,Usman ibn Affan,( terj)  Audah, ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), hlm, 114-115.
25 Muammad Husein Haekal, Isman ibn Affn,( terj) Ali Audah, ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), hlm, 114-115. Lihat pula, Syed Mahmudunnaser, Islam dalam Konsepsi dan Sejarahnya ( Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm,. 190-191.

26 Haekal, n ibn Affn, hlm, 115
27 K.Ali, A Study of Islamic History (Sejarah Islam: Tarikh Pra Modern, (terj), ( Jakarta: Srigunting, 1997), hlm. 129.
28 Haekal, n ibn Affn, hlm, 115.
29 Haekal, n ibn Affn, hlm, 116. lihat al-Farsi, Fasl al-Khitab, hlm, 53-60.
30 Lihat Ibn Saad, al-Tabaqat al-Kubra, J.3. ( Beirut: Dar el-Fikr, 1985), hlm, 31-32. lihat pula Balyaev, Arabs, Islam and the Caliphate in the Eaerly Middle Ages, ( London: Pall Mall Press, 1969), hlm, 144.

31 Al-°abr, Tarkh. J.3. 311-313. lihat Al-Farsi, Fasl al-Khitb. hlm,78.
32 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 312-315. Al-Farsi, Fasl al-Khitb, hlm, 82-84.
33 Muammad ibn Abd al-Rahman ibn Muslim ibn Qutaybah al-Dinwar, (selanjutnya disebut al-Dinwar), al-Immah wa al-Siysah, J.1. (ed) Taha Muammad al-Zaini, (Kairo: Muassasah al-Halaby wa al-Syirkah li al-Nasyr wa al-Tawz), 1967 M/1387 H), hlm, 35-37.
34 Mengenai pengumpulan mushaf menjadi satu dan membakar yang lain, para ulama menganggap khalifah n debagai seorang pemimpin yang arif, karena ia telah mengakhiri perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dan menyatukan mereka dalam satu mushaf. Pernyataan ini seperti dikemukakan Ahmazun Masalah pengumpulan al-Quran adalah peristiwa spektakuler, pekerjaan itu sangat monumental karena mengakhiri perbedaan pendapat di dalamnya sangat banyak. Oleh karena itu, janji Allah untuk menjaga al-Quran seperti yang diterangkan di dalam al-Quran terwujud di tangannya. Lihat Ahmazun, Tahqieq, hlm, 290
35 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 403.
36 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 409.

37 Al-°abr, Tarkh. J.3. hlm, 204.
38 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 40-41.
39 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 402-403.
40 Al-Dinwar, al-Immah, J.1, hlm, 40.
41 Ahmazun, Tahqieq, hlm, 279.
42 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 403.

43 Al-Dinwar, al-Immah . J.1. hlm, 40.
44 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 40.

45 Al-°abr,Tarkh. J.3. hlm, 408, al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 33-34.
46 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 399.
47 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 400.
48 Al-°abr, Tarkh, .3. hlm, 405.
49 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 405-406 lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 35-38.
50 Al-°abr, Tarkh. J.3. 406.
51 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 404.
52 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 423
53 Ibn Saad, Tabaqat al-Kubr, J.3. 71. Lihat pula Muhyi al-Dn Yahy ibn Syarf ibn Murya al-Naww dalam Syara Saih Muslim, Juz 15 (Beirut: Dr Iy al-Truth al-Arabi, tt), hlm, 148-149.
54 Lihat Muammad ibn Amad ibn n al-Dzahabi, Duwal al-Islm,J.1 (ed) Fuhaim Muammmad Syal¯u¯ (Kairo: al-Haiah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1974 ), hlm, 12.

55 Ismail ibn Umar ibn Kasir al-Quraishi, al-Bdyah wa al-Nihyah, J.6. (Beirut: Dr el-Fikr, 1397 H), hlm, 189.
56 Al-°abr, Tarkh. J.3. hlm, 441-442.
57 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 442.
58 Al-°abr, Tarkh, J.3. 457-458. Lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 51..

