A. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Jatuhnya dunia Islam ke dalam kekuasaan bangsa-bangsa Barat, menyadarkan umat Islam. Mereka menyadari bahwa mereka telah tertinggal jauh dibandingkan de-ng¬an bangsa Barat. Bangsa pertama yang merasakan hal tersebut adalah Turki Usmani, karena mereka adalah bangsa pertama dan utama menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Barat. Kesadaran ini memaksa para penguasa dan rakyat muslim Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Dalam sejarah Islam, usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam, dikenal dengan gerakan pembaharuan. Gerakan ini didorong oleh dua faktor, pertama, pemur¬nian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemun¬dur¬an Islam. Kedua, menimba gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gerakan pertama muncul di jazirah Arabia, di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M), Syah Waliyullah (1703-1767 M) di India, dan gerakan Sa¬nusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Muhamad Sanusi dari al-Jazair. Gerakan pembaharuan kedua tercermin dengan pengiriman para pelajar muslim ke Perancis dan negara-negara Eropa yang dilakukan oleh Turki Usmani dan Mesir. Pengiriman para pelajar dan sarjana ke Perancis untuk menimba ilmu pengetahuan dan menerjemahkan karya-karya Barat ke dalam bahasa Arab,Turki, Urdu dan bahasa Islam lainnya. Selain itu, para pelajar muslim India juga dikirim ke Inggris untuk menuntut ilmu pengeta¬hu¬an modern.
Dalam perkembangan selanjutnya, pembaharuan Islam dalam bidang akidah, ilmu pengetahuan, pendidikan, memasuki wilayah politik. Gerakan politik yang mun-cul ketika itu adalah munculnya gagasan Pan Islamisme, (persatuan Islam se-Dunia), yang mula-mula diwacanakan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah. Namun wacana Pan Islamisme baru didengungkan dan digerakkan dengan lantang oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M).
Tampaknya, Jamaluddin al-Aghanilah merupakan salah seorang yang menya-dari sepenuhnya dominasi Barat dan bahaya apa yang akan dirasakan umat Islam. Oleh karena itu, ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk mengajak umat Islam se-dunia agar waspada dan melakukan antisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Me¬nurut Jamaluddin al-Afghani, umat Islam harus meninggalkan perselisihan-perse¬lisihan dan berjuang di bawah satu panji. Selain itu, ia juga membangkitkan semangat juang lokal dan nasional negara-negara Islam, agar berjuang melawan Barat dan melakukan pembaharuan pemikiran Islam, agar umat Islam menjadi lebih maju dan mampu me¬ngejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa Barat. Oleh karena itu, Jamaluddin al-Afghani dikenal sebagai bapak nasionnalisme dalam Islam.
Semangat Pan Islamisme yang bergelora itu mendorong sultan Abdul Hamid II (1876-1909 M) mengundang al-Afghani ke Istambul. Gagasan ini dengan cepat menda¬pat respon hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Af¬gha¬ni menjadi ancaman bagi kekuasaan Sultan Abdul Hamid II, sehingga al-Afghani tidak diijinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan Islamisme meredup de¬ngan cepat, terutama setelah Turki yang berkoalisi dengan Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapus oleh Mustafa Kemal al-tarturk pada tahun 1924 M.
Wacana nasionalisme yang berasal dari Barat masuk ke dunia Islam melelui persentuhan Islam dengan Barat, dipercepat dengan banyaknya pelajar muslim yang be¬lajar di Barat dan lembaga-lembaga pendidikan model Barat yang didirikan, memper¬cepar prrsemaian nilai-nilai nasionalisme Islam. Pada awalnya, gagasan nasionaisme ini mendapat banyak tantangan dari para pemuka Islam, karena diangap tidak sejalan de¬ngan semangat persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah). Akan tetapi, ide na¬sionalisme ini berkembang dengan cepat segera setelah gagasan Pan Islamisme meredup.
Di Mesir benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi ( 1801-1873 M) dan Jamaluddin al-Afghani, ketika al-Afghani tinggal di Mesir. Salah seorang tokoh per¬gerakan yang memperjuangan gagasan nasionalisme di Mesir adalah Ahmad Urabi Pasha.
Gambar Muhammad Abduh
Sumber: Qantara. de
Gerakan nasionalisme ini merambah ke berbagai penjuru dunia Islam, dan mempengaruhi gerakan sejenis di daeah-daerah lain, seperti di negara-negara Arab, yang melahirkan gagasan nasionalisme Arab. Bentuk nasionalisme Arab ini didasari atas kesamaan bahasa dan budaya Arab. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Liba¬non, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait.
Semangat persatuan bangsa Arab itu diperkuat oleh usaha bangsa Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab yang dihuni oleh mayor¬i-tas Arab. Cita-cita untuk mendirikan satu negara Arab dengan semangat nasionalisme Arab terkendala,selain karena wilayahnya yang luas yang telah dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat, juga akan berhadapan dengan pemerintahan tradisional Arab. Untuk mencapai cita-cita itu, paling tidak bangsa-bangsa Arab harus melalui dua tahap. Pertama, memer¬dekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah Barat. Kedua, berusaha men¬dirikan negara kesatuan Arab. Untuk itu, pada tanggal 12 Maret 1945 M bangsa Arab mendirikan Liga Arab. Berdirinya Liga Arab bukan berarti cita-cita dari nasionalisme Arab untuk mendirikan negara Arab bersatu sudah tercapai. Tampaknya masih jauh, selain karena masih adanya kepemimpinan tradisonal, juga wilayahnya masih berada di bawah kekusaan bangsa-bangsa Barat.
Gagasan Pan Islamisme, juga bergema di India. Gerakan ini dimotori oleh Syed Amir Ali (1848-1928 M). Namun gerakan ini memudar setelah ada upaya untuk meng¬hidupkan kembali khilafah yang telah dihapus oleh Mustafa Kemal al-Tarturk pada ta¬hun 1924 M. Gerakan nasionalisme menjadi lebih populer ketika digerakan oleh Partai Kongres Nasional India. Tetapi, gagasan nasionalisme itu segera ditinggalkan sebagian besar tokoh Islam, karena minoritas muslim tertekan oleh mayoritas Hindu. Perstuan antar dua komunitas Hindu dan Islam sulit dilakuka. Oleh karena itu, umat Islam di Anak Benua India tidak menganut paham nasionalisme, tetapi Islimisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan sebutan Komunalisme. Gagasan komunalisme Islam ini disuarakan oleh Liga Muslimin, yang merupakan saingan Partai Kongres Nasional yang didukung oleh mayoritas Hindu. Benih-benih gagasan Islamisme sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri. Gagasan itu dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), kemudian mengkristan pada masa Muhammad Iqbal (1876-1938 M, dan Muhammad Ali Jinah ( 1876-1948 M).
Sementara itu, gagasan nasionalisme juga muncul di Indonesia. Partai politik be¬sar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI), yang didirikan pada tahun 1912 M di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan ke¬lanjutan dari sarekat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911 M. Setelah itu, banyak bermunculan gerakan nasionalisme dan partai-partai politik la¬in¬nya, seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 M. Partai Pendidikan Nasional Inndonesia (PNI-Baru) yang didirikan oleh Mu¬hamad Hatta pada tahun 1931 M, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik pada tahun 1932 M. Partai ini didirikan oleh Mukhtar Lutfi.
Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan kebangsaan inilah yang membawa bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lainnnya, terbebas dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 M, diikuti oleh negara-negara muslim lainnya di dunia, seperti Pakistan pada tanggal 15 Agutus 1947 M, Mesir pada tanggal 23 Juli 1952 M, Libya pada tahun 1951 M. Sudan dan Maroko tahun 1956, al-Jazair tahun 1962, Malaysia pada tahun 1957 dan Brunai Darussalam pada tahun 1984 M. Bahkan negara-negara bekas jajahan Uni Sovyet, seperti Uzbekistan, Turkmenia, Kir¬ghistan, Tajkistan dan Azerbeijan, baru terbebas pada tahun 1992, setelah Uni Soviyet bubar, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992.
Dengan satu peratu negeri Islam dapat membebaskan diri dari penjajah, maka umat Islam dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa mendapat tekanan dari bangsa-bangsa asing yang notabene adalah non muslim atau kafir. Meskipun begitu, masih ter¬dapat beberapa negara yang mayoritas non musim berusaha memisahkan diri dan men¬jadi negara otonom, seperti gerakan bangsa Moro di Filipina, Kashmir di India, dan lain sebagainya. Meski mereka hidup dalam negara merdeka, namun status minoritas se¬ringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.
B. Nasionalisme di Dunia Arab.
Gerakan nasionalisme Mesir pertama adalah bentuk penolakan atan upaya weseterniasasi atau pembaratan yang dilakukan pemerintahan Khadiv Ismail ketika itu. Semboyan pertama yang disuarakan rakyat Mesir adalah Mesir untuk bangsa Mesir. Gerakan nasnioanlisme itu kian bertambah subur dengan datangnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani, salah seorang tokoh pembaharu Mesir ketika itu. Sebelum kedtangannya, ide dan penyuaraan nasionalisme hanya sebatas slogan belaka. Belum dalam tataran aksi. Pada awal abad ke-20 M, kesadaran nasionalisme yang tadinya hanya samar-samar, menjadi nyata.
Dalam konteks ini, Syaikh Muhammad Abduh, salah seorang tokoh pembaharu di Mesir, berusaha member penjelasan kepada masyarakat Mesir bahwa jalan yang terbaik untuk mencapai kemerdekaan adalah dengan belajar dan meningkatkan pengetahuan. Ketika itu bangsa Mesir tengah berada di bawah penjajahan bangsa Inggris. Masyarakat Mesir berusaha membebaskan diri dari penjajahan tersebut. Karena itu, momen ini dianggap sangat penting oleh Muhammad Abduh untuk menjelaskan kepada masyarakat Mesir bahwa kemerdekaan itu akan diperleh jika masyarakat bersatu dalam bingkai nasionalisme Mesir.
Gagasan Muhammad Abduh ini mendapat respon positif dari masyarakat negeri itu, sehingga mereka bersatu menentang penjajah Inggris dan mengusirnya dari Mesir. Bangsa Mesir menuntut kemerdekaan tanpa syarat.
