KERAJAAN SAFAWI:
ASAL-USUL, KEMAJUAN, DAN KEHANCURAN
A.Pengantar.
Dinasti Safawi lahir di Persia pada awal abad enam belas Masehi. Kelahirannya merupakan peristiwa penting, bukan hanya bagi Persia dan negara tetangganya, tetapi juga bagi Eropa pad umumnya. Bagi Persia berdirinya Dinasti Safawi dianggap sebagai bangkitnya kembali imperium Persia dan Nasionalismenya yang telah dijatuhkan oleh Islam pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab dalam peperangan di Qadisia tahun 635 M dan di Nahawand tahun 642 M. Bagi Turki Usmani, kehadirannya sering dianggap sebagai suatu ancaman. Hal ini terbukti dengan terjadinya kontak senjata antara dua Dinasti tersebut. Akan tetapi, bagi Dinasti Mughal di India Dinasti Safawi dianggap sebagi sahabat akrab yang memberinya bantuan dalam menghadapi musuh. Bagi Eropa Dinasti Safawi dianggap sebagai mitra dagang yang menguntungkan kedua belah pihak. Mengingat pentingnya peran yang dimainkan, Dinasti Safawi layak dikatakan sebagai salah satu dari tiga kerajaan besar pada fase kemajuan Islam II.
Kerajaan Safawi berada di antara kerajaan Usmani di sebelah Barat dan kerajaan Mughal India di sebelah Timur. Syah Ismail, pendiri kerajaan ini, menjadikan aliran Syi’ah dua belas sebagai mazhab negara.
Makalah ini berusaha mencoba mengungkap asal-usul, kemajuan, dan kehancuran kerajaan besar ini.
B.Asal-Usul Kerajaan Safawi.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi al-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama ini terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.
Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Kadzhim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan gurunya yang juga mertuanya yang wafat tahun 1301 M.
Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bidah”. Tarekat yang dipimpin Safi al-Din semakin penting setelah ia mengubah bentuk tarekat ini dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
Sepeninggal Syekh Safi kepemimpinan Safawiyah dialnjutkan oleh puteranya, Syekh Sadr al-Din. Pada masanya, pengaruh dan pengikut Safawiyah semakin meluas sampai ke Transoxania. Penerus Syekh Sadr al-din adalah puteranya, Khawajah Ali (1391-1427). Berikutnya, Dinasti ini dipimpin oleh Syekh Ibrahim, putera Khawajah Ali. Kepemimpinannya dianggap sebagai masa terakhir gerakan Safawiyah yang bercorak keagamaan dan keruhanian murni. Karena pada periode Syekh Junayd (1447-1460) gerakan Safawiyah ini berubah menjadi gerakan politik yang berorientasi pada kekuasaan.
Karena perselisihan dengan pamannya, Junayd diusir oleh Jihan Syah, penguasa Kara Konyunlu (Kambing Hitam) atas desakan pamannya, Ja’far. Dalam petualangannya dari Ardabil, Junayd mendapat perlindungan dari Uzun Hasan, penguasa Ak Koyunlu (Kambing Putih) di Diyar Bakr. Setelah merasa kuat dan mendapat dukungan dari Ak Koyunlu, Junayd ingin merebut kembali Ardabil dari tangan Kara Koyunlu. Akan tetapi, dalam pertempuran melawan Shirwanshah di lembah Karahsu pada tahun 1460 M Junayd tewas.
Sepeninggal Junayd, anaknya, Haydar menggantikannya. Haydar mampu menyusun kembali pengikut tarekatnya dan menggunakan sorban merah sebagai identitas mereka. Orang Turki menjuluki mereka Qizil-Bash (si kepala merah). Merasa sudah kuat, Haydar ingin membalas dendam atas kematian ayahnya, shirwanshah. Akan tetapi, dalam pertempuran di benteng Darband tahun 1488 M Haydar tewas.
Dari perkawinannya dengan Uzun Hasan, Haydar dikaruniai tiga anak yang bernama Ali, Ismail dan Ibrahim. Sultan Ali putera tertua Haydar dan pelanjut kepemimpinannya, meninggal dalam peperangan melawan Rustum (cucu Uzun Hasan) untuk merebut kembali kekuasaan sufi di Ardabil. Ismail, putera kedua Haydar, adalah pendiri kerajaan Safawi. Dengan menggunakan Qizil-Bash sebagai kekuatan angkatan bersenjata dan menjadikan Syi’ah sebagai dasar politik dan ideologi, Ismail mulai menundukkan penguasa Ak Koyunlu dan memperluas daerah kekuasaannya. Ia menggunakan gelar “Syah” dan menjadi raja Safawi yang pertama.
C.Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawi.
1.Perkembangan
Syah Ismail, pendiri kerajaan Safawi, dilahirkan pada 25 Rajab 892 H/ 17 Juli 1487 M. Pada usia 13 tahun ia meninggalkan daerah Lahijan menuju Ardabil. Setelah sampai di Ardabil dia diusir oleh Gubernurnya sultan Ali Chakirlu. Ismail lalu pergi ke Arjuwan di dekat laut Kaspia. Dari daerah ini ia mengirim pesan kepada pengikut-pengikutnya di Anatolia Timur dan Syria untuk berkumpul di Erzinjan pada musim semi mendatang. Maka berkumpullah sekitar 7000 pengikutnya dari suku Turki dan mereka menjadi tentara Qizil-Bash yang menjadi sendi kekuatan Dinasti Safawi.
Dari Erzinjan Ismail memimpin Qizilbash untuk menaklukkan daerah Shirvan. Dalam peperangan ini Ismail berhasil membalas kematian ayahnya dengan membunuh Farrukh Yasar Shirvanshah, penguasa Shirvan, dan pembunuh Haydar. Dengan terbunuhnya Sirvanshah lenyaplah sudah penguasa keturunan Kisra Anushirwan Sasania. Selanjutnya Ismail bersiap untuk memerangi alvand, penguasa Ak Koyunlu. Pertempuran antara keduanya terjadi di Sharur, dekat Nakhchivan, Azerbeijan, dan petarungan ini dimenangkan oleh Ismail. Kemenangan ini membuka jalan bagi pemimpin Safawi dan pengikutnya menuju Tabriz. Ismail segera memasuki ibukota Ak Koyunlu dengan penuh kejayaan, memproklamirkan dirinya sebagai Shah, dan menetapkan Syi’ah dua belas menjadi aliran resmi negara Iran.
Peristiwa yang gemilang dan sekaligus menandai berdirinya kerajaan Safawi ini terjadi pada tahun 907/ 1501. Jatuhnya Irak ke tangan Shah Ismail menandai jatuhnya seluruh daerah Persia ke tangannya. Daerah kekuasaan Ismail menjadi luas, membentang dari Jihun hingga teluk Basrah dan dari Afganistan sampai Eufrat. Tinggal dua kekuatan lagi yang menjadi musuh Safawi, yaitu Turki Usmani di sebelah Barat dan kabilah Uzbek di sebelah Timur. Karena Uzbek menyerang Kirman yang termasuk daerah Persia, pertempuran sengit di Tahiradab antara Safawi dan Uzbek tak bisa dihindarkan. Pertempuran yang terjadi pada awal Desember 1510 tersebut dimenangkan oleh Shah Ismail (Safawi) dan pemimpin Uzbek, al-Shaibani tewas. Akan tetapi, dalam pertempuran melawan Turki di Chaldiran Safawi kalah dan Ismail terpaksa berdamai dengan sultan Salim dari Turki.
2.Kemajuan
Kemajuan yang bisa dilihat dalam bidang politik, antara lain:
a.Bahwa kerajaan Safawi dapat menguasai daerah yang cukup luas, dan menundukkan kekuatan-kekuatan penguasa daerah Persia yang sebelumnya. Daerah yang dikuasainya membentang dari Jihun sampai teluk Basrah dan dari Eufrat sampai Afganistan. Daerah-daerah ini meliputi Mazandaran, Gurgan, Yazd, Sirvan, Samarkand, Fars, Kirman, Khuzistan, Kurasan, Balkh, Merv, Irak, Azarbaijan, dan Dyar Bakr.
b.Tentara Safawi cukup kuat. Hal ini terbukti dari kemampuannya untuk menaklikkan kabilah Uzbek yang dipimpin oleh tokoh politik kawakan al-Syaibani. Lebih dari itu Safawi bisa mengalahkan Turki Usmani pada masa pemerintahan Shah Abbas I yang bergelar Shah Abbas yang agung.
Di antara unsur yang menjadikan kuatanya politik Safawi adalah kuatnya pribadi penguasa Safawi, terutama shah Abbas I, yang digambarkan berpandangan tajam, bekal kuat, berkemauan besar, berkeberanian dan semangat yang tinggi tak kenal lelah.
Unsur lain yang dikatakan mempunyai pengaruh besar dalam kekuatan politik Safawi ialah kesetiaan pasukan Qizilbash kepada raja Safawi. Diduga hal disebabkan mereka adalah jamaah sufi Syi’ah, sedang raja adalah kepala mereka. Jamaah sufi terbiasa taat yang berlebihan kepada Mursyd atau gurunya.
Unsur kemampuan Shah dalam mengatur administrasi negara merupakan unsur kemajuan politik yang tak bisa diremehkan.
Administrasi safawi diatur sebagai berikut:
Jenjang tertinggi setelah Shah ialah “Azamat al-Daulah” yang fungsinya seperti Perdana Menteri/ jenjang di bawahnya adalah “al-Sadr” yang fungsinya seperti Menteri Agama. Urusan peradilan, tempat-tempat ibadah dan kegiatan Ulama serta pelajar menjadi tanggungan Menteri tersebut. Jabatan berikutnya adalah “al-Nazir” yang mirip dengan Menteri Bulog. Lalu “Rais al-Khidam” sebagai sekertaris Menteri-Menteri. Jabtan lain adalah “Nazr al-Maliah” yang mengurus Baitul Mall serta perpajakan. Pengawasan Shah atas mereka sangat ketat dan tindakan yang diberikannya kepada pelanggar tugas sangat keras.
Kehadiran petualang Inggris, Antoni dan Robert Charly dengan rombongannya yang berjumlah 26 orang bisa dikatakan mempunyai andil dalam kemajuan politik Safawi. Petualang itu pandai membuta meriam dan senjata lain. Mereka mengabdi kepada Syah dengan memperbanyak persediaan senjata dan menunjukkan kepadanya seni pengaturan tentara yang modern. Kemenangan safawi atas Turki Usmani merupakan bagian dari pengaruh petualang ini.
Kemajuan yang bisa dilihat dalam bidang ekonomi dalah:
1.Ramainya perdagngan melalui teuk Persi, dan meningkatnya ekspor Safawi, terutama komodoti sutra.
2.Lancarnya perdagngan dengan luar negeri, terutama dengan Inggris, hingga menimbulkan iri para niagawan Portugis. Kenyataan ini terlihat dari usaha Portugis untuk menghalangi kapal-kapal niaga Inggris yang menuju Persia Safawi, sehingga terjadi pertempuran antara keduanya dan Safawi membantu Inggris. Akibatnya adalah jatuhnya pangkalan Hormuz ke tangan Safawi dan semakin derasnya arus perdagngan ke Safawi
3.Dibangunnya fasilitas perdagngan yang memadai, seperti sarana transportasi, jembatan-jembatan, pusat-pusat perdagangan dan jalur yang luas yang menghubungkan daerah sebelah Timur laut Kaspia dengan daerah di sebelah Baratnya.
4.Digalakannya bidang pertanian, terutama yang digunakan untuk peternakan ulat sutra, sehingga produktivitas pertanian meningkat.
Kemajuna sektor lain terlihat dalam bidang keilmuan dan filsafat. Filosof Sadr al-Din al-Syirazi dengan filsafat ketuhanannya masih sangat berpengaruh dalam kehidupan kerajaan Safawi. Muhammad Bagir ibn Damad juga dikenal dengan filsafat dan ilmu firikanya. Baha’uddin al-Amili terkenal ketika itu dengan ilmu kebudayaannya. Kemajuan bidang arsitektur terlihat dari dibangunnya kembali ibukota Isfahan. Istana, mesjid-mesjid, rumah sakit, sekolah, dan taman-taman dibangun dengan arsitektur bernilai tinggi. Keistimewaan arsitek Safawi adalah dalam tehnik pewarnaan.
3.Kemunduran dan Kehancuran.
a. Kemunduran
Di antara yang membawa kepada kemunduran safawi adalah:
1. Terjadinya kemelut dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh rasa takut yang berlebihan dari sang raja atas jatuhnya kekuasaan yang dipegangnya. Rasa negatif ini mendorong sebagian Shah mengurung pangeran-pangeran calon penerus kekuasaan kerajaan di lingkungan istana kerajaan. Disediakannya wanita-wanita agar mereka tidak berlatih perang dan belajar siasat.
2. Lemahnya para sultan. Hal ini merupakan akibat dari tidak adanya sistem pengkaderan yang terencana bagi calon penerus kekuasaan, karena takut menjadi bumerang bagi raja yang mengkadernya, dan mengambilalih kepemimpinan sebelum waktunya. Penyebab lain dari kelemahan sultan ini ialah tenggelamnya mereka dalam kemewahan dan mabuk-mabukan.
3.Konflik dengan Turki yang berkepanjangan. Hal ini desbabkan perbedaan mazhab antara keduanya. Safawi beraliran Syi’ah sementara Turki bermazhab Sunni. Di samping itu ambisi memperluas pengaruh dari kedua kerajaan tersebut begitu kuat. Pernah terjadi perdamaian antara keduanya, tetapi tidak berlangsung lama
5..Lemahnya ekonomi. Di antara penyebab lainnya ialah kelemahan sultan dan ketamakannya untuk mendapatkan meriam Eropa, sehingga sultan membebaskan niagawan Eropa dari bea masuk dan keluar bagi komoditi Eropa dan Safawi. Akibatnya pemasukan negara berkurang. Di samping itu penggunaan uang negara untuk kemewahan keluarga raja mengurangi banyak kas negara, sehingga gaji tentara juga tidak terbayar.
b.Sebab Kehancuran
Penyebab kehancuran kerajaan Safawi ialah adanya pemberontakan yang dilakukan ileh orang Afganistan sejak tahun 1709 M. Di bawah pimpinan Mir Vaya yang telah menguasai kandhar. Di daerah lain suku Abadil Afganistan juga melakukan pemberontakan di Heart dan Mashad.
Setelah Mir Vaya meninggal dunia ia digantikan oleh anaknya, Mir Mahmud. Mir Mahmud berhasil bersekutu dengan suku Abadil. Akhirnya Shah Huseyn mengakui kekuasaan Mir Mahmud di Kandahar. Dari Kandahar Mir Mahmud menguasai Kirman tahun 1721 M. Akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1722 M ia memasuki Isfahan dan memaksa Shah Huseyn menyerah tanpa syarat.
Pada tahun 1729 M. Muncul seorang ahli militer bernama Nadir Quli yang tidak menginginkan wilayah Persia berada di tangan orang lain. Nadir menghancurkan kota Isfahan yang telah diduduki oleh Amir Asyraf (pengganti Mir Mahmud). Setelah negara aman, Shah Thamas II dipersilahkan kembali menduduki tahta kerajaan, sedang urusan kenegaraan dipegang oleh Nadir.
Pada bulan Agustus 1732 M Shah Tahmas dipecat oleh Nadir, dan ia menobatkan Syah Abbas III yang masih kecil sebagai raja. Empat tahun kemudian Shah Abbas III meninggal, maka Nadir menobatkan dirinya sebagai Shah di Persia. Dengan demikian berakhirlah masa kerajaan Safawi yang sudah berkuasa selama dua abad lebih.
D.Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Kerajaan Safawi tumbuh dari perkumpulan gerakan keagamaan (sufi) yang berubah bentuk menjadi kekuatan politik. Kerajaan Safawi termasuk salah satu dari tiga kerajaan besar pada masa kemajuan IslamII. Habisnya dinasti Safawi disebabkan tidak ada lagi keturunan raja Safawi yang mampu memegang kekuasaan.Dunai keilmuan di masa Safawi masih berkembang, dan tidak mati sama sekali.
Silsilah raja-raja kerajaan safawi
Safi al-Din
(1252-1334)
Sadar al-Din Musa
(1334-1399 M)
Khawaja Ali
(1399-1427 M)
Ibrahim
(1427-1447)
Juneid
(1447-1460 M)
Haidar
(1460-1494 M)
Ali 1. Ismail
(1494-1501 M) (1501-1524 M)
2. Tahmasp I
(1524-1576 M)
3. Ismail II 4. Muhammad Khudabanda
(1576-1577 M) (1577-1787 M)
5. Abbas I
(1588-1628 M)
6. Safi Miza
(1628-1642 M)
7. Abbs II
(1642-1667 M)
8. Sulaiman
(1667-1694 M)
9. Hussein
(1694-1722 M)
10. Tahmasp II
(1722-1732 M)
11. Abbas III
(1732-1736 M)
Selasa, 22 Desember 2009
Minggu, 13 Desember 2009
KAHMI dan Penguatan Nobility Culture
KAHMI DAN PENGUATAN NOBILITY CULTURE:
Sebuah Catatan Pinggir
Oleh: Murodi
Pengantar
Sejak berdiri pada 17 September 1966 di Surakarta, KAHMI telah banyak me¬ma-inkan peran dan kiprahnya di masyarakat, baik di dunia akademik maupun lain¬nya. Seperti diketahui, ide pendirian KAHMI didasari atas adanya keinginan se¬jumlah alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk membentuk wadah kekeluargaan bagi para alumni. Tujuan pendirian lembaga ini, antara lain, ada-lah dengan menghimpun dan memobilisasikan semua alumni HMI dalam suatu ikatan kekeluargaan serta dengan memelihara aspirasi cita-cita dan kepribadian HMI.
Dalam konteks ini, Agus Salim Sitompul mengatakan, bahwa kelahiran KAHMI merupakan artikulasi dan akumulasi dari sejumlah keberhasilan pengkaderan HMI. Terjalin hubungan aspiratif dan konstruktif antara HMI dan KAHMI, walaupun tidak terdapat hubungan organisatoris. Alumni HMI yang tergabung dalam KAHMI adalah wujud nyata sumber daya manusia yang dicita-citakan HMI, yaitu insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam, se-perti tertuang dalam konstitusi HMI. HMI harus tetap memiliki jiwa in¬de-penden kepada KAHMI, tegar, konsisten, bermoral dan etis.
Karena itu, hubungan antara HMI dan KAHMI tetap mesti dijaga, sebagai wadah silaturrahim. Meski dalam perjalanan sejarahnya, ada saja persoalan yang menyebabkan terjadinya hubungan yang kurang harmonis di antara keduanya.
Dalam konteks ini, saya tidak akan menjelaskan persoalan tersebut. karena fokusnya hanya pada peran KAHMI dalam penguatan Nobility Culture, sebuah konsep sosiologis yang berkembang dewasa ini. Itupun bukan berarti saya me-mahami betul tentang konsep ini, apalagi ahli dalam bidang yang sedang kita bicarakan ini.
Oleh karena itu, saya mohon maaf, jika penyampaian materi ini, baik dari segi konsep, penjelasan dan analisisnya tidak bagus, bahkan terkesan, menurut saya, agak ngawur.
Meskipun begitu, saya tetap berusaha semaksimal dan semampu saya untuk menjelaskan fokus tema silaturrahim dan halal bi halal KAHMI kali ini. Karena itu, supaya terkesan sistematis, hemat saya, perlu sedikit menjelaskan apa itu HMI dan KAHMI. Bukan untuk bernostalgia, tapi membangkitkan kembali ke-sadaran kita mengenai organisasi yang telah mengkader dan membesarkan kita, terutama bagi kawan-kawan di Ciputat.
HMI: Sejarah singkat.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta.HMI merupakan organisasi independen yang mempunyai tujuan:Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil mak-mur yang di ridhoi Allah SWT
Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut ::
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
Aspek Politik : Indonesia menjadi objek jajahan Belanda.
a. Aspek Pemerintahan :
Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda. As-pek Hukum: Hukum berlaku diskriminatif. Aspek pendidikan : Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.-Ordo-nansi guru- Ordonansi sekolah liar.
b. Aspek ekonomi: Bangsa Indonesia berada dalam kondisi eko¬no-mi lemah;
c. Aspek kebudayaan: masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
d. Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembangnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pema-haman, dan pengamalan ajaran Islam;
3. Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan;.
4. Munculnya polarisasi politik;.
5. Berkembangnya faham dan Ajaran komunis;
6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis;
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia;
8. Tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan
Delapan hal ini merupakan kesadaran historis awal untuk menjelaskan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam mesti ada dan berada dalam kehidupan gerakan kemahasiswaan di Indonesia tersebut. Kepedulian dan latarbelakang historis itu yang menyebabkan terhimpun mahasiswa-mahasiswa Islam di satu wadah yang diberi nama HMI. Gerakan ini memang sudah membesar, sejak awal dan sampai hari ini telah berapa cabang yang berdiri di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Walaupun harus diakui pula gerakan mahasiswa ini telah mengalami pasang surut dalam keberlangsungan organisasi maupun peran serta kiprah di masyarakat.
Dari sepanjang kelahiran tahun 1947-sekarang ini, organisasi Himpunan Maha-siswa Islam telah melakukan kaderisasi di berbagai level dan telah melahirkan ribuan alumninya, yang terhimpun dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang tersebar di seluruh Indonesia. KAHMI inilah merupakan tempat berkumpul, bersilataruhmi serta bertukar gagasan secara produktif un-tuk mem¬berikan kontribusi bagi pembangunan bangsa secara nasional. KAHMI dari ting¬kat nasional maupun di daerah telah bersinergi secara aktif dengan pe-merintah daerah sebagai bagian dari kontribusi dari organisasi ini untuk ke¬mas-lahatan dan kebaikan bersama, untuk tujuan yang mulia terwujudnya bangsa yang adil makmur dan sejahtera.
Sinergi dengan pemerintah daerah, misalnya, dalam pengembangan masyarakat, merupakan panggilan jiwa bagi anggota-anggota KAHMI. Karena mereka ada-lah para intelektual muslim yang dikader dalam proses kaderisasi HMI selama bertahun-tahun. Mereka memiliki bekal misi HMI sebagai insan akademis, insan pencipta, pengabdi, dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya, terma-suk per¬so¬al¬an-persoalan pembangunan di mana mereka berada.
KAHMI dalam perspektif modal sosial
Dari segi kuantitas, seberanya KAHMI memiliki anggota yang cukup banyak, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai latar belakang pro-fesi yang sangat heterogen. Heterogenitas dari sisi profesi ini adalah asset besar dan merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan, karena mereka adalah in-dividu-individu yang memiliki kemampuan intelektual dan kreatifitas yang sa-ngat luar biasa. Pertanyaannya kemudian, Bagaimana KAHMI yang tersebar ba-nyak itu bila dilihat dari persepektif modal sosial?
Sebelum membahas itu, kita mencoba mencari beberapa pengertian tentang mo-dal sosial tersebut menurut beberapa ahli, antara lain; Fukuyama (1995) men¬de-finisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma in¬for-mal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang me-mungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.1 Adapun Cox (1995) men¬de-finisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang me-mungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.2
Partha dan Ismail S.(1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hu-bungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara ber-sama-sama.3 Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial se¬bagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam pe¬ri-laku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.4 Menurut Coleman, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan organisasi.
Dari pengertian di atas, ada kata-kata kunci yang dapat ditarik kesimpulannya yakni; jaringan, norma-norma, dan kebajikan sosial. KAHMI dalam perspektif modal sosial? Bahwa dalam tubuh organisasi KAHMI ini ada jaringan, norma-norma, nilai-nilai yang terpenting ada keinginan dari para anggota untuk mem-bangun kebajikan sosial.
KAHMI dalam perspektif modal sosial, berarti jaringan yang luas dan jumlah anggota yang ba¬nyak dan tersebar di berbagai lini kehidupan, merupakan po-tensi besar. Potensi ini harus dimanfaatkan untuk menggerakkan roda organisasi KAHMI, sehingga organisasi ini menjadi gerakan yang massif dan dapat mem¬bawa perubahan bagi masyarakat banya, dan pada akhirnya akan terwujud ke¬bajikan sosial tersebut.
Dalam konteks ini, KAHMI seharusnya bahkan wajib bersifat proaktif terhadap segala persoalan pembangunan dan lingkungan di sekitarnya baik dengan mem¬berikan sumbangan pemikiran kritis maupun sebagai pelaksana pem-bangun¬an. Tentu saja dalam pelaksanaannya, anggota KAHMI tetap berpegang pada misi dan tujuan HMI "terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang berna¬fas¬kan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah swt." dengan tetap berpegang pada moto HMI "ilmu amaliah, amal ilmiah". KAHMI selalu menjaga "ukhuwah" dengan meningkatkan sila¬tura¬him, saling berkomunikasi dan memberikan informasi dalam jaringan organisasi tersebut.
KAHMI dan Penguatan Nobility Culture
Nobility dalam Kamus Bahasa Inggris yang ditulis John M. Echols dan Hassan Shadily diterjemahkan adalah agung atau ningrat. Nobility culture terjemahan bebasnya adalah kebudayaan yang agung (peradaban). Peradaban dalam bahasa Arab yakni tamaddun dan bahasa Inggris civilization. Tamadun dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban. Di kalangan penulis Arab, per¬ka¬taan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Pera¬dab-an Islam), terbit 1902-1906.
Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Na-mun di Turkey orang dengan menggunakan akar madenah atau madana atau ma-daniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sen¬diri pada masa sekarang ini menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban, na¬mun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang ke¬ba¬nyakan lebih menyukai istilah tamaddun.5
Indikator wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, ke-dokteran dan lain sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban ter-gantung maju mundurnya ilmu pengetahuan. Substansi peradaban dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mung-kin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika ko¬mu-nitas itu membesar maka akan lahir peradaban agung. 6
KAHMI dari dulu sampai dengan sekarang telah ikut berperan aktif diberbagai lapisan kehidupan masyarakat serta memberi kontribusi yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembangunan di tingkat nasionali. Melalui lembaga HMI ini telah banyak melahirkan alumninya sebagai para cendikiawan yang berfikir ke arah perubahan ini dididik dari berbagai disiplin ilmu yang didapatkan dari perguruan tinggi yang merupakan almamaternya pertama, dan HMI sendiri se¬bagai almamaternya yang kedua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya be¬gitu saja terhadap kemajuan umat hari ini.
KAHMI diharapkan menjadi komunitas yang aktif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu kunci membangun kebudayaan yang agung (nobility culture) tersebut. Gerakan pendidikan merupakan alternative kegiatan yang penting dalam kaitan hal ini. Pendidikan ini merupakan pilar untuk me-majukan bangsa yang bercirikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kaitan penguatan nobility culture bagi KAHMI perlu dilakukan adalah;
Pertama, menjadi subjek pengembangan pendidikan di masyarakat. KAHMI ha-rus menjadi inisiator sekaligus pelaku bagi usaha untuk menggiatkan pen¬di¬dik-an di masyarakat. Aktivitas ini mewajibkan para anggota KAHMI terjun lang-sung dan bergerak bersama-sama untuk mewujudkan tumbuhnya pendidikan di setiap tingkatan atau levelnya. Sehingga masyarakat kita benar-benar berpen-di¬dikan semua, mempunyai akses yang luas terhadap pendidikan dan mewu-judkan generasi-generasi muda yang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, menjadi akademisi atau peneliti yang berkontribusi melalui temuan-te-muannya bagi pembangunan masyarakat dan kebudayaan secara umumnya. Te-muan-temuan ilmiah di beragam bidang IPTEK dapat menghasilkan peru¬bahan-perubahan bagi masyarakatnya serta pilar penting bagi terwujudnya peradaban maju bagi bangsa dan negara ini.
Ketiga, penyedia bagi sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan kerja-kerja ilmiah lainnya. Institusi KAHMI maupun anggota terutama yang tersebar di se-luruh pelosok daerah bersinergi untuk penyediaan sarana dan prasarana ter-sebut. Jaringan KAHMI yang luas dan beragam ini potensial bila digerakkan dan disinergikan untuk membangun dunia pendidikan, dan memperkaya bang-sa dan negara dengan Ilmu pengetahuan sebagai landasan untuk penguataan nobility culture tersebut.