59 Al-°abr, Tarkh, J.3.
60 Abu al-asan  ibn Muammad al- Jazury al-Syaibany ( selanjutnya disebut Ibn al- Asir), al-Kamil fi al-Tarkh, J.3, (Beirut : Dar eirut : 1965), hlm, 190-191. Menurut al-°abr, dari Muammad ibn al-Hanafiah berkata: ketika n terbunuh, aku bersama Uby, ia berdiri dan masuk ke rumahnya, lalu datanglah para sahabat Rasul Allah Saw dan mereka berkata: sesungguhnya n telah terbunuh, dan keharusan bagi umat memiliki seorang imam, dan hari ini kami tidak menemukan seseorang yang paling berhak atas urusan ini kecuali Anda, tidak ada yang lebih unggul dari Anda dan tidak juga ada orang yang lebih dekat dengan Rasul Allah, kecuali Anda. Lalu  menjawab, jangan begitu, aku lebih baik menjadi wazir (pembantu) daripada menjadi amir ( raja). Kemudian mereka menjawab, tidak, demi Allah, kami tidak akan mengerjakan apapun sebelum kami membaiatmu.  berkata, kalau kalian mau, lakukan itu di dalam masjid, karena aku tidak mau pembaiatan terhadapku dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan aku juga tidak mau melakukannya kecuali atas ridla umat Islam. Kemudian Salim ibn Ab al-Jada dan Abd Allh ibn Abbas berkata, sebenarnya aku terpaksa pergi ke masjid, karena takut terjadi kekacauan. Tapi akhirnya aku pergi juga karena  bersikeras pembaiatan itu harus di masjid. Ketika  masuk, kaum Muhajirin dan Ansar mengikutinya lalu melakukan baiat atas  ibn Ab °alib. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 450. Dalam riwayat lain melalui Abu al-Malih berkata: setelah n terbunuh,  pergi ke pasar, saat itu hari Sabtu, tanggal 18 Dzulhijjah, orang banyak mengikutinya dari belakang dan menaruh harapan padanya, tapu rupanya  masuk ke perumahan Bani Amiribn Madzbul dan ia meminta kepada pemilik rumah untuk menutup pintu. Namun orang-orang yang mengikutinya mengetuk pintu dan masuk pula °alah dan Zubeir dalam romobogan itu, kata mereka, “ wahai , ulurkan tanganmu, maka berbaiatlah °alah dan Zubeir kepada . Lihat al-°abr, Tarkh, J.3, hlm, 451.
61Jurzi Zaidan, Tarkh Tamaddun al-Islm, J.1. (Mesir: Dr el-Hill, tt), hlm, 83. Lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1, hlm, 46-48. Bandingkan dengan al-Farsi, Fasl al-Khitab,hlm. 106-107.
62 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 46-47.
63 H.A.R. Gibb, The Encyclopaedia Islam, ( Leiden: E.J. Brill, 1986), hlm, 382.
64 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452. lihat Muammad Khudary Bek, Muhadarat al-Tarkh al-Umm al-Islamiah, J.2. (Kairo: al-Istiqamah, 1370 J), hlm, 49.lihat pula Gibb, The Encyclopaedia, hlm, 382.

65 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452.
66 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452
67 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 558. lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 47. Bahkan dalam Tarkh al-°abr jilid 4, halaman 123, beberapa hari setelah kematian kkhalifah n, Muwiyah dibaiat di Ilya, Palestina, sebagai khalifah, dan penduduk Syam memanggilnya dengan sebutan amir al-mukminin.

68 Al-Dinwar, al-Immah. J.1. hlm, 48-49.
69 Al-Farsh, Fasl al-Khitb, hlm, 107-108. lihat QS al-Isra ayat 33.

70 Lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 49 Lihat Watt, the Formative Period off Islamic Thought, (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm 13..

71 al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 438.
72 Basyir ibn Ab Masud ibn Uqbah ibn Amr al- Ansari , meriwayatkan hadis dari bapaknya, Abu Masud al-Madani al-Ansari. Dia adalah orang Madiniah, tabiin dan siqah. Bukhari, Muslim dan Abu Hatim al-Razi mengatakan ia siqah. Lihat Bukhari, al-Tarkh al-kabir, J.2. hlm, 104.

73 lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 84-85.

74 al-°abar, Tarkh, J.3. hlm, 562-564. Lihat, al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 110-112. lihat pula, al-Farsh, Fasl al-Khitab, hlm, 111-113.
75 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 126-127.

76 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 562. lihat , Ira M. Lapidus, a Historyof IslamicSociety, ( Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm, 57

77 Lihat al-°abr, Tarkh, J. 3, hlm, 49-70

78 Al-°abr, Tarkh, J.4. 110-122. lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 137
79 Lapidus, aHistori, hlm, 57.
80 Lihat Lapidus, a History, hlm, 57-58.