Selain munculnya gerakan nasionalisme di Mesir, dio dunia Arab lainnya juga tengah terjadi hal serupa. Hal itu terjadi karena hampir seluruh dunia Islam ketika itu berada di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Karena itu cukup beralasan jika ketika itu mulai banyak masyarakat muslim di dunia yang melakukan gerakan perlawanan melawan penjajah. Masyarakat muslim ketika itu mulai menyadari betapa pentingnya rasa persatuan dan kebangsaan, di mana mereka tinggal. Bukan hanya nasionalisme Islam. Karena itu muncullah ide nasionalisme Mesir, nasionalisme Arab, dan lain-lain. Nasionalisme Arab dibentuk berdasarkan kesamaan nasib dan bahasa persatuan yang dipergunakan., seperti nasionalisme Arab di negeri-negeri Afrika Utara, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Bahrain dan Kuwait.
Munculnya ide nasionalisme Islam di Dunia Arab, salah satu faktornya adalah adanya keinginan bangsa-bangsa Arab untuk melepaskan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Untuk itu, masing-masing Negara harus berhasil memerdekakan diri. Setelah itu, barulah mereka akan mendirikan egara kesatuan Arab, dengan bahasa persatuan bahasa Arab.
C. Nasionalisme di Persia.
Pada abad ke-19 M Persia tengah mengalami kemunduran. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh Inggris untuk masuk dan menjajah. Kenyataan ini disadari benar oleh para tokoh pergerakan dan masyarakat Persia. Karena itu, mereka melakukan gerakan perlawanan menentang penjajah Inggris. Bentuk perlawanan massif seperti ini dilakukan dengan gerakan revolusi Persia pada tahun 1908 M. Berkobarnya api revolusi ini dipercepat dengan adanya perjanjian anara Russia dengan Inggris pada tahun 1907 M. Perjanjian tersebut berisi kesepakatan mengenai pembagian wilayah Persia. Mereka membagi wilayah Persia menjadi dua bagian. Masing-masing satu di bawah pengaruh dan pengawasan Russia. Sedang satu wilayah yang lain berada di bawah pengaruh dan pengawasan Inggris. Russia menguasai wilayah bagian utara dan Inggris menguasai bagian wilayah selatan Persia.
Sementara itu, wilayah Persia yang berbatasan sengan Iran sekarang, merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Turki Usmani. Pada masa ini, Persia berada di bawah dinasti Qajar dan penguasa yang menjabat adalah Muhammad Ali Syah ( 1324 – 1326 H/ 1907-1908 M). Pada saat inilah terjadi gerakan revolusi Persia melawan kekuatan asing, terutama Inggris dan Russia.
Revolusi Persia yang terjadi pada tahun 1908 M merupakan usaha keras bangsa Persia untuk memperbaiki keadaan negara yang sebelumnya tengah dilanda kemunduran. Selain itu, revolusi ini juga merupakan bagian dari bentuk perlawanan bangsa Persia terhadap usaha penjajah yang ingin melakukan garakan westernisasi dan berbagai bentuk pengeruh asing atas negeri itu. Usaha gerakan perlawanan ini mendapat penindasan dari penjajah bangsa-bangsa Eropa ketika itu melalui intervensi militer dengan persenjataan lengkap.
Kemudian sekitar tahun 1912 M, Russia dan Inggris telah menguasai negeri Persia secara keseluruhan. Sehingga umat Islam di negeri ini benar-benar berada di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Perang Dunia II, yang terjadi antara tahun 1939 – 1945 M, Inggris dan Russia mendapat legitimasi untuk menguasai seluruh negeri Persia. Karena Inggris dan Russia adalah sekutu dalam Perang Dunia II tersebut. Keadaan ini semakin meresahkan masyarakat dan bangsa Persia. Karan itu, Ridha Khan Pahlevi, penguasa saat itu, melakukan perlawanan. Tetapi serangannya dapat dikalahkan oleh tentara sekutu, Inggris dan Russia.
Kekalahan ini menyebabkan ia frustasi. Kemudian ia menyerahkan kekuasaan kepada anaknya bernama Muhammad Ridha pada tahun 1360 H/1941 M. Setelah itu ia mengasingkan diri ke Afrika Selatan ingga akhirnya meninggal di negeri itu.
D. Nasionalisme di India
Sama halnya dengan di Persia. Di India juga terjadi gerakan perlawanan menentang penjajah Inggris. Akbat penjajahan itu, bangsa India mengalami penderitaan. Dalam masa-masa ini, ada yang mencoba menuarakan gagasan nasinalisme India. Tetapi karena gagasan itu masih bersifat individual dan lokal, maka gaungnya belum didengan masyarakat apalagi penjajah Inggris. Masyarakat kurang respon terhadap ide nasionalisme ini karena selama itu belum ada orang atau organisasi yang memunculkan gagasan ini.
Untuk kepentingan itu, dibentuklah Organisasi Kongres India pada tahun 1885 M. akan tetapi, organisasi ini dianggap belum mewakili masyarakat India yang sangat majemuk. Meskipun begitu, organisasi ini tetap berjalan dengan program pro rakyat India. Di antara program utama adalah perbaikan dalam bidang sosial dan ekonomi. Alasannya, masyarakat India masih banyak yang misikin. Kemiskinan ini disebabkan, antara lain, oleh faktor penjajahan bangsa-bangsa Barat, seperti Inggris dan Portugis.
Melihat persoalan politik yang ada di India, lambat laun akhirnya persoalan politik juga menjadi perbincangan hangat dan menarik. Terlebih ketika media cetak, seperti surat kabar sudah semakin banyak dibuat, masyarakat lebih tertarik lagi berbicara dan menyuarakan ide nasionalisme India. Kemudian pada akhir abad ke-19 M, kelompok masyarakat Hindu mempelopori munculnya gagasan nasionalisme India. Karena itu, nasionalisme India awalnya bersifat kehinduan. Nasionalisme model ini mencemaskan umat Islam dan Hindu yang berkasta rendah. Tetapi tetap saja berjalan dengan mengakomodasi masyarakat Muslim dan Hindu, baik yang berpendidikan Barat maupun yang tidak. Untuk itulah kemudian bangsa India bersatu membentuk pemerintahan bersama. Ide nasionalisme ini pada akhirnya membangkitkan semangat kebersamaan dan menimbulkan kebencian terhadap orang-orang Barat dan apa saja yang bersifat Barat.
Akan tetapi, setelah Partai Kongres India didominasi Hindu, umat Islam yang tergabung dalam partai itu menyatakan keluar. Kemudian mereka membentuk kelompok Islamisme yang benihnya sudah ada sebelum Liga Muslimin yang dicetuskan oleh Sayid Ahmad Khan berdiri (1817-1898 M). Liga Muslimin kemudian mengkristan pada masa Muhammad Iqbal ( 1876-1938 M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948 M)..
E. Nasionalisme di Turki
Sepeti di Negara-negara lain, munculnya kesadaran nasionalisme Turki di Kerajaan Turki Usmani, baru pada paruh kedua abad ke- 19 M. Pada mulanya, agamalah yang membedakan antara rakyat yang beraneka ragam kebangsaannya itu. Rakyat dikelompokkan menurut agama, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Pada akhir abad ke-18 M kesadaran nasionalisme mulai mempengaruhi bangsa-bangsa Eropa Timur yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Turki Usmani. Mereka mulai bergerak menuntut kemerdekaannya. Dari sini kesadaran akan adanya perbedaan bangsa dalam masyarakat Turki mulai timbul.
Melihat kenyataan ini, tampaknya kelompok Usmani Muda mencoba mepertahankan keutuhan Kerajaan Turki Usmani dengan memunculkan ide Usmanisme. Tetapi usaha itu gagal. Kegagalan ini disebabkan karena masyarakat Turki yang sangat majemuk, baik dari latar belakang agama, budaya, bahasa dan adat istiadat. Usmanisme kemudian digantikan dengan ide Islamisme. Semua rakyat yang beragama Islam, baik dari keturunan Turki, Arab, dan lain-lain yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Turki Usmani, adalah satu bangsa. Tetapi ide ini tampaknya tidak dapat terwujud. Karena penduduk Turki bukan hanya muslim, juga pengaut agama lain, seperti Kristen dan Yahudi.
Gagasan Islamisme kemudian digantikan oleh ide Pan Turanisme atau Pan Turkisme. Semua orang Turki, baik yang berada di Kerajaan Turki Usmani maupun yang berada di bawah kekuasan Rusia di Kazan, Krimea, dan Azerbeijan, merupakan satu bangsa. Ide inipun gagal mencapai tujuannya. Maka muncullah ide nasionalisme Turki. Orang-orang Turki yang berada di bawah Kerajaan Turki Usmani merupakan satu nasioalitas atau bangsa. Ide nasionalisme ini sudah mulai terdapada di dalam pemikiran Zia Gokalp ( 1875-1924 M).
Menurut Zia Go Kalp mengatakan bahwa kelemahan Turki disebabkan oleh keengganan umat Islam mengadakan perubahan dalam kehidupan mereka. Selain itu, umat Islam tidak mau melakukan interpretasi baru atas ajaran Islam untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman. Gerakan nasionalisme ini kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, seperti Mustafa Kemal At-Tarurk.
Ide nasionalisme yang diterima Mustafa Kemal al-Taraturk adalah ide nasionelisme Turki yang terbatas daerah geografisnya, bukan ide nasionelisme yang luas. Westernisasi, sekularisasi, dan nasionalisme terbatas itulah dasar pemikiran pembaharuan Mustaga Kemal.
Langkah pertama yang dilakukan Mustafa Kemal dalam gerakan pembaharuan adalah bentuk negara. Menurutnya, untuk menuju kea rah modernisasi harus dilakukan sekularisasi. Untuk itu, dalam siding Majlis Nasional Agung pada tahun 1922 M, Mustafa Kemal mengusulkan agar jabatan sultan dihapuskan. Usul ini diterima Majlis Nasional Agung. Dengan demikian, raja Turki hanya memegang jabatan khalifah yang tidak mempunyai kekuasaan duniawi, melainkan hanya sebatas kekuatan spiritual. Sedang kedaulatan berada di tangan Majlis Nasional Agung dan kekuasaan ekskutif berada di Majlis Negara.