Berkaitan dengan penguatan nobility culture yang lebih cocok paradigma pen-di¬dikannya adalah paradigma organik. Karakteristik paradigm paradigm organic adalah memandang sekolah sebagai bagian dari pendidikan, dimana dalam ke¬hidupan, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya.7 Paradigma pen¬didikan organik lebih menitikberatkan pada learning, bukan pada teaching. Para¬digma pendidikan organic memiliki orientasi learning dengan prinsip;
1.Learning to know
2.Learning to do
3.Learning to be
4.Learning to life together
Sebagaimana dikatakan Zamroni Ph.D, bahwa paradigma pendidikan organic dalam praktek serta pelaksanaan didukung kebijakan sebagai berikut;8
1.Mengembangkan Masyarakat Pembelajaran;
2.Mengembangkan Broad Based Education;
3.Menimbulkan napas kekeluargaan di sekolah;
4.Mengembangkan kurikulum yang fleksibel;
5.Meredefinisi mutu hasil belajar.
Kenapa perlu paradigma organik dalam pendidikan kita/nasional? Karena para¬digma pendidikan mekanik-reduksionisme selama ini dianut oleh kita tidak lagi memberikan harapan pada pembangunan bangsa dan peradaban yang luhur, seperti kita lihat sekarang ini. Melalui paradigma baru ini pendidikan akan mampu berperan dalam membangun kembali moral bangsa guna membangun peradaban bangsa.
Penutup
Peran KAHMI dalam penguatan nobility culture terutama dilakukan melalui bidang pendidikan. Pendidikan ini yang akan mewujudkan hidupnya ilmu pe-ngetahuan dan teknologi di masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah substansi dari terwujudnya peradaban. Biar peradaban itu menjadi luhur dan berlan-daskan moral yang tinggi maka paradigm pendidikan adalah organic bukan mekanik-reduksionisme yang banyak dianut oleh pendidikan kita sekarang ini.
Demikian,
Terima kasih,
Billahittaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum wr.wb.
* Murodi adalah Guru Besar Sejrah Islam UIN Jakarta dan Peneliti Senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Sebuah Catatan Pinggir
Oleh: Murodi
Pengantar
Sejak berdiri pada 17 September 1966 di Surakarta, KAHMI telah banyak me¬ma-inkan peran dan kiprahnya di masyarakat, baik di dunia akademik maupun lain¬nya. Seperti diketahui, ide pendirian KAHMI didasari atas adanya keinginan se¬jumlah alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk membentuk wadah kekeluargaan bagi para alumni. Tujuan pendirian lembaga ini, antara lain, ada-lah dengan menghimpun dan memobilisasikan semua alumni HMI dalam suatu ikatan kekeluargaan serta dengan memelihara aspirasi cita-cita dan kepribadian HMI.
Dalam konteks ini, Agus Salim Sitompul mengatakan, bahwa kelahiran KAHMI merupakan artikulasi dan akumulasi dari sejumlah keberhasilan pengkaderan HMI. Terjalin hubungan aspiratif dan konstruktif antara HMI dan KAHMI, walaupun tidak terdapat hubungan organisatoris. Alumni HMI yang tergabung dalam KAHMI adalah wujud nyata sumber daya manusia yang dicita-citakan HMI, yaitu insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam, se-perti tertuang dalam konstitusi HMI. HMI harus tetap memiliki jiwa in¬de-penden kepada KAHMI, tegar, konsisten, bermoral dan etis.
Karena itu, hubungan antara HMI dan KAHMI tetap mesti dijaga, sebagai wadah silaturrahim. Meski dalam perjalanan sejarahnya, ada saja persoalan yang menyebabkan terjadinya hubungan yang kurang harmonis di antara keduanya.
Dalam konteks ini, saya tidak akan menjelaskan persoalan tersebut. karena fokusnya hanya pada peran KAHMI dalam penguatan Nobility Culture, sebuah konsep sosiologis yang berkembang dewasa ini. Itupun bukan berarti saya me-mahami betul tentang konsep ini, apalagi ahli dalam bidang yang sedang kita bicarakan ini.
Oleh karena itu, saya mohon maaf, jika penyampaian materi ini, baik dari segi konsep, penjelasan dan analisisnya tidak bagus, bahkan terkesan, menurut saya, agak ngawur.
Meskipun begitu, saya tetap berusaha semaksimal dan semampu saya untuk menjelaskan fokus tema silaturrahim dan halal bi halal KAHMI kali ini. Karena itu, supaya terkesan sistematis, hemat saya, perlu sedikit menjelaskan apa itu HMI dan KAHMI. Bukan untuk bernostalgia, tapi membangkitkan kembali ke-sadaran kita mengenai organisasi yang telah mengkader dan membesarkan kita, terutama bagi kawan-kawan di Ciputat.
HMI: Sejarah singkat.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta.HMI merupakan organisasi independen yang mempunyai tujuan:Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil mak-mur yang di ridhoi Allah SWT
Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut ::
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
Aspek Politik : Indonesia menjadi objek jajahan Belanda.
a. Aspek Pemerintahan :
Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda. As-pek Hukum: Hukum berlaku diskriminatif. Aspek pendidikan : Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.-Ordo-nansi guru- Ordonansi sekolah liar.
b. Aspek ekonomi: Bangsa Indonesia berada dalam kondisi eko¬no-mi lemah;
c. Aspek kebudayaan: masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
d. Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembangnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pema-haman, dan pengamalan ajaran Islam;
3. Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan;.
4. Munculnya polarisasi politik;.
5. Berkembangnya faham dan Ajaran komunis;
6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis;
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia;
8. Tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan
Delapan hal ini merupakan kesadaran historis awal untuk menjelaskan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam mesti ada dan berada dalam kehidupan gerakan kemahasiswaan di Indonesia tersebut. Kepedulian dan latarbelakang historis itu yang menyebabkan terhimpun mahasiswa-mahasiswa Islam di satu wadah yang diberi nama HMI. Gerakan ini memang sudah membesar, sejak awal dan sampai hari ini telah berapa cabang yang berdiri di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Walaupun harus diakui pula gerakan mahasiswa ini telah mengalami pasang surut dalam keberlangsungan organisasi maupun peran serta kiprah di masyarakat.
Dari sepanjang kelahiran tahun 1947-sekarang ini, organisasi Himpunan Maha-siswa Islam telah melakukan kaderisasi di berbagai level dan telah melahirkan ribuan alumninya, yang terhimpun dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang tersebar di seluruh Indonesia. KAHMI inilah merupakan tempat berkumpul, bersilataruhmi serta bertukar gagasan secara produktif un-tuk mem¬berikan kontribusi bagi pembangunan bangsa secara nasional. KAHMI dari ting¬kat nasional maupun di daerah telah bersinergi secara aktif dengan pe-merintah daerah sebagai bagian dari kontribusi dari organisasi ini untuk ke¬mas-lahatan dan kebaikan bersama, untuk tujuan yang mulia terwujudnya bangsa yang adil makmur dan sejahtera.
Sinergi dengan pemerintah daerah, misalnya, dalam pengembangan masyarakat, merupakan panggilan jiwa bagi anggota-anggota KAHMI. Karena mereka ada-lah para intelektual muslim yang dikader dalam proses kaderisasi HMI selama bertahun-tahun. Mereka memiliki bekal misi HMI sebagai insan akademis, insan pencipta, pengabdi, dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya, terma-suk per¬so¬al¬an-persoalan pembangunan di mana mereka berada.
KAHMI dalam perspektif modal sosial
Dari segi kuantitas, seberanya KAHMI memiliki anggota yang cukup banyak, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai latar belakang pro-fesi yang sangat heterogen. Heterogenitas dari sisi profesi ini adalah asset besar dan merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan, karena mereka adalah in-dividu-individu yang memiliki kemampuan intelektual dan kreatifitas yang sa-ngat luar biasa. Pertanyaannya kemudian, Bagaimana KAHMI yang tersebar ba-nyak itu bila dilihat dari persepektif modal sosial?
Sebelum membahas itu, kita mencoba mencari beberapa pengertian tentang mo-dal sosial tersebut menurut beberapa ahli, antara lain; Fukuyama (1995) men¬de-finisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma in¬for-mal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang me-mungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.1 Adapun Cox (1995) men¬de-finisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang me-mungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.2
Partha dan Ismail S.(1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hu-bungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara ber-sama-sama.3 Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial se¬bagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam pe¬ri-laku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.4 Menurut Coleman, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan organisasi.
Dari pengertian di atas, ada kata-kata kunci yang dapat ditarik kesimpulannya yakni; jaringan, norma-norma, dan kebajikan sosial. KAHMI dalam perspektif modal sosial? Bahwa dalam tubuh organisasi KAHMI ini ada jaringan, norma-norma, nilai-nilai yang terpenting ada keinginan dari para anggota untuk mem-bangun kebajikan sosial.
KAHMI dalam perspektif modal sosial, berarti jaringan yang luas dan jumlah anggota yang ba¬nyak dan tersebar di berbagai lini kehidupan, merupakan po-tensi besar. Potensi ini harus dimanfaatkan untuk menggerakkan roda organisasi KAHMI, sehingga organisasi ini menjadi gerakan yang massif dan dapat mem¬bawa perubahan bagi masyarakat banya, dan pada akhirnya akan terwujud ke¬bajikan sosial tersebut.
Dalam konteks ini, KAHMI seharusnya bahkan wajib bersifat proaktif terhadap segala persoalan pembangunan dan lingkungan di sekitarnya baik dengan mem¬berikan sumbangan pemikiran kritis maupun sebagai pelaksana pem-bangun¬an. Tentu saja dalam pelaksanaannya, anggota KAHMI tetap berpegang pada misi dan tujuan HMI "terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang berna¬fas¬kan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah swt." dengan tetap berpegang pada moto HMI "ilmu amaliah, amal ilmiah". KAHMI selalu menjaga "ukhuwah" dengan meningkatkan sila¬tura¬him, saling berkomunikasi dan memberikan informasi dalam jaringan organisasi tersebut.
KAHMI dan Penguatan Nobility Culture
Nobility dalam Kamus Bahasa Inggris yang ditulis John M. Echols dan Hassan Shadily diterjemahkan adalah agung atau ningrat. Nobility culture terjemahan bebasnya adalah kebudayaan yang agung (peradaban). Peradaban dalam bahasa Arab yakni tamaddun dan bahasa Inggris civilization. Tamadun dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban. Di kalangan penulis Arab, per¬ka¬taan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Pera¬dab-an Islam), terbit 1902-1906.
Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Na-mun di Turkey orang dengan menggunakan akar madenah atau madana atau ma-daniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sen¬diri pada masa sekarang ini menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban, na¬mun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang ke¬ba¬nyakan lebih menyukai istilah tamaddun.5
Indikator wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, ke-dokteran dan lain sebagainya. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban ter-gantung maju mundurnya ilmu pengetahuan. Substansi peradaban dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mung-kin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika ko¬mu-nitas itu membesar maka akan lahir peradaban agung. 6
KAHMI dari dulu sampai dengan sekarang telah ikut berperan aktif diberbagai lapisan kehidupan masyarakat serta memberi kontribusi yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembangunan di tingkat nasionali. Melalui lembaga HMI ini telah banyak melahirkan alumninya sebagai para cendikiawan yang berfikir ke arah perubahan ini dididik dari berbagai disiplin ilmu yang didapatkan dari perguruan tinggi yang merupakan almamaternya pertama, dan HMI sendiri se¬bagai almamaternya yang kedua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya be¬gitu saja terhadap kemajuan umat hari ini.
KAHMI diharapkan menjadi komunitas yang aktif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu kunci membangun kebudayaan yang agung (nobility culture) tersebut. Gerakan pendidikan merupakan alternative kegiatan yang penting dalam kaitan hal ini. Pendidikan ini merupakan pilar untuk me-majukan bangsa yang bercirikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kaitan penguatan nobility culture bagi KAHMI perlu dilakukan adalah;
Pertama, menjadi subjek pengembangan pendidikan di masyarakat. KAHMI ha-rus menjadi inisiator sekaligus pelaku bagi usaha untuk menggiatkan pen¬di¬dik-an di masyarakat. Aktivitas ini mewajibkan para anggota KAHMI terjun lang-sung dan bergerak bersama-sama untuk mewujudkan tumbuhnya pendidikan di setiap tingkatan atau levelnya. Sehingga masyarakat kita benar-benar berpen-di¬dikan semua, mempunyai akses yang luas terhadap pendidikan dan mewu-judkan generasi-generasi muda yang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, menjadi akademisi atau peneliti yang berkontribusi melalui temuan-te-muannya bagi pembangunan masyarakat dan kebudayaan secara umumnya. Te-muan-temuan ilmiah di beragam bidang IPTEK dapat menghasilkan peru¬bahan-perubahan bagi masyarakatnya serta pilar penting bagi terwujudnya peradaban maju bagi bangsa dan negara ini.
Ketiga, penyedia bagi sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan kerja-kerja ilmiah lainnya. Institusi KAHMI maupun anggota terutama yang tersebar di se-luruh pelosok daerah bersinergi untuk penyediaan sarana dan prasarana ter-sebut. Jaringan KAHMI yang luas dan beragam ini potensial bila digerakkan dan disinergikan untuk membangun dunia pendidikan, dan memperkaya bang-sa dan negara dengan Ilmu pengetahuan sebagai landasan untuk penguataan nobility culture tersebut.
Berkaitan dengan penguatan nobility culture yang lebih cocok paradigma pen-di¬dikannya adalah paradigma organik. Karakteristik paradigm paradigm organic adalah memandang sekolah sebagai bagian dari pendidikan, dimana dalam ke¬hidupan, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya.7 Paradigma pen¬didikan organik lebih menitikberatkan pada learning, bukan pada teaching. Para¬digma pendidikan organic memiliki orientasi learning dengan prinsip;
1.Learning to know
2.Learning to do
3.Learning to be
4.Learning to life together
Sebagaimana dikatakan Zamroni Ph.D, bahwa paradigma pendidikan organic dalam praktek serta pelaksanaan didukung kebijakan sebagai berikut;8
1.Mengembangkan Masyarakat Pembelajaran;
2.Mengembangkan Broad Based Education;
3.Menimbulkan napas kekeluargaan di sekolah;
4.Mengembangkan kurikulum yang fleksibel;
5.Meredefinisi mutu hasil belajar.
Kenapa perlu paradigma organik dalam pendidikan kita/nasional? Karena para¬digma pendidikan mekanik-reduksionisme selama ini dianut oleh kita tidak lagi memberikan harapan pada pembangunan bangsa dan peradaban yang luhur, seperti kita lihat sekarang ini. Melalui paradigma baru ini pendidikan akan mampu berperan dalam membangun kembali moral bangsa guna membangun peradaban bangsa.
Penutup
Peran KAHMI dalam penguatan nobility culture terutama dilakukan melalui bidang pendidikan. Pendidikan ini yang akan mewujudkan hidupnya ilmu pe-ngetahuan dan teknologi di masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah substansi dari terwujudnya peradaban. Biar peradaban itu menjadi luhur dan berlan-daskan moral yang tinggi maka paradigm pendidikan adalah organic bukan mekanik-reduksionisme yang banyak dianut oleh pendidikan kita sekarang ini.
Demikian,
Terima kasih,
Billahittaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum wr.wb.
* Murodi adalah Guru Besar Sejrah Islam UIN Jakarta dan Peneliti Senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Selasa, 08 Desember 2009
Dinasti Mamalik di Mesir
DINASTI MAMALIK DI MESIR:
PEMBENTUKAN, KEMAJUAN, DAN KEHANCURAN
I. Pendahuluan
Serangan Hulagu yang membumihanguskan pusat peradaban Islam di Bagdad, sehingga tamatlah riwayat khilafah Islam di Bagdad. Jika ada negeri Islam yang selamatdari kehancuran akibat serangan bangsa mongol, baik serangan Hulagu dan Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu di bawah kekuasan Dinasti Mamalik.
Dinasti Mamalik di Mesir adalah sebuah dinasti yang mempunyai corak tersendiri dan cukup unik. Karena Dinasti ini berdiri atas kesatuan dan persatuan para budak yang terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa, bahkan dapat membentuk suatu pemerintahan oligarki di suatu negarayang bukan tumpah darah mereka. Mereka mampu bertahan selama dua setengah abad dalam memimpin suatu Dinasti.
Dinasti Mamalik di mesir mulai bangkit bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan di Bagdad dan kemunduran kekuasan Islam di Spanyol. Oleh karena itu, perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam dinasti ini cukup pesat.
Di dalam makalah ini dibahas proses pembentukan Dinasti Mamalik di Mesir beserta kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Sebagai kelanjutannya di bahas pula kehancuran Dinasti ini.
II. PEMBENTUKAN
Mamalik adalah bentuk plural dari Mamluk yang berarti budak. Kaum Mamalik adalah para imigran di Mesir. Pada mulanya adalah para budak yang didatangkan dari daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Pada masa pemerintahan Ayyubiyah mereka ditempatkan di barak-barak militer pulau Raudah di sungai Nil untuk dilatih dan dididik, baik dalam bidang militer maupun keagamaan. Karena pusat latihan dan pendidikan mereka bertempat dekat dengan sungai Nil, yang juga disebut Bahr yang berarti laut. Oleh karena itu, mereka disebut al-Mamalik al-Bahryun atau Mamluk Bahr yang berkuasa pada tahun (1250-1390 M). Sedangkan mereka yang ditempatkan di benteng-benteng istana di kota Kairo disebut al-Mamalik al-Burjiyun, yang melanjutkan kekuasaan Dinasti Mamalik pada tahun (1382-1517 M).
Terbentuknya Dinasti Mamalik di Mesir tidak dapat dipisahkan dari Dinasti Ayyubiyah. Ketika terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan antara al-Malik Adil Syaifuddin dengan saudaranya al-Malik al-Shalih Najmuddin, tentara yang berasal dari suku Kurdi memihak pada al-Malik Adil. Sedangkan tentara yang bergabung dalam Mamluk al-Bahr mendukung al-Malik al-Shalih. Akhirnya al-Malik Shalih dapat menduduki singgasana sebagai sultan Dinasti Ayyubiyah pada tahun 1240-1249. sejak masa itu kaum Mamalik mempunyai pengaruh besar dalam kemilteran dan pemerintahan, karena mereka menjadi ajudan sultan.
Al-Malik al Shalih menempatkan para Mamluk pada kelompok elite yang terpisah dari masyarakat dan satuan-satuan militer lainnya. Kehadiran Mamalik merupakan pilar dalam berlangsungnya kekuasaan al-Malik al-shalih, sedangkan keistimewaan yang diberikannya kepada kaum Mamalik itu, memberikan kemudahan bagi mereka dalam peningkatan karir dalam pemerintahan.
Al-Malik al-Shalih mangkat pada tanggal 23 November 1249 M. Kematiannya dirahasiakan oleh istrinya yang bernama Syarajat al-Durr yang berasal dari budak, untuk meredam kekacauan yang timbul akibat berita kematian itudan menunggu putera mahkota Turansyah yang datang dari Messopotamia. Setelah Turansyah memegang tampuk kekuasaan terjadi keguncangan pada kaum Mamalik, karena eksistensi mereka pada pemerintahan mulai goyah. Hal ini disebabkan karena Turansyah bukanlah orang yang dekat dengan mereka. Ia lebih cenderung pada pengawal dari Kurdi yang merupakan saingan kaum Mamalik dan dia tidak banyak mengetahui tentara Mesir, karena ia lama bermukim di jazirah Efrat. Mamluk al-Bahr berusaha memperkuat diri di bawah pimpinan Baybars dan Aybak. Pada tahun 1250 M. Mereka berhasil merebut kekuasaan dari al-Malik al-Muazzam Turansyah dengan membunuhnya. Diangkatlah Syajarat al-Durr sebagai sultan (wanita) mereka. Dari sini terbentuklah Dinasti Mamalik di Mesir yang dipimipin oleh seorang budak dan tamatlah riwayat Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Para Budak mengangkat Syajarat al-Durr sebagai sultan mereka yang pertama, karena ia berdarah budak yang sudah dimerdekakan setelah melahirkan seorang putera darial-Malik al-shalih, juga dengan harapan akan tetap membela kepentingan kaum Mamalik. Di samping itu juga dimaksud untuk meredam persaingan dikalangan pemimpn Mamluk yang berambisi menjadi sultan, seperti Aybak, Baybars, dan qutuz. Dengan demikian tidak melemahkan kekuasan Dinasti yang baru tumbuh itu. Akhirnya Baybars dan sejumlah pengikutnya berangkat ke Syiria, karena kegagalannya menduduki jabatan sultan, sementara Aybak dan Qutuz tetap tinggal di Mesir.
Syajarat al-Durr adalah satu-satunya sultan dari kalangan wanita yang memimpin Dinasti dalam dunia Islam yang mengatur daerah Afrika bagian Utara dan Asia Barat. Dia mencetak mata uang atas namanya dan namanya disebut di khotbah Jumat. Untuk mengendalikan tugas-tugas pemerintahan Aybak terpilih sebagai wakilnya atas kesepakatan para Amir. Tampaknya Aybak tidak puas dengan kedudukannya. Oleh karena itu, ia kawini Syajarat al-Durr dan bertindak sebagai sultan dengan gelar al-Muizz Izzuddin Aybak yang berkuasa tahun 1250-1257 M.
Aybak kemudian ingin menyingkirkan Syajarat al-Durr. Akan tetapi, sultan wanita ini tidak kalah waspada. Ia bunuh suaminya itu di kamar mandi. Namua, Syajarat al-Durr kemudian tewas pula dibunuh oleh para pendukung Aybak. Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan Nuruddin Ali, putera Aybak yang masih muda usia. Secara praktis yang memegang kendali kekuasaan adalah Qutuz, salah seorang tokoh Mamluk yang terkenal dan bertindak sebagai wakil sultan. Nuruddin Ali setelah memerintah selama dua tahun (1257-1259 M) mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan sendirinya Qutuz menggantikan posisi Nuroddin Ali. Pada masa ini Baybar Tokoh Mamalik kembali ke Mesir dengan pendukungnya. Hal ini disambut baik oleh Qutuz.
Di masa Qutuz, Dinasti Mamalik mendapat ancaman serangan dari Mongol. Tentara Mongol setelah menghancurkan Bagdad kemudian menyerbu daerah sungai Eufrat menuju Syiria. Selanjutnya melintasi Sinai menuju Mesir. Pada awal tahun 1260 M. Mongol sudah menduduki Nablus dan Gaza tanpa ada perlawanan yang berarti dari penduduk setempat. Sebelum menyerbu Mesir, tentara Mongol yang dipimpin Kitabugha mengirim utusan kepada Qutuz meminta agara ia menyerah kepada Hulagu di Bagdad. Qutuz menolaknya, bahkan membunuh utusannya. Untuk memperkuat dirinya, Qutuz meminta bantuan pada pihak Prancis yang menguasai jalur Palestina, agar mengirimkan bantuan militer, logistik dan memberi izin untuk menggunakan jalur sekitar Palestina. Prancis menolak memberikan bantuan militer, tetapi mengabulkan permintaan Qutuz yang lainnya.
Kemudian sultan Qutuz dengan dibantu oleh Baybars membawa pasukannya ke wilayah kekuasaan Prancis. Mereka bergerak ke Utara sepanjang pantai Palestina dan membentuk kamp di daerah Acre. Hal ini dilakukan untuk menghadang musuh di daerah itu. Strategi ini membawa keuntungan bagi pihak pasukan Qutuz. Yaitu, tentara Mamalik dapat mengadakan serangan mendadak karena kedatangan mereka di tempat ini tidak diduga oleh tentara Mongol. Apabila pasukan Mamalik kalah, Prancis tidak tinggal diam, sebab mongol akan menjarah ke dalam wilayah Prancis, lebih-lebih sebelumnya mongol membujuk Prancis untuk bergabung dengan mereka, tetapi ditolak oleh Prancis.
Tentara mongol yang diperkuat oleh orang-orang Armenia dan Georgia melintasi Yordania menuju Galile. Mendenga mongol bergerak ke arah Galile, pasukan Mamalik di bawah komando Qutuz dan Baybars bergerak ke tenggara menghadang tentara Mongol di Ain Jalut. Kedua pasukan bertemu dan berperang, dalam pertempuran ini tentara Mamalik dapat mengalahkan pasukan Mongol. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1260 M. Kemenangan Mamalik melawan Mongol ini membangkitkan semangat umat Islam di wilayah-wilayah lainnya untuk melawan tentara Mongol. Dinasti Mamalik mempunyai prestise yang tinggi di dunia Islam dengan mengalahkan Mongol, sehingga penguasa-penguasa di Syiria ketika itu menyatakan kesetiaannya kepada Dinasti ini.
III. KEMAJUN
Baybars dinobatkan sebagai sultan setelah meninggalnya Qutuz. Baybars memerintah pada tahun 1260-1277 M. Masa yang cukup panjang dalam memerintah dan kecakapannya dalam mengatur strategi pemerintahan, membuat Baybars mampu mengantarkan Dinasti ini mencapai kejayaannya. Menurut K. Hitti, Baybars al-Bunduqdari dianggap sebagai pembangun hakiki Dinasti Mamalik dan sebagai sultan yang terbesar.
Bidang-bidang yang mengalami kemajuan dalam Dinasti ini antara lain:
A. Bidang kemitraan dan pemerintahan
Baybars mengadakan konsolidasi dengan mantap dibidang kemiliteran dan pemerintahan. Hal ini untuk menangkis ancaman-ancaman dari dalam maupun dari luar. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan ia berikan kepada anggota militer yang berprestasi. Ia tahu bahwa pendukungnya yang mayoritas Sunni menginginkan agar ia mendapat legitimasi dari khalifah. Untuk itu, Baybars melakukan baiat terhadap al-Mustanshir, khalifah keturunan Bani Abbas yang berhasil lolos dari pembantaian Hulagu, karena ia dan keluarganya melarikan diri ke Syiria dan mendapat perlindungan di sana. Al-Mustanshir memberikan legitimasi kepada Baybars untuk menjadi sultan. Bahkan, ia diberi hak kekuasaan atas daerah Mesir, Syiria, Hijaz, Yaman dan lembah sungai Eufrat. Baiat ini mengundang simpati rakyat dan penguasa Islam lainnya. Baybars juga mengikuti jejak Dinasti Ayyubiyah, yaitu menghidupkan golongan Sunni. Ini semakin memperkokoh kedudukannyadi kalangan rakyat yang mayoritas bermazhab Sunni.
Baybars juga membuka hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Diperbaharuinya hubungan dengan Konstantinopel, hubungan dengan Sisilia, bahkan raja Sicilia Charles Anjou sampai mengirimkan hadiah kepadanya sebagai tanda persahabatan.
Dalam lapangan militer, Baybars diakui sebagai panglima yang tangguh. Ia gunakan sebagian masa jabatannya untuk menghancurkan sebagian besar kekuatan Salib di sepanjang pantai laut Tengah. Pemberontakan kaum Assasin di pegunungan Syiria dapat dilumpuhkannya. Nubia dan sepanjang pantai laut Merah di peranginya, bahkan kapal-kapal Mongol di Anatolia diserangnya pula. Semangat yang membaja ini ditimbulkan oleh kemenangannya pada peristiwa di ain Jalut.
B. Bidang ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh Dinasti Mamalik melalui sektor perdagngan dan pertanian. Di sektor perdagangan, pemerintah memperluas hubungan dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad, kota Kairo merupakan kota strategis dan pennting bagi bagi perdagangan. Karena jalur perdagangan dari asia Tengah dan Teluk Persia melalui Bgadad ke Barat menjadi lumpuh. Dengan demikian jalur perdagangan dari laut Merah dan laut Tengah ke Barat pindah ke Kairo. Hal ini menyebabkan melimpahnya devisa negara dari sektor perdagangan.
Dalam sektor pertanian, pemerintah membangun sebuah kanal untuk kirigasi pertanian, kanal tersebut dibangun dari kota Alexanderia sampai sungai Nil pada tahun 1311 M. Dengan demikian mendukung hasil devisa negara dari sektor pertanian.
C. Bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Serangan Mongol di Bagdad, menyebabkan kehancuran peradaban dan ilmu pengetahuan di sana. Hal ini menyebabkan banyaknya para ilmuan yang pindah dan melarikan diri ke Mesir serta menetap di sana. Mesir yang dikenal sebagai pusat peradaban sejak awal, maka tidaklah sulit untuk pengemabngan ilmu dan kebudayaan. Terlebih lagi para sultan Dinasti ini memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan tersebut.
Ilmu pengetahuan yang berkembang di masa Dinasti ini ditandai munculnya para ilmuan dan ulama terkemuka dalam bidang sejarah, kedokteran, astronomi, matematika dan alin-lainnya. Di masa ini munculnya sejarawan ulung seperti, Ibnu Khlaikan yang mengarang buku Wafayat al-A’yun wa Anba Zaman, dan juga tokoh sejarawan lainnya, seperti Abu al-Fida dan Ibnu Taghri Birdi. Di dalam bidang Astronomi dikenal nama Nasir al-Din Tusi dan seorang tokoh sufi yang kenamaan. Dalam bidang kedokteran muncul Ibnu al-Nafis, ia dikenal sebagai penemu susunan peredaran darah dalam paru-paru dan jantung. Tokoh kedokteran lainnya seperti, al-juma’i penulis buku al-Irsyad li Mashalih al-anfus wa al-Ajsad. Ibnu Abi Mahasin dan Shalah al-Din Yusuf mengembangkan opthalmologi.
Dalam bidang keagamaan muncul tokoh Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai reformer pemikiran Islam dan bermazhab Hambali. Muncul pula Suyuti pengarang buku al-Itqan fi Ulum al-Quran, dan Ibnu Hajar al-Asqalani yang termasyhur dalam bidang hadis. Selain itu berdiri pula bangunan dan arsitektur, seperti sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang sangat indah.
Sejak masa pemerintahan Qalawun (1279-1290) para sultan Mamalik telah berjasa memperindah bangunan dengan batu-batu banteng, batu kapur dan batu api yang diambil dari dataran tinggi Mesir. Qawalun juga mendirikan sebuah rumah sakit yang indah dan dihubungkan dengan masjid dan sebuah sekolahan dalam satu komplek yang sangat indah. Bangunan ini ia dirikan pada tahun 1284 M.
IV. KEHANCURN
Dinasti Mamalik juga mengalami pasang surut, setelah mengalami kemajuan diberbagai bidang, Dinasti ini juga mengalami masa suram dan kemunduran dan akhirnya masa kehancuran. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan lemah dan kehancurannya ialah:
A. Perebutan kekuasaan
Di masa pemerintahan Baybars, keadaan Dinasti Mamalik relatif stabil sehingga kemajuan di berbagai bidang sangat pesat. Sejak mula berdirinya Dinasti ini bercorak oligarki militer. Sultan dipilih bukan atas keturunan, tetapi atas prestasi militer yang gemilang. Namun setelah pemerintahan qalawun, sultan kedelapan (1279-1290 M), terjadi perubahan drastis. Qalawun memulai pergantian sultan berdasarkan secara turun temurun dan tidak lagi memberikan kesempatan pada pihak militer untuk memilih sultan sebagai pemimpin mereka. Hal ini terjadi antara Qalawun dan keturunannya dengan pihak militer.
Selain merubah sistem pergantian sultan, Qalawun juga menyisihkan kelompok Mamluk al-Bahr. Di masanya jumlah mamluk al-Bahr di militer semakin berkurang, karena ia mendatangkan budak-budak dari sirkasia untuk memperkuat kedudukannya. Budak-budak ini dikenal dengan nama Mamluk al-Burji, karena mereka dulunya ditempatkan di benteng-benteng. Semenjak itu tergeserlah kedudukan Mamluk al-Bahr di pemerintahan. Lalu Qalawun mewariskan kesultanan ini sampai empat generasi.
Sistem yang diterapkan ini, ternyata membawa kericuhan dalam pemerintahan. Al-Nasir ibn Qlawun yang mulai memerintah pada tahun 1293 M. Mengalami dua kali turun tahta karena perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Adil Zain al-Din kitbugha dan al-Mansur Susamuddin Lajin. Selanjutnya pada tahun 1382 M. Barquq al-Zahir Saif al-Din dari Mamluk al-Burj merebut kekuasaan dari tangan Shalih al-din al-Haji, sultan terakhir keturunan Qalawun. Sejak itulah tidak menerapkan sistem pergantian sultan secara turun temurun. Maka, mulailah periode Mamluk al-Burj.
Meskipun para sultan Mamluk al-Burj kembali menerapkan suksesi secara demokratis, seperti semula. Namun, kecakapan dan kemampuan mereka dalam memimpin tidak sepiawai kepemimpinan Mamluk al-Bahr, Khususnya qutuz dan Baybars. Kelemahan para sultan ini dimanfaatkan oleh para Amir untuk memperkuat posisi mereka di pemerintahan. Di antara para Amir terjadi persaingan yang tidak sehat. Keadaan ini semakin parah dan pada gilirannya membawa kelemahan dan kehancuran Dinasti ini.
B. Kemewahan dan Budaya Korupsi
Sejak pemerintahan al-Nasir, pola hidup mewah telah menjalar dan merebak dikalangan istana, bahkan dikalangan para Amir. Hal ini membuat keuangan negara menjadi merosot. Untuk mengatasi hal ini maka pajak dinaikan, sehingga rakyat merasa terbebani berat dan menderita. Selain pungutan pajak yang tinggi, para pedagangpun semakin dipersulit. Komoditi utama dari Mesir yang selama ini diperjualkan secara bebas oleh petani, akhirnya diambil alih oleh para sultan dan keuntungan digunakan untuk berfoya-foya.
C. Merosotnya Perekonomian
Sikap penguasa Mamalik yang memeras para pedagang dan membelenggu kebebasan petani, menyebabkan lunturnya gairah dan semangat kerja mereka. Selain dari pada itu, sejak Vasco da Gama menemukan tanjung harapan di tahun 1498, jalur perdagngan berpindah dari Kairo ke tanjung Harapan itu, dan tidak lagi melalui Mesir. Hal ini berdampak sangat besar dalam devisa negara dan selanjutnya melumpuhkan perekonomian.
D. Serangan dari Turki
Penyebab langsung runtuhnya Dinasti mamalik adalah terjadinya penyerangan dan peperangan dengan tentara Turki Usmani yang terjadi dua kali. Di tahun 1516 M, terjadi peperangan di Aleppo yang berakhir dengan kekalahan total pada pihak tentara Mamalik.
Perselisihan dengan pihak Turki Usmani berawal dari tindakan sultan Qait Bay pada tahun 1469 M. Melindungi Jem, saudara Bayazid II sultan Turki Usmani, yang mealrikan diri dari Turki setelah gagal melakukan kudeta untuk menduduki jabatan sultan. Perlakuan sultan Mamalik ini menimbulkan kemarahan serta dendam dipihak sultan Turki Usmani.
Dendam sultan Bayazid II ditebus oleh puteranya, sultan salim I. Ia menyiapkan suatu angkatan perang untuk menggempur Dinasti Mamalik. Maka terjadilah pertempuran sengit antara keduanya. Pihak Mamalik mengalami kekalahan karena pemegang strategi perangnya berkhianat, yaitu Amir Aleppo, Khair Ray.
Setelah mengalami kemenangan di Aleppo, pasukan Turki Usmani melanjutkan penjarahannya ke Mesir. Untuk kedua kalinya terjadilah pertempuran yang sengit antara tentara Turki Usmani dan tentara Mamalik pada tanggal 22 Januari 1517 M. Tentara Mamalik harus mengakui keunggulan pasukan Turki Usmani. Ini terjadi pada masa sultan Tuman Ray II (1516-1517), sultan Mamalik yang terakhir. Dengan kekalahan ini maka hancurlah Dinasti Mamalik di Mesir.
V. KESIMPULN
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dinasti Mamalik adalah Dinasti yang mempunyai corak yang unik, karena didirikan oleh para budak yang terdidik dan terlatih yang mampu memimpin selama dua setengah abad
2. Sistem suksesi yang berdasarkan atas oligarki militer mampu mempertahankan kekuasaan Dinasti Mamalik begitu lama.
3. Kemenangan Dinasti Mamalik atas tentara Mongol merupakan dorongan yang kuat bagi bangkitnya umat Islam di wilayah alin, dan jatuhnya mitos pasukan Mongol tak terkalahkan.
4. Keberadaan Dinasti Mamalik memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kelangsungan negara-negara Islam dan kebudayaannya, khususnya di Mesir dan Syiria.
PEMBENTUKAN, KEMAJUAN, DAN KEHANCURAN
I. Pendahuluan
Serangan Hulagu yang membumihanguskan pusat peradaban Islam di Bagdad, sehingga tamatlah riwayat khilafah Islam di Bagdad. Jika ada negeri Islam yang selamatdari kehancuran akibat serangan bangsa mongol, baik serangan Hulagu dan Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu di bawah kekuasan Dinasti Mamalik.
Dinasti Mamalik di Mesir adalah sebuah dinasti yang mempunyai corak tersendiri dan cukup unik. Karena Dinasti ini berdiri atas kesatuan dan persatuan para budak yang terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa, bahkan dapat membentuk suatu pemerintahan oligarki di suatu negarayang bukan tumpah darah mereka. Mereka mampu bertahan selama dua setengah abad dalam memimpin suatu Dinasti.
Dinasti Mamalik di mesir mulai bangkit bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan di Bagdad dan kemunduran kekuasan Islam di Spanyol. Oleh karena itu, perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam dinasti ini cukup pesat.
Di dalam makalah ini dibahas proses pembentukan Dinasti Mamalik di Mesir beserta kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Sebagai kelanjutannya di bahas pula kehancuran Dinasti ini.
II. PEMBENTUKAN
Mamalik adalah bentuk plural dari Mamluk yang berarti budak. Kaum Mamalik adalah para imigran di Mesir. Pada mulanya adalah para budak yang didatangkan dari daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Pada masa pemerintahan Ayyubiyah mereka ditempatkan di barak-barak militer pulau Raudah di sungai Nil untuk dilatih dan dididik, baik dalam bidang militer maupun keagamaan. Karena pusat latihan dan pendidikan mereka bertempat dekat dengan sungai Nil, yang juga disebut Bahr yang berarti laut. Oleh karena itu, mereka disebut al-Mamalik al-Bahryun atau Mamluk Bahr yang berkuasa pada tahun (1250-1390 M). Sedangkan mereka yang ditempatkan di benteng-benteng istana di kota Kairo disebut al-Mamalik al-Burjiyun, yang melanjutkan kekuasaan Dinasti Mamalik pada tahun (1382-1517 M).
Terbentuknya Dinasti Mamalik di Mesir tidak dapat dipisahkan dari Dinasti Ayyubiyah. Ketika terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan antara al-Malik Adil Syaifuddin dengan saudaranya al-Malik al-Shalih Najmuddin, tentara yang berasal dari suku Kurdi memihak pada al-Malik Adil. Sedangkan tentara yang bergabung dalam Mamluk al-Bahr mendukung al-Malik al-Shalih. Akhirnya al-Malik Shalih dapat menduduki singgasana sebagai sultan Dinasti Ayyubiyah pada tahun 1240-1249. sejak masa itu kaum Mamalik mempunyai pengaruh besar dalam kemilteran dan pemerintahan, karena mereka menjadi ajudan sultan.
Al-Malik al Shalih menempatkan para Mamluk pada kelompok elite yang terpisah dari masyarakat dan satuan-satuan militer lainnya. Kehadiran Mamalik merupakan pilar dalam berlangsungnya kekuasaan al-Malik al-shalih, sedangkan keistimewaan yang diberikannya kepada kaum Mamalik itu, memberikan kemudahan bagi mereka dalam peningkatan karir dalam pemerintahan.
Al-Malik al-Shalih mangkat pada tanggal 23 November 1249 M. Kematiannya dirahasiakan oleh istrinya yang bernama Syarajat al-Durr yang berasal dari budak, untuk meredam kekacauan yang timbul akibat berita kematian itudan menunggu putera mahkota Turansyah yang datang dari Messopotamia. Setelah Turansyah memegang tampuk kekuasaan terjadi keguncangan pada kaum Mamalik, karena eksistensi mereka pada pemerintahan mulai goyah. Hal ini disebabkan karena Turansyah bukanlah orang yang dekat dengan mereka. Ia lebih cenderung pada pengawal dari Kurdi yang merupakan saingan kaum Mamalik dan dia tidak banyak mengetahui tentara Mesir, karena ia lama bermukim di jazirah Efrat. Mamluk al-Bahr berusaha memperkuat diri di bawah pimpinan Baybars dan Aybak. Pada tahun 1250 M. Mereka berhasil merebut kekuasaan dari al-Malik al-Muazzam Turansyah dengan membunuhnya. Diangkatlah Syajarat al-Durr sebagai sultan (wanita) mereka. Dari sini terbentuklah Dinasti Mamalik di Mesir yang dipimipin oleh seorang budak dan tamatlah riwayat Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Para Budak mengangkat Syajarat al-Durr sebagai sultan mereka yang pertama, karena ia berdarah budak yang sudah dimerdekakan setelah melahirkan seorang putera darial-Malik al-shalih, juga dengan harapan akan tetap membela kepentingan kaum Mamalik. Di samping itu juga dimaksud untuk meredam persaingan dikalangan pemimpn Mamluk yang berambisi menjadi sultan, seperti Aybak, Baybars, dan qutuz. Dengan demikian tidak melemahkan kekuasan Dinasti yang baru tumbuh itu. Akhirnya Baybars dan sejumlah pengikutnya berangkat ke Syiria, karena kegagalannya menduduki jabatan sultan, sementara Aybak dan Qutuz tetap tinggal di Mesir.
Syajarat al-Durr adalah satu-satunya sultan dari kalangan wanita yang memimpin Dinasti dalam dunia Islam yang mengatur daerah Afrika bagian Utara dan Asia Barat. Dia mencetak mata uang atas namanya dan namanya disebut di khotbah Jumat. Untuk mengendalikan tugas-tugas pemerintahan Aybak terpilih sebagai wakilnya atas kesepakatan para Amir. Tampaknya Aybak tidak puas dengan kedudukannya. Oleh karena itu, ia kawini Syajarat al-Durr dan bertindak sebagai sultan dengan gelar al-Muizz Izzuddin Aybak yang berkuasa tahun 1250-1257 M.
Aybak kemudian ingin menyingkirkan Syajarat al-Durr. Akan tetapi, sultan wanita ini tidak kalah waspada. Ia bunuh suaminya itu di kamar mandi. Namua, Syajarat al-Durr kemudian tewas pula dibunuh oleh para pendukung Aybak. Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan Nuruddin Ali, putera Aybak yang masih muda usia. Secara praktis yang memegang kendali kekuasaan adalah Qutuz, salah seorang tokoh Mamluk yang terkenal dan bertindak sebagai wakil sultan. Nuruddin Ali setelah memerintah selama dua tahun (1257-1259 M) mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan sendirinya Qutuz menggantikan posisi Nuroddin Ali. Pada masa ini Baybar Tokoh Mamalik kembali ke Mesir dengan pendukungnya. Hal ini disambut baik oleh Qutuz.
Di masa Qutuz, Dinasti Mamalik mendapat ancaman serangan dari Mongol. Tentara Mongol setelah menghancurkan Bagdad kemudian menyerbu daerah sungai Eufrat menuju Syiria. Selanjutnya melintasi Sinai menuju Mesir. Pada awal tahun 1260 M. Mongol sudah menduduki Nablus dan Gaza tanpa ada perlawanan yang berarti dari penduduk setempat. Sebelum menyerbu Mesir, tentara Mongol yang dipimpin Kitabugha mengirim utusan kepada Qutuz meminta agara ia menyerah kepada Hulagu di Bagdad. Qutuz menolaknya, bahkan membunuh utusannya. Untuk memperkuat dirinya, Qutuz meminta bantuan pada pihak Prancis yang menguasai jalur Palestina, agar mengirimkan bantuan militer, logistik dan memberi izin untuk menggunakan jalur sekitar Palestina. Prancis menolak memberikan bantuan militer, tetapi mengabulkan permintaan Qutuz yang lainnya.
Kemudian sultan Qutuz dengan dibantu oleh Baybars membawa pasukannya ke wilayah kekuasaan Prancis. Mereka bergerak ke Utara sepanjang pantai Palestina dan membentuk kamp di daerah Acre. Hal ini dilakukan untuk menghadang musuh di daerah itu. Strategi ini membawa keuntungan bagi pihak pasukan Qutuz. Yaitu, tentara Mamalik dapat mengadakan serangan mendadak karena kedatangan mereka di tempat ini tidak diduga oleh tentara Mongol. Apabila pasukan Mamalik kalah, Prancis tidak tinggal diam, sebab mongol akan menjarah ke dalam wilayah Prancis, lebih-lebih sebelumnya mongol membujuk Prancis untuk bergabung dengan mereka, tetapi ditolak oleh Prancis.
Tentara mongol yang diperkuat oleh orang-orang Armenia dan Georgia melintasi Yordania menuju Galile. Mendenga mongol bergerak ke arah Galile, pasukan Mamalik di bawah komando Qutuz dan Baybars bergerak ke tenggara menghadang tentara Mongol di Ain Jalut. Kedua pasukan bertemu dan berperang, dalam pertempuran ini tentara Mamalik dapat mengalahkan pasukan Mongol. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1260 M. Kemenangan Mamalik melawan Mongol ini membangkitkan semangat umat Islam di wilayah-wilayah lainnya untuk melawan tentara Mongol. Dinasti Mamalik mempunyai prestise yang tinggi di dunia Islam dengan mengalahkan Mongol, sehingga penguasa-penguasa di Syiria ketika itu menyatakan kesetiaannya kepada Dinasti ini.
III. KEMAJUN
Baybars dinobatkan sebagai sultan setelah meninggalnya Qutuz. Baybars memerintah pada tahun 1260-1277 M. Masa yang cukup panjang dalam memerintah dan kecakapannya dalam mengatur strategi pemerintahan, membuat Baybars mampu mengantarkan Dinasti ini mencapai kejayaannya. Menurut K. Hitti, Baybars al-Bunduqdari dianggap sebagai pembangun hakiki Dinasti Mamalik dan sebagai sultan yang terbesar.
Bidang-bidang yang mengalami kemajuan dalam Dinasti ini antara lain:
A. Bidang kemitraan dan pemerintahan
Baybars mengadakan konsolidasi dengan mantap dibidang kemiliteran dan pemerintahan. Hal ini untuk menangkis ancaman-ancaman dari dalam maupun dari luar. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan ia berikan kepada anggota militer yang berprestasi. Ia tahu bahwa pendukungnya yang mayoritas Sunni menginginkan agar ia mendapat legitimasi dari khalifah. Untuk itu, Baybars melakukan baiat terhadap al-Mustanshir, khalifah keturunan Bani Abbas yang berhasil lolos dari pembantaian Hulagu, karena ia dan keluarganya melarikan diri ke Syiria dan mendapat perlindungan di sana. Al-Mustanshir memberikan legitimasi kepada Baybars untuk menjadi sultan. Bahkan, ia diberi hak kekuasaan atas daerah Mesir, Syiria, Hijaz, Yaman dan lembah sungai Eufrat. Baiat ini mengundang simpati rakyat dan penguasa Islam lainnya. Baybars juga mengikuti jejak Dinasti Ayyubiyah, yaitu menghidupkan golongan Sunni. Ini semakin memperkokoh kedudukannyadi kalangan rakyat yang mayoritas bermazhab Sunni.
Baybars juga membuka hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Diperbaharuinya hubungan dengan Konstantinopel, hubungan dengan Sisilia, bahkan raja Sicilia Charles Anjou sampai mengirimkan hadiah kepadanya sebagai tanda persahabatan.
Dalam lapangan militer, Baybars diakui sebagai panglima yang tangguh. Ia gunakan sebagian masa jabatannya untuk menghancurkan sebagian besar kekuatan Salib di sepanjang pantai laut Tengah. Pemberontakan kaum Assasin di pegunungan Syiria dapat dilumpuhkannya. Nubia dan sepanjang pantai laut Merah di peranginya, bahkan kapal-kapal Mongol di Anatolia diserangnya pula. Semangat yang membaja ini ditimbulkan oleh kemenangannya pada peristiwa di ain Jalut.
B. Bidang ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh Dinasti Mamalik melalui sektor perdagngan dan pertanian. Di sektor perdagangan, pemerintah memperluas hubungan dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad, kota Kairo merupakan kota strategis dan pennting bagi bagi perdagangan. Karena jalur perdagangan dari asia Tengah dan Teluk Persia melalui Bgadad ke Barat menjadi lumpuh. Dengan demikian jalur perdagangan dari laut Merah dan laut Tengah ke Barat pindah ke Kairo. Hal ini menyebabkan melimpahnya devisa negara dari sektor perdagangan.
Dalam sektor pertanian, pemerintah membangun sebuah kanal untuk kirigasi pertanian, kanal tersebut dibangun dari kota Alexanderia sampai sungai Nil pada tahun 1311 M. Dengan demikian mendukung hasil devisa negara dari sektor pertanian.
C. Bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Serangan Mongol di Bagdad, menyebabkan kehancuran peradaban dan ilmu pengetahuan di sana. Hal ini menyebabkan banyaknya para ilmuan yang pindah dan melarikan diri ke Mesir serta menetap di sana. Mesir yang dikenal sebagai pusat peradaban sejak awal, maka tidaklah sulit untuk pengemabngan ilmu dan kebudayaan. Terlebih lagi para sultan Dinasti ini memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan tersebut.
Ilmu pengetahuan yang berkembang di masa Dinasti ini ditandai munculnya para ilmuan dan ulama terkemuka dalam bidang sejarah, kedokteran, astronomi, matematika dan alin-lainnya. Di masa ini munculnya sejarawan ulung seperti, Ibnu Khlaikan yang mengarang buku Wafayat al-A’yun wa Anba Zaman, dan juga tokoh sejarawan lainnya, seperti Abu al-Fida dan Ibnu Taghri Birdi. Di dalam bidang Astronomi dikenal nama Nasir al-Din Tusi dan seorang tokoh sufi yang kenamaan. Dalam bidang kedokteran muncul Ibnu al-Nafis, ia dikenal sebagai penemu susunan peredaran darah dalam paru-paru dan jantung. Tokoh kedokteran lainnya seperti, al-juma’i penulis buku al-Irsyad li Mashalih al-anfus wa al-Ajsad. Ibnu Abi Mahasin dan Shalah al-Din Yusuf mengembangkan opthalmologi.
Dalam bidang keagamaan muncul tokoh Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai reformer pemikiran Islam dan bermazhab Hambali. Muncul pula Suyuti pengarang buku al-Itqan fi Ulum al-Quran, dan Ibnu Hajar al-Asqalani yang termasyhur dalam bidang hadis. Selain itu berdiri pula bangunan dan arsitektur, seperti sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang sangat indah.
Sejak masa pemerintahan Qalawun (1279-1290) para sultan Mamalik telah berjasa memperindah bangunan dengan batu-batu banteng, batu kapur dan batu api yang diambil dari dataran tinggi Mesir. Qawalun juga mendirikan sebuah rumah sakit yang indah dan dihubungkan dengan masjid dan sebuah sekolahan dalam satu komplek yang sangat indah. Bangunan ini ia dirikan pada tahun 1284 M.
IV. KEHANCURN
Dinasti Mamalik juga mengalami pasang surut, setelah mengalami kemajuan diberbagai bidang, Dinasti ini juga mengalami masa suram dan kemunduran dan akhirnya masa kehancuran. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan lemah dan kehancurannya ialah:
A. Perebutan kekuasaan
Di masa pemerintahan Baybars, keadaan Dinasti Mamalik relatif stabil sehingga kemajuan di berbagai bidang sangat pesat. Sejak mula berdirinya Dinasti ini bercorak oligarki militer. Sultan dipilih bukan atas keturunan, tetapi atas prestasi militer yang gemilang. Namun setelah pemerintahan qalawun, sultan kedelapan (1279-1290 M), terjadi perubahan drastis. Qalawun memulai pergantian sultan berdasarkan secara turun temurun dan tidak lagi memberikan kesempatan pada pihak militer untuk memilih sultan sebagai pemimpin mereka. Hal ini terjadi antara Qalawun dan keturunannya dengan pihak militer.
Selain merubah sistem pergantian sultan, Qalawun juga menyisihkan kelompok Mamluk al-Bahr. Di masanya jumlah mamluk al-Bahr di militer semakin berkurang, karena ia mendatangkan budak-budak dari sirkasia untuk memperkuat kedudukannya. Budak-budak ini dikenal dengan nama Mamluk al-Burji, karena mereka dulunya ditempatkan di benteng-benteng. Semenjak itu tergeserlah kedudukan Mamluk al-Bahr di pemerintahan. Lalu Qalawun mewariskan kesultanan ini sampai empat generasi.
Sistem yang diterapkan ini, ternyata membawa kericuhan dalam pemerintahan. Al-Nasir ibn Qlawun yang mulai memerintah pada tahun 1293 M. Mengalami dua kali turun tahta karena perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Adil Zain al-Din kitbugha dan al-Mansur Susamuddin Lajin. Selanjutnya pada tahun 1382 M. Barquq al-Zahir Saif al-Din dari Mamluk al-Burj merebut kekuasaan dari tangan Shalih al-din al-Haji, sultan terakhir keturunan Qalawun. Sejak itulah tidak menerapkan sistem pergantian sultan secara turun temurun. Maka, mulailah periode Mamluk al-Burj.
Meskipun para sultan Mamluk al-Burj kembali menerapkan suksesi secara demokratis, seperti semula. Namun, kecakapan dan kemampuan mereka dalam memimpin tidak sepiawai kepemimpinan Mamluk al-Bahr, Khususnya qutuz dan Baybars. Kelemahan para sultan ini dimanfaatkan oleh para Amir untuk memperkuat posisi mereka di pemerintahan. Di antara para Amir terjadi persaingan yang tidak sehat. Keadaan ini semakin parah dan pada gilirannya membawa kelemahan dan kehancuran Dinasti ini.
B. Kemewahan dan Budaya Korupsi
Sejak pemerintahan al-Nasir, pola hidup mewah telah menjalar dan merebak dikalangan istana, bahkan dikalangan para Amir. Hal ini membuat keuangan negara menjadi merosot. Untuk mengatasi hal ini maka pajak dinaikan, sehingga rakyat merasa terbebani berat dan menderita. Selain pungutan pajak yang tinggi, para pedagangpun semakin dipersulit. Komoditi utama dari Mesir yang selama ini diperjualkan secara bebas oleh petani, akhirnya diambil alih oleh para sultan dan keuntungan digunakan untuk berfoya-foya.
C. Merosotnya Perekonomian
Sikap penguasa Mamalik yang memeras para pedagang dan membelenggu kebebasan petani, menyebabkan lunturnya gairah dan semangat kerja mereka. Selain dari pada itu, sejak Vasco da Gama menemukan tanjung harapan di tahun 1498, jalur perdagngan berpindah dari Kairo ke tanjung Harapan itu, dan tidak lagi melalui Mesir. Hal ini berdampak sangat besar dalam devisa negara dan selanjutnya melumpuhkan perekonomian.
D. Serangan dari Turki
Penyebab langsung runtuhnya Dinasti mamalik adalah terjadinya penyerangan dan peperangan dengan tentara Turki Usmani yang terjadi dua kali. Di tahun 1516 M, terjadi peperangan di Aleppo yang berakhir dengan kekalahan total pada pihak tentara Mamalik.
Perselisihan dengan pihak Turki Usmani berawal dari tindakan sultan Qait Bay pada tahun 1469 M. Melindungi Jem, saudara Bayazid II sultan Turki Usmani, yang mealrikan diri dari Turki setelah gagal melakukan kudeta untuk menduduki jabatan sultan. Perlakuan sultan Mamalik ini menimbulkan kemarahan serta dendam dipihak sultan Turki Usmani.
Dendam sultan Bayazid II ditebus oleh puteranya, sultan salim I. Ia menyiapkan suatu angkatan perang untuk menggempur Dinasti Mamalik. Maka terjadilah pertempuran sengit antara keduanya. Pihak Mamalik mengalami kekalahan karena pemegang strategi perangnya berkhianat, yaitu Amir Aleppo, Khair Ray.
Setelah mengalami kemenangan di Aleppo, pasukan Turki Usmani melanjutkan penjarahannya ke Mesir. Untuk kedua kalinya terjadilah pertempuran yang sengit antara tentara Turki Usmani dan tentara Mamalik pada tanggal 22 Januari 1517 M. Tentara Mamalik harus mengakui keunggulan pasukan Turki Usmani. Ini terjadi pada masa sultan Tuman Ray II (1516-1517), sultan Mamalik yang terakhir. Dengan kekalahan ini maka hancurlah Dinasti Mamalik di Mesir.
V. KESIMPULN
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dinasti Mamalik adalah Dinasti yang mempunyai corak yang unik, karena didirikan oleh para budak yang terdidik dan terlatih yang mampu memimpin selama dua setengah abad
2. Sistem suksesi yang berdasarkan atas oligarki militer mampu mempertahankan kekuasaan Dinasti Mamalik begitu lama.
3. Kemenangan Dinasti Mamalik atas tentara Mongol merupakan dorongan yang kuat bagi bangkitnya umat Islam di wilayah alin, dan jatuhnya mitos pasukan Mongol tak terkalahkan.
4. Keberadaan Dinasti Mamalik memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kelangsungan negara-negara Islam dan kebudayaannya, khususnya di Mesir dan Syiria.
Perkembangan dan Kemajuan Islam di Andalusia
A. Proses Berdirinya Kekhalifahan Bani Umayah II di Andalusia
Untuk menjelaskan proses pembentukan dinasti Bani Umayah II di Andalusia, ada rangkaian peristiwa penting yang harus digambarkan di sini, yaitu peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari para wali ke tangan para Amir yang disebut dengan periode keamiran hingga terbentuknya sistem khilafah saat itu. Dari situlah mulai dikenal khilafah Bani Umayah II.
Amir pertama yang berhasil menguasai Andalusia adalah Abdurrah-man al-Dakhil, salah seorang cucu Abdul Malik Ibn Marwan yang berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan Abu Abbas al-Saffah. Melalui rute yang tidak biasa dialalui, akhirnya ia berhasil memasuki wilayah Palestina, terus ke Mesir, Afrika Utara hingga tiba di Ceuta (Septah). Di wilayah inilah ia mendapat bantuan dari bangsa Barbar dan menyusun kekuatan militer guna menyelesaikan konflik etnik politik antara bangsa Arab Mudhariyah dengan Himyariyah di Andalusia.
Abdurrahman diminta oleh pihak Arab Himyariyah untuk mem¬ban-tu merencanakan dan melaksanakan pemberontakan terhadap kelompok Mudhariyah. Gubernur Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry, yang mewakili ke¬lompok Arab Mudhariyah, menindas kelompok Arab Himyariyah. Sebe-lum melancarkan serangan, Abdurrahman mengutus orang keper¬ca¬ya¬an¬nya bernama Badar untuk mencari tahu tentang perkembangan terakhir yang terjadi. Utusan itu diterima dengan baik oleh kabilah-kabilah Arab ka¬re¬na ia merupakan utusan dari keturunan Bani Umayah yang pernah ber¬kuasa di Damaskus. Badar memperoleh informasi mengenai perkembangan politik mutakhir yang terjadi di Andalusia. Berita inilah yang kemudian ia sampaikan kepada Abdurrahman al-Dakhil. Dari data dna informasi yang dikumpulkan, akhirnya Abdurrahman dan para pendukungnya memasuki wilayah Andalusia pada tahun 755 M. dan memenangkan peperangan di Massarat pada tahun itu juga, sehingga ia menduduki tahta kekuasaan Andalusia sebagai bagian dari kekuasaan dinasti Umayah di Andalusia, yang saat itu telah hancur dikalahkan oleh kekuatan Bani Abbas.
Kedatangan Abdurrahman al-Dakhil dan para pendukungnya mem-buat marah Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry. Karena ia dianggap penen-tang dan mengancam kekuasaanya di Andalusia. Kedatangan mereka ke An¬dalusia ini tidak dianggap remah oleh Yusuf. Dengan berbagai cara, Yusuf mencoba mengusir Abdurrahman al-Dakhil keluar dari Andalusia. Sikap dan perbuatan Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry ini menimbulkan kemarahan Abdurrahma al-Dakhil dan para pendukungnya. Sehingga kelompok Abdurrahman melakukan serangan atas kekuasaan Yusuf di Cordova pada tahun 139 H/758 M. Kemenangan ini membawa harum nama Abdurrahman al-Dakhil. Sejak saat itulah ia mendirikan kekuasaan Islam di Andalusia, sebagai bagian dari kepanjangan kekuasaan Bani Umayah yang telah dihancurkan Bani Abbas pada tahun 132 H/750 M.
Sejak menjabat sebagai penguasa Islam di Andalusia, Abdurrahman menghadapi berbagai gerakan pemberontakan internal. Gangguan pihak luar terbesar adalah serbuan pasukan Papin, seorang raja Perancis dan puteranya yang bernaa Charlemagne. Namun pasukan penggangu ini dapat dikalahkan oleh kekuatan Abdurrahman al-Dakhil. Hanya saja, sebelum usai tugasnya menghancurkan kekuatan musuh dan memantapkan ke¬kuasannya di Andalusia, ia keburu meninggal pada tahun 172 H/788 M
Meninggalnya Abdurrahman al-Dakhil tidak menyurutkan niat ge¬ne-rasi penerusnya untuk tetap mempertahnkan kekuasaan. Posisi Ab¬dur-rahman al-Dakhil digantikan oleh puteranya, yaitu Hisyam I (172-180 H/ 788-796 M). Dalam catatan sejarah, Hisyam I dikenal sebagai seorang Amir yang lemah lembut dan administratur yang liberal. Semasa ia menjabat, banyak pemberontakan terjadi, di antaranya adalah pembe¬ron¬takan di To-ledo yang dilakukan oleh dua orang saudaranya, yaitu Abdullah dan Sulaiman. Pemberontakan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Usai mengatasi gerakan pemberontakan tersebut, Hisyam melancarkan serangan ke bagian utara Andalusia. Di sini terdapat kelompok Kristen yang sering-kali mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintahannya. Kota Nore-bonne dapat dikuasai, sementara suku-suku yang tinggal di Galicia meng-ajukan perundingan perdamaian.
Di antara sifat kepemimpinan Hisyam adalah bijaksana dan lemah lem¬but. Ia terus melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejah¬te¬ra-an rakyatnya. Hampir setiap malam ia melakukan inspeksi ke pemu¬kim¬an-pemukiman penduduk. Mengunjungi orang yang sedang sakit, dan mem-bantu mereka dengan materi atau uang yang mereka butuhkan. Hal itu dilakukan karena ia ingin mendengar dan melihat sendiri nasib yang se-dang diderita rakyatnya. Meskipun tampak kelihatan lemah lembut, ada sifat tegas tersembunyi di dalamnya, terutama kepada para pemberontak dan perusuh negara. Sifat ini dibawa hinggal ajalnya tiba pada 207 H/796 M
Sepeninggal Hisyam I, posisi kekuasannya digantikan oleh Hakam (180-207 H/796-822 M.). Selama masa kekuasannya, banyak terjadi gerakan pemberontakan, baik yang dilakukan oleh saudaranya, yaitu Abdullah yang mendapat dukungan militer dari Charlemagne dan berhasil menguasai Toledo. Sementara Sulaiman, dapat menguasai Valencia. Pada saat seperti itu, Louis dan Charles berhasil menyusup ke wilayah Islam, sedang Alfonso panglima suku Galicia, menyerang Aragon. Semua serangan tersebut dapat digagalkan oleh Hakam. Setelah itu, ia berusaha mengatasi gerakan pembe¬rontakan yang dilakukan kedua saudaranya, yaitu Abdullah dan Sulaiman.
Dalam situasi kritis itu, datang serangan bertubi dari bangsa Franka yang berhsil merebut Barcelona. Selain itu, Cordova juga tengah meng¬ha¬da-pi gerakan para pemberontak. Namun semua itu dapat diatasi oleh Hakam, sehingga di akhir masa kekuasanya, situasi menjadi aman dan stabil. Dari sini dapat diketahui bahwa selama 26 tahun Hakam berkuasa, selalu di-ganggu oleh gerakan para pemberontak yang tidak suka atas kepe¬mim¬pin-annya. Tapi, semua gerakan pemberontakan itu dapat diatasi dengan ke¬ku-atan dan jiwa kesatria Hakam.
Sepeninggal Hakam 207 H/822 M, kekuasaan jatuh ke tangan Ab-dur¬¬rah¬man II (207-238 M/822-852 M). Selama 30 tahun berkuasa, banyak pem¬bangunan dilakukannya. Ia beramisi membangun Cordova sebagai sa-ingan kota Bagdad, miliki Bani Abbas. Pada masanya juga terjadi per¬kem-bangan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya. Keadaan berbalik seperti semula ketika kekuasaan dipegang oleh Muhamad I (238-273 H/853-886 M).
Pada masa ini, banyak terjadi pemberontakan, baik dilakukan oleh Kristen Eropa maupun oleh pihak muslim sendiri. Gerakan pemberontakan ter¬be¬sar dan terlama dilakukan oleh Umar Ibn Hafsyun. Pemberontakan ini da¬pat diatasi oleh penguasa sesudah Munzir (273-275 H/886-888 M), yaitu Abdullah (275-300 H/888-912 M) di bawah panglima Obaydillah. Kondisi aman mulai terlihat sejak pemberontak Umar Ibn Hafsyun dikalahkan. Ab-dullah merupakan Amir terakhir sebelum berdirinya kakhalifahan Bani Umayah II diproklamirkan oleh Abdurrahman III.
Jadi, proses pembentukan pemerintahan Islam di Andalusia yang meng¬gunakan sistem khilafah, tidak berlangsung mulus. Banyak pembe-ron¬takan terjadi dan kendala yang dihadapi para penguasa saat itu. Kondisi itu baru teratasi dengan baik, sejak akhir masa kekuasaan Abdullah yang masih menggunakan sistem keamiran hingga masa awal pemerintahan khalifah Abdurrahman III.
B. Pendiri Bani Umayah II di Andalusia
Dalam catatan sejarah Islam, Abdurrahman al-Dakhil yang berhasil memasuki Andalusia pada tahun 755 M boleh dibilang peletak dasar dari pembentukan pembentukan dinasti Bani Umayah II di negeri itu, karena dia adalah generasi terakhir dari Bani Umayah yang masih tersisa. Hanya saja sistem pemerintahan yang dipergunakan saat itu berbeda dengan yang terdapat di Damaskus. Sistem yang dipakai Abdurrahman menggunakan gelar Amir, bukan khalifah. Karena gelar ini telah dipakai oleh Bani Abbas yang berkuasa di Bagdad menggantikan kekuasaan Bani Umayah. Hal itu terjadi karena pada saat itu yang Meskipun secara tidak menggunakan sistem pemerintahan dinasti Bani Umayah di Damaskus, yaitu khilafah.
Sejak berkahirnya masa keamiran, sistem yang dipakai dalam peme-rintahan Bani Umayah di Andalusia adalah sistem khilafah dan pengua-sanya disebut khalifah. Penggunaan sistem ini mulai berlaku sejak Abdurrahman III berkuasa ( 300-350 H/912-961 M) hingga Muhamad III (1023-1025 M). Sejak saat itu, terjadi konflik politik berkepanjangan yang menyebabkan terjadinya perpecahan di negeri itu. Hal ini ditandai dengan munculnya raja-raja kecil yang dikenal dengan istilah al-Muluk al-Thawaif, yang berkuasa di masing-masing daerah.
Pendiri dinasti Bani Umayah yang sebenarnya adalah Abdurahman III yang berkuasa selama 50 tahun ( 300-350 H/ 912-961 M). Abdurrahman III dengan tegas menggunakan sistem khilafah dalam pemerintahaannya, bukan keamiran.
C. Para Penguasa Bani Umayah II yang Menonjol
1. Abdurrahman al-Dakhil ( 138-172 H/757-788 M).
Meskipun Abdurrahman al- Dakhil adalah keturunan Bani Umayah
pertama yang menjadi penguasa dan pelangsung kekuasaan Bani Umayah di Andalusia, tapi ia bukan termasuk salah seorang khalifah Bani Umayah.
Karena gelar jabatan yang disandangnya bukan khalifah, melainkan Amir. Oleh karena itu, dalam jajaran kekhalifahan Bani Umayah di Andalusia dia dikenal sebagi perintis dan pembuka jalan bagi terbentuknya dinasti Bani Umayah II di Eropa. Penguasa Bani Umayah sebenarnya yang mengguna-kan gelar khalfah adalah Abdurrahman III yang berkuasa selama lebih kurang 50 tahun. Walau demikian, dalam catatan penting sejarah Islam, khususnya yang berkenaan dengan dinasti Bani Uyamayah II di Andalusia, ia dimasukkan sebagai salah seorang penguasa Bani Umayah yang paling menonjol, karena keberhasilannya membangun dasar-dasar dan pengem-bang¬an kekuasaan Islam di Eropa.
Setelah ia berhasil memasuki wilayah Spanyol dengan menunduk-kan penguasa Islam lokal bernama Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry tahun 758, Abdurrahman al-Dakhil melakukan berbagai rencana kegiatan untuk membangun kerajaan besar, sebagai penerus dari dinasti Bani Umayah yang pernah berkuasa di Damaskus, Syria. Langkah pertama yang dila-kukan untuk memperkuat posisinya adalah memperbaiki keadaan dalam negeri, baik dari segi politik, keamanan, ketertiban dan pem¬bangunan lainnya. Hampir selama masa kekuasaan, energinya dipergunakan untuk mempertahankan berbagai serangan yang datang, baik dari dalam wilayah kekuasaannya sendiri maupun dari luar. Misalnya, ancaman yang datang dari Abu Ja’far al-Mansur ( 137-159 H/754-775 M), seorang penguasa Bani Abbas kedua, yang bekerjasama dengan Karl Martel, penguasa Perancis, untuk menghancurkan kekuasaan Abdurrahman al-Dakhil. Selain itu, datang pula ancaman dari Peppin, ayah Karl Martel. Sekitar tahun 146 H, al-Mansur mengutus al-Ula beserta pasukannya untuk menyerang kekuasaan Abdurrahman, tetapi usaha tersebut mengalami kegagalan, karena kekuatan al-Ula dapat dipukul muncur oleh kekuatan Abdurrahman al-Dakhil.
Selain ancaman dan serangan tersebut di atas, sekitar tahun 160 H/775 M, datang serangan yang dilakukan oleh Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry, mantan penguasa Spanyol dan Sulaiman Ibn al-Araby. Mereka bekerjasama dengan Karl Martel untuk menggulingkan Abdurrahman. Akan tetapi usaha mereka lai-lagi mengalami kegagalan. Kemenangan ini membuat posisi Abdurrahman al-Dakhil semakin kuat, sehingga ia dapat melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sesuai yang direncana¬kan¬nya. Usaha pertama adalah pembangunan masjid Agung di Cordova, yaitu Masjid al-Hamra. Pembangunan itu dilanjutkan pada masa anaknya, yaitu Hisyam I (172-180 H/788-796 M).
Di samping membangun masjid, Abdurrahman al-Dakhil juga membangun gedung-gedung perguruan beserta lembaga-lembaga ilmiah, seperti Universitas Cordova yang sangat terkenal dan melahirkan banyak ilmuan muslim berkaliber dunia. Selain itu, ia juga membangun irigasi untuk keperluan pertanian, sehingga hampir semua ladang yang dulunya tidak ditanami, pada masa pemerinatahannya tumbuh berbagai tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Andalusia saat itu.
2. Hisyam Ibn Abdurrahman ( 172-180 H/788-796 M).
Sepeninggal Abdurrahman, pemerintahan dipegang oleh anaknya bernama Hisyam. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang saleh dan adil bijaksana. Masa pemerintahannya dipergunakan membangun dan mening-kat¬kan kesejahteraan hidup rakyatnya. Ia mempunyai perhatian besar ter-hadap rakyatnya yang miskin. Sehingga hampir seluruh lapisan ma¬sya¬ra-katnya merasakan hasil-hasil pembangunan yang dikerjakan pada masa pe-merinatahan Hisyam. Di antara usaha pembanguan yang dila¬kukannya ada¬lah sebagai berikut :
a. Bidang Pendidikan.
Di antara jasanya yang paling besar adalah mempergiat perkem-bangan ilmu pengetahuan dan penelitian serta perluasan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan budaya serta bahasa percakapan sehari-hari. Sehingga lambat laun bahasa Arab mengalahkan bahasa Latin dalam berbagaia kegiatan di semenanjung Iberia itu.
b. Bidang Pembangunan Fisik
Pada masa pemerintahannya, Hisyam I berhasil merampungkan pembangunan masjid al-Hamra di Cordova, sehigga menjadi sebuah masjid megah dan mempersona banyak orang. Masjid itu tidak hanya diper¬gu¬na¬kan sebagai tempat ibadah, juga untuk lembaga pendidikan. Selain itu, ia juga memperluas bangunan irigasi untuk pertanian dan pembangunan saluran air ke berbagai kota di Andalusia.
c. Bidang Hukum
Di masa pemerintahan Hisyam I, mulai berkembang mazhab Maliki. Mazhab hukum Islam itu dibawa dan dikembangkan di Andalusia oleh para pengikutnya yang mendapat perlindungan Hisyam I. Dalam masalah penegakkan hukum, Hisyam I ikut memberikan dorongan agar semua hak-hak seseorang diperhatikan dengan baik dan dilindungi. Karena keadilan dan ketertiban yang ada, maka masa pemerintahan Hisyam I yang hanya berlangusng 7 tahun 7 bulan, berjalan dengan baik hingga ia meninggal dunia pada tahun 180 H/796 M.
3. Abdurrahman II ( al-Awsath, 206-238 H/ 822-852 M)
Dalam usia 31 tahun, al-Awsath telah menerima jabatan sebagai se-orang Amir ( penguasa) Islam di Andalusia, menggantikan posisi ayahnya. Berbeda dengan sikap dan kebijakan ayahnya, al-Hakam. Al-Hakam tidak berlaku adil, kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat, sehingga ia sangat dibenci. Sementara al-Awsath disukai, karena kebijakannya yang me¬mihak masyarakat dan sikapnya yang tega dan berani, terutama dalam mengatasi brbagai pebetontakan yang ada.
Selama masa pemerintahannya yang berlangsung lebih kurang 31 tahun, banyak usaha yang telah dilakukan. Di antara usaha itu adalah sebagaia berikut:
a. Politik dalam Negeri.
1. Mengatasi Pemberontakan.
Usaha pertama yang dilakukannya dalah memadamkan pem¬be-rontakan yang terjadi di dalam negeri. Setelah terkendalinya ke-adaan, dan situasi politik dalam negeri mulai stabil, ia berusaha keras untuk melakukan pembangunan dalam berbagai bidang. Sehingga negara menjadi makmur.
2. Membangun Masjid dan Memperindah Kota
Dalam masa pemerintahannya, Abdurrahman II berhasil membangun kota dan daerah Lusitania, Murcia, Valencia, Castile dan kota-kota lainnya. Kota –kota tersebut dipeindah dengan bangunan-bangunan umum, seperti masjid-masjid besar, perpustakaan dan lain-lain, termasuk pembangunan pabrik senjata di Cartagena dan Cadiz.
3. Memajukan Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Abdurrahman al-Awsath, banyak lahir ilmuan muslim dan para filosuf kenamaan. Ia membangkitkan gairah keilmuan para intelektual untuk terus melakukan kajian keilmuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan peradaban lainnya. Untuk kepentingan itu, ia banyak membangun sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang dilengkapi perpustakaan.
4. Kebebasan Beragama
salah satu kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerin¬tahan-nya adalah kebebasan beragama. Umat Kristen dan umat non mus¬lim lainnya diberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Antara satu agama dengan pemeluk agama lain tidak dibenarkan memakasakan kehendak dan ajar-annya kepada pemeluk agama lain. Kebijakan dan toleransi beragama ini pada akhirnya berdampak positif, karena banyak penganut agama lain memeluk Islam.
b. Politik Luar Negeri
Sekitar tahun 808 M terjadi serangan besar-besaran Raja Alfonso II da-ri kerajaan Lyon ke wilayah kekuasaan Abdurrahman II, sehingga beberapa wilayah kekuasaan Abdurrahman di Andalusia berhasil dikuasai, misalnya kota pelabuhan Porto. Keberhasilan tentara Alfonso ini membuat semangat juang mereka terus bertambah besar, sehingga usaha penyerangan terus di-lakukan hingga mencapai wilayah Lusiania, dan brhasil merebut Lisabon. Akan tetapi, ambisi pasukan Alfonso terbendung oleh kekuatan pasukan Abdurrahman, sehingga mereka berhasil mengusir kekuatan pasukan asing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu kebijakan politik Abdurrahman II adalah mencegah masuknya pasukan asing ke wilayah Andalusia. Hal itu dilakukan demi terciptanya keamanan dan perdamaian di wilayah Andalusia yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Abdurrahman II.
Selain itu, pasukan Abdurrahman II berhasil mengusir pasukan bangsa Normandia yang tengah melancarkan serangan ke Andalusia dan mengusik ketentraman negeri itu.
Oleh karena itu, untuk memperkuat pengaruh dan posisinya di mata para penguasa di luar Andalusia, Abdurrahman mengadakan perjanjian per¬sahabatan dengan kerajaan Byzantium dan Navarra pada tahun 836 M. Perjanjian itu dimaksudkan untuk menciptakan persahabatan dan ker¬ja¬sa-ma antar kedua negara dalama berbagai bidang, terutama politik dan ekonomi. Selain itu, juga bertujuan untuk membendung kekuatan serangan yang setiap saat akan datang dari kerajaan Franka.
4. Abbdurrahman III ( 300-350 H/911-961 M).
Abdurrahman III yang dijuluki al-Nashir (penolong) menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 21 tahun. Penobatannya disambut baik oleh semua kalangan. Kemudian pada tahun 301 H/913 M Abdurrahman mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar. Sehingga para perusuh dan musuh-musuhnya merasa gentar dengan pasukan yang kuat dan besar itu. Dengan kekuatan yang dimi¬liknya, Abdurrahman melakukan penak-lukkan kota-kota di bagian utara Spanyol tanpa perlawanan. Setelah itu, ia berhasil menaklukkan Sevile dan beberapa kota penting lainnya. Para perusuh dan penentangnya, seperti kaum Kristen Andalusia yang selama itu menjadi penentang utama kekua¬saan Islam, tidak berani melakukan perlawanan terhadap Abdur¬rah¬man III. Hanya masyarakat kota Toledo yang berusaha menentang kekuasaan Ab¬durrahman III ini. Tetapi, usaha mereka semua dapat digagalkan, karena kekuatan pasukan Abdurrahman III tidak ada tandingannya saat itu. Sete¬lah ia berhasil menaklukkan masyarakat Kristen di Toledo ini, Abdur¬rah¬man meneruskan usahanya untuk menundukkan kekuatan Kristen di ba¬gian Utara Andalusia.
Abdurrahman III dikenal sebagai seorang penguasa Islam yang tegas. Ia akan menghancurkan semua gerakan yang akan menenatang kekuasannya. Untuk mewujudkan keinginan itu, ia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk perbaikan pemerintahannya. Di antara kebijakan itu adalah sebagai berikut:
Gambar peta wilayah kekuasaan Islam di Andalusia
a. Politik Dalam Negeri
Setelah dua tahun memangku jabatan sebagai penguasa Islam di Andalusia, Abdurrahman III menghadapi serangan dari Ordano II, kepala suku Lyon yang berusaha merebut beberapa wilayah kekuasaan Islam. Pada saat bersamaan, Abdurrahman juga tengah berselisih dengan al-Mu’iz, khalifah Fathimiah di Mesir. Untuk mengatasi persoalan dalam negeri dan mengusir para perusuh, Abdurrahman III memberikan kepercayaan kepada Ahmad Ibn Abu Abda. Tugas itu dijalankan dengan baik, sehingga pasukan Ordano II terdesak. Melihat kenyataan ini, akhirnya Ordano II berkoalisi dengan pasukan Sancho, kepala suku dari Nevarra. Namun, usaha koalisi mereka dapat dipatahkan oleh Abdurrahman III setelah berhasil mengatasi konflik dengan khalifah Fathimiah. Dalam pertempuran itu, akhirnya Ordano II dan Sancho tewas terbunuh.
Setelah ia berhasil mengatasi gejolak politik dan peperangan di da-lam negeri dan berhasil mengatasi persoalan dengan al-Mu’iz, akhirnya Ab-durrahman III melepaskan gelar Amir dan memproklamirkan gelar baru, yaitu khalifah dengan sebutan al-Nashir li Dinillah. Sejak saat itulah para penguasa Islam di Andalusia menggunakan gelar tersebut. Dengan demi¬ki-an pada masa ini terdapat dua khalifah Sunni di dunia Islam; satu di Bag-dad dan satunya lagi di Andalusia. Sementara di dunia Syi’ah, terdapat satu
Khalifah di Mesir, yaitu khalifah dari dinasti Fathimiah.
b. Politik Luar Negeri
Setelah berhasil membangun kekuatan di dalam negeri, Abdur¬rah-man berusaha melakukan ekspansi ke luar Andalusia. Hal itu di¬lakukan se-bagai perwujudan dari kebijakan politik luar negei yang telah di¬ambilnya. Salah satu ekspansi yang dilakukan adalah serangan ke wila¬yah Afrika Utara, yang sedang diincar oleh dinasti Fathimiah. Kalau wila¬yah Afrika Utara tidak dapat dikuasai, maka akan dengan mudah pasukan lain masuk ke wilayah Andalusia. Pada masa ini, dinasti Fathimiah di Afrika Utara te-ngah berusaha me¬lan¬carkan perluasan wilayah ke Barat, bahkan dengan be¬-kerjasama de¬ngan Umar Ibn Hafsun, dinasti Fathimiah berusaha me¬nak-lukkan kekuatan Umayah di Andalusia. Untuk menahan kekuatan dinasti Fa¬thimiah itu, Ab¬durrahman III mendapat bantuan dari penduduk Afrika Barat, dan ia ber¬hasil menaklukkan sebagian wilayah tersebut. Akan tetapi, ke¬menangan itu hanya bersifat sementara karena tak lama kemudian da-tang serangan yang sangat hebat yang datang dari suku-suku Kristen, se-hingga pasukan Abdurrahman III terdesak ke luar Afrika.
Kemenangan ini membawa kebesaran nama khalifah Abdurrahman hingga ke Konstantinopel, Italia, Perancis dan Jerman. Negara-negara ini berusaha menjalin hubungan kerjasama dengan mengirim duta besar mereka ke Andalusia. Hal ini membuktikan bahwa Abdurrahman III tidak hanya sebagai seorang khalifah yang memiliki kepedulian dalam bidang militer atau hal-hal yang berkaitan dengan persoalan dalam negeri, juga sangat peduli dalam biidang diplomatik. Hubungan diplomatik ini akan sangat membantu kerja khalifah di luar negeri.
c. Memperkuat Pertahanan Militer dan Mendirikan Angkatan Laut
Untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negara, Abdurrah¬man III banyak melakukan kebijakan dalam bidang militer. Salah satu ke¬bi¬jakan yang diambil adalah rekruitmen atau pengangkatan tentara dari ma¬syarakat non-Arab, terutama dari bangsa Franka, Italia dan Slavia. Me¬re¬ka dididik secara militer, sehingga menjadi pasukan yang terlatih dan terampil berperang, selain sangat patuh terhadap khalifah. Salah satu alasannya ka-rena ia tidak suka terhadap para bangsawan dan masyarakat Arab yang se-ringkali melakukan gerakan perlawanan dan menentang kebijakan-ke¬bi¬jak-an yang dibuat khalifah Abdurrahman III.
Kebijakan ini tentu saja menimbulkan amarah dari para bangsawan Arab, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Hanya sayang, pem¬be-rontakan mereka dapat dikalahkan oleh pasukan Abdurrahman III ini. Dalam pertempuran al-Khandaq dan pengepungan kota Zamora, militer Arab menderita kekalahan besar, sehingga mereka tidak dapat berkutik lagi.
Perseteruan antara khalifah Umayah di Andalusia dengan khalifah Fathimiah di Afrika saat itu, melahirkan ide besar Abdurrahman III. Untuk menguasai jalur Laut Tengah dn benua Afrika, khalifah memerlukan angkatan laut yang cukup besar. Untuk itulah ia membentuk armada Angkatan Laut yang dilengkapi dengan 300 buah kapal perang. Dengan kekuatan ini, pasukan Umayah berhasil menguasai Ceuta ( Septah) di ujung benua Afrika Utara, sehingga dengan mudah menguasai wilayah-wilayah lain di sekitar Ceuta.
d. Membangun Kota Cordova
Khalifah Abdurrahman III berhasil menjadikan kota Cordova sebagai kota terbesar dan termegah di dunia saat itu. Kebesaran dan kemegahan kota tersebut ditandai dengan adanya istana dan bangunan gedung-gedung mewah, masjid-masjid besar, jembatan yang kokoh dan panjang yang melintasi sungai Wail Kabir dan Madinah al-Zahra, sebagai salah satu kota kecil dan mungil yang terletak di salah satu penjuru Cordova. Pada masa itu, Cordova memiliki 300 masjid besar, 100 istana megah, 1.300 gedung dan 300 buah tempat pemandian umum.
Selain itu, pembangunan irigasi dan pertanian menjadi ciri utama kota tersebut, sehingga hasil-hsil pertanian menjadi salah satu barang ko-mo¬d¬iti yang bisa diperrdagangkan. Di samping itu, terdapat perkemb¬anga¬n lain di kota ini, dan hal yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga Cordova dikenal sebagai pusat peradaban Islam di Barat.
Gambar Masjid Cordova
e. Memajukan Ilmu Pengetahuan
Selain berhasil membangun kekuatan militer dan kota-kota, Ab¬dur-rahman III juga berhasil memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Is-lam. Ia juga memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang berkaitan de-ngan upaya pengembangan ilmu pengetahuan itu. Milsalnya, ia banyak men¬dirikan lembaga pendidikan dan perpustakaan, sehingga pada ma¬sa-nya banyak sarjana yang lahir sebagai intelektual muslim yang memiliki il-mu pengetahuan luas. Sehingga Cordova menjadi pusat perhatian dan kunjungan para sarjana atau pencari ilmu dari berbagai negara di Eropa, Asia Barat dan Afrika.
5. al-Hakam (350-366 H/961-976 M)
al-Hakam II adalah putera Abdurrahman III. Ia menggantikan kedu-dukan ayahnya sebagai khalifah dalam usia 45 tahun. Dalam sejarah pe¬me-rintahan khalifah Bani Umayah di Andalusia, ia dikenal sebagai salah se-orang pemimpin yang cinta damai. Setiap persoalan yang dihadapi, selalu di¬se¬lesaikan lewat jalur perdamaian. Meskipun begitu, dalam hal-hal ter-ten¬tu, ia termasuk pemimpin yang tegas. Misalnya, ketika terjadi pem¬be-ron¬tak¬an yang dilakukan oleh suku Lyon di bawah pimpinan Sancho, al-Hakam memberantas hingga dapat ditaklukkan. Semula Sancho beranggapan bah¬wa al-Hakam tidak akan mungkin menumpas mereka dengan cara-cara ke¬kerasan, karena ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang cinta damai. Na¬mun, anggapan itu sangat keliru dan di luar dugaan Sancho sendiri. Sebab al-Hakam mengambil kebijakan lain, bahwa pemberontakan Sancho ini ti¬dak bisa dibiarkan, karena akan mengganggu stabilitas dan kemanan ne¬gara. Karena itu, al-Hakam mengirim pasukan untuk memberantas gerakan Sancho yang berusaha ingin memisahkan diri dari wilayah kekuasaan al-Hakam.
Selain itu, untuk mengatasi konflik antara Bani Umayah di An-dalusia dengan dinasti Fathimiah di Afrika Utara, ia mengu¬tus Ghalib untuk me¬ne¬kan kekuatan Fathimiah. Gahlib berhasil menaklukkan wilayah Afrika Utara dan beberapa suku Barber, seperti suku Barber di Maghrawa, Mikan¬sa dan Zenate mengakui kepemimpinan al-Hakam.
Hal itu menunjukkan bahwa al-Hakam bukan hanya sebagai seorang khalifah yang bijak, juga cerdik dan terdidik. Sehingga ia bisa menem¬atkan kebijakan sesuai pada tempatnya. Apabila dibutuhkan sikap tegas, maka semua itu sudah dipikirkan dengan masak semua akibat yang akan terjajdi. Karena dengan cara=cara seperti itu, keamanan dan kedamaian dapat diwujudkan. Ketika situasi semakin aman, maka pembangunan akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Setelah berhasil mengamankan situasi politik dalam dan luar negeri, al-Hakam melaksanakan pembangunan pendidikan. Ia mengirim sejumlah utusan ke seluruh wilayah Timur untuk membeli buku-buku dan manus-krip-manuskrip, atau menyalinnya jika buku yang dibutuhkan tidak dapat dibeli, sekalipun dengan harga mahal. Semua buku dan manuskrip itu diperintahkan untuk dibawa ke Cordova sebagai bahan ajar bagi semua orang yang ingin menuntut ilmu pengetahuan.
Dalam gerakan ini, padaa masanya ia berhasil mengumpulkan lebih kurang 400.000 buku yang disimpan di perpustakaan negara di Cordova. Sementara katalog perpustakaan ini terdiri dari 44 jilid. Para ilmuan, ulama dan filosuf, dapat dengan bebas menggunakan bahan-bahan tersebut. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyatnya, ia mendirikan sejumlah sekolah di ibu kota Cordova. Hasilnya, seluruh rakyat Andalusia dapat menulis dan membaca. Sementara itu, umat Kristen Eropa, kecuali para pendeta, tetap berada dalam kebodohan dan tidak dapat tulis baca.
Sebagai sarana pelengkap dari semua itu, ia telah mendirikan sebuah perguruan tinggi terkenal, yaitu Universitas Cordova, selain mendirikan masjid-masjid dan pembangunan kota Madinat al-Zahra.
6. Hisyam II ( 366-399 H/976-1009 M)
Pewaris tahta kekuasaan al-Hakam adalah Hisyam II. Ketika ia menjabat sebagai khalifah, usianya baru sekitar sepuluh tahun lebih. Karena usianya yang masih belia, maka kekuasaan sementara dipegang oleh ibunya bernama Sulthana Subh dan Muhamad Ibn Abi Amir yang bertindak sebagai perdana menteri. Ternyata, Muhamad Ibn Abi Amir adalah orang yang sangat haus kekuasaan. Sebab, setelah ia berhasil memposisikan diri sebagai perdana menteri, ia kemudian menambah gelarnya dengan sebutan Hajib al-Manshur. Ia merekrut tenaga militer dari kalangan suku Barber menggantikan militer Arab.
Dengan kekuatan militer dari suku Barber ini, ia berhasil me¬nun-dukkan kekuatan Kristen di wilayah Andalusia, dan berhasil memperluas pengaruh Bani Umayah di Barat Laut Afrika. Akhirnya, ia berhasil me¬me-gang seluruh cabang kekuasaan negara. Sementara sang khalifah tidak lebih hanya sebagai boneka permainannya. Selain itu, surat-surat resmi dan mak-lumat negara diterbitkan atas nama hajib al-Manshur. Untuk memperkuat po¬sisinya, tak jarang ia melakukan tindakan keji, seperti menyingkirkan ca-lon-calon khalifah atau para pangeran Islam yang akan menduduki jabatan khalifah Bani Umayah di Andalusia.
Al-Manshur adalah seorang perdana menteri yang juga gemar ilmu pengetahuan. Ia berusaha mengumpulkan karya-karya dari berbagai pen-juru untuk kemudian dibawa ke Andalusia. Ia sangat menghormati para ulama dan kaum intelektual, sehingga banyak di antara mereka yang ber-hasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan umat ma¬nusia saat itu. Hasil kerja keras dan kreatifitas mereka benar-benar di-hargai sebagai sebuah karya besar. Tidak hanya itu, bahkan kebutuhan me-reka terpenuhi, sehingga mereka tidak melakukan pekerjaan lain untuk ke-butuhan keluarga.
Di antara usaha yang dilakukan dalam pembangunan adalah mendirikan kota al-Zahirah, dan memindahkan kantor-kantor pemerintahan ke kota tersebut. Di kota inilah ia mencoba memproklamirkan dirinya sebagai seorang khalifah dengan gelar al-Malik al-Manshur. Ternyata usaha yang dilakukan berupa pendirian kota dan pemindahan semua kantor negara dan kas negara ke kota tersebut, merupakan salah satu rencana besarnya untuk merebut kekuasaan dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia. Bahkan namanya tercantum di dalam mata uang negara saat itu.
Hanya saja dalam masa-masa akhir pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Muhamad. Pemberontak ini berhasil meruntuhkan kekuasaan Hisyam dan menurutnkannya dari jabatan khalifah. Kemudian Muhamad menggantikan kedudukan Hisyam dengan memakai gelar al-Mahdi. Setelah menduduki jabatan tersebut, ia berusaha menyerang Sanchol dan pasukannya, sehingga al-Mahdi brhasil menang-kap dan memenjarakan Sanchol. Tidak lama setelah itu, al-Mahdi pun me-ninggal dan posisinya digantikan oleh Sulaiman. Namun, kepe¬mimpinan Sulaiman tidak sehebat al-Manshur dan generasi sebelumnya yang behasil membangun peradaban dan menciptakan kedaiaman dan ketentraman war-ganya.
Dalam catatan sejarah Islam di Andalusia, hajib al-Manshur dikenal sebagai seorang perdana menteri yang berhasil membangun negara dan memakmurkan rakyatnya. Sehingga Islam dan masyarakatnya menjadi sebuah negara dan masyarakat yang kaya dan diperhitungkan di daratan Eropa ketika itu.
D. Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia
Umat Islam Andalusia ( 711-1498 M) telah membuka lembaran baru bagi sejarah perkembangan intelektual Islam, bahkan sejarah intelektual dunia. Para penguasa dan kaum intelektual tidak hanya menyalakan suluh kebudayaan dan peradaban maju, juga sebagai media penghubung ilmu pengetahuan dnan filsafat yang telah berkembang pada masa-masa sebelumnya, terutama pada jaman Yunani dan Romawi.
Andalusia pada masa pemerintahan Arab Muslim menjadi pusat peradaban tinggi. Para ilmuan dan pelajar dari berbagai penjuru dunia berdatangan ke negri ini untuk menuntut ilmu pengetahuan. Kota-kota di Andalusia, seprti Granada, Cordova, Seville dan Toledo merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat tinggal kaum intelektual. Selain itu, kota-kota tersebut juga menjadi tempat atau markas tentara terkenal. Mereka orang-orang terpilih, terdidik dan pandai, sehingga menjadi panutan masyarakat dan model dalam berbagai bidang keahlian.
Berikut beberapa cabang ilmu pengetahuan yang berkemang di Andalusia.
1. Kedokteran
Ahli kedokteran yang terkenal pada saat itu antara lain adalah Abu al-Qasim al-Zahrawi. Di Eropa ia dikenal dengan nama Abulcassis. Beliau adalah seorang ahli bedah terkenal dan menjadi dokter istana. Ia wafat pada tahun 1013 M. Di antara karyanya yang terkenal adalah al-tasrif terdiri dari 30 jilid. Selain al-Qasim, terdapat seorang filosuf besar bernama Ibn Rusyd yang juga ahli dalam bidang kedokteran. Di antara karya besarnya adalah Kulliyat al-Thib.
2. Ilmu Tafsir
Kemajuan dalam bidang ilmu tafsir ditandai dengan munculya ula¬ma ahli tafsir. Mereka antara lain adalah al-Baqi, Ibn Makhlad,al-Zamakhsyari dengan karyanya al-Kasysyaf, dan al-Thabary. Selain mereka, terdapat juga ahli tafsr terkenal saat itu, yaitu Ibn ‘Athiyah. Kebanyakan tafsir yang dibuat mengandung cerita israiliyat. Kumpulan tulisannya itu kemudian dibu¬kukan oleh al-Qurthubi.
3. Ilmu Fiqh
Perkembangan dan kemajuan ilmu Fiqh ditandai dengan mun¬cul-nya banyak ulama fiqh (fuqaha). Mereka antara lain adalah Abdul Malik Ibn Ha¬bib al-Sulami, Yahya Ibn Laits, dan Isa Ibn Dinar. Mereka adalah ahli fiqh mazhab Maliki. Di antara mereka yang paling berperan dalam pengem-bangan mazhab ini adalah Abdul Malik Ibn Habib dan Ibn Rusyd dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid. Ibn Ruysd menggunakan metode perban-dingan terhadap pemikiran-pemikiran fiqh yang berkem¬bang saat itu.
4. Ilmu Ushul al-Fiqh
Selain perkembangan dalam bidang ilmu fiqh, terdapat pula perkembangan ilmu ushul al-fiqh (filsafat hukum Islam). Ibn Hazm dan al-Syatibi adalah dua tokoh terkenal sangat produktif dalam bidang ini. Di antara karyanya adalah al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, karya Ibn Hazm, dan al-Muwafaqat karya al-Syatibi.
5. Ilmu Hadits
Meskipun tidak sepesat perkembangan ilmu lain, ilmu hadits juga menjadi perhatian para ulama di Andalusia. Kebanyakan mereka belajar dari Timur, seperti di Bagdad. Di antara ahli ilmu hadits adalah Abdul Walid al-Baji yang menulis buku al-Muntaqal.
6.Sejarah dan Geografi
Dalam bidang literatur terdapat dua orang penulis terkenal, yaitu Ibn Abdi Rabbi’ dan Ali Ibn Hazm. Keduanya adalah penulis dan pemikir muslim kenamaan pada abad ke-11 M. Mereka telah menulis lebih dari 400 judul dalam bidang sejarah, telogi, hadits, logika, syair, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Pada masa ini juga muncul banyak ilmuan yang menekuni bidang sejarah dan geografi. Meraka antara lain adalah Ibn Khaldun, Ibn al-Khatib, al-Bakry,Abu Marwan Hayyan Ibn Khallaf, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hayyan. Salah satu karya monumental Ibn haldun adalah al-Mukaddimah.
7. Astronomi
Pengkajian ilmu astronomi berkembang dengan pesatnya pada masa ini. Para ahli ilmu perbintangan muslim saat itu berkeyakinan bahwa radiasi bintang-bintang besar pengaruhnya terhadap kehidupan dan kerusakan di muka bumi. Al-majiriyah dari Cordova, al-Zarqali dari Toledo dan Ibn Aflah dari Seville, merupakan para pakar ilmu perbintangan yang sangat terkenal saat itu.
8. Ilmu Fisika
Kemajuan dalam bidang fisika ditandai dengan munculnya sejumlah fisikawan muslim terkenal. Di antara mereka adalah al-Zahrawi dan al-Zuhry. Selaian terkenal sebagai fisikawan, mereka juga terkenal sebagai dokter. Al-Zahrawi hidup pada masa al-Hakam II, sedang al-Zuhry pada masa Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, Ubaidillah al-Muzaffar al-Bahily, selain sebagai fisikawan, juga dikenal sebagai pujangga.
9. Filsafat
Dalam catatan sejarah, Islam di Andalusia telah memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan intelektual muslim. Agama ini menjadi jembatan penghubung antara peradaban dan ilmu pengetahuan Yunani – Arab ke Eropa pada abad ke-12 M. Minat untuk mengkaji bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sudah dilakukan pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni sejak abad ke-9 M pada masa pemerintahan Muhamad Ibn Abdurrahman ( 832-886 M). Gerakan ilmu pengetahuan mulai tampak gencar dilakukan pada masa pemerintahan al-Hakam ( 961-976 M), ketika ia memerintahkan kaum ilmuan dan orang-orang kepercayaannya untuk mencari data dan naskah-naskah dari Timur dibawa ke Barat untuk dikembangkan lebih lanjut. Sehingga pepustakaan-perpustakaan dan universitas-universitas di Cordova penuh dengan karya-karya intelektual muslim.
Kemajuan intelekual muslim Andalusia yang paling gemilang dalam bidang filsafat ditandai dengan munculnya banyak filsosuf kenamaan, mereka antara lain adalah Abu Bakar Muhamad Ibn Yahya Ibn Bajjah, lahir di Saragosa, lalu pinndah ke Seville dan Granada. eville . Ia merupakan seorang filosuf terbesar yang pernah hidup pada abad ke-12 M. Selain sebagai filosuf, dikenal pula sebagai seorang saintis, fisikawan, musisi, astronom, dan komentator Aristoteles. Karyanya terbesar antara lain adalah Tadbir al-Mutawahhid.
Selain Ibn Bajjah, filosuf terkenal kedua adalah Abu Bakar Ibn Thufail, lahir di Granada. Ia banyak menulis ilmu kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang cukup terkenal adalah Hay Ibn Yaqdzan ( Si Hidup bin Si Bangkit). Kemudian pada akhir abad ke-12, lahirlah seorang filosuf terkenal bernama Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Ia memiliki keahlian tersendiri dalam mengomentari karya-karya filsafat Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkannya sangat raional. Karena be¬gi-tu besarnya pengaruh pemikiran Ibn Ruysd di kalangan kaum intelektual Ba¬rat, maka pemikiran yang dikembangkannya dikenal dengan istilah Avveroisme. Ideologi pemikiran inilah yang membuka cakrawala pemikiran filsafat bangsa Barat. Sehingga bangsa Barat mengalami perkembangan yang sangat maju pada masa-masa sesudahnya.
Gambar tokoh/ulama Islam di Andalusia
E. Kemunduran dan Kehancuran Daulah Bani Umayah II di An¬da¬lu¬sia
Sebenarnya Islam di Andalusia bertahan cukup lama, mulai dari tahun 711 M hingga tahun 1492 M. Ini berarti agama Islam berada di Eropa sekitar 781 M. Waktu yang begitu lama, telah banyak dimanfaatkan oleh para penguasa dan masyarakat muslim untuk mengembangkan peradaban dunia. Sejarah telah memberikan catatan penting mengenai peran yang telah dimainkan kaum intelektual muslim ketika itu. Mereka telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajauan peradaban dunia kini.
Akan tetapi, sejarah panjang yang telah diukir masyarakat muslim dan para penguasa Dinasti Bani Umayah II di Andalusia akhirnya menga-lami kemunduran dan kehancuran. Kemunduran dan kehancuran itu di¬se-babkan oleh beberapa faktor. Berikut uraian singkat mengenai hal tersebut.
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim di Spanyol setelah al-Hakam II tidak ada yang secakap para khalifah sebelumnya. Kegigihan para pendahulu mereka dalam menye¬barkan Islam dan mempertahankan wilayah kekuasaan, tidak dijadikan panutan. Hal ini berakibat pada melemahnya pertahanan yang ada. Kelemahan itu semakin menjadi ketika umat Kristen menemukan identitas dan perasaan kebangsaan mereka. Sehingga mereka mampu menggalang kekuatan guna mengalahkan para penguasa muslim.
Keadaan ini sebenarnya berawal dari kurang maksimalnya para penguasa muslim di Andalusia dalam melakukan proses islamisasi. Bagi para penguasa, hal yang paling penting adalah pernyataan dan sikap umat dan raja-raja Kristen yang mau tunduk di bawah kekuasaan penguasa Islam dengan cara membayar upeti. Dengan cara itu, mereka dibiarkan menganut agama dan menjalankan hukum, adat dan tradisi Kristen, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan senjata.
Akan tetapi, kehadiran bangsa Arab muslim di Andalusia tetap saja dianggap oleh para penguasa dan masyarakat Kristen Andalusia sebagai penjajah. Kenyataan ini mereka rasakan sendiri ketika bangsa Arab tidak banyak memberikan peluang kepada mereka dalam jabatan-jabatan struktural penting di pemerintahan. Realitas politik inilah yang kemudian membangkitkan perasaan dan semangat nasionalisme masyarakat Kristen Andalusia. Kelompok raja-raja dan masyarakat Kristen terus mengalang dan menyusun kekuatan guna mengusir para penguasa Arab muslim dari Andalusia. Hal ini menjadi salah satu sebab kehidupan negara Islam di Andalusia tidak pernah berhenti dari konflik antara Islam dengan Kristen. Karena pertentangan ini terus berlanjut, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para penguasa muslim untuk mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang dapat dijajdikan sebagai bahan untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Akhirnya umat Islam Andalusia menga-lami kemunduran. Sementara sekitar abad ke-11 M, masyarakat Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang IPTEK dan strategi perang.
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Berbeda dengan di tempat-tempat lain pada daerah yang pernah menjadi taklukkan penguasa Islam, di mana masyarakat setempat yang baru masuk Islam dipelakukan sama. Di Andalusia tidak seperti itu. Para muallaf yang berasal dari penduduk setempat tidak pernah diterima secara utuh oleh para penguasa Arab muslim. Kenyataan ini paling tidak masih diberlakukan hingga abad ke-10 M. Hal itu ditandai dengan masih dipertahankannya istilah ibad dan muwalladun, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada, terutama etnis Slavia dan Barber, seringkali meggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini tentu saja menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan sosio-politik dan sosio-ekonomi Daulah Bani Umayah II di Andalusia. Realitas ini menunjukkan bahwa tidak ada ideologi pemersatu yang dapat mengikat perasaan kebangsaan mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan kembali fanatisme kesukuan guna mengalahkan kekuatan Bani Umayah.
3. Kesulitan Ekonomi
Dalam catatan sejarah, pada paruh kedua masa Islam di Andalusia, para penguasa begitu aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga mengabaikan pengembangan sektor ekonomi. Akibatnya, timbul kesulitan ekonomi yang memberatkan negara dan tentu saja berpengaruh bagi perkembangan politik dan militer. Kenyataan ini diperparah dengan datangnya musim paceklik yang dialami para petani. Para petani ini umumnya adalah masyarakat mantan budak yang telah di-merdekakan, sehingga mereka tidak mampu membayar pajak. Tersen-datnya pembayaran pajak ini mengganggu perekonomian negara.
Selain itu, penggunaan keuangan negara yang tidak terkendali oleh para penguasa muslim, juga merupakan salah satu faktor penyebab me¬le-mahnya perekonomian negara. Krisis ekonomi ini berdampak sangat serius teryhadap kondisi sosial politik, ekonomi, militer dan sebagainya.
Untuk menjelaskan proses pembentukan dinasti Bani Umayah II di Andalusia, ada rangkaian peristiwa penting yang harus digambarkan di sini, yaitu peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari para wali ke tangan para Amir yang disebut dengan periode keamiran hingga terbentuknya sistem khilafah saat itu. Dari situlah mulai dikenal khilafah Bani Umayah II.
Amir pertama yang berhasil menguasai Andalusia adalah Abdurrah-man al-Dakhil, salah seorang cucu Abdul Malik Ibn Marwan yang berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan Abu Abbas al-Saffah. Melalui rute yang tidak biasa dialalui, akhirnya ia berhasil memasuki wilayah Palestina, terus ke Mesir, Afrika Utara hingga tiba di Ceuta (Septah). Di wilayah inilah ia mendapat bantuan dari bangsa Barbar dan menyusun kekuatan militer guna menyelesaikan konflik etnik politik antara bangsa Arab Mudhariyah dengan Himyariyah di Andalusia.
Abdurrahman diminta oleh pihak Arab Himyariyah untuk mem¬ban-tu merencanakan dan melaksanakan pemberontakan terhadap kelompok Mudhariyah. Gubernur Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry, yang mewakili ke¬lompok Arab Mudhariyah, menindas kelompok Arab Himyariyah. Sebe-lum melancarkan serangan, Abdurrahman mengutus orang keper¬ca¬ya¬an¬nya bernama Badar untuk mencari tahu tentang perkembangan terakhir yang terjadi. Utusan itu diterima dengan baik oleh kabilah-kabilah Arab ka¬re¬na ia merupakan utusan dari keturunan Bani Umayah yang pernah ber¬kuasa di Damaskus. Badar memperoleh informasi mengenai perkembangan politik mutakhir yang terjadi di Andalusia. Berita inilah yang kemudian ia sampaikan kepada Abdurrahman al-Dakhil. Dari data dna informasi yang dikumpulkan, akhirnya Abdurrahman dan para pendukungnya memasuki wilayah Andalusia pada tahun 755 M. dan memenangkan peperangan di Massarat pada tahun itu juga, sehingga ia menduduki tahta kekuasaan Andalusia sebagai bagian dari kekuasaan dinasti Umayah di Andalusia, yang saat itu telah hancur dikalahkan oleh kekuatan Bani Abbas.
Kedatangan Abdurrahman al-Dakhil dan para pendukungnya mem-buat marah Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry. Karena ia dianggap penen-tang dan mengancam kekuasaanya di Andalusia. Kedatangan mereka ke An¬dalusia ini tidak dianggap remah oleh Yusuf. Dengan berbagai cara, Yusuf mencoba mengusir Abdurrahman al-Dakhil keluar dari Andalusia. Sikap dan perbuatan Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry ini menimbulkan kemarahan Abdurrahma al-Dakhil dan para pendukungnya. Sehingga kelompok Abdurrahman melakukan serangan atas kekuasaan Yusuf di Cordova pada tahun 139 H/758 M. Kemenangan ini membawa harum nama Abdurrahman al-Dakhil. Sejak saat itulah ia mendirikan kekuasaan Islam di Andalusia, sebagai bagian dari kepanjangan kekuasaan Bani Umayah yang telah dihancurkan Bani Abbas pada tahun 132 H/750 M.
Sejak menjabat sebagai penguasa Islam di Andalusia, Abdurrahman menghadapi berbagai gerakan pemberontakan internal. Gangguan pihak luar terbesar adalah serbuan pasukan Papin, seorang raja Perancis dan puteranya yang bernaa Charlemagne. Namun pasukan penggangu ini dapat dikalahkan oleh kekuatan Abdurrahman al-Dakhil. Hanya saja, sebelum usai tugasnya menghancurkan kekuatan musuh dan memantapkan ke¬kuasannya di Andalusia, ia keburu meninggal pada tahun 172 H/788 M
Meninggalnya Abdurrahman al-Dakhil tidak menyurutkan niat ge¬ne-rasi penerusnya untuk tetap mempertahnkan kekuasaan. Posisi Ab¬dur-rahman al-Dakhil digantikan oleh puteranya, yaitu Hisyam I (172-180 H/ 788-796 M). Dalam catatan sejarah, Hisyam I dikenal sebagai seorang Amir yang lemah lembut dan administratur yang liberal. Semasa ia menjabat, banyak pemberontakan terjadi, di antaranya adalah pembe¬ron¬takan di To-ledo yang dilakukan oleh dua orang saudaranya, yaitu Abdullah dan Sulaiman. Pemberontakan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Usai mengatasi gerakan pemberontakan tersebut, Hisyam melancarkan serangan ke bagian utara Andalusia. Di sini terdapat kelompok Kristen yang sering-kali mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintahannya. Kota Nore-bonne dapat dikuasai, sementara suku-suku yang tinggal di Galicia meng-ajukan perundingan perdamaian.
Di antara sifat kepemimpinan Hisyam adalah bijaksana dan lemah lem¬but. Ia terus melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejah¬te¬ra-an rakyatnya. Hampir setiap malam ia melakukan inspeksi ke pemu¬kim¬an-pemukiman penduduk. Mengunjungi orang yang sedang sakit, dan mem-bantu mereka dengan materi atau uang yang mereka butuhkan. Hal itu dilakukan karena ia ingin mendengar dan melihat sendiri nasib yang se-dang diderita rakyatnya. Meskipun tampak kelihatan lemah lembut, ada sifat tegas tersembunyi di dalamnya, terutama kepada para pemberontak dan perusuh negara. Sifat ini dibawa hinggal ajalnya tiba pada 207 H/796 M
Sepeninggal Hisyam I, posisi kekuasannya digantikan oleh Hakam (180-207 H/796-822 M.). Selama masa kekuasannya, banyak terjadi gerakan pemberontakan, baik yang dilakukan oleh saudaranya, yaitu Abdullah yang mendapat dukungan militer dari Charlemagne dan berhasil menguasai Toledo. Sementara Sulaiman, dapat menguasai Valencia. Pada saat seperti itu, Louis dan Charles berhasil menyusup ke wilayah Islam, sedang Alfonso panglima suku Galicia, menyerang Aragon. Semua serangan tersebut dapat digagalkan oleh Hakam. Setelah itu, ia berusaha mengatasi gerakan pembe¬rontakan yang dilakukan kedua saudaranya, yaitu Abdullah dan Sulaiman.
Dalam situasi kritis itu, datang serangan bertubi dari bangsa Franka yang berhsil merebut Barcelona. Selain itu, Cordova juga tengah meng¬ha¬da-pi gerakan para pemberontak. Namun semua itu dapat diatasi oleh Hakam, sehingga di akhir masa kekuasanya, situasi menjadi aman dan stabil. Dari sini dapat diketahui bahwa selama 26 tahun Hakam berkuasa, selalu di-ganggu oleh gerakan para pemberontak yang tidak suka atas kepe¬mim¬pin-annya. Tapi, semua gerakan pemberontakan itu dapat diatasi dengan ke¬ku-atan dan jiwa kesatria Hakam.
Sepeninggal Hakam 207 H/822 M, kekuasaan jatuh ke tangan Ab-dur¬¬rah¬man II (207-238 M/822-852 M). Selama 30 tahun berkuasa, banyak pem¬bangunan dilakukannya. Ia beramisi membangun Cordova sebagai sa-ingan kota Bagdad, miliki Bani Abbas. Pada masanya juga terjadi per¬kem-bangan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya. Keadaan berbalik seperti semula ketika kekuasaan dipegang oleh Muhamad I (238-273 H/853-886 M).
Pada masa ini, banyak terjadi pemberontakan, baik dilakukan oleh Kristen Eropa maupun oleh pihak muslim sendiri. Gerakan pemberontakan ter¬be¬sar dan terlama dilakukan oleh Umar Ibn Hafsyun. Pemberontakan ini da¬pat diatasi oleh penguasa sesudah Munzir (273-275 H/886-888 M), yaitu Abdullah (275-300 H/888-912 M) di bawah panglima Obaydillah. Kondisi aman mulai terlihat sejak pemberontak Umar Ibn Hafsyun dikalahkan. Ab-dullah merupakan Amir terakhir sebelum berdirinya kakhalifahan Bani Umayah II diproklamirkan oleh Abdurrahman III.
Jadi, proses pembentukan pemerintahan Islam di Andalusia yang meng¬gunakan sistem khilafah, tidak berlangsung mulus. Banyak pembe-ron¬takan terjadi dan kendala yang dihadapi para penguasa saat itu. Kondisi itu baru teratasi dengan baik, sejak akhir masa kekuasaan Abdullah yang masih menggunakan sistem keamiran hingga masa awal pemerintahan khalifah Abdurrahman III.
B. Pendiri Bani Umayah II di Andalusia
Dalam catatan sejarah Islam, Abdurrahman al-Dakhil yang berhasil memasuki Andalusia pada tahun 755 M boleh dibilang peletak dasar dari pembentukan pembentukan dinasti Bani Umayah II di negeri itu, karena dia adalah generasi terakhir dari Bani Umayah yang masih tersisa. Hanya saja sistem pemerintahan yang dipergunakan saat itu berbeda dengan yang terdapat di Damaskus. Sistem yang dipakai Abdurrahman menggunakan gelar Amir, bukan khalifah. Karena gelar ini telah dipakai oleh Bani Abbas yang berkuasa di Bagdad menggantikan kekuasaan Bani Umayah. Hal itu terjadi karena pada saat itu yang Meskipun secara tidak menggunakan sistem pemerintahan dinasti Bani Umayah di Damaskus, yaitu khilafah.
Sejak berkahirnya masa keamiran, sistem yang dipakai dalam peme-rintahan Bani Umayah di Andalusia adalah sistem khilafah dan pengua-sanya disebut khalifah. Penggunaan sistem ini mulai berlaku sejak Abdurrahman III berkuasa ( 300-350 H/912-961 M) hingga Muhamad III (1023-1025 M). Sejak saat itu, terjadi konflik politik berkepanjangan yang menyebabkan terjadinya perpecahan di negeri itu. Hal ini ditandai dengan munculnya raja-raja kecil yang dikenal dengan istilah al-Muluk al-Thawaif, yang berkuasa di masing-masing daerah.
Pendiri dinasti Bani Umayah yang sebenarnya adalah Abdurahman III yang berkuasa selama 50 tahun ( 300-350 H/ 912-961 M). Abdurrahman III dengan tegas menggunakan sistem khilafah dalam pemerintahaannya, bukan keamiran.
C. Para Penguasa Bani Umayah II yang Menonjol
1. Abdurrahman al-Dakhil ( 138-172 H/757-788 M).
Meskipun Abdurrahman al- Dakhil adalah keturunan Bani Umayah
pertama yang menjadi penguasa dan pelangsung kekuasaan Bani Umayah di Andalusia, tapi ia bukan termasuk salah seorang khalifah Bani Umayah.
Karena gelar jabatan yang disandangnya bukan khalifah, melainkan Amir. Oleh karena itu, dalam jajaran kekhalifahan Bani Umayah di Andalusia dia dikenal sebagi perintis dan pembuka jalan bagi terbentuknya dinasti Bani Umayah II di Eropa. Penguasa Bani Umayah sebenarnya yang mengguna-kan gelar khalfah adalah Abdurrahman III yang berkuasa selama lebih kurang 50 tahun. Walau demikian, dalam catatan penting sejarah Islam, khususnya yang berkenaan dengan dinasti Bani Uyamayah II di Andalusia, ia dimasukkan sebagai salah seorang penguasa Bani Umayah yang paling menonjol, karena keberhasilannya membangun dasar-dasar dan pengem-bang¬an kekuasaan Islam di Eropa.
Setelah ia berhasil memasuki wilayah Spanyol dengan menunduk-kan penguasa Islam lokal bernama Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry tahun 758, Abdurrahman al-Dakhil melakukan berbagai rencana kegiatan untuk membangun kerajaan besar, sebagai penerus dari dinasti Bani Umayah yang pernah berkuasa di Damaskus, Syria. Langkah pertama yang dila-kukan untuk memperkuat posisinya adalah memperbaiki keadaan dalam negeri, baik dari segi politik, keamanan, ketertiban dan pem¬bangunan lainnya. Hampir selama masa kekuasaan, energinya dipergunakan untuk mempertahankan berbagai serangan yang datang, baik dari dalam wilayah kekuasaannya sendiri maupun dari luar. Misalnya, ancaman yang datang dari Abu Ja’far al-Mansur ( 137-159 H/754-775 M), seorang penguasa Bani Abbas kedua, yang bekerjasama dengan Karl Martel, penguasa Perancis, untuk menghancurkan kekuasaan Abdurrahman al-Dakhil. Selain itu, datang pula ancaman dari Peppin, ayah Karl Martel. Sekitar tahun 146 H, al-Mansur mengutus al-Ula beserta pasukannya untuk menyerang kekuasaan Abdurrahman, tetapi usaha tersebut mengalami kegagalan, karena kekuatan al-Ula dapat dipukul muncur oleh kekuatan Abdurrahman al-Dakhil.
Selain ancaman dan serangan tersebut di atas, sekitar tahun 160 H/775 M, datang serangan yang dilakukan oleh Yusuf Ibn Abdurrahman al-Fikry, mantan penguasa Spanyol dan Sulaiman Ibn al-Araby. Mereka bekerjasama dengan Karl Martel untuk menggulingkan Abdurrahman. Akan tetapi usaha mereka lai-lagi mengalami kegagalan. Kemenangan ini membuat posisi Abdurrahman al-Dakhil semakin kuat, sehingga ia dapat melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sesuai yang direncana¬kan¬nya. Usaha pertama adalah pembangunan masjid Agung di Cordova, yaitu Masjid al-Hamra. Pembangunan itu dilanjutkan pada masa anaknya, yaitu Hisyam I (172-180 H/788-796 M).
Di samping membangun masjid, Abdurrahman al-Dakhil juga membangun gedung-gedung perguruan beserta lembaga-lembaga ilmiah, seperti Universitas Cordova yang sangat terkenal dan melahirkan banyak ilmuan muslim berkaliber dunia. Selain itu, ia juga membangun irigasi untuk keperluan pertanian, sehingga hampir semua ladang yang dulunya tidak ditanami, pada masa pemerinatahannya tumbuh berbagai tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Andalusia saat itu.
2. Hisyam Ibn Abdurrahman ( 172-180 H/788-796 M).
Sepeninggal Abdurrahman, pemerintahan dipegang oleh anaknya bernama Hisyam. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang saleh dan adil bijaksana. Masa pemerintahannya dipergunakan membangun dan mening-kat¬kan kesejahteraan hidup rakyatnya. Ia mempunyai perhatian besar ter-hadap rakyatnya yang miskin. Sehingga hampir seluruh lapisan ma¬sya¬ra-katnya merasakan hasil-hasil pembangunan yang dikerjakan pada masa pe-merinatahan Hisyam. Di antara usaha pembanguan yang dila¬kukannya ada¬lah sebagai berikut :
a. Bidang Pendidikan.
Di antara jasanya yang paling besar adalah mempergiat perkem-bangan ilmu pengetahuan dan penelitian serta perluasan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan budaya serta bahasa percakapan sehari-hari. Sehingga lambat laun bahasa Arab mengalahkan bahasa Latin dalam berbagaia kegiatan di semenanjung Iberia itu.
b. Bidang Pembangunan Fisik
Pada masa pemerintahannya, Hisyam I berhasil merampungkan pembangunan masjid al-Hamra di Cordova, sehigga menjadi sebuah masjid megah dan mempersona banyak orang. Masjid itu tidak hanya diper¬gu¬na¬kan sebagai tempat ibadah, juga untuk lembaga pendidikan. Selain itu, ia juga memperluas bangunan irigasi untuk pertanian dan pembangunan saluran air ke berbagai kota di Andalusia.
c. Bidang Hukum
Di masa pemerintahan Hisyam I, mulai berkembang mazhab Maliki. Mazhab hukum Islam itu dibawa dan dikembangkan di Andalusia oleh para pengikutnya yang mendapat perlindungan Hisyam I. Dalam masalah penegakkan hukum, Hisyam I ikut memberikan dorongan agar semua hak-hak seseorang diperhatikan dengan baik dan dilindungi. Karena keadilan dan ketertiban yang ada, maka masa pemerintahan Hisyam I yang hanya berlangusng 7 tahun 7 bulan, berjalan dengan baik hingga ia meninggal dunia pada tahun 180 H/796 M.
3. Abdurrahman II ( al-Awsath, 206-238 H/ 822-852 M)
Dalam usia 31 tahun, al-Awsath telah menerima jabatan sebagai se-orang Amir ( penguasa) Islam di Andalusia, menggantikan posisi ayahnya. Berbeda dengan sikap dan kebijakan ayahnya, al-Hakam. Al-Hakam tidak berlaku adil, kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat, sehingga ia sangat dibenci. Sementara al-Awsath disukai, karena kebijakannya yang me¬mihak masyarakat dan sikapnya yang tega dan berani, terutama dalam mengatasi brbagai pebetontakan yang ada.
Selama masa pemerintahannya yang berlangsung lebih kurang 31 tahun, banyak usaha yang telah dilakukan. Di antara usaha itu adalah sebagaia berikut:
a. Politik dalam Negeri.
1. Mengatasi Pemberontakan.
Usaha pertama yang dilakukannya dalah memadamkan pem¬be-rontakan yang terjadi di dalam negeri. Setelah terkendalinya ke-adaan, dan situasi politik dalam negeri mulai stabil, ia berusaha keras untuk melakukan pembangunan dalam berbagai bidang. Sehingga negara menjadi makmur.
2. Membangun Masjid dan Memperindah Kota
Dalam masa pemerintahannya, Abdurrahman II berhasil membangun kota dan daerah Lusitania, Murcia, Valencia, Castile dan kota-kota lainnya. Kota –kota tersebut dipeindah dengan bangunan-bangunan umum, seperti masjid-masjid besar, perpustakaan dan lain-lain, termasuk pembangunan pabrik senjata di Cartagena dan Cadiz.
3. Memajukan Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Abdurrahman al-Awsath, banyak lahir ilmuan muslim dan para filosuf kenamaan. Ia membangkitkan gairah keilmuan para intelektual untuk terus melakukan kajian keilmuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan peradaban lainnya. Untuk kepentingan itu, ia banyak membangun sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang dilengkapi perpustakaan.
4. Kebebasan Beragama
salah satu kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerin¬tahan-nya adalah kebebasan beragama. Umat Kristen dan umat non mus¬lim lainnya diberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Antara satu agama dengan pemeluk agama lain tidak dibenarkan memakasakan kehendak dan ajar-annya kepada pemeluk agama lain. Kebijakan dan toleransi beragama ini pada akhirnya berdampak positif, karena banyak penganut agama lain memeluk Islam.
b. Politik Luar Negeri
Sekitar tahun 808 M terjadi serangan besar-besaran Raja Alfonso II da-ri kerajaan Lyon ke wilayah kekuasaan Abdurrahman II, sehingga beberapa wilayah kekuasaan Abdurrahman di Andalusia berhasil dikuasai, misalnya kota pelabuhan Porto. Keberhasilan tentara Alfonso ini membuat semangat juang mereka terus bertambah besar, sehingga usaha penyerangan terus di-lakukan hingga mencapai wilayah Lusiania, dan brhasil merebut Lisabon. Akan tetapi, ambisi pasukan Alfonso terbendung oleh kekuatan pasukan Abdurrahman, sehingga mereka berhasil mengusir kekuatan pasukan asing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu kebijakan politik Abdurrahman II adalah mencegah masuknya pasukan asing ke wilayah Andalusia. Hal itu dilakukan demi terciptanya keamanan dan perdamaian di wilayah Andalusia yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Abdurrahman II.
Selain itu, pasukan Abdurrahman II berhasil mengusir pasukan bangsa Normandia yang tengah melancarkan serangan ke Andalusia dan mengusik ketentraman negeri itu.
Oleh karena itu, untuk memperkuat pengaruh dan posisinya di mata para penguasa di luar Andalusia, Abdurrahman mengadakan perjanjian per¬sahabatan dengan kerajaan Byzantium dan Navarra pada tahun 836 M. Perjanjian itu dimaksudkan untuk menciptakan persahabatan dan ker¬ja¬sa-ma antar kedua negara dalama berbagai bidang, terutama politik dan ekonomi. Selain itu, juga bertujuan untuk membendung kekuatan serangan yang setiap saat akan datang dari kerajaan Franka.
4. Abbdurrahman III ( 300-350 H/911-961 M).
Abdurrahman III yang dijuluki al-Nashir (penolong) menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 21 tahun. Penobatannya disambut baik oleh semua kalangan. Kemudian pada tahun 301 H/913 M Abdurrahman mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar. Sehingga para perusuh dan musuh-musuhnya merasa gentar dengan pasukan yang kuat dan besar itu. Dengan kekuatan yang dimi¬liknya, Abdurrahman melakukan penak-lukkan kota-kota di bagian utara Spanyol tanpa perlawanan. Setelah itu, ia berhasil menaklukkan Sevile dan beberapa kota penting lainnya. Para perusuh dan penentangnya, seperti kaum Kristen Andalusia yang selama itu menjadi penentang utama kekua¬saan Islam, tidak berani melakukan perlawanan terhadap Abdur¬rah¬man III. Hanya masyarakat kota Toledo yang berusaha menentang kekuasaan Ab¬durrahman III ini. Tetapi, usaha mereka semua dapat digagalkan, karena kekuatan pasukan Abdurrahman III tidak ada tandingannya saat itu. Sete¬lah ia berhasil menaklukkan masyarakat Kristen di Toledo ini, Abdur¬rah¬man meneruskan usahanya untuk menundukkan kekuatan Kristen di ba¬gian Utara Andalusia.
Abdurrahman III dikenal sebagai seorang penguasa Islam yang tegas. Ia akan menghancurkan semua gerakan yang akan menenatang kekuasannya. Untuk mewujudkan keinginan itu, ia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk perbaikan pemerintahannya. Di antara kebijakan itu adalah sebagai berikut:
Gambar peta wilayah kekuasaan Islam di Andalusia
a. Politik Dalam Negeri
Setelah dua tahun memangku jabatan sebagai penguasa Islam di Andalusia, Abdurrahman III menghadapi serangan dari Ordano II, kepala suku Lyon yang berusaha merebut beberapa wilayah kekuasaan Islam. Pada saat bersamaan, Abdurrahman juga tengah berselisih dengan al-Mu’iz, khalifah Fathimiah di Mesir. Untuk mengatasi persoalan dalam negeri dan mengusir para perusuh, Abdurrahman III memberikan kepercayaan kepada Ahmad Ibn Abu Abda. Tugas itu dijalankan dengan baik, sehingga pasukan Ordano II terdesak. Melihat kenyataan ini, akhirnya Ordano II berkoalisi dengan pasukan Sancho, kepala suku dari Nevarra. Namun, usaha koalisi mereka dapat dipatahkan oleh Abdurrahman III setelah berhasil mengatasi konflik dengan khalifah Fathimiah. Dalam pertempuran itu, akhirnya Ordano II dan Sancho tewas terbunuh.
Setelah ia berhasil mengatasi gejolak politik dan peperangan di da-lam negeri dan berhasil mengatasi persoalan dengan al-Mu’iz, akhirnya Ab-durrahman III melepaskan gelar Amir dan memproklamirkan gelar baru, yaitu khalifah dengan sebutan al-Nashir li Dinillah. Sejak saat itulah para penguasa Islam di Andalusia menggunakan gelar tersebut. Dengan demi¬ki-an pada masa ini terdapat dua khalifah Sunni di dunia Islam; satu di Bag-dad dan satunya lagi di Andalusia. Sementara di dunia Syi’ah, terdapat satu
Khalifah di Mesir, yaitu khalifah dari dinasti Fathimiah.
b. Politik Luar Negeri
Setelah berhasil membangun kekuatan di dalam negeri, Abdur¬rah-man berusaha melakukan ekspansi ke luar Andalusia. Hal itu di¬lakukan se-bagai perwujudan dari kebijakan politik luar negei yang telah di¬ambilnya. Salah satu ekspansi yang dilakukan adalah serangan ke wila¬yah Afrika Utara, yang sedang diincar oleh dinasti Fathimiah. Kalau wila¬yah Afrika Utara tidak dapat dikuasai, maka akan dengan mudah pasukan lain masuk ke wilayah Andalusia. Pada masa ini, dinasti Fathimiah di Afrika Utara te-ngah berusaha me¬lan¬carkan perluasan wilayah ke Barat, bahkan dengan be¬-kerjasama de¬ngan Umar Ibn Hafsun, dinasti Fathimiah berusaha me¬nak-lukkan kekuatan Umayah di Andalusia. Untuk menahan kekuatan dinasti Fa¬thimiah itu, Ab¬durrahman III mendapat bantuan dari penduduk Afrika Barat, dan ia ber¬hasil menaklukkan sebagian wilayah tersebut. Akan tetapi, ke¬menangan itu hanya bersifat sementara karena tak lama kemudian da-tang serangan yang sangat hebat yang datang dari suku-suku Kristen, se-hingga pasukan Abdurrahman III terdesak ke luar Afrika.
Kemenangan ini membawa kebesaran nama khalifah Abdurrahman hingga ke Konstantinopel, Italia, Perancis dan Jerman. Negara-negara ini berusaha menjalin hubungan kerjasama dengan mengirim duta besar mereka ke Andalusia. Hal ini membuktikan bahwa Abdurrahman III tidak hanya sebagai seorang khalifah yang memiliki kepedulian dalam bidang militer atau hal-hal yang berkaitan dengan persoalan dalam negeri, juga sangat peduli dalam biidang diplomatik. Hubungan diplomatik ini akan sangat membantu kerja khalifah di luar negeri.
c. Memperkuat Pertahanan Militer dan Mendirikan Angkatan Laut
Untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negara, Abdurrah¬man III banyak melakukan kebijakan dalam bidang militer. Salah satu ke¬bi¬jakan yang diambil adalah rekruitmen atau pengangkatan tentara dari ma¬syarakat non-Arab, terutama dari bangsa Franka, Italia dan Slavia. Me¬re¬ka dididik secara militer, sehingga menjadi pasukan yang terlatih dan terampil berperang, selain sangat patuh terhadap khalifah. Salah satu alasannya ka-rena ia tidak suka terhadap para bangsawan dan masyarakat Arab yang se-ringkali melakukan gerakan perlawanan dan menentang kebijakan-ke¬bi¬jak-an yang dibuat khalifah Abdurrahman III.
Kebijakan ini tentu saja menimbulkan amarah dari para bangsawan Arab, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Hanya sayang, pem¬be-rontakan mereka dapat dikalahkan oleh pasukan Abdurrahman III ini. Dalam pertempuran al-Khandaq dan pengepungan kota Zamora, militer Arab menderita kekalahan besar, sehingga mereka tidak dapat berkutik lagi.
Perseteruan antara khalifah Umayah di Andalusia dengan khalifah Fathimiah di Afrika saat itu, melahirkan ide besar Abdurrahman III. Untuk menguasai jalur Laut Tengah dn benua Afrika, khalifah memerlukan angkatan laut yang cukup besar. Untuk itulah ia membentuk armada Angkatan Laut yang dilengkapi dengan 300 buah kapal perang. Dengan kekuatan ini, pasukan Umayah berhasil menguasai Ceuta ( Septah) di ujung benua Afrika Utara, sehingga dengan mudah menguasai wilayah-wilayah lain di sekitar Ceuta.
d. Membangun Kota Cordova
Khalifah Abdurrahman III berhasil menjadikan kota Cordova sebagai kota terbesar dan termegah di dunia saat itu. Kebesaran dan kemegahan kota tersebut ditandai dengan adanya istana dan bangunan gedung-gedung mewah, masjid-masjid besar, jembatan yang kokoh dan panjang yang melintasi sungai Wail Kabir dan Madinah al-Zahra, sebagai salah satu kota kecil dan mungil yang terletak di salah satu penjuru Cordova. Pada masa itu, Cordova memiliki 300 masjid besar, 100 istana megah, 1.300 gedung dan 300 buah tempat pemandian umum.
Selain itu, pembangunan irigasi dan pertanian menjadi ciri utama kota tersebut, sehingga hasil-hsil pertanian menjadi salah satu barang ko-mo¬d¬iti yang bisa diperrdagangkan. Di samping itu, terdapat perkemb¬anga¬n lain di kota ini, dan hal yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga Cordova dikenal sebagai pusat peradaban Islam di Barat.
Gambar Masjid Cordova
e. Memajukan Ilmu Pengetahuan
Selain berhasil membangun kekuatan militer dan kota-kota, Ab¬dur-rahman III juga berhasil memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Is-lam. Ia juga memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang berkaitan de-ngan upaya pengembangan ilmu pengetahuan itu. Milsalnya, ia banyak men¬dirikan lembaga pendidikan dan perpustakaan, sehingga pada ma¬sa-nya banyak sarjana yang lahir sebagai intelektual muslim yang memiliki il-mu pengetahuan luas. Sehingga Cordova menjadi pusat perhatian dan kunjungan para sarjana atau pencari ilmu dari berbagai negara di Eropa, Asia Barat dan Afrika.
5. al-Hakam (350-366 H/961-976 M)
al-Hakam II adalah putera Abdurrahman III. Ia menggantikan kedu-dukan ayahnya sebagai khalifah dalam usia 45 tahun. Dalam sejarah pe¬me-rintahan khalifah Bani Umayah di Andalusia, ia dikenal sebagai salah se-orang pemimpin yang cinta damai. Setiap persoalan yang dihadapi, selalu di¬se¬lesaikan lewat jalur perdamaian. Meskipun begitu, dalam hal-hal ter-ten¬tu, ia termasuk pemimpin yang tegas. Misalnya, ketika terjadi pem¬be-ron¬tak¬an yang dilakukan oleh suku Lyon di bawah pimpinan Sancho, al-Hakam memberantas hingga dapat ditaklukkan. Semula Sancho beranggapan bah¬wa al-Hakam tidak akan mungkin menumpas mereka dengan cara-cara ke¬kerasan, karena ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang cinta damai. Na¬mun, anggapan itu sangat keliru dan di luar dugaan Sancho sendiri. Sebab al-Hakam mengambil kebijakan lain, bahwa pemberontakan Sancho ini ti¬dak bisa dibiarkan, karena akan mengganggu stabilitas dan kemanan ne¬gara. Karena itu, al-Hakam mengirim pasukan untuk memberantas gerakan Sancho yang berusaha ingin memisahkan diri dari wilayah kekuasaan al-Hakam.
Selain itu, untuk mengatasi konflik antara Bani Umayah di An-dalusia dengan dinasti Fathimiah di Afrika Utara, ia mengu¬tus Ghalib untuk me¬ne¬kan kekuatan Fathimiah. Gahlib berhasil menaklukkan wilayah Afrika Utara dan beberapa suku Barber, seperti suku Barber di Maghrawa, Mikan¬sa dan Zenate mengakui kepemimpinan al-Hakam.
Hal itu menunjukkan bahwa al-Hakam bukan hanya sebagai seorang khalifah yang bijak, juga cerdik dan terdidik. Sehingga ia bisa menem¬atkan kebijakan sesuai pada tempatnya. Apabila dibutuhkan sikap tegas, maka semua itu sudah dipikirkan dengan masak semua akibat yang akan terjajdi. Karena dengan cara=cara seperti itu, keamanan dan kedamaian dapat diwujudkan. Ketika situasi semakin aman, maka pembangunan akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Setelah berhasil mengamankan situasi politik dalam dan luar negeri, al-Hakam melaksanakan pembangunan pendidikan. Ia mengirim sejumlah utusan ke seluruh wilayah Timur untuk membeli buku-buku dan manus-krip-manuskrip, atau menyalinnya jika buku yang dibutuhkan tidak dapat dibeli, sekalipun dengan harga mahal. Semua buku dan manuskrip itu diperintahkan untuk dibawa ke Cordova sebagai bahan ajar bagi semua orang yang ingin menuntut ilmu pengetahuan.
Dalam gerakan ini, padaa masanya ia berhasil mengumpulkan lebih kurang 400.000 buku yang disimpan di perpustakaan negara di Cordova. Sementara katalog perpustakaan ini terdiri dari 44 jilid. Para ilmuan, ulama dan filosuf, dapat dengan bebas menggunakan bahan-bahan tersebut. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyatnya, ia mendirikan sejumlah sekolah di ibu kota Cordova. Hasilnya, seluruh rakyat Andalusia dapat menulis dan membaca. Sementara itu, umat Kristen Eropa, kecuali para pendeta, tetap berada dalam kebodohan dan tidak dapat tulis baca.
Sebagai sarana pelengkap dari semua itu, ia telah mendirikan sebuah perguruan tinggi terkenal, yaitu Universitas Cordova, selain mendirikan masjid-masjid dan pembangunan kota Madinat al-Zahra.
6. Hisyam II ( 366-399 H/976-1009 M)
Pewaris tahta kekuasaan al-Hakam adalah Hisyam II. Ketika ia menjabat sebagai khalifah, usianya baru sekitar sepuluh tahun lebih. Karena usianya yang masih belia, maka kekuasaan sementara dipegang oleh ibunya bernama Sulthana Subh dan Muhamad Ibn Abi Amir yang bertindak sebagai perdana menteri. Ternyata, Muhamad Ibn Abi Amir adalah orang yang sangat haus kekuasaan. Sebab, setelah ia berhasil memposisikan diri sebagai perdana menteri, ia kemudian menambah gelarnya dengan sebutan Hajib al-Manshur. Ia merekrut tenaga militer dari kalangan suku Barber menggantikan militer Arab.
Dengan kekuatan militer dari suku Barber ini, ia berhasil me¬nun-dukkan kekuatan Kristen di wilayah Andalusia, dan berhasil memperluas pengaruh Bani Umayah di Barat Laut Afrika. Akhirnya, ia berhasil me¬me-gang seluruh cabang kekuasaan negara. Sementara sang khalifah tidak lebih hanya sebagai boneka permainannya. Selain itu, surat-surat resmi dan mak-lumat negara diterbitkan atas nama hajib al-Manshur. Untuk memperkuat po¬sisinya, tak jarang ia melakukan tindakan keji, seperti menyingkirkan ca-lon-calon khalifah atau para pangeran Islam yang akan menduduki jabatan khalifah Bani Umayah di Andalusia.
Al-Manshur adalah seorang perdana menteri yang juga gemar ilmu pengetahuan. Ia berusaha mengumpulkan karya-karya dari berbagai pen-juru untuk kemudian dibawa ke Andalusia. Ia sangat menghormati para ulama dan kaum intelektual, sehingga banyak di antara mereka yang ber-hasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan umat ma¬nusia saat itu. Hasil kerja keras dan kreatifitas mereka benar-benar di-hargai sebagai sebuah karya besar. Tidak hanya itu, bahkan kebutuhan me-reka terpenuhi, sehingga mereka tidak melakukan pekerjaan lain untuk ke-butuhan keluarga.
Di antara usaha yang dilakukan dalam pembangunan adalah mendirikan kota al-Zahirah, dan memindahkan kantor-kantor pemerintahan ke kota tersebut. Di kota inilah ia mencoba memproklamirkan dirinya sebagai seorang khalifah dengan gelar al-Malik al-Manshur. Ternyata usaha yang dilakukan berupa pendirian kota dan pemindahan semua kantor negara dan kas negara ke kota tersebut, merupakan salah satu rencana besarnya untuk merebut kekuasaan dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia. Bahkan namanya tercantum di dalam mata uang negara saat itu.
Hanya saja dalam masa-masa akhir pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Muhamad. Pemberontak ini berhasil meruntuhkan kekuasaan Hisyam dan menurutnkannya dari jabatan khalifah. Kemudian Muhamad menggantikan kedudukan Hisyam dengan memakai gelar al-Mahdi. Setelah menduduki jabatan tersebut, ia berusaha menyerang Sanchol dan pasukannya, sehingga al-Mahdi brhasil menang-kap dan memenjarakan Sanchol. Tidak lama setelah itu, al-Mahdi pun me-ninggal dan posisinya digantikan oleh Sulaiman. Namun, kepe¬mimpinan Sulaiman tidak sehebat al-Manshur dan generasi sebelumnya yang behasil membangun peradaban dan menciptakan kedaiaman dan ketentraman war-ganya.
Dalam catatan sejarah Islam di Andalusia, hajib al-Manshur dikenal sebagai seorang perdana menteri yang berhasil membangun negara dan memakmurkan rakyatnya. Sehingga Islam dan masyarakatnya menjadi sebuah negara dan masyarakat yang kaya dan diperhitungkan di daratan Eropa ketika itu.
D. Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia
Umat Islam Andalusia ( 711-1498 M) telah membuka lembaran baru bagi sejarah perkembangan intelektual Islam, bahkan sejarah intelektual dunia. Para penguasa dan kaum intelektual tidak hanya menyalakan suluh kebudayaan dan peradaban maju, juga sebagai media penghubung ilmu pengetahuan dnan filsafat yang telah berkembang pada masa-masa sebelumnya, terutama pada jaman Yunani dan Romawi.
Andalusia pada masa pemerintahan Arab Muslim menjadi pusat peradaban tinggi. Para ilmuan dan pelajar dari berbagai penjuru dunia berdatangan ke negri ini untuk menuntut ilmu pengetahuan. Kota-kota di Andalusia, seprti Granada, Cordova, Seville dan Toledo merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat tinggal kaum intelektual. Selain itu, kota-kota tersebut juga menjadi tempat atau markas tentara terkenal. Mereka orang-orang terpilih, terdidik dan pandai, sehingga menjadi panutan masyarakat dan model dalam berbagai bidang keahlian.
Berikut beberapa cabang ilmu pengetahuan yang berkemang di Andalusia.
1. Kedokteran
Ahli kedokteran yang terkenal pada saat itu antara lain adalah Abu al-Qasim al-Zahrawi. Di Eropa ia dikenal dengan nama Abulcassis. Beliau adalah seorang ahli bedah terkenal dan menjadi dokter istana. Ia wafat pada tahun 1013 M. Di antara karyanya yang terkenal adalah al-tasrif terdiri dari 30 jilid. Selain al-Qasim, terdapat seorang filosuf besar bernama Ibn Rusyd yang juga ahli dalam bidang kedokteran. Di antara karya besarnya adalah Kulliyat al-Thib.
2. Ilmu Tafsir
Kemajuan dalam bidang ilmu tafsir ditandai dengan munculya ula¬ma ahli tafsir. Mereka antara lain adalah al-Baqi, Ibn Makhlad,al-Zamakhsyari dengan karyanya al-Kasysyaf, dan al-Thabary. Selain mereka, terdapat juga ahli tafsr terkenal saat itu, yaitu Ibn ‘Athiyah. Kebanyakan tafsir yang dibuat mengandung cerita israiliyat. Kumpulan tulisannya itu kemudian dibu¬kukan oleh al-Qurthubi.
3. Ilmu Fiqh
Perkembangan dan kemajuan ilmu Fiqh ditandai dengan mun¬cul-nya banyak ulama fiqh (fuqaha). Mereka antara lain adalah Abdul Malik Ibn Ha¬bib al-Sulami, Yahya Ibn Laits, dan Isa Ibn Dinar. Mereka adalah ahli fiqh mazhab Maliki. Di antara mereka yang paling berperan dalam pengem-bangan mazhab ini adalah Abdul Malik Ibn Habib dan Ibn Rusyd dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid. Ibn Ruysd menggunakan metode perban-dingan terhadap pemikiran-pemikiran fiqh yang berkem¬bang saat itu.
4. Ilmu Ushul al-Fiqh
Selain perkembangan dalam bidang ilmu fiqh, terdapat pula perkembangan ilmu ushul al-fiqh (filsafat hukum Islam). Ibn Hazm dan al-Syatibi adalah dua tokoh terkenal sangat produktif dalam bidang ini. Di antara karyanya adalah al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, karya Ibn Hazm, dan al-Muwafaqat karya al-Syatibi.
5. Ilmu Hadits
Meskipun tidak sepesat perkembangan ilmu lain, ilmu hadits juga menjadi perhatian para ulama di Andalusia. Kebanyakan mereka belajar dari Timur, seperti di Bagdad. Di antara ahli ilmu hadits adalah Abdul Walid al-Baji yang menulis buku al-Muntaqal.
6.Sejarah dan Geografi
Dalam bidang literatur terdapat dua orang penulis terkenal, yaitu Ibn Abdi Rabbi’ dan Ali Ibn Hazm. Keduanya adalah penulis dan pemikir muslim kenamaan pada abad ke-11 M. Mereka telah menulis lebih dari 400 judul dalam bidang sejarah, telogi, hadits, logika, syair, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Pada masa ini juga muncul banyak ilmuan yang menekuni bidang sejarah dan geografi. Meraka antara lain adalah Ibn Khaldun, Ibn al-Khatib, al-Bakry,Abu Marwan Hayyan Ibn Khallaf, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hayyan. Salah satu karya monumental Ibn haldun adalah al-Mukaddimah.
7. Astronomi
Pengkajian ilmu astronomi berkembang dengan pesatnya pada masa ini. Para ahli ilmu perbintangan muslim saat itu berkeyakinan bahwa radiasi bintang-bintang besar pengaruhnya terhadap kehidupan dan kerusakan di muka bumi. Al-majiriyah dari Cordova, al-Zarqali dari Toledo dan Ibn Aflah dari Seville, merupakan para pakar ilmu perbintangan yang sangat terkenal saat itu.
8. Ilmu Fisika
Kemajuan dalam bidang fisika ditandai dengan munculnya sejumlah fisikawan muslim terkenal. Di antara mereka adalah al-Zahrawi dan al-Zuhry. Selaian terkenal sebagai fisikawan, mereka juga terkenal sebagai dokter. Al-Zahrawi hidup pada masa al-Hakam II, sedang al-Zuhry pada masa Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, Ubaidillah al-Muzaffar al-Bahily, selain sebagai fisikawan, juga dikenal sebagai pujangga.
9. Filsafat
Dalam catatan sejarah, Islam di Andalusia telah memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan intelektual muslim. Agama ini menjadi jembatan penghubung antara peradaban dan ilmu pengetahuan Yunani – Arab ke Eropa pada abad ke-12 M. Minat untuk mengkaji bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sudah dilakukan pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni sejak abad ke-9 M pada masa pemerintahan Muhamad Ibn Abdurrahman ( 832-886 M). Gerakan ilmu pengetahuan mulai tampak gencar dilakukan pada masa pemerintahan al-Hakam ( 961-976 M), ketika ia memerintahkan kaum ilmuan dan orang-orang kepercayaannya untuk mencari data dan naskah-naskah dari Timur dibawa ke Barat untuk dikembangkan lebih lanjut. Sehingga pepustakaan-perpustakaan dan universitas-universitas di Cordova penuh dengan karya-karya intelektual muslim.
Kemajuan intelekual muslim Andalusia yang paling gemilang dalam bidang filsafat ditandai dengan munculnya banyak filsosuf kenamaan, mereka antara lain adalah Abu Bakar Muhamad Ibn Yahya Ibn Bajjah, lahir di Saragosa, lalu pinndah ke Seville dan Granada. eville . Ia merupakan seorang filosuf terbesar yang pernah hidup pada abad ke-12 M. Selain sebagai filosuf, dikenal pula sebagai seorang saintis, fisikawan, musisi, astronom, dan komentator Aristoteles. Karyanya terbesar antara lain adalah Tadbir al-Mutawahhid.
Selain Ibn Bajjah, filosuf terkenal kedua adalah Abu Bakar Ibn Thufail, lahir di Granada. Ia banyak menulis ilmu kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang cukup terkenal adalah Hay Ibn Yaqdzan ( Si Hidup bin Si Bangkit). Kemudian pada akhir abad ke-12, lahirlah seorang filosuf terkenal bernama Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Ia memiliki keahlian tersendiri dalam mengomentari karya-karya filsafat Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkannya sangat raional. Karena be¬gi-tu besarnya pengaruh pemikiran Ibn Ruysd di kalangan kaum intelektual Ba¬rat, maka pemikiran yang dikembangkannya dikenal dengan istilah Avveroisme. Ideologi pemikiran inilah yang membuka cakrawala pemikiran filsafat bangsa Barat. Sehingga bangsa Barat mengalami perkembangan yang sangat maju pada masa-masa sesudahnya.
Gambar tokoh/ulama Islam di Andalusia
E. Kemunduran dan Kehancuran Daulah Bani Umayah II di An¬da¬lu¬sia
Sebenarnya Islam di Andalusia bertahan cukup lama, mulai dari tahun 711 M hingga tahun 1492 M. Ini berarti agama Islam berada di Eropa sekitar 781 M. Waktu yang begitu lama, telah banyak dimanfaatkan oleh para penguasa dan masyarakat muslim untuk mengembangkan peradaban dunia. Sejarah telah memberikan catatan penting mengenai peran yang telah dimainkan kaum intelektual muslim ketika itu. Mereka telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajauan peradaban dunia kini.
Akan tetapi, sejarah panjang yang telah diukir masyarakat muslim dan para penguasa Dinasti Bani Umayah II di Andalusia akhirnya menga-lami kemunduran dan kehancuran. Kemunduran dan kehancuran itu di¬se-babkan oleh beberapa faktor. Berikut uraian singkat mengenai hal tersebut.
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim di Spanyol setelah al-Hakam II tidak ada yang secakap para khalifah sebelumnya. Kegigihan para pendahulu mereka dalam menye¬barkan Islam dan mempertahankan wilayah kekuasaan, tidak dijadikan panutan. Hal ini berakibat pada melemahnya pertahanan yang ada. Kelemahan itu semakin menjadi ketika umat Kristen menemukan identitas dan perasaan kebangsaan mereka. Sehingga mereka mampu menggalang kekuatan guna mengalahkan para penguasa muslim.
Keadaan ini sebenarnya berawal dari kurang maksimalnya para penguasa muslim di Andalusia dalam melakukan proses islamisasi. Bagi para penguasa, hal yang paling penting adalah pernyataan dan sikap umat dan raja-raja Kristen yang mau tunduk di bawah kekuasaan penguasa Islam dengan cara membayar upeti. Dengan cara itu, mereka dibiarkan menganut agama dan menjalankan hukum, adat dan tradisi Kristen, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan senjata.
Akan tetapi, kehadiran bangsa Arab muslim di Andalusia tetap saja dianggap oleh para penguasa dan masyarakat Kristen Andalusia sebagai penjajah. Kenyataan ini mereka rasakan sendiri ketika bangsa Arab tidak banyak memberikan peluang kepada mereka dalam jabatan-jabatan struktural penting di pemerintahan. Realitas politik inilah yang kemudian membangkitkan perasaan dan semangat nasionalisme masyarakat Kristen Andalusia. Kelompok raja-raja dan masyarakat Kristen terus mengalang dan menyusun kekuatan guna mengusir para penguasa Arab muslim dari Andalusia. Hal ini menjadi salah satu sebab kehidupan negara Islam di Andalusia tidak pernah berhenti dari konflik antara Islam dengan Kristen. Karena pertentangan ini terus berlanjut, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para penguasa muslim untuk mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang dapat dijajdikan sebagai bahan untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Akhirnya umat Islam Andalusia menga-lami kemunduran. Sementara sekitar abad ke-11 M, masyarakat Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang IPTEK dan strategi perang.
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Berbeda dengan di tempat-tempat lain pada daerah yang pernah menjadi taklukkan penguasa Islam, di mana masyarakat setempat yang baru masuk Islam dipelakukan sama. Di Andalusia tidak seperti itu. Para muallaf yang berasal dari penduduk setempat tidak pernah diterima secara utuh oleh para penguasa Arab muslim. Kenyataan ini paling tidak masih diberlakukan hingga abad ke-10 M. Hal itu ditandai dengan masih dipertahankannya istilah ibad dan muwalladun, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada, terutama etnis Slavia dan Barber, seringkali meggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini tentu saja menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan sosio-politik dan sosio-ekonomi Daulah Bani Umayah II di Andalusia. Realitas ini menunjukkan bahwa tidak ada ideologi pemersatu yang dapat mengikat perasaan kebangsaan mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan kembali fanatisme kesukuan guna mengalahkan kekuatan Bani Umayah.
3. Kesulitan Ekonomi
Dalam catatan sejarah, pada paruh kedua masa Islam di Andalusia, para penguasa begitu aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga mengabaikan pengembangan sektor ekonomi. Akibatnya, timbul kesulitan ekonomi yang memberatkan negara dan tentu saja berpengaruh bagi perkembangan politik dan militer. Kenyataan ini diperparah dengan datangnya musim paceklik yang dialami para petani. Para petani ini umumnya adalah masyarakat mantan budak yang telah di-merdekakan, sehingga mereka tidak mampu membayar pajak. Tersen-datnya pembayaran pajak ini mengganggu perekonomian negara.
Selain itu, penggunaan keuangan negara yang tidak terkendali oleh para penguasa muslim, juga merupakan salah satu faktor penyebab me¬le-mahnya perekonomian negara. Krisis ekonomi ini berdampak sangat serius teryhadap kondisi sosial politik, ekonomi, militer dan sebagainya.
Islam di Andalusia
A. Proses Masuk dan Perkembangan Islam di Andalusia
Andalusia yang kini dikenal dengan nama Spanyol, semula disebut dengan nama Vandal. Kemudian orang-orang Arab Islam menyebutnya dengan nama Andalus atau Andalusia. Nama ini merujuk kepada kebiasan dan tradisi masyarakatnya yang masih primitif saat itu bila dibandingkan dengan masyarakat Islam yang telah mencapai banyak kemajuan di bawah pemerintahan khalifah Bani Umayah. Wilayah ini pada abad ke-2 M sampai dengan awal abad ke-5 M berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Kemudian ditaklukkan oleh bangsa Vandal pada awal abad ke-5 M.
Ketika bangsa Gothic berhasil menguasai negeri kaum Vandal ini, bangsa Vandal terusir dan melarikan diri ke wilayah Afrika Utara, tepatnya berada di sebuah kepulauan kecil di ujung benua Afrika, yaitu di pulau Ceuta. Di sinilih seorang bangsawan bernama De Graft Julian memper-tahankan kekuasaan dari serangan raja Roderick. Serangan Roderick dan keinginan Julian untuk membebaskan diri dari kekuasaan bangsa Gothic ini, menimbulkan keinginan Julian untuk meminta bantuan kepada Musa Ibn Nushair, salah seorang gubernur Bani Umayah yang berkedudukan di Afrika Utara. Untuk kepentingan itu, kedua orang penguasa mengadakan perjanjian kerjasama dalam usaha penggulingan Roderick.
Namun sebelum usaha itu dilanjutkan, gubernur Musa Ibn Nushair meminta persetujuan dari khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik. Pada prinsipnya, khalifah tiak keberatan dengan permintaan tersebut, bahkan ia melihat sebagai peluang besar untuk melebarkan sayap kekuasaannya di seberang lautan. Untuk itu, ia memerintahkan gubernur Musa Ibn Nushair melakukan ekspedisi dengan mengirim orang kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan situasi politik di negeri itu, di samping untuk membuka jalan masuknya tentara Islam.
Sesuai dengan isntruksi khalifah, maka pada tahun 9 H/710 M Musa Ibn Nushair mengutus orang bernama Tharif Ibn Malik yang dibantu oleh De Graft Julian menuju Andalusia. Hasilnya, ditemukan jalan yang tidak mendapat banyak hambatan dari pasukan Roderick. Hanya saja, jalan yang harus ditempuh banyak liku-likunya dan terjal di tengah bukit karang, yang kemudian hari dikenal dengan nama Bukit Thariq ( Jabal Thariq atau Giblaltar). Ekspedisi yang dilakukan menghasilkan banyak data dan informasi mengenai keberadaan kekuasaan Roderick. Situasai inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Musa Ibn Nushair dalam usaha penaklukkan ke wilayah Eropa.
Usaha tersebut baru terwujud pada tahun 711 M, ketika Musa Ibn Nushair mengutus pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad. Untuk mempermudah usaha itu, khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik mengirim tentara sebanyak 5000 orang, terdiri dari 4000 tentara biasa dan 1000 pasukan berkuda ditambahn pasukan Musa Ibn Nushair sejumlah 2000 orang tentara, sehingga jumlah pasukan bertambah menjadi 7000 orang tentara. Sementara bantuan yang diberikan De Graft Julian beru¬pa perahu yang dapat dipergunakan untuk menyeberangi selat mediterania ( Laut Tengah). Pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad ini berhasil menyeberangi selat tersebut dan mendarat di sebuah bukit berbatu pada bulan Sya’ban 92 H/ tahun 711 M. Bukit ini kemudian diberi nama sesuai dengan orang yang pertama kali menginjak mendarat di situ, yaitu Giblaltar atau selat Jabal Thariq.
Mendaratnya pasukan Islam di selat Giblaltar di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad didengar oleh Roderick. Hanya saja ketika itu ia sedang menghadapi pemberontakan kelompok Achilla di Andalusia Utara, sehingga ia tidak segera melakukan serangan balik. Ketidakmampuan ini selain disebabkan adanya pemberontakan di dalam negeri, juga karena pendaratan Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya tidak diperkirakan sebelumnya. Menyadari bahaya dan ancaman itu, akhirnya ia membelokkan sekitar 100.000 pasukannya menuju selatan Andalusia untuk menyambut kedatangan tentara Islam.
Kedatangan tentara Roderick dengan jumlah yang cukup besar itu, tidak menciutkan hati Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, malah mem-bangkitkan semangat juang untuk meneruskan cita-cita umat Islam menaklukkan Andalusia yang ketika itu berada di bawah pemerintahan raja Roderick. Namun karena tidak sebandingnya pasukan, akhirnya Thariq Ibn Ziyad meminta tambahan pasukan dari Musa Ibn Nushair yang kemudian disanggupi dengan tambahan sekitar 5000 orang tentara, sehingga pasukan Thariq Ibn Ziyad saat itu berjumlah 12.000 orang. Kekuatan yang begitu besar semakin memperkuat keinginan Thariq Ibn Ziyad untuk terus melanjutkan serangan ke wilayah utara Andalusia dan menguasai Spanyol secara keseluruhan.
Kedua pasukan bertemu di sungai kecil yang disebut oleh orang Arab dengan nama Wadi Bekka dekat Guadalete yang mengalir ke selat Tara-falagar. Thariq Ibn Ziyad dengan semangat juang dan didukung oleh 12.000 pasukan menyerang musuh-musuhnya dan memperoleh keme¬nangan, se-hingga Roderick terbunuh dalam peperangan tersebut. Sementara pasukan Roderick menjadi tawanan perang.
Ternyata, cita-cita dan keinginan Thariq Ibn Ziyad tidak hanya sebatas kemenangan di situ, ia berkeinginan untuk meneruskan penyerangannya ke seluruh Andalusia. Setelah melakukan musyawarah dengan pasukannya, akhirnya ia terus melakukan niatnya itu. Untuk kepentingan perluasan tersebut, ia membagi pasukannya menjadi tiga resimen yang ia sebarkan ke seluruh Siberia. Didukung dengan 700 pasukan bekuda, pasukan umat Islam ini menuju Cordova. Sebagian besar penduduk Cordova telah mengungsi ke Toledo, sementara yang masih menetap di kota ini hanyalah putera raja dan keluarganya yang dikawal dengan 400 pasukan berkuda, sehingga memudahkan pasukan umat Islam melakukan serangan ke pusat kekuasaan di Cordova tanpa menimbulkan kurban jiwa masyarakat sipil.
Mengingat daerah itu bersalju, maka tidak begitu mudah tentara Islam menaklukkan Cordova. Untunglah ada seorang pengembala (tidak disebut¬kan namanya) yang memberi petunjuk cara masuk ke benteng istana yang dijaga ketat. Karena cuaca begitu dingin ditambah angin dan hujan salju yang deras, para penjaga benteng tidak mendengar derap langkah pasukan berkuda umat Islam, sehingga umat Islam dengan mudah menyerang dan membuka pintu gerbang benteng istana. Dalam situasi ini putera raja dapat melarikan diri dan berlindung di gereja selama 3 bulan yang kemudian menyerang dan ditangkap. Di kota inilah kemudian orang-orang Yahudi di¬kumpulkan dan menetap. Masyarakat Yahudi terlibat di dalam keme¬nang¬an-kemenangan bangsa Arab Muslim. Mereka memberikan kemu¬dahan umat Islam melakukan penaklukkan kota Rayya, Malaga, Granada di pro¬pinsi Elvira. Penduduk kota Ariola dan Toledo membuka pintu gerbangnya un¬tuk orang-orang Muslim.
Karena jasa-jasa orang Yahudi, kemengangan umat Islam diperoleh tan¬pa perlawanan. Sebagai balas jasa, kaum Yahudi kemudian diperin¬tah-kan untuk tinggal dan menetap di Toledo yang dibantu dengan kawalan pasukan umat Islam. Sementara penduduk asli Toledo melarikan diri dan berlindung di bukit karang. Mereka kemudian menyeberangi Guadalaxana ( Bukit Batu) menuju Medinaceli terus ke Galicia di Barat Laut Andalusia.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya. Sehingga hampir seluruh Andalusia ditaklukan dan berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah yang berkuasa di Damaskus. Dengan cara-cara seperti itulah agama Islam masuk ke Andalusia, sehingga Andalusia menjadi daerah kekuasaan Islam selama lebih kurang 8 (delapan) abad, yaitu dari tahun 711 – 1492 M.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Andalusia pada saat itu telah menjadi salah satu propinsi atau wilayah dari kekuasaan dinasti Bani Umayah, yang kemudian menjadi negara sendiri di seberang lautan Mediterania. Keberhasilan umat Islam meneklukkan Andalusia saat itu, tidak hanya berkat jasa Thariq dan pasukannya, juga jasa-jasa orang lain, seperti Tharif Ibn Malik dan Musa Ibn Nushair, ditambah dengan adanya dukungan material dari De Graft Julian yang menjadi penguasa di Ceuta.
Gambar peta Selat/pegunungan Giblaltar
B. Perluasan Kekuasaan Islam di Andalusia
Kemenangan pertama yang diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, merupakan peluang besar di depan mata bagi Musa Ibn Nushair untuk memperluas wilayah kekuasaan. Untuk itu, Musa Ibn Nushair telah mempersiapkan sekitar 18.000 pasukan guna membantu Thariq Ibn Ziyad memperluas wilayah kekuasaan Islam. Pada musim panas tahun 712 M, Musa Ibn Nushair dengan pasukannya menyeberangi selat dan mendarat di benua Eropa. Musa dan pasukannya berhasil merebut Carmona, salah satu kota terkuat pertahannya di Andalusia. Kemudian ia melanjutkan ke Seville dan merebutnya dari tangan orang-orang Gothic. Karena kalah, orang-orang Gothic banyak yang melarikan diri ke Toledo. Mereka bertahan di kota Toledo selama beberapa bulan, sampai akhirnya kota itu juga jatuh ke tangan pasukan Musa Ibn Nushair. Setelah menguasai Toledo, Musa Ibn Nushair dan pasukannya melanjutkan serangan ke Meride, sebuah kota yang pernah menjadi ibu kota Andalusia.
Ekspansi Musa Ibn Nushair dan pasukannya terus berlanjut hingga akhirnya ia berhasil menaklukkan Barcelona. Dari sini kemudian Musa Ibn Nushair melanjutkan usaha ekspansinya ke Cadiz dan Calica. Di suatu tempat di Talavera, Musa Ibn Nushair bertemu dengan Thariq Ibn Ziyad dan memecat Thariq dari jabatan panglima perang. Pemecatan itu terjajdi karena Thariq Ibn Ziyad dianggap tidak mematuhi perintahnya untuk kembali ke Afrika Utara setelah berhasil menaklukkan beberapa kota di Andalusia. Bahkan kemudian Thariq Ibn Ziyad dipenjara karena kesalahan-kesalahaan yang telah dibuatnya. Di sinilah akhir dari riwayat perjalanan hidup seorang mantan jenderal perang Islam yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di negeri Andalusia.
Ternyata, tujuan ekspansi Musa Ibn Nushair tidak hanya sampai di Talavera, ia berambisi untuk mengejar musuhnya hingga ke pegunungan Pyrenia. Lebih dari itu, ia bahkan memutuskan untuk terus melanjutkan ekspansinya ke wilayah selatan Perancis, hingga akhirnya ia mencapai negeri Konstantinopel.
Namun sebelum usaha itu tercapai, datang perintah dari khalifah Walid Ibn Abdul Malik untuk menghentikan serangannya ke Eropa dan ia diminta kembali ke Damaskus. Kebijakan ini dibuat untuk menghindari bahaya yang lebih besar yang akan mengancam umat Islam di Andalusia. Selain itu, khalifah Walid Ibn Abdul Malik merasa takut apabila pengaruh Musa Ibn Nushair melebihi kekuatan pengaruh khalifah sendiri dan merebut wilayah kekuasaan yang telah diraihnya di Eropa. Instruksi itu diterima Musa Ibn Nushair, dan langsung kembali ke Damaskus. Hanya saja ketika ia tiba di kota itu pada 7ahun 96 H/715 M, khalifah Walid Ibn Abdul Malik telah wafat dan yang berkuasa adalah Sulaiman Ibn Abdul Malik, saudara Walid Ibn Abdul Malik. Khalifah baru ini meminta Musa Ibn Nushair untuk menyerahkan kekuasaan dan harta rampasan yang diperolehnya dari negeri Andalusia.
Keinginan khalifah itu sebenarnya telah dipahami oleh Musa Ibn Nushair. Hanya saja pada waktu itu, semua rampasan perang dan berbagai kemegahan yang diperoleh Musa Ibn Nushair dan Thariq Ibn Ziyad telah diserahkan ke khalifah sebelumnya, yaitu Walid Ibn Abdul Malik. Permintaan itu sebenarnya bisa dipahami oleh Musa Ibn Nushair sebagai taktik untuk menjatuhkan dirinya. Hal ini terbukti ketika ia dimasukkan ke penjara hingga meninggal di ruang tahanan itu. Kebijakan inidikeluarkan khalifah Sulaiman, karena ia merasa tersaingi oleh kekuatan dan pengaruh Musa Ibn Nushair. Satu hal yang sebenarnya tidak mesti terjadi.
Begitulah nasib tokoh penting ini mengakhiiri mas ahidupnya. Ia mengalami nasib serupa seperti Thariq Ibn Ziyad. Ruapnya ini merupakan hukum karma bagi orang yang bertindak sewenang-wenang yang telah memcat dan memenjarakan Thariq Ibn Ziyad hingga akhir hayatnya.
Peta wilayah Islam pada masa awal di Andalusia
Sebelum Musa Ibn Nushair meninggalkan Andalusia atau Andalusia untuk kembali ke Damaskus karena panggilan khalifah, ia telah meminta Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair menggantikan posisinya sementara untuk mengatur semua kepentingan masyarakat di Andalusia. Berdasarkan tugas itu, ia kemudian mengorganisir tata pemerintahan dan membentuk dewan khusus untuk menyusun buku undang-undang yang sah sesuai dengan keadaan penduduk Andalusia. Selain itu, ia juga mencurahkan tanaga dan pikirannya untuk membenahi sistem irigasi dan pertanian, sebuah bidang yang selama ini banyak digeluti masyarakat Andalusia. Sehingga para petani mendapatkan hasil maksimal dari usaha pertanian.
Kebijakan lain yang dikeluarkannya adalah membebaskan Andalusia dan masyarakatnya dari perbuatan lalim orang-orang Gothic. Menurunkan pajak, kebijakan toleransi beragama, menghapuskan diskriminasi karena ras dan agama; memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dan menjamin keamanan serta kesejahteraan, selain perlindungan terhadap harta benda dan jiwa mereka. Kebijakan lain yang tak kalah pentingnya adalah asimilisi, yaitu perkawinan campuran antara orang-orang Arab Islam dengan penduduk setempat. Bahkan Abdul Aziz sendiri menikahi janda Roderick yang masih mempertahankan agama dna keyakinannya semula.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Adul Aziz ini menimbulkan simpati rakyat, sehingga banyak yang memeluk Islam. Proses asismilasi ini merupakan salah satu metode penyebaran Islam yang terjadi di banyak negara, termasuk di Andalusia atau Andalusia.
C. Awal Berdirinya Kekuasaan Islam di Andalusia
Keberhasilan Thariq Ibn Ziyad, Musa Ibn Nushair dan pasukan me¬re-ka dalam pengembangan kekuasaan Islam Bani Umayah di Andalusia, mem¬¬buka lembaran baru sejarah politik Islam. Sebab dengan jatuhnya An-da¬¬lusia dan kota-kota penting lainnya di negeri itu, menambah luas daerah kekuasaan Islam dinasti Bani Umayah. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Thariq Ibn Ziyad oleh Musa Ibn Nushair dan penyerahan ke¬kua-saan Musa kepada anaknya, Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair, menandai awal berdirinya kekuasaan Islam di sana.
Abdula Aziz Ibn Musa Ibn Nushair boleh disebut sebagai peletak pertama berdirinya kekuasaan Islam di Andalusia. Sebab ia merupakan orang pertama yang menjadi penguasa di negeri itu setelah dikalahkan oleh pasukan Islam. Kebijakan-kebijakan politik pemerintahan yang dikeluar¬kan¬nya merupakan bukti kepiawaiannya dalam memimpin negeri yang baru saja porak poranda dilanda perang. Keberhasilannya membangun masyarakat baru dan proses penyebaran Islam, merupakan karya nyata yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Terlepas dari kepentingan politik pribadi dan golongan, hal pasti yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa Abdul Azizlah orang yang pertama kali menjalankan roda peme¬rin¬tahan di negeri Andalusia.
Selama masa pemerintahan kewalian, terdapat sejumlah orang wali yang mewakili pemerintahan Bani Umayah di Andalusia. Di antaranya adalah:
1. Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair (95-97 H/715-717 M). Masa-masa pemerintahannya meru¬pa¬kan periode awal pemerintahan Islam yang tunduk kepada pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Gelar yang dipakai Abdul Aziz saat itu bukan Amir, melainkan Wali, yang merupakan wakil pemerintah Islam Bani Umayah yang berkedudukan di Andalusia. Semua kebijakan yang dikeluarkannya harus mendapatkan persetujuan khalifah. Di antara usaha yang dilakukannya, selain yang telah disebutkan sebelumnya, adalah perluasan wilayah Islam dan menaklukkan kota-kota yang saat itu belum tunduk di bawah kekuasannya. Kota-kota itu adalah Evora, Santarem, Malaga dan Ellira.
2. Harun Ibn Abdurrahman al-Tsaqafi ( 98-100 H/717-719 M).
3. Saman Ibn Malik al-Khaulani (100-102 H/719-721 M).
4. Anbasah (104-107 H/723-726 M). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menguasai wilayah Gallia, Septimia, dan wilayah dekat sungai Rhone.
5. Abd al-Rahman al-Ghafiqi ( 111/730 H). Pada masa pemerintahan-nya ia dapat menguasai wilayah Hertogdom dan Aquitania yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Perancis.
Para wali inilah yang samat berjasa dalam usaha perluasan dan pengembangan wilayah Islam di Eropa. Atas persetujuan khalifah Bani Umayah di Damaskus, mereka terus melakukan pengembangan wilayah hingga mencapai wilayah Perancis. Usaha ini terus dilakukan hingga dikemudian hari datang anak cucu Muawiyah yang mengambil alih jabatan dari para wali tersebut. Di antaranya adalah Abdurrahman al-Dakhil, yang dikenal dengan sebutan Saqar Qurays ( Garuda Qurays) karena keber¬hasil-annya menyelamatkan diri dari serangan pasukan Bani Abbas dan berkuasa di Andalusia. Sejak kedatangannya, sistem pemerintahan menggunakan gelar Amir atau gubernur jenderal. Hanya saja, para amir yang berkuasa di Andalusia tidak tidak memiliki hubungan politik dengan pemerintahan Bani Abbas yang telah mengambil alih kekuasaan Bani Umayah pada tahun 750 M/132 H. Bahkan mereka menjadi penentang kekuasaan Bani Abbas.
Mengingat begitu jauh keberadaan kekuasaan para Amir ini, para khalifah Bani Abbas tidak banyak berhasil menguasai mereka, selain karena orientasi kebijakan pemerintah Bani Abbas sangat berbeda dengan pemerintahan Bani Umayah sebelumnya. Kalau Bani Umayah orientasinya adalah kekuasaan dan perluasan wilayah, maka Bani Abbas memiliki orientasi pengembangan peradaban. Sementara untuk menjaga wilayah diserahkan kepada para gubernur atau bahkan diberikan kepada para penguasa lokal asal saja mereka masih tetap berada di bawah kekuasaan Bani Abbas dan mengakui keberadaannya. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa negara independen yang dikenal dengan nama al-dawlah al-mustaqillah.
Andalusia yang kini dikenal dengan nama Spanyol, semula disebut dengan nama Vandal. Kemudian orang-orang Arab Islam menyebutnya dengan nama Andalus atau Andalusia. Nama ini merujuk kepada kebiasan dan tradisi masyarakatnya yang masih primitif saat itu bila dibandingkan dengan masyarakat Islam yang telah mencapai banyak kemajuan di bawah pemerintahan khalifah Bani Umayah. Wilayah ini pada abad ke-2 M sampai dengan awal abad ke-5 M berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Kemudian ditaklukkan oleh bangsa Vandal pada awal abad ke-5 M.
Ketika bangsa Gothic berhasil menguasai negeri kaum Vandal ini, bangsa Vandal terusir dan melarikan diri ke wilayah Afrika Utara, tepatnya berada di sebuah kepulauan kecil di ujung benua Afrika, yaitu di pulau Ceuta. Di sinilih seorang bangsawan bernama De Graft Julian memper-tahankan kekuasaan dari serangan raja Roderick. Serangan Roderick dan keinginan Julian untuk membebaskan diri dari kekuasaan bangsa Gothic ini, menimbulkan keinginan Julian untuk meminta bantuan kepada Musa Ibn Nushair, salah seorang gubernur Bani Umayah yang berkedudukan di Afrika Utara. Untuk kepentingan itu, kedua orang penguasa mengadakan perjanjian kerjasama dalam usaha penggulingan Roderick.
Namun sebelum usaha itu dilanjutkan, gubernur Musa Ibn Nushair meminta persetujuan dari khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik. Pada prinsipnya, khalifah tiak keberatan dengan permintaan tersebut, bahkan ia melihat sebagai peluang besar untuk melebarkan sayap kekuasaannya di seberang lautan. Untuk itu, ia memerintahkan gubernur Musa Ibn Nushair melakukan ekspedisi dengan mengirim orang kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan situasi politik di negeri itu, di samping untuk membuka jalan masuknya tentara Islam.
Sesuai dengan isntruksi khalifah, maka pada tahun 9 H/710 M Musa Ibn Nushair mengutus orang bernama Tharif Ibn Malik yang dibantu oleh De Graft Julian menuju Andalusia. Hasilnya, ditemukan jalan yang tidak mendapat banyak hambatan dari pasukan Roderick. Hanya saja, jalan yang harus ditempuh banyak liku-likunya dan terjal di tengah bukit karang, yang kemudian hari dikenal dengan nama Bukit Thariq ( Jabal Thariq atau Giblaltar). Ekspedisi yang dilakukan menghasilkan banyak data dan informasi mengenai keberadaan kekuasaan Roderick. Situasai inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Musa Ibn Nushair dalam usaha penaklukkan ke wilayah Eropa.
Usaha tersebut baru terwujud pada tahun 711 M, ketika Musa Ibn Nushair mengutus pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad. Untuk mempermudah usaha itu, khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik mengirim tentara sebanyak 5000 orang, terdiri dari 4000 tentara biasa dan 1000 pasukan berkuda ditambahn pasukan Musa Ibn Nushair sejumlah 2000 orang tentara, sehingga jumlah pasukan bertambah menjadi 7000 orang tentara. Sementara bantuan yang diberikan De Graft Julian beru¬pa perahu yang dapat dipergunakan untuk menyeberangi selat mediterania ( Laut Tengah). Pasukan di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad ini berhasil menyeberangi selat tersebut dan mendarat di sebuah bukit berbatu pada bulan Sya’ban 92 H/ tahun 711 M. Bukit ini kemudian diberi nama sesuai dengan orang yang pertama kali menginjak mendarat di situ, yaitu Giblaltar atau selat Jabal Thariq.
Mendaratnya pasukan Islam di selat Giblaltar di bawah pimpinan Thariq Ibn Ziyad didengar oleh Roderick. Hanya saja ketika itu ia sedang menghadapi pemberontakan kelompok Achilla di Andalusia Utara, sehingga ia tidak segera melakukan serangan balik. Ketidakmampuan ini selain disebabkan adanya pemberontakan di dalam negeri, juga karena pendaratan Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya tidak diperkirakan sebelumnya. Menyadari bahaya dan ancaman itu, akhirnya ia membelokkan sekitar 100.000 pasukannya menuju selatan Andalusia untuk menyambut kedatangan tentara Islam.
Kedatangan tentara Roderick dengan jumlah yang cukup besar itu, tidak menciutkan hati Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, malah mem-bangkitkan semangat juang untuk meneruskan cita-cita umat Islam menaklukkan Andalusia yang ketika itu berada di bawah pemerintahan raja Roderick. Namun karena tidak sebandingnya pasukan, akhirnya Thariq Ibn Ziyad meminta tambahan pasukan dari Musa Ibn Nushair yang kemudian disanggupi dengan tambahan sekitar 5000 orang tentara, sehingga pasukan Thariq Ibn Ziyad saat itu berjumlah 12.000 orang. Kekuatan yang begitu besar semakin memperkuat keinginan Thariq Ibn Ziyad untuk terus melanjutkan serangan ke wilayah utara Andalusia dan menguasai Spanyol secara keseluruhan.
Kedua pasukan bertemu di sungai kecil yang disebut oleh orang Arab dengan nama Wadi Bekka dekat Guadalete yang mengalir ke selat Tara-falagar. Thariq Ibn Ziyad dengan semangat juang dan didukung oleh 12.000 pasukan menyerang musuh-musuhnya dan memperoleh keme¬nangan, se-hingga Roderick terbunuh dalam peperangan tersebut. Sementara pasukan Roderick menjadi tawanan perang.
Ternyata, cita-cita dan keinginan Thariq Ibn Ziyad tidak hanya sebatas kemenangan di situ, ia berkeinginan untuk meneruskan penyerangannya ke seluruh Andalusia. Setelah melakukan musyawarah dengan pasukannya, akhirnya ia terus melakukan niatnya itu. Untuk kepentingan perluasan tersebut, ia membagi pasukannya menjadi tiga resimen yang ia sebarkan ke seluruh Siberia. Didukung dengan 700 pasukan bekuda, pasukan umat Islam ini menuju Cordova. Sebagian besar penduduk Cordova telah mengungsi ke Toledo, sementara yang masih menetap di kota ini hanyalah putera raja dan keluarganya yang dikawal dengan 400 pasukan berkuda, sehingga memudahkan pasukan umat Islam melakukan serangan ke pusat kekuasaan di Cordova tanpa menimbulkan kurban jiwa masyarakat sipil.
Mengingat daerah itu bersalju, maka tidak begitu mudah tentara Islam menaklukkan Cordova. Untunglah ada seorang pengembala (tidak disebut¬kan namanya) yang memberi petunjuk cara masuk ke benteng istana yang dijaga ketat. Karena cuaca begitu dingin ditambah angin dan hujan salju yang deras, para penjaga benteng tidak mendengar derap langkah pasukan berkuda umat Islam, sehingga umat Islam dengan mudah menyerang dan membuka pintu gerbang benteng istana. Dalam situasi ini putera raja dapat melarikan diri dan berlindung di gereja selama 3 bulan yang kemudian menyerang dan ditangkap. Di kota inilah kemudian orang-orang Yahudi di¬kumpulkan dan menetap. Masyarakat Yahudi terlibat di dalam keme¬nang¬an-kemenangan bangsa Arab Muslim. Mereka memberikan kemu¬dahan umat Islam melakukan penaklukkan kota Rayya, Malaga, Granada di pro¬pinsi Elvira. Penduduk kota Ariola dan Toledo membuka pintu gerbangnya un¬tuk orang-orang Muslim.
Karena jasa-jasa orang Yahudi, kemengangan umat Islam diperoleh tan¬pa perlawanan. Sebagai balas jasa, kaum Yahudi kemudian diperin¬tah-kan untuk tinggal dan menetap di Toledo yang dibantu dengan kawalan pasukan umat Islam. Sementara penduduk asli Toledo melarikan diri dan berlindung di bukit karang. Mereka kemudian menyeberangi Guadalaxana ( Bukit Batu) menuju Medinaceli terus ke Galicia di Barat Laut Andalusia.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya. Sehingga hampir seluruh Andalusia ditaklukan dan berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah yang berkuasa di Damaskus. Dengan cara-cara seperti itulah agama Islam masuk ke Andalusia, sehingga Andalusia menjadi daerah kekuasaan Islam selama lebih kurang 8 (delapan) abad, yaitu dari tahun 711 – 1492 M.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Andalusia pada saat itu telah menjadi salah satu propinsi atau wilayah dari kekuasaan dinasti Bani Umayah, yang kemudian menjadi negara sendiri di seberang lautan Mediterania. Keberhasilan umat Islam meneklukkan Andalusia saat itu, tidak hanya berkat jasa Thariq dan pasukannya, juga jasa-jasa orang lain, seperti Tharif Ibn Malik dan Musa Ibn Nushair, ditambah dengan adanya dukungan material dari De Graft Julian yang menjadi penguasa di Ceuta.
Gambar peta Selat/pegunungan Giblaltar
B. Perluasan Kekuasaan Islam di Andalusia
Kemenangan pertama yang diperoleh Thariq Ibn Ziyad dan pasukannya, merupakan peluang besar di depan mata bagi Musa Ibn Nushair untuk memperluas wilayah kekuasaan. Untuk itu, Musa Ibn Nushair telah mempersiapkan sekitar 18.000 pasukan guna membantu Thariq Ibn Ziyad memperluas wilayah kekuasaan Islam. Pada musim panas tahun 712 M, Musa Ibn Nushair dengan pasukannya menyeberangi selat dan mendarat di benua Eropa. Musa dan pasukannya berhasil merebut Carmona, salah satu kota terkuat pertahannya di Andalusia. Kemudian ia melanjutkan ke Seville dan merebutnya dari tangan orang-orang Gothic. Karena kalah, orang-orang Gothic banyak yang melarikan diri ke Toledo. Mereka bertahan di kota Toledo selama beberapa bulan, sampai akhirnya kota itu juga jatuh ke tangan pasukan Musa Ibn Nushair. Setelah menguasai Toledo, Musa Ibn Nushair dan pasukannya melanjutkan serangan ke Meride, sebuah kota yang pernah menjadi ibu kota Andalusia.
Ekspansi Musa Ibn Nushair dan pasukannya terus berlanjut hingga akhirnya ia berhasil menaklukkan Barcelona. Dari sini kemudian Musa Ibn Nushair melanjutkan usaha ekspansinya ke Cadiz dan Calica. Di suatu tempat di Talavera, Musa Ibn Nushair bertemu dengan Thariq Ibn Ziyad dan memecat Thariq dari jabatan panglima perang. Pemecatan itu terjajdi karena Thariq Ibn Ziyad dianggap tidak mematuhi perintahnya untuk kembali ke Afrika Utara setelah berhasil menaklukkan beberapa kota di Andalusia. Bahkan kemudian Thariq Ibn Ziyad dipenjara karena kesalahan-kesalahaan yang telah dibuatnya. Di sinilah akhir dari riwayat perjalanan hidup seorang mantan jenderal perang Islam yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di negeri Andalusia.
Ternyata, tujuan ekspansi Musa Ibn Nushair tidak hanya sampai di Talavera, ia berambisi untuk mengejar musuhnya hingga ke pegunungan Pyrenia. Lebih dari itu, ia bahkan memutuskan untuk terus melanjutkan ekspansinya ke wilayah selatan Perancis, hingga akhirnya ia mencapai negeri Konstantinopel.
Namun sebelum usaha itu tercapai, datang perintah dari khalifah Walid Ibn Abdul Malik untuk menghentikan serangannya ke Eropa dan ia diminta kembali ke Damaskus. Kebijakan ini dibuat untuk menghindari bahaya yang lebih besar yang akan mengancam umat Islam di Andalusia. Selain itu, khalifah Walid Ibn Abdul Malik merasa takut apabila pengaruh Musa Ibn Nushair melebihi kekuatan pengaruh khalifah sendiri dan merebut wilayah kekuasaan yang telah diraihnya di Eropa. Instruksi itu diterima Musa Ibn Nushair, dan langsung kembali ke Damaskus. Hanya saja ketika ia tiba di kota itu pada 7ahun 96 H/715 M, khalifah Walid Ibn Abdul Malik telah wafat dan yang berkuasa adalah Sulaiman Ibn Abdul Malik, saudara Walid Ibn Abdul Malik. Khalifah baru ini meminta Musa Ibn Nushair untuk menyerahkan kekuasaan dan harta rampasan yang diperolehnya dari negeri Andalusia.
Keinginan khalifah itu sebenarnya telah dipahami oleh Musa Ibn Nushair. Hanya saja pada waktu itu, semua rampasan perang dan berbagai kemegahan yang diperoleh Musa Ibn Nushair dan Thariq Ibn Ziyad telah diserahkan ke khalifah sebelumnya, yaitu Walid Ibn Abdul Malik. Permintaan itu sebenarnya bisa dipahami oleh Musa Ibn Nushair sebagai taktik untuk menjatuhkan dirinya. Hal ini terbukti ketika ia dimasukkan ke penjara hingga meninggal di ruang tahanan itu. Kebijakan inidikeluarkan khalifah Sulaiman, karena ia merasa tersaingi oleh kekuatan dan pengaruh Musa Ibn Nushair. Satu hal yang sebenarnya tidak mesti terjadi.
Begitulah nasib tokoh penting ini mengakhiiri mas ahidupnya. Ia mengalami nasib serupa seperti Thariq Ibn Ziyad. Ruapnya ini merupakan hukum karma bagi orang yang bertindak sewenang-wenang yang telah memcat dan memenjarakan Thariq Ibn Ziyad hingga akhir hayatnya.
Peta wilayah Islam pada masa awal di Andalusia
Sebelum Musa Ibn Nushair meninggalkan Andalusia atau Andalusia untuk kembali ke Damaskus karena panggilan khalifah, ia telah meminta Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair menggantikan posisinya sementara untuk mengatur semua kepentingan masyarakat di Andalusia. Berdasarkan tugas itu, ia kemudian mengorganisir tata pemerintahan dan membentuk dewan khusus untuk menyusun buku undang-undang yang sah sesuai dengan keadaan penduduk Andalusia. Selain itu, ia juga mencurahkan tanaga dan pikirannya untuk membenahi sistem irigasi dan pertanian, sebuah bidang yang selama ini banyak digeluti masyarakat Andalusia. Sehingga para petani mendapatkan hasil maksimal dari usaha pertanian.
Kebijakan lain yang dikeluarkannya adalah membebaskan Andalusia dan masyarakatnya dari perbuatan lalim orang-orang Gothic. Menurunkan pajak, kebijakan toleransi beragama, menghapuskan diskriminasi karena ras dan agama; memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dan menjamin keamanan serta kesejahteraan, selain perlindungan terhadap harta benda dan jiwa mereka. Kebijakan lain yang tak kalah pentingnya adalah asimilisi, yaitu perkawinan campuran antara orang-orang Arab Islam dengan penduduk setempat. Bahkan Abdul Aziz sendiri menikahi janda Roderick yang masih mempertahankan agama dna keyakinannya semula.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Adul Aziz ini menimbulkan simpati rakyat, sehingga banyak yang memeluk Islam. Proses asismilasi ini merupakan salah satu metode penyebaran Islam yang terjadi di banyak negara, termasuk di Andalusia atau Andalusia.
C. Awal Berdirinya Kekuasaan Islam di Andalusia
Keberhasilan Thariq Ibn Ziyad, Musa Ibn Nushair dan pasukan me¬re-ka dalam pengembangan kekuasaan Islam Bani Umayah di Andalusia, mem¬¬buka lembaran baru sejarah politik Islam. Sebab dengan jatuhnya An-da¬¬lusia dan kota-kota penting lainnya di negeri itu, menambah luas daerah kekuasaan Islam dinasti Bani Umayah. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Thariq Ibn Ziyad oleh Musa Ibn Nushair dan penyerahan ke¬kua-saan Musa kepada anaknya, Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair, menandai awal berdirinya kekuasaan Islam di sana.
Abdula Aziz Ibn Musa Ibn Nushair boleh disebut sebagai peletak pertama berdirinya kekuasaan Islam di Andalusia. Sebab ia merupakan orang pertama yang menjadi penguasa di negeri itu setelah dikalahkan oleh pasukan Islam. Kebijakan-kebijakan politik pemerintahan yang dikeluar¬kan¬nya merupakan bukti kepiawaiannya dalam memimpin negeri yang baru saja porak poranda dilanda perang. Keberhasilannya membangun masyarakat baru dan proses penyebaran Islam, merupakan karya nyata yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Terlepas dari kepentingan politik pribadi dan golongan, hal pasti yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa Abdul Azizlah orang yang pertama kali menjalankan roda peme¬rin¬tahan di negeri Andalusia.
Selama masa pemerintahan kewalian, terdapat sejumlah orang wali yang mewakili pemerintahan Bani Umayah di Andalusia. Di antaranya adalah:
1. Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nushair (95-97 H/715-717 M). Masa-masa pemerintahannya meru¬pa¬kan periode awal pemerintahan Islam yang tunduk kepada pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Gelar yang dipakai Abdul Aziz saat itu bukan Amir, melainkan Wali, yang merupakan wakil pemerintah Islam Bani Umayah yang berkedudukan di Andalusia. Semua kebijakan yang dikeluarkannya harus mendapatkan persetujuan khalifah. Di antara usaha yang dilakukannya, selain yang telah disebutkan sebelumnya, adalah perluasan wilayah Islam dan menaklukkan kota-kota yang saat itu belum tunduk di bawah kekuasannya. Kota-kota itu adalah Evora, Santarem, Malaga dan Ellira.
2. Harun Ibn Abdurrahman al-Tsaqafi ( 98-100 H/717-719 M).
3. Saman Ibn Malik al-Khaulani (100-102 H/719-721 M).
4. Anbasah (104-107 H/723-726 M). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menguasai wilayah Gallia, Septimia, dan wilayah dekat sungai Rhone.
5. Abd al-Rahman al-Ghafiqi ( 111/730 H). Pada masa pemerintahan-nya ia dapat menguasai wilayah Hertogdom dan Aquitania yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Perancis.
Para wali inilah yang samat berjasa dalam usaha perluasan dan pengembangan wilayah Islam di Eropa. Atas persetujuan khalifah Bani Umayah di Damaskus, mereka terus melakukan pengembangan wilayah hingga mencapai wilayah Perancis. Usaha ini terus dilakukan hingga dikemudian hari datang anak cucu Muawiyah yang mengambil alih jabatan dari para wali tersebut. Di antaranya adalah Abdurrahman al-Dakhil, yang dikenal dengan sebutan Saqar Qurays ( Garuda Qurays) karena keber¬hasil-annya menyelamatkan diri dari serangan pasukan Bani Abbas dan berkuasa di Andalusia. Sejak kedatangannya, sistem pemerintahan menggunakan gelar Amir atau gubernur jenderal. Hanya saja, para amir yang berkuasa di Andalusia tidak tidak memiliki hubungan politik dengan pemerintahan Bani Abbas yang telah mengambil alih kekuasaan Bani Umayah pada tahun 750 M/132 H. Bahkan mereka menjadi penentang kekuasaan Bani Abbas.
Mengingat begitu jauh keberadaan kekuasaan para Amir ini, para khalifah Bani Abbas tidak banyak berhasil menguasai mereka, selain karena orientasi kebijakan pemerintah Bani Abbas sangat berbeda dengan pemerintahan Bani Umayah sebelumnya. Kalau Bani Umayah orientasinya adalah kekuasaan dan perluasan wilayah, maka Bani Abbas memiliki orientasi pengembangan peradaban. Sementara untuk menjaga wilayah diserahkan kepada para gubernur atau bahkan diberikan kepada para penguasa lokal asal saja mereka masih tetap berada di bawah kekuasaan Bani Abbas dan mengakui keberadaannya. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa negara independen yang dikenal dengan nama al-dawlah al-mustaqillah.
Langganan:
Postingan (Atom)