Senin, 31 Agustus 2009

Rekonsiliasi Politik Umat Islam

‘Â M AL-JAMÂ ‘AH:
Episode Sejarah yang Nyaris Terabaikan

Masa pemerintahan al-Hasan ibn Ali pada periode klasik dapat dikatakan sebagai masa transisi, sebab ia hanya berkuasa selama lebih kurang enam bulan sebelum masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah menerima jabatan khilafah itu setelah penyerahan kekuasaan dari tangan al-Hasan pada 41 H/661 M di Maskin. Peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan sebuitan am al-jama’ah. Akan tetapi, tidak banyak orang tahu peristiwa âm al-jama’ah yang terjadi di Maskin pada 661 M/41 H, bahkan hanya sejumlah kecil sejarawan yang berhasil men¬je¬las¬kan episode sejarah ini dengan baik, di antaranya adalah al-Tabary. Selain itu, tidak banyak data dan alasan yang ditemukan mengapa para seja¬rawan kurang tertarik mem¬bi¬ca¬ra¬kannya. Padahal âm al-jama’ah ini meru¬pa¬kan salah satu episode penting dalam panggung sejarah politik umat Islam, karena ia merupakan tahapan awal se¬buah rekonsiliasi umat pasca ‘Ali ibn Abi Talib. Ada dugaan sementara bahwa ke¬kurangtertarikan para sejara¬waran untuk menjelaskan masalah ini disebab¬kan ka¬re¬naâm al-jama’ah hanya merupakan partikel kecil dari debu sejarah politik umat Islam ketika itu. Du¬gaan lain karena peristiwa itu tidak banyak memiliki im¬plikasi politik secara global bagi dunia Islam ketika itu, selain tidak membawa pengaruh bagi perkembangan teologi Islam, yang sering disebut ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Namun dari hasil penelusuran fakta dan data sejarah, dugaan tersebut tidaklah benar seratus prosen, sebab ternyata âm al-jama’ah mem¬bawa implikasi politik dan teologis yang relatif cukup kuat bagi dunia Islam. Impli¬kasi politik itu, misalnya ditandai oleh bersatunya umat Islam di bawah satu ke¬pe¬mimpinan tunggal, yaitu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dari Bani Umayyah, yang se¬be¬lumnya kelompok-kelompok Islam terfrag¬men¬tasi ke beberapa partai atau kelompok politik pasca terbunuhnya khalifah Uthman ibn Affan. Sementara im¬plikiasi teologis dapat dilihat dari semakin mengkristalnya ideologi ke¬agamaan faksi-faksi yang ber¬tikai, semisal kelompok Khawarij, Murji’ah, Syi’ah dan kelompok Sunni. Kelompok-ke¬lompok Khawarij dan Syi’ah mulai melakukan berbagai gerakan perlawanan guna menentang kekuasaan Bani Umayah, yang dianggap telah melakukan kudeta ter¬ha¬dap kekuasaan al-Hasan dari Bani Hasyim. Sementara penguasa Bani Umayyah me¬lawannya dengan membentuk kelompok Sunni yang didukung oleh mayoritas mus¬lim ketika itu.

Jabatan Khalîfah
Mahkota yang Diperebutkan
Setelah terbunuhnya Khalifah Uthmn ibn Affn, para sahabat dari Muhajirin dan Ansr, termasuk °alah dan Zubeir mendatangi Al ibn Ab °lib dan meminta kesediaannya untuk menjadi khalifah pengganti Uthmn. Kedatangan °alah dan Zubeir kepada Al terdorong oleh kehendak umat, dan mereka adalah massa pemberontak yang mempelopori pembaiatan terhadap Al ibn Ab °lib. Di antara alasan mengapa mereka memilih Al, seperti dikatakan ibn Qutaybah al-Dinwar, karena Al lebih berhak dan karena kedekatannya dengan Nabi dalam hubungan kekerabatan. Pada mulanya Al menolak, dan mengatakan kepada massa ketika itu, “tinggalkan aku dan cari yang lain. Karena masalah ini bukan urusan kalian, tetapi urusan para tokoh al al-shr bersama al al-Badr. Siapa saja yang disetujui oleh tokoh-tokoh itu, dialah yang berhak menjadi khalifah. Karena itu, kami akan berkumpul dan memba¬hasnya “.
Akan tetapi, karena adanya desakan massa yang membutuhkan seorang pemimpin dalam situasi kritis seperti itu, akhirnya Al menerima tawaran itu, selain tidak ada sahabat yang mau menerima tawaran jabatan khilafah. Maka dibaiatlah Al di masjid di hadapan kaum Muhjirn dan Ansr pada tanggal 18 Dzulhijjah 36 H (17 Juni 656 M). Pembaiatan ini dilakukan oleh para sahabat, seperti °alah ibn ‘Ubaid Allh dan Zubeir ibn al-Awwm. Keduanya melakukan baiat setelah dipaksa oleh yang lain atau melakukannya setengah hati. Begitu juga sahabat Saad ibn Ab Waqqs dan Abd Allh ibn Umar melakukan baiat setelah umat Islam melakukannya.
Penobatan Al ibn Ab °lib sebagai khalifah bukan tidak mendapat tan¬tangan dari sahabat lain, beberapa orang sahabat nabi dari kelompok Ansr (nufairan yasiran) menolak melakukannya, mereka adalah assan ibn Thbit, Kaab ibn Mlik, Maslamah ibn Mukhallid, Ab Sad al-Khudr, Muammad ibn Maslamah, al-Numn ibn Basyair, Zaid ibn Thbit, Rfi ibn Khudaij, Fudhlah ibn Ubaid, dan Kaab ibn Ujrah. Mereka disebut kelompokUthmniyyah, para pendukung Uthmn. Alasan penolakan mereka, menurut al-°abr cukup beragam