Kemudian pada bulan Oktober 1923 M, Majlis Nasional Agung menetapkan bahwa Negara berbentuk republik. Dengan catatan, agama negara Republik Turki adalah Islam. Mustafa Kemal menjadi presiden negeri itu.
Foto Mustafa Kemal atarturk
Sumber: Wkipedia
Setelah negara republik terbentuk, di Turki terdapat dua pemegang keku¬asaan duniawi, Raja Turki di satu pihak dan Majlis Negara di pihak lain.. Untuk menghindari Turki dari dualisme pemerintahan ini, langkah pertama yang di¬tempuh Kemal adalah menghapuskan lembaga kesultanan pada bulan No¬vem¬ber 1922 M. Selain itu ada tendensi lain dalam penghapusan jabatan Sultan ini, di mana Sultan di Istambul masih dianggap oleh Sekutu sebagai penguasa satu-satunya; padahal Sultan itu sudah tidak berkuasa lagi.
Seiring dengan sirnanya jabatan jabatan Sultan, maka semua instansi yang bernaung di bawah kekuasaannya kehilangan fungsi struktural-nya seperti al-Syaikh al-Islam. Biro ini dihapuskan pada 1924 M, lalu diganti dengan Kemen¬trian Syari’at–zaman Kerajaan Usmani jelas tidak ada–yang langsung ber¬tang¬gung jawab kepada Presiden.
Dengan demikian, jelas bahwa Turki diperintah oleh seorang Presiden dengan sebuah Konstitusi. Salah satu pasal dari konstitusi itu adalah: Kedau-latan-kedaulatan berada di tangan bangsa tanpa syarat. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh wakil-wakil dalam sidang Majlis Nasional Agung. Pemerintahan didasarkan atas pemerintahan rakyat yang langsung menentukan nasib mereka sendiri. Dengan demikian, Turki akan terhindar dari kekuasaan dalam sistem pemerintahan yang absolut.
Setelah jabatan Sultan dihapuskan, saat itu di Turki masih ada Khalifah yang dipegang oleh Abdul Majid. Khalifah tidak mempunyai kekuasaan duniawi, yang ada hanyalah kekuasaan spiritual. Oleh karena itu di Turki tidak ada lagi terjadi dualisme dalam memegang kekuasaan duniawi. Walau begitu, pada ke¬nyataannya kedudukan khalifah masih diberi pengertian oleh golongan Islam sebagai Kepala Negara. Mereka mempertahankan adanya khalifah dan mem¬per¬kuat kedudukannya; sehingga ia bertindak sebagai raja Usmani sebelumnya, se¬perti menerima wakil-wakil dari luar negeri, mengirim wakil-wakil ke luar ne¬ge¬ri, mengadakan prosesi kebesaran pada hari Jum’at ke Masjid untuk sem¬bah¬yang, dan tetap tinggal di Istana Istambul.
Gambar Sultan Abdul Majid II
Sumber: Wikipedia
Eksistensi lembaga kekhalifahan ini selalu mengundang perdebatan anta-ra golongan Islam dan golongan Nasionalis. Akhirnya pada tahun 1924 M jabat-an Khalifah sebagai penguasa spiritual dan politik tertinggi yang berkuasa sela-ma berabad-abad di kesultanan Turki dihapus oleh Kemal. Selanjutnya, Khalifah Abdul Majid diusir dari Turki dan ia beserta keluarganya pergi ke Swiss.
Dengan dihapusnya kedua lembaga itu, timbul reaksi dari golongan opo-sisi yang diatur oleh kelompok mistik dalam organisasi tarekat; dengan me¬la-kukan gerakan bawah tanah untuk melawan kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk. Kelompok mistik itu diantaranya adalah Bekhtasiyah, Naksyabandiyah, Qadiriyah, dan Maulawiyah. Oleh karena itu pada tahun 1925 M aliran-aliran ke¬agamaan dan tarekat-tarekat dibubarkan beserta tempat-tempat pertemuan mereka, tekke dan maqam-maqam ditutup. Hal ini dianggap jalan terbaik bagi Kemal mengingat aliran-aliran mistik itu dipandang sebagai penghalang bagi langkah-langkah pembaharuan yang digalakkan kelompok Nasionalis.
Sebagai kelanjutan sekularisasinya, Kemal mengahapuskan Kementrian
Urusan Syari’at yang semula dibentuk sebagai pengganti Biro Syaikh al-Islam. La-lu pada tahun 1926 M, hukum Syari’at diganti dengan UU Sipil yang diambil dari UU Swiss. perkawinan tidak lagi dilakukan menurut hukum Syari’at tapi menurut hukum Sipil; juga dibuat dan diberlakukan hukum dan perundang-undangan baru seperti hukum dagang, hukum pidana, dan hukum laut yang semuanya diambil dari hukum Barat.
Dihapusnya kementrian Syari’ah itu bertujuan untuk memudahkan usaha Kemal menghilangkan pasal-pasal dalam konstitusi 1921M yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama negara. Sembilan tahun kemudian, ia memasukkan prinsip sekularisme dalam konstitusi dan sejak itulah Turkisecara resmi menjadi negara sekuler.
Dalam bidang pendidikan, langkah pembaharuan yang dilaku-kan Kemal adalah mengeluarkan dan memberlakukan dekrit 7 Februari 1924 M, yang mele-paskan semua unsur keagamaan dari sekolah-sekolah asing. Sebulan kemudian, pada 1 Maret 1924 M ditetapkan penyatuan pendidikan di bawah satu atap yak-ni berada di bawah pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan Islam ter¬ha-dap sekolah-sekolah.
Sekularisasi bidang pendidikan berikutnya terjadi tahun 1928 M yaitu menghilangkan simbol-simbol peradaban Islam, seperti bahasa Arab dan bahasa Persia yang terdapat dalam kurikulum pendidikan sebelumnya. Lalu tahun 1930 M dan 1933 M, pendidikan agama di sekolah-sekolah baik yang ada di kota maupun yang ada di pedesaan seluruhnya dihapuskan. Pendidikan agama hanyalah tanggung jawab orang tua; demikian pula lembaga pendidikan Imam dan Khatib (negeri) ditutup tahun 1931 M dan tahun 1933M, fakultas Teologi di Istambul ditutup.
Selain itu, Westernisasi dan sekularisasi juga dilakukan dalam bidang peradaban dan ekonomi. Di bidang peradaban, pada tahun 1925 M, dilarangnya pemakaian Tharbus (peci khas Turki yang berkuncir) dan diganti dengan topi barat. Pakaian keagamaan dilarang dan rakyat Turki diharuskan mengenakan pakaian barat baik pria maupun wanita. Tahun 1931 M dibuat keputusan bahwa azan harus dengan bahasa Turki, bukan bahasa Arab. Al Qur’an harus diterjemahkan ke da¬lam bahasa Turki agar dapat dipahami oleh rakyat Turki. Khutbah Jum’at pun harus diberikan dalam bahasa Turki. Pada 1935 M rakyat Turki diwajibkan mempunyai nama belakang. Hari cuti resmi mingguan diganti dari hari Jum’at menjad hari Minggu. Begitu pula corak musik yang beraliran timur harus di¬gan¬ti dengan corak musik yang beraliran barat, serta radio-radio Turki harus me¬nyiarkan lagu-lagu barat.
Dalam bidang ekonomi, Kemal membatasi diri untuk bekerjasama dengan Barat dalam bidang ekonomi. Ia tidak menginginkan negerinya dikuasai oleh kekuatan asing sebagaimana yang pernah dialami oleh pemerintahan Sultan. Sumber-sumber vital dalam negeri diambil alih oleh negara dalam menghadapi resesi ekonomi sebagai akibat dari Perang Dunia I, Kemal menerapkan beberapa kebijakan antara lain adalah mengurangi volume perdagangan luar negeri, menekan belanja ru¬tin, mengurangi pengeluaran atau anggaran militer menjadi rata-rata dari se¬lu¬ruh anggaran pengeluaran, memberi bantuan pada sektor swasta agar lebih bisa mandiri.
Berkat kebijakan ekonomi yang diterapkan, tahun 1949 M ekonomi Turki sangat baik. Sektor pertanian masyarakat Turki selalu mengalami surplus; ke-butuhan pangan dalam negeri selalu terpenuhi. oleh karenanya Kemal dapat mempertahankan kekuasaannya selam 15 tahun meski tak sedikit tantangan yang datang dari pihak oposisi.
Berbagai ide pembaharuan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Attarturk, bukan tidak mendapat respons dari dunia internasional, khususnya dunia Islam dan para ulama. Reaksi keras justeru datang dari dunia Islam, ketika Mustafa Kemal menghapuskan khilafah dari dunia Islam. Bahkan Indonesia juga turut bereaksi ketika itu, dengan membentuk Komite Hijaz yang dilakukan oleh para ulama Indonesia guna mengklarifikiasi mengenai berbagai pembaharuan Turki dan tanggapan pemerintah Ibnu Sa’ud ketika itu. Umat Islam khawatir kebijakan Kemal akan berdampak pada semakin melemahnya umat Islam, karena tidak ada simbol pemersatu dunia Islam, yaitu khilafah.
Akan tetapi pada tahun 1940 M, para imam tentara mulai bertugas lagi di Angkatan Bersenjata Turki. Pada tahun 1949 M pendidikan agama masuk kembali dalam kurikulum sekolah. Setahun kemudian pendidikan agama diwajibkan bagi semua siswa di sekolah-sekolah Turki.
F. Nasionalisme di Indonesia
Sementara itu, gagasan nasionalisme juga muncul di Indonesia. Partai politik be¬sar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI), yang didirikan pada tahun 1912 M di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan ke¬lanjutan dari sarekat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911 M. Setelah itu, banyak bermunculan gerakan nasionalisme dan partai-partai politik la¬in¬nya, seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 M. Partai Pendidikan Nasional Inndonesia (PNI-Baru) yang didirikan oleh Mu¬hamad Hatta pada tahun 1931 M, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik pada tahun 1932 M. Partai ini didirikan oleh Mukhtar Lutfi.
Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan kebangsaan inilah yang membawa bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lainnnya, terbebas dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 M, diikuti oleh negara-negara muslim lainnya di dunia, seperti Pakistan pada tanggal 15 Agutus 1947 M, Mesir pada tanggal 23 Juli 1952 M, Libya pada tahun 1951 M. Sudan dan Maroko tahun 1956, al-Jazair tahun 1962, Malaysia pada tahun 1957 dan Brunai Darussalam pada tahun 1984 M. Bahkan negara-negara bekas jajahan Uni Sovyet, seperti Uzbekistan, Turkmenia, Kir¬ghistan, Tajkistan dan Azerbeijan, baru terbebas pada tahun 1992, setelah Uni Soviyet bubar, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992.
Dengan satu peratu negeri Islam dapat membebaskan diri dari penjajah, maka umat Islam dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa mendapat tekanan dari bangsa-bangsa asing yang notabene adalah non muslim atau kafir. Meskipun begitu, masih ter¬dapat beberapa negara yang mayoritas non musim berusaha memisahkan diri dan men¬jadi negara otonom, seperti gerakan bangsa Moro di Filipina, Kashmir di India, dan lain sebagainya. Meski mereka hidup dalam negara merdeka, namun status minoritas se¬ringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.
HOS Tjokroaminoto
Sumber: Wikipedia
G. Para Tokoh Pergerakan di Dunia Islam
Sesungguhnya banyak tokoh pergerakan yang muncul di Dunia Islam. Tetapi, pada bagian ini hanya beberapa tokoh pergerakan yang dikemukakan dengan alas an, sebagian besar pemikiran dan gerakan mereka cukup luas pengaruhnya bagi Dunia Islam untuk membebasakan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Berikut adalah sebagian tokoh penting tersebut.
1. Jamaluddin al-Afghani ( 1839-1897 M)
a. Biografi Singkat Jamaluddin al-Afghani.
Jamaluddin al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 M. Ia dilahirkan dila¬hir-kan di As’adabad, dekat Konar wilayah Kabul. Beliau berasal dari satu keluarga penganut mazhab Hanafi dan keturunan al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, kare-nanya ia bergelar Sayyid. Selain itu, ia juga berasal daru penguasa pada suatu distrik di Afghanistan.
Ketika berusia 18 tahun al-Afghani pergi ke India dan tinggal disana se¬la-ma 1 (satu) tahun sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857 M. Sekem-balinya di Afghanistan, ia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhamad Khan. Ketika Amir Dost meninggal dan digantikan oleh Sher Ali, ia diangkat sebagai Menteri. Tetapi, karena situasi poltik ketika itu tidak menentu, akirnya Amir Sher Ali dijatuhkan. Kejatuhan Amir Sher Ali juga berdampak pada kedudukan al-Afghani, hingga ia juga turun dari jabatan itu.
Karena ia tidak mau terlibat lebih jauh ke dalam dunia politik praktis, akhirnya al-Afghani berusaha menghindar dengan meninggalkan Afghanistan pada tahun 1869 M dan pergi menuju India. Di India Jamaluddin al-Afghani menetap selama lebih kurang 2 (dua) bulan. Waktu yang relatif singkat itu di-manfaatkannya untuk memberikan peringatan kepada Dunia Islam tentang bahaya dominasi Barat. Tidak hanya itu, ia juga terus berpikir untuk mencari ja-lan keluarnya dengan berbagai cara agar umat Islam dapat keluar daro dominasi Barat yang sudah begitu kuat ketika itu. Pemikiran dan gerakan yang dilan¬car-kan dari India itu merupakan langkah awal baginya untuk meng¬kam¬panyekan anti kolonialisme dan imprealisme Barat.
Jamaluddin al-Afghani
Sumber: Wikipedia
Kampanye anti imprealisme dan kolonialisme Barat yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani dipandang sangat membahayakan keberadaan bangsa-bangsa Barat di India, terutama Inggris. Pemerintah penjajahan Inggris di India sangat mengkhawatirkan pengaruh kekuatan al-Afghani, karena dinilai akan menghasut bangsa India yang kemudian akan melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajah Inggris. Karena itu, al-Afghani selalu berhadapan dengan kekuatan penguasa Inggris dan seringkali dijebloskan ke penjara.
Setelah beberapa lama dipenjara di India, al-Afghani memutuskan untuk meninggalkan India dan selanjutnya pada tahun 1871 M ia menuju Mesir. Pada awal kedatangannya di Cairo, Mesir, al-Afghani berusaha menghindari persoalan-persoalan politik negeri itu dan memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Karena ia termasuk orang yang cukup dikenal ketika itu, maka tak heran apabila tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan untuk mendiskusikan perihal ilmu pengetahuan, filsafat, logika, tasawuf dan astronomi. Para peserta diskusi terdiri dari atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, pegawai pemerintah dan mahasiswa dari al-Azhar serta perguruan tinggi lain di Mesir. Di antara murid-murid Jamaluddin al-Afghani, ada yang berasal dari kelompok akademisi, budayawan dan tokoh pergerakan, seperti Muhammad Abduh, Sa’ad Zaghlul,dan para pemimpin ke-merdekaan Mesir.
Upaya untuk meninggalkan lapangan politik dan menekuni bidang il¬mi-ah, ternyata tidak bertahan lama, karena ketika campur tangan Inggris me¬ning-kat dalam soal politik di Mesir, al-Afghani terpanggil untuk membela ke¬pen-tingan rakyat Mesir dari ca,mpur tangan Inggris. Untuk itu al-Afghani kembali ke kancah politik di Mesir, meskipun hanya 3 (tiga) tahun (1876-1879 M). Mes-kipun singkat, al-Afghani telah memberikan sumbangan pemikiran dan gerakan yang sangat besar bagi kepentingan perjuangan masyarakat Mesir pada periode berikutnya.
Aktivitas politik yang dilakukannya di Mesir mendapat perhatian serius dari penguasa lokal Khedewi Taufiq. Karena itu, pada tahun 1879 M atas te¬kan¬an Inggris, Khedewi Tawfiq mengusir al-Afghani dari Mesir. Pengusiran ini secara diam-diam disambut baik oleh kelompok konservatif (kolot) al-Azhar yang selama ini terganggu oleh ajaran filsafat al-Afghani. Setelah terusir dari Mesir, al-Afghani pergi menuju India. Di India al-Afghani juga terlibat dalam urusan politik disana, sehingga ia ditahan dan baru dibebaskan pada tahun 1882.
Kemudian pada tahun 1883M. al-Afghani pergi ke London, Inggris terus pindah ke Paris. Di kota yang terakhir ini al-Afghani mendirikan perkumpulan al-‘Urwah al Wusqa, dengan anggota terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Majalah al-Urwah al-Wusqa yang diterbitkan oleh per-kumpulan ini cukup terkenal tidak hanya di Perancis dan negara-negara Timur Tengah, dan di anak benua India, juga di Indonesia. Hanya saja, majalah yang cukup fenomenal itu tidak berumur panjang, karena ditutup (dibreidel). Pener¬bit-annya terpaksa dihentikan, karena dunia Barat melarang majalah itu masuk ke dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1889 M, al-Afghani diundang datang ke Persia untuk mem-bantu penyelesaian persengketaan Persia – Rusia yang timbul karena po¬li¬tik pro Inggris yang dianut pemerintah Persia ketika itu. Al-Afghani tidak setuju de¬ng-an pemberian konsesi-konsesi ekonomi oleh Syah Nasiruddin kepada Inggris berupa pengakuan monopoli warga negara Inggris dalam pembelian, penjualan dan ekspor semua tembakau Iran. Akibatnya, timbul perselsihan paham antara Syah dengan al-Afghani. Perselisihan ini berujung pada pengusirannya dari Per-sia. Tetapi ia sempat berlidung pada sebuah tempat suci di Persia. Baru pada bu¬lan Januari tahun 1891 M, ia ditangkap, dihajar dan dipaksa berjalan dengan kaki tangan terikat rantai. Perbuatan yang dilakukan oleh Syah Nasiruddin ini me¬nimbulkan kemarahan para pengikut Jamaluddin al-Afghani. Akibatnya, pa-da tahun 1896 M Syah Nasiruddin dibunuh oleh seorang pengikut fanatik al-Afga¬hani.
Kemudian pada tahun 1892 M atas undangan Sultan Abdul Hamid dari kerajaan Turki Usmani, al-Afghani pindah ke Istambul. Tujuannya antara lain adalah untuk membicarakan mengenai bentuk kerja sama dan penggalangan kekuatan umat Islam guna melawan kekuatan Eropa. Hal itu dilakukan Sultan karena bangsa Barat telah semakin merajalela meguasai wilayah Timur tengah dan daerah-daerah kekuasaan Usmani lainnya. Tetapi rupanya kerjasama antara keduanya tidak bisa tercapai. Karena ternyata pengaruh Jamaluddin al-Afghani di dunia Islam lebih besar ketimbang pengaruh kekuasaan Sultan. Sementara al-Afghani sendiri menyadari bahwa bila ia meneruskan kerjasama, kebebasannya akan hilang karena dibatasi oleh sultan, sehingga ia tidak dapat keluar dari Istambul. Meskipun begitu, akhirnya ia tetap bertahan di Istambul hingga akir hayatnya pada tahun 1897 M karena kanker dan tidak meninggalkan anak- isteri, karena ia hidup membujang sepanjang umurnya.
b. Ide dan Pemikiran Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani.
Pemikiran pembaharuan al-Afghani ini didasari atas keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua jaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan jaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam seperti tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka.
Dalam pandangannya, agama Islam tidak pernah menganjurkan apalagi memerintahkan umat Islam untuk berlaku statis dan mundur. Namun se¬ba¬lik-nya, Islam terus mendorong umat manusia untuk selalu maju. Jika pada ke¬nya-taannya umat Islam mengalami kemunduran pada suatu periode sejarah, maka dapat dipastikan bahwa kemunduran itu disebabkan oleh umat Islam itu sendiri bukan disebabkan oleh ajaran agama yang dianutnya. Al-afghani melihat bahwa kemunduran umat Islam pada masa itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenrnya, telah di¬pengaruhi oleh sifat statis, kuat berpegang pada taqlid, bersikap fatalistis, telah meninggalkan ahlak tinggi dan telah melupakan ilmu pengetahuan. Sikap seperti itu pada gilirannyaakan menimbulkan kejumudan berfikir didunia Islam dan kebodohan menyeluruh, bahkan akan menciptakan jurang pemisah antara golongan elit ulama dan masyarakat awam.
2. Adanya paham Jabariah dan salah paham tentang qada ’dan qadar, se¬hing¬ga memalingkan mereka untuk berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras. Qada dan Qadar yang dipahami oleh masya¬rakat pada wak¬tu itu tidak lagi seperti yang dipahami oleh beberapa generasi sebe¬lum¬nya. Pemahaman yang berkembang pada saat itu telah mencapai tingkat ekstrim dan menjelma dalam bentuk fatalistik Sebenarnya Qada dan qadar itu sendiri mengandung pengertian bahwa se¬gala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab akibat atau kausalitas. Ke-mauan manusia merupakan mata rantai kausalitas itu.
3. Salah satu pengertian tentang maksud hadis yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir jaman. Salah penger¬tian ini membuat umat Islam tidak berusaha merubah nasib mereka.
4. Lemahnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam dan terputusnya tali persaudaraan. Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan awam saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama Turki tidak lagi kenal pada ulama Hijaz, demikian pula ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama Afghanistan. Kondisi serupa juga terjadi di kalangan raja-raja, seorang raja Islam tidak lagi mempunyai hubungan dengan raja Islam lainnya, bahkan terkadang mereka malah saling menyerang.
5. Sebab-sebab kemunduran yang bersifat politis ialah perpecahan yang ter¬dapat di kalangan uamt Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya, menga¬baikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara ke¬pada orang-orang yang tak dapat dipercaya, mengabaikan masalah per¬ta¬hanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang yang tidak kompeten dan intervensi asing.
Selain itu, al-Afghani juga menekankan bahwa jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam hanya dengan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Selain itu, hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali. Demikian pula kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar dan riset yang dilakukan, umat Islam akan dapat bergerak dinamis dan mencapai kemajuan.
Pemikiran lain yang juga dikemukakan oleh al-Afghani guna mem¬per-baiki keadaan umat Islam ialah :
1. Corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman. Pengeta¬hu¬an manusia secara individual terbatas sekali. Islam menurut pendapatnya menghendaki pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebe¬bas¬an mengeluarkan pendapat yang didalamnya terdapat kebebasan menge¬luarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-undang dasar.
2. Di atas segala-galanya itu, persatuan umat Islam mesti diwujudkan kem-bali.Dengan bersatu dan kerjasama yang erat umat Islam akan dapat kem¬bali memperoleh kemajuan.persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang ditekankan oleh al-Af¬gha-ni dalam semua kegiatan dan tulisannya bukan hanya Islam, melainkan juga masalah anti imperialisme. Al-Afghani merupakan seorang pemikir dan pejuang umat Islam yang dihadapkan pada imperialisme Barat. Ia juga menyerukan kepada orang-orang yang beriman untuk melawan serangan gencar orang-orang kafir (Barat), karena mereka membahayakan Islam dan umat Islam. Selain itu, ia juga berusaha menemukan sumber kekuatan Barat. Oleh karena itu, ia terus mendorong semuaumat Islam untuk mem¬perkuat peradaban mereka dengan mempelajari ilmu pengetahuan dari Barat dan mencontohnya.
Ide dan pemikiran yang diketengahkan oleh al-Afghani telah menum¬buh-kan semangat luas biasa di dunia Islam. Pemikirannya ini banyak mem¬pe¬nga-ruhi pemikiran Sa’ad Zaghlul yang nasionalis dan Muhammad Abduh yang modernis. Dan Abduh, sebagaimana gurunya juga mempunyai pengaruh besar di dunia Islam.
3. Muhammad Abduh (1849-1905 M)
a. Biografi Singkat Muhammad Abduh.
Nama lengkap Muhamad Abduh adalah Syaikh Muhamad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di Mahallat Nashr, di kabupaten al-Buhairah, Me¬sir pada tahun 1849 M. Abduh bukan berasal dari keluarga kaya, dan bukan pula dari keturunan bangsawan. Namun, ayahnya dikenal sebagai orang ter¬hormat dan suka memberi pertolongan. Situasi yang dialaminya ketika lahir sangat tidak menguntungkan, karena penguasa Mesir bernama Muhamad Ali Pasha, bertindak sewenang-wenang. Ia memungut pajak begitu tinggi dari ma¬syarakat, sehingga banyak masyarakat yang berusaha menghin¬dar dari tagihan itu dengan cara berpindah tempat tinggal. Dalam pengung¬sian itulah Muha¬mad Abduh dilahirkan.
Meskipun begitu, orang tua Abduh sangat perhatian dalam bidang pen-didikan anaknya. Untuk itu, Abduh kecil dikirim ke masjid al-Ahmadi Tan¬ta. Tapi, karena sistem pengajaran di sini sangat monoton dan menjemukan, akhirnya setelah bertahan lebih kurang dua tahun, Abduh kembali ke kam¬pung halamannya, Mahallat Nashr. Di sini Abduh menjali kehidupan sebagai petani, seperti yang dilakukan saudara-saudaranya. Tak lama setelah kembali ke desa, kira-kira dalam usia 16 tahun, Abduh sudah dinikahkan dengan se¬o¬rang gadis di desanya.
Gambar Muhammad Abduh
Sumber: Qantara. de
Baru sekitar 4 (empat) bulan menikah, Abduh kembali dipaksa ayahnya untuk melanjutkan studinya di Tanta. Tetapi keinginan itu tidak dipenuhi, bahkan Abduh bersembunyi di rumah pamannya bernama Syaikh Darwis Khadr. Berkat bujukan dan bimbingan pamannya itu, akhirnya Abduh mau mene¬rus-kan studinya di Tanta.
Selesai menjalani studinya di Tanta, akhirnya pada tahun 1866 M, Ab¬duh melanjutkan studinya ke al-Azhar, Kairo, Mesir. Studi ini disele¬sai¬kannya dalam tempo 11 (sebelas) tahun, yaitu pada tahun 1877 M dan memperoleh gelar ‘Alim (sarjana). Setelah itu, ia mengajar di Darul ‘Ulum dan di rumahnya sendiri.
Ketika belajar di al-Azhar, Abduh berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani, bahkan sering mendampingi Afghani ketika mengajar dan menjadi murid kesayangan Afghani. Di bawah bimbingan Afghani, Abduh belajar filsafat dan menulis artikel. Tulisannya banyak berkisar pada bidang sosial politik dan keagamaan, terutama berkaitan dengan persoalan pembaharuan Islam. Artikel-artikel tersebut umumnya dimuat dalama surat kabar al-Ahram.
Karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Taufiq, raja Mesir saat itu, akhirnya pada tahun 1879M Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir. Sebagai murid kesayangan dan pengikut setia, Abduh juga terkena imbasnya. Karena itu, Abduh dipecat dari jabatannya dan diasingkan ke luar kota Kairo. Tetapi, sekitar tahun 1880 M, Abduh diperbolehkan kembali ke Kairo dan diangkat sebagaidirektur surat kabar resmi pemerintah, yaitu surat kabar al-waqa’i al-Misriyah. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar ini menga-lami perkembangan, karena selain berita resmi yang dimuat, juga berita-berita atau artikel tentang pentingnya nasionalisme.
Karena dituduh terlibat gerakan revolusi Urabi Pasha pada tahun 1882 M, akhirnya Abduh dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun buangan, setelah sebelumnya menjalani hukuman tahanan selama 3 (tiga) bulan. Setelah itu, Abduh dibe¬rikan kebe¬bas¬an untuk memilih daerah atau tempat untuk meng¬asing¬kan diri. Akhirnya, ia mamilih Syria sebagai tempat pengasingannya. Di sini, Abduh menetap selama 1 (satu) tahun. Kemudian ia pergi ke Paris memenuhi pang-gilan gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Di Paris, bersama gurunya, Abduh mengelola majalah al-‘Urwatul Wutsqa, yang bertujuan untuk mendirikan Pan-Islamisme serta me¬nentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Karena sikap dan pendapatnya yang sangat keras menentang kolonialisme dan memperjuangkan hak-hak rak¬yat Mesir, pada tahun 1885 M Abduh datang ke Inggris atas nama majalah al-‘Urwatul Wutsqa, memenuhi undangan para tokoh Inggris yang simpati atas usaha dan gerakannya. Setalah itu, pada tahun yang sama, Abduh mening¬galkan Inggris dan Paris, kemudian kembali ke Beirut. Di kota inilah Abduh banyak menghabiskan waktunya untuk menuangkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan ilmiah.
Atas usaha dan bantuan temannya yang berkebangsaan Inggris, Abduh baru dapat masuk kembali ke Mesir pada tahun 1888 M. Tetapi pemerintah setempat tidak memberikan ijin kepadanya untuk kembali mengajar, karena pemerintah takut pemikirannya mempengaruhi mahasiswa. Karena kecakap-annya, akhirnya ia diterima bekerja sebagai hakim pada salah satu mahkamah.
Meskipun pemerintah tidak menyukai pemikiran dan gerakannya, Ab-duh ternyata masih memilliki peluang besar untuk menjadi inspirator dan mo-tivator bagi pengembangan dunia pendidikan. Karena itu, sekitar tahun 1894 M, Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Majlis A’la universitas al-Azhar, Mesir. Ketika itulah ia mempunyai kesempatan besar untuk melaku¬kan berbagai perubahan dalam tubuh al-Azhar. Kemudian pada tahun 1899 M, Abduh menduduki jabatan sebagai seorang mufti Mesir. Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal pada tahun 1905 M.
b. Pemikiran Muhamad Abduh dalam bidang Politik
Dalam pandangan Muhamad Abduh, kekuasaan suatu pemerintahan atau kepala negara pelu dibatasi. Sebagai seorang manusia, menurutnya, kepa¬la negara dapat saja berbuat salah. Pembatasan kekuasan ini dapat dilakukan melalui konstitusi. Konstitusi ini dibuat berdasarkan musyawarah dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan.
Selain itu, Abduh juga menekankan perlu adanya kontrol sosial dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan. Nasihat dari rakyat sebegai bentuk aspirasi yang dikembangkan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan dapat dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kepala negara.
Muhamad Abduh sering melontarkan pemikirannya tentang hak dan ke-wajiban rakyat dalam berhadapan dengan penguasa. Ia juga menghimbau rak-yat Mesir untuk menyadari hak masing-masing sebagai warga negara dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga harus me¬nyadari kewajibannya untuk mencintai tanah air sebagai tempat tinggal mereka dan membela negara. Selain itu, masyarakat juga harus patuh kepada pemerintah selama pemerintah mampu bersikap adil.
Abduh berpendapat bahwa rakyat Mesir pada masa itu belum sepe¬nuh-nya siap dengan sistem demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari penolakan yang dilakukan masyarakat dan penguasa Mesir terhadap gerakan Urabi Pasha. Bahkan Abduh sendiri ketika itu tidak menyetuji gerakaan tersebut, sebab akan mengganggu stabilitas negara. Tetapi kemudian ia melihat ada hal penting yang ingin disampaikan oleh gerakan tersebut, sehingga ia merasa simpatik. Karena itu, ia sempat dituduh terlibat dalam gerakan terse but dan diungsikan selama tiga tahun dari Mesir.
Begitu juga tentang tuntutan yang dimajukan oleh gerakan Urabi Pasha yang menentang penguasa dan menuntut parlemen, semula Abduh tidak se¬tu¬ju dengan haluan politik Urabi Pasha. Sebab menurutnya, rakyat Mesir be¬lum siap dengan kehidupan politik dengan sistem parlementer. Untuk menghadapi situasi itu, rakyat Mesir harus cerdas dan terdidik. Sebab yang diperlukan masyarakat Mesir saat itu adalah memperoleh pendidikan yang baik, bukan parlemen. Oleh karena itu, rakyat harus dicerdaskan terlebih dahulu, karena hanya dengan pendidikan, rakyat akan dengan sendirinya dapat menentukan dan menilai sistem apa yang terbaik. Sikap dan persepsi Muhamad Abduh mulai berubah mengenai gerakan Urabi Pasha, ketika gerakan ini menentang Barat. Tidak hanya itu, Abduh kemudian mendukung gerakan tersebut. Karena menurutnya, bangsa Barat yang menjajah Mesir harus diusir dan Mesir harus merdeka.
Untuk mengantar rakyat yang belum siap dengan sistem demokrasi, tampaknya Abduh tidak keberatan jika untuk sementara rakyat diperintah oleh diktator yang adil, hingga masyarakat memiliki pengetahuan luas dan pendi-dikan yang lebih baik. Dengan begitu, masyarakat sudah siap dengan sistem baru dan kebebasan. Pada saat masyarakat sudah matang, dewan-dewan per-wakilan rakyat akan dibentuk secara bertahap. Karena itu, menurut Abduh, jangka waktu 50 tahun merupakan masa yang cukup bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri guna memperoleh hak-hak mereka secara penuh.
Akan tetapi, cita-cita ideal Abduh itu sulit diwujudikan, karena terlalu ideal. Abduh sendiri tidak menjelaskan secaa rinci kriteria orang yang dapat bertindak sebagai dktator adil yang dapat menerapkan skenario Abduh. Sebab, mana ada seorang diktator yang mau berlaku adil terhadap rakyatnya. Selain itu, waktu setengah abad juga sangat lama untuk merubah sistem monarchi ke demokrasi.
Meskipun begitu, Abduh terus berusaha. Salah satu langkah strategis yang dilakukannya adalah memasuki dunia politik praktis dengan menjadi sa-lah seorang anggota Majlis Syura, Sebelumnya, lembaga legislatif ini sering di-abaikan oleh lembaga ekskutif atau pemerintah. Tetapi atas usaha Abduh, ke-dua lembaga ini dapat bekerjasama dengan lebih baik. Semua rencana program pemerintah dikirim ke Majlis Syuro untuk dibahas dalam panitia-panitia yang dibentuk, sesuai dengan komisi masing-masing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa menurut Abduh, cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan politik, dapat saja berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi dan kondisi sosial politik. Karena itu, meskipun ia pernah membicarakan hak-hak untuk rakyat untuk mengoreksi atau mengontrol pemerintah yang salah, namun penyelesaian seperti itu diserahkan sepenuhnya pada perkembangan jaman.
Selain itu, terkadang Abduh juga kurang konsisten dalam berpolitik. Se-bab, menurutnya, politik dapat mengekang kebebasan berpikir, perkem¬bangan ilmu dan agama. Hal itu wajar, bila mengingat proses perjalanan kariernya di Mesir. Sebagai seorang intelektual dan pembaharu, tampaknya berpolitik praktis, tidak memuaskan, bahkan cenderung menjemukannya.
c. Pengaruh Pemikiran Muhamad Abduh dalam Pembaharuan Islam
Pemikiran dan usaha Abduh dalam melakukan pembaharuan tidak se¬la-manya berjalan sesuai dengan keinginannya. Sebab, seringkali Abduh men¬da¬pat tantangan dari para ulama yang bersikukuh berpegang pada tradisi lama. Bahkan Abduh sendiri pernah dicap sebagai orang kafir dan dituduh tidak percaya kepada Tuhan.
Tuduhan kafir yang dilakukan para ulama yang diarahkan kepadanya, membuat banyak orang lebih tertarik lagi untuk mengetahui pemikiran-pe¬mi-kiran Abduh yang sebenarnya. Untuk membuktikan tuduhan itu, mereka mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan kuliah yang diadakan Abduh. Dari pengamatan dan pendengaran mereka, ternyata apa yang dituduhkan kepa¬da-nya tidak terbukti kebenarannya. Setelah mereka mengetahui perihal yanag sebenarnya, mereka malah menjadi pengikut setia Muhamad Abduh.
Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi Abduh tidak membuatnya su-rut untuk melangkah terus untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran pemba¬ha-ruannya. Salah satu usaha pembaharuan yang telah dilakukannya adalah pem-baharuan dalam bidang pendidikan di al-Azhar. Meskipun usahanya boleh di-bilang gagal, tetapi Abduh telah berhasil memasukkan beberapa ilmu penge¬ta-huan umum ke dalam kurikulum al-Azhar, seperti ilmu bumi, ilmu ukur, mate-matika dan al-jabar. Karena itu, pemikiran Muhamad Abduh besar penga¬ruh¬nya di kalangan pemuda, meskipun Abduh telah wafat. Pengaruh yang di-tinggalkannya pada generasi kemudian menggerakkan al-Azhar untuk menata kembali metode pengajaran dan kurikulumnya.
Pemikiran-pemikiran Muhamad Abduh di Mesir telah melahirkan ba-nyak ulama modern, seperti Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abdul Raziq, Tan¬tawi Jauhari, dan Rasyid Ridla. Pemikiran-pemikiran Abduh juga ber¬pengaruh bagi para penulis produktif, seperti Muhamad Husein Haikal, Farid Wajdi, Ah¬mad Amin dan Qasim Amin. Selain berpengaruh di negeri asal¬nya, pemikiran Abduh juga memiliki pengaruh yang cukup luas di luar Mesir, terutama di negara-negara Arab. Pengaruh itu diperoleh melalui tulisan-tulisan Abduh dan para pengikutnya yang menyebarkan paham pemba¬ha¬ru¬an¬nya. Seperti apa yang dilakukan Rasyid Ridla dalam majalan al-Manar dan usahanya dalam pembu¬kuan pemikiran-pemikiran gurunya dalam bidang tafsir, seperti Tafsir al-Manar, memiliki pengaruh yang sangat luas di kalangan para pelajar atau mahasiswa Timur Tengah, selain mereka yang belajar di universitas al-Azhar, Mesir. Lewat merekalah pemikiran-pemikiran Abduh tersosialisasikan dengan baik, hingga dikenal banyak orang dan dijadikan bahan rujukan bagi usaha pembaharuan Islam di negeri asal masing-masing mahasiswa tersebut, terma¬suk mahasiswa yang berasal dari Indonesia.
Di Indonesia, pengaruh pemikiran Muhamad Abduh masuk dan ber-kembang melalui majalah al-‘Urwatul Wutsqa, al-Manar, Tafsir al-Manar, dan bu¬ku Abduh yang sangat monumental, Risalah Tauhid. Karenanya tak heran bila banyak ahli yang berpendapat bahwa pemikiran Abduh turut mempengaruhi gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, baik yang dicetuskan oleh Muha-madiyah maupun al-Irsyad, dan lain-lain.
Organisasi pembaharu di Indonesia, seperti Muhamadiyah memiliki ke-samaan visi dan misi dengan gerakan dan pemikiran Muhamad Abduh, an¬tara lain adalah perlunya dilakukan ijtihad, penolakan taklid dan meman¬dang rasul serta para sahabat sebagai contoh dalam melaksanakan ibadah. Ka¬re¬nanya ada ahli yang berpendapat bahwa gerakan pembaharuan di Indonesia merupakan salah satu usaha reproduksi dari perkembangan pembaharuan Islam di Mesir.
4. Rasyid Ridla (1865-1935 M).
a. Biografi Singkat Rasyid Ridla.
Nama lengkap Rasyid Ridla adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid ibn Ridla. Ia dilahirkan pada hari Rabu tanggal 17 Jumadil Ula 1282 H/18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di daerah pantai Laut Tengah, ki¬ra-kira tiga mil jauhnya dari kota Tripoli, Libanon. Menurut suatu ke¬terangan, baik ayahnya maupun ibunya yang bernama Fatimah mempunyai pertalian da¬rah dengan keluarga al-Husain, cucu Rasulullah saw. Itulah sebab¬nya ia me¬nyandang gelar al-Sayyid di depan namanya dan menyebut tokoh-tokoh ahl al-bait, seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husain, dan Ja’far al-Shadiq deng¬an jadduna (nenek moyang kami).
Keluarga Rasyid Ridla adalah keluarga terhormat. Ayah dan kakeknya me¬rupakan orang terpandang di masyarakat Qalamun. Menurut Rasyid Ridla, keti¬ka masih remaja ia sering melihat para pendeta dan pemuka Kristen Tripoli da¬tang mengunjungi ayahnya di Qalamun, terutama pada hari-hari raya. Ayah-nya menyambut mereka dengan penuh penghormatan sebagaimana ia menyam-but para ulama dan penguasa muslim lainnya.
Muhammad Rasyid Rida
Sumber: MiddleEast.org.
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Rasyid Ridla disekolahkan pada lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab. Di lembaga ini, Rasyid Ridla belajar mem¬baca al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Setelah menyelesaikan pendidikan da¬sarnya, ia dibimbing oleh guru privat di rumahnya untuk memperdalam ajaran Islam. Ketika berusia 17 tahun, Rasyid Ridla melanjutkan pendidikannya di Tripoli. Pada awalnya, ia memasuki al-Madrasah al Rusydiyah (Sekolah Kesa-daran). Materi pelajaran yang diberikan di sekolah ini adalah gramatiika bahasa Arab (Nahwu), akidah, berhitung, dan ilmu bumi dengan menggunakan bahasa Turki sebagai bahasa pengantar. Hal itu didasari atas kenyataann sejarah bahwa pen¬dirian lembaga ini bertujuan mendidik para pemuda untuk menjadi pegawai pe¬merintahan Turki Usmani.
Namun karena tidak tertarik menjadi pegawai pemerintah, Rasyid Ridla keluar dari madrasah tersebut. Di sini ia hanay bersekolah selama lebih kurang 1 (satu) tahun. Kemudian, ia masuk sekolah al-Madrassah al-Wathaniyah al Is¬lam-iyah (Sekolah Nasional Islam) yang didirikan dan dikelola oleh Syekh Husain al-Jisr, seorang ulama besar Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Hal itu dapat dibuktikan, antara lain dari pernyataannya bahwa umat Islam ti-dak akan maju, kecuali dengan mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu umum se¬cara terpadu dan melaksanakan pendidikan secara nasional.
Sejalan dengan pendiriannya itu, maka ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu um-um seperti, Matematika , fisika, logika, dan filsafat, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Perancis, harus dipelajari dan dikuasai dengan baik. Berbeda dengan yang berlaku di Madrasah Rusydiyah, bahasa pengantar di madrasah Wathaniyah Islamiyah adalah bahasa Arab. Meskipun tujuan didi¬ri¬kannya Madrasah al-Wath¬aniyah itu adalah untuk mendidik generasi muda Islam agar tidak tertarik masuk ke sokolah-sekolah Kristen, penguasa Turki Usmani tidak mau mengakui mad¬rasah tersebut sebagai sekolah agama dan ti¬dak mau membebaskan para sis¬wa¬nya dari dinas militer. Akibatnya, madrasah tersebut terpaksa ditutup dan para siswanya pindah ke madrasah-madrasah yang ada di Tripoli, tak terkecuali Rasyid Ridla.
Meskipun Rasyid Ridla pindah ke lembaga pendidikan lain, hu¬bung¬an-nya dengan Syekh Al-Jisr masih tetap berlangsung sebagaimana biasa. Sebab, di madrasah yang baru dimasukinya itu Rasyid Ridla tetap berguru kepada Syekh al-Jisr dalam bidang studi ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah lebih kurang de¬lapan tahun berguru kepada Syekh Al Jisr, akirnya Rasyid Ridla ber¬hasil mem¬peroleh ijazah untuk mengajar ilmu agama, bahasa Arab,dan ilmu umum. Selain itu, berkat kesempatan dan bimbingan yang diberikan guru¬nya, ia juga mem¬peroleh pengalaman menulis artikel di berbagai surat kabar di Tripoli, suatu pe¬ngalaman yang sangat penting artinya dalam menunjang ka¬rirnya di kemudian hari.
Selain Syekh al-Jisr, masih ada beberapa ulama lagi yang berjasa dalam memberikan pelajaran dan bimbingan kepada Rasyid Ridla. Mereka itu, antara lain Muhamad al-Husaini, Syekh Muhammad Kamil al-Rafi’i, Syekh Abdul Ghani al-Rafi’i, Syekh Muhamad al-Qawaji, dan syekh Mahmud Nasyabah. Me¬reka semuanya adalah para ahli hadits. Berkat bimbingan mereka itulah, Rasyid Ridla juga dapat menjadi ahli hadis dan pakar dalam menilai kualitas-kualitas hadis. Selain itu, ia juga memiliki kemampuan menilai kulaitas isi buku—buku akhlak, tasauf, dan khuthbah. Kenyataan ini dibuktikan dengan pengakuan para ulama yang hidup pada masanya atau pun yang hidup sesudahnya.
Berbeda dengan Syekh Muhammad Abduh yang pada masa mudanya mempunyai kegemaran berolah raga dan keunggulan dalam menunggang kuda dan berenang, Rasyid Ridla tidak mempunyai kegemaran semacam itu. Bahkan sewaktu kecil, ia lebih senang mendengarkan percakapan para ulama yang da-tang ke rumahnya dari pada bermain dengan kawan sebayanya. Bahkan, setelah dewasa, Rasyid Ridla tidak hanya tekun melaksanakan ibadah, juga tekun me-laksanakan riyadlah (latian-latihan) yang biasa dilakukan oleh para sufi, seperti hidup sederhana, menghindari menyantap makan yang lezat-lezat dan tidur di atas kasur, dan membaca wirid-wirid khusus, terutama yang berasal dari tarikat Naqsyabandiyah. Karena kesalehan dan ketekunan beribadah, ditambah dengan beberapa kelebihan ruhaniyah yang dimilikinya, tak jarang masyarakat seki¬tar-nya menganggap Rasyid Ridla adalah seorang pemuda yang sudah sampai ke peringkat wali yang memiliki barokah dan karoma,h meskipun anggapan itu selalu dibantahnya.
Menurut Rasyid Ridla, kesalehan dan kecenderungannya kepada ke¬hi-dupan sufi itu adalah karena pengaruh ajaran imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din. Menurutnya, kitab tersebut tidak hanya menarik niatnya un¬tuk membaca berulang kali, juga merupakan gurunya yang pertama dalam mem-bentuk kepribadian dan sikap keberagamaan. Bahkan begitu besarnya pengaruh kitab itu terhadap jiwa dan tingkah lakunya, ia pernah memiliki pera¬saan dapat berjalan di atas air dan terbang di udara.
Dalam perkembangan selanjutnya, Rasyid Ridla juga telah membaca ma-jalah al-‘Urwat al- Wusqa yang berisi artikel-artikel tentang ide-ide pembaharuan Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhamad Abduh. Menurut Rasyid Ridla, setiap kali ia membaca majalah tersebut, ia selalu merasakan dirinya seperti terkena aliran listrik yang kemudian menimbulkan gerakan dan ledakan. Kalau sebelum membaca majalah itu, cita-citanya hanya ingin meluruskan akidah umat Islam, mencegah mereka dari melakukan per¬bu¬atan-perbuatan haram, mendo¬rong mereka agar melakukan perbuatan-per¬bu¬at¬an yang diperintah agama, dan mengajak mereka agar zuhud terhadap dunia. Tetapi, setelah ia membaca buku itu, keingiannya menjadi bertambah besar un¬tuk membimbing mereka agar hi¬dup maju, mampu melepaskan negeri dan diri mereka dari belenggu pejajahan Barat. Sanggup bersaing dengan umat-umat lain yang telah maju dalam bidang sains, teknologi, industri, dan bidang-bidang lain yang menjadi sendi-sendi kehi¬dupan masyarakat dan umat.
Ide-ide pembaharuan dari kedua tokoh itu pengaruhnya semakin dalam ketika Rasyid Ridla bertemu dan berdialog langsung dengan Muhamad Abduh. Ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Abduh ketika tokoh tersebut dibuang ke Bairut pada tahun 1882 M, karena dituduh terlibat pemberontakan ‘Urabi Pasya. Selanjutnya, Rasyid Ridla bertemu lagi untuk kedua kalinya dengan Ab-duh sewaktu tokoh itu singgah di Beirut pada tahun 1894 M, dalam per¬jalanan pulang dari Paris ke Mesir. Pertemuan kedua kalinya telah menimbulkan kesan luar biasa pada Rasyid Ridla terhadap Muhamad Abduh dan ide-ide pemba¬ha-ruannya.
Oleh karena itu, kemudian ia melakukan sosialisasi gerakan dan pemi¬kir-an para tokoh pembaharu tersebut. Tapi, usahanya mendapat tantangan dari penguasa Turki Usmani. Karena merasa tidak memiliki kebebasan bergerak dan menjelaskan pemikiran-pemikiran para pembaharu, termasuk ide dan pemi¬kir-annya, akhirnya pada tahun 1898 M, Rasyid Ridla pergi ke Mesir untuk menjadi murid Muhamad Abduh dan mitra nya dalam melakukan pem¬baharuan.
Setelah beberapa bulan di Mesir, Rasyid Ridla menerbitkan majalah al-Manar. Majalah tersebut banyak memuat ide-ide Muhamad Abduh. Guru mem-berikan ide-ide kepada murid, murid menulis dan menganalisisnya, kemudian mempublikasikannya pada majalah al-Manar. Selain itu, al-Manar juga mem-publikasikan tulisan-tulisan Abduh sendiri dan tulisan dari murid-muridnya, se¬perti tulisan tulisan Rasyid Ridla dan tulisan para pendukung pembaharuan di berbagai negeri Islam.
Di antara tujuan yang ingin dicapai majalah al-Manar, sebagaimana yang disebutkan didalam nomor perdananya, adalah sama dengan tujuan majalah al-‘Urwat al-Wusqa, yaitu :mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi, memberantas takhyul, khurafat, dan bidlah yang masuk ke dalam tubuh Islam. Menghilangkan paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam dan paham-paham yang salah telah dibawa oleh tarekat-tarekat tasawuf. Meningkatkan mutu pendidikan umat Islam, dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Rasyid Ridla selain yang berkenaan dengan majalah al-Manar adalah mener¬bit-kan buku-buku klasik, terutama yang telah disusun oleh para ulama Salafiyah dan buku buku yang telah disusun oleh dia sendiri. Menulis tafsir Al-quran, ter-jun ke dalam bidang politik dalam upaya mempersatukan bangsa Turki dan bangsa Arab, mempertahankan negeri-negeri Islam, dan mengusir penjajah dari negeri-negeri mereka. Selain itu, juga terjun ke dalam bidang pendidikan dan dakwah, antra lain dengan mendirikan Madrasah al-Irsyad wa al-Dakwah.
Setelah berjuang dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada pa-da¬nya demi kebaikan dan kemajuan umat Islam di seluruh dunia, maka pada tanggal 23 Jumadil ula 1334/22 Agustus 1935 M, Rasyid Ridla pun wafat pada saat sedang membaca Al-quran dalam perjalanan pulang dari kota Suez.
b. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridla
1. Pemikiran Pembaharuan Ridla dalam Bidang Keagamaan
Menurut Rasyid Ridla, umat Islam membutuhkan pembaharuan di bi-dang agama, ilmu pengetahuan, sosial, politik, ekonami, dan lain-lain. Semuanya saling melengkapi, karena yang satu tidak akan terlaksana, kecuali dengan di¬lak¬sanakan sektor atau bidang lainnya. Meskipun begitu, ia akan mengarahkan per¬hatiannya hanya pada bidang agama., sosial,dan politik. Sebab pada tiga bi¬dang itulah yang memerlukan perhatian serius guna memperbaiki keadaan umat Is¬lam.
Menurut Rasyid Ridla, yang mendorongnya untuk melekukan pem¬ba¬ha-ruan di bidang agama adalah karena adanya kesalahpahaman sebagian besar umat Islam terhadap ajaran Islam yang sebenarnya. Kesalahpahaman itu men¬ja-di faktor penyebab kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehi¬dupan.
Dalam pandangannya, faktor penyebab kemunduran umat Islam adalah adalah karena mereka tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang benar. Se¬la-in itu, perilaku mereka banyak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang benar. Bid’ah-bid’ah sudah banyak yang masuk ke dalam kepercayaan mereka. Mi¬sal¬nya, keyakinan tentang kekuatan batin yang dapat membuat sipemiliknya mem¬peroleh apa saja yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran Islam, keba¬ha¬giaan di dunia dan di akhirat hanya akan dapat diperoleh melalui usaha yang se¬suai dengan Sunatullah. Bid’ah lain yang juga membawa kemunduran adalah ajaran-ajaran dari syekh-syekh tarekat tentang tawakal, tawasul, dan kepatuhan yang berlebihan kepada Wali dan Syekh.
Bid’ah lain juga membawa kemunduran adalah ajaran zuhud yang ber¬le-bihan. Menurut Rasyid Ridla, kebanyakan ceritera tentang zuhud Rasulullah saw yang kemudian dijadikan dalil bagi ajaran-ajaran mereka adalah maudlu’ dan tidak ada dasarnya. Sebab, seperti dijelaskan dalam sejarah bahwa Ra¬sul¬ul-lah saw itu menyantap makanam yang tidak lezat dan makanan lezat, memakai pakaian yang kasar dan bagus, dan tidak pernah meminum air, kecuali air tawar yang bersih.
Karena itu, apabila ada juga riwayat yang mengesankan tentang zu¬hud-nya Rasulullah saw terhadap dunia, maksudnya adalah zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain, bukan zuhud dalam arti tidak mau bekerja dan menjauhi pekerjaan. Lebih dari itu, Islam tidak pernah melarang siapa pun bekerja dan mencari rizki dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Islam tidaklah diturunkan hanya untuk memperbaiki kehidupan ruhani, juga untuk memperbaiki kehidupan jasmani dan ruhani secara bersamaan dan menda¬tang-kan kemaslahatan kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat, baik jasmani maupun ruhani.
Sementara, kaum muslimin ada yang beranggapan bahwa zuhud yang disukai agama adalah apabila orang lebih mengutamakan hidup miskin dari pada kecukupan atau lebih mengutamakan orang yang bekerja dari pada sau-daranya yang tekun beribadah, sedangkan biaya hidupnya ditanggung oleh saudaranya yang bekerja itu.
Dengan demikian, menurut Rasyid Ridla, zuhud yang disukai itu apabila orang tidak menjad hamba harta benda dan hal itu merupakan sikap mental ter-hadap harta itu. Rasyid Ridla juga menjelaskan bahwa salah satu faktor pe¬nye-bab kemunduran umat Islam adalah berkembangnya paham jabariyah (fa¬talis). Sebaliknya, di antara faktor kemajuan bangsa Barat adalah membu¬da¬ya¬nya pa-ham ikhtiyar (dinamis). Padahal, Islam telah mendorong umatnya agar bersifat dinamis. Ajaran tersebut termuat dalam kata Jihad, yang berarti berusaha keras, bersungguh-sungguh mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan ke-mampuan untuk mencapai kekuatan yang luhur, dan berani berkurban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga untuk mencapai tujuan per-juangan.
Oleh karena itu, apabila umat Islam ingin maju, maka harus kembali ke-pada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bentuk bid’ah, khu-farat, dan takhayul. Islam yang murni itu sederhana sekali, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah muamalah. Ibadah kelihatannya berat dan ruwet karena hal-hal yang wajib. Demikian pula masalah muamalah. Islam hanya me-netapkan dasar-dasarnya, seperti perasaan, keadilan, dan musyawarah untuk pemerintahan.
Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar itu diserahkan kepada umat untuk merumuskannya. Hukum-hukum fiqh yang berkenaan dengan ke¬ma¬sya-rakatan meskipun didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah, tidak boleh diang-gap absolut dan tidak dapat dirubah. Hukum-hukum itu di tetapkan sesuai de-ngan suasana tempat dan jaman. Selain itu, umat Islam juga harus mening¬gal¬kan paham jabariyah (fatalis). Sebaliknya, umat Islam harus menganut paham jihad. Sebab dengan paham itu umat Islam klasik dapat menguasai dunia.
Seperti halnya Muhamad Abduh, Rasyid Ridla juga menghargai akal manu¬sia. Meskipun penghargaannya tidak setinggi yang diberikan gurunya. Karena ia menghargai akal, ia juga sependapat dengan gurunya bahwa taklid ha¬rus dibas-mi dan ijtihad harus dikembangkan. Namun, perlu digaris bawahi di si¬ni bahwa yang dimaksud dengan ijtihad bukanlah ijtihad yang liberal men¬ca¬kup segala hal.
Menurut Rasyid Ridla, ijtihad hanya diperlukan untuk hal-hal yang ber-kenaan dengan mu’malat dan kemasyarakatan, namun tidak di perlukan lagi un-tuk hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Demikian pula, ijtihad hanya dapat di terapkan untuk menjawab masalah-masalah yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, ijtihad hanya dapat dilakukan dalam upaya memahami ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengandung pengertian zhani, tetapi tidak dapat diterapkan dalam upaya memahami ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengandug pengertian yang qath’i.
c. Pemikiran Rasyid Ridla dalam Bidang Politik
Dalam konteks ini, Rasyid Ridlla, antara lain menga¬takan bahwa kemunduran Islam di bidang politik disebabkan oleh konflik politik internal. Karena itu, jika mereka ingin maju, mereka harus mewujudkan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam. Persatuan dan kesatuan yang di maksudkan di sini bukanlah berdasarkan keyakinan. Karena itu, ia tidak menyetujui gerakan nasionalisme yang di pelopori oleh Turki Muda. Bahkan, ia juga menganggap gerakan dan paham nasionalisme itu bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam yang tidak mengenal perbedaan bangsa.
Selanjutnya Rasyid Ridla mengatakan bahwa, semua umat Islam harus bersatu di bawah suatu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem hukum dan undang-undang. Hukum dan undang-undang tidak akan dapat dijalani tanpa ada kekuasaan pemerintah. Karena itu, kekuasaan umat mengambil bentuk negara dengan pimpinan seorang khalifah. Khalifah itu harus memenuhi syarat-syarat seorang mujtahid dan tidak boleh bersifat absolut. Untuk dapat melak¬sa-nakan tugasnya itu dengan baik, ia harus dibantu oleh para ulama.
Untuk mewujudkan semua itu, ada hal penting yang ditekankan Ridla, bahwa perbedaan mazhab dan aliran jangan sampai menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Guna menghindari perpecahan tersebut, maka perlu di-hidupkan sikap toleransi di antara para pengikut suatu mazhab dengan para pengikut mazhab lain, yaitu dengan cara saling menghormati paham dan pen-dirian masing-masing. Hanya saja, dalam masalah-masalah pokok diperlukan persamaan, sedangkan masalah-masalah yang tidak pokok tidak di perlukan. Bahkan untuk mereka diberi kebebasan untuk mengikuti mazhab dan aliran masing-masing.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran, Rasyid Ridla tidak selalu meng-ikuti metode Abduh. Hal itu terlihat, antara lain ketika ia menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, seperti Tuhan mempunyai tangan dan kaki dengan pengertian majazi. Ridla menafsirkannya dengan arti harfiahnya, meskipun dengan catatan bahwa yang diberikan Tuhan itu tidak sama dengan organ tubuh yang ada pada manusia. Begitupun pula dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan balasan di akhirat, Abduh lebih menekankan tafsiran filosofis sehingga tafsir¬an-nya mengandung pengertian bahwa balasan tersebut bersifat ruhani, sedangkan Ridla menafsirkannya lebih menekankan tafsiran harfiah, sehingga tafsirannya mengandung pengertian bahwa balasan tersebut bersifat ruhani dan jasmani.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa para tokoh pergerakan di atas memiliki kesamaan pandangan, bahwa umat Islam harus terbebas dari belenggu kebodohan dan penjajahan. Meskipun masing-masing memiliki penafsiran dan gerakan berbeda, tetapi tujuan mereka tetap satau, yaitu membangkitkan kesadaran umat Islam dunia dari keterbelakangan dan ketertindasan bangsa-bangsa Barat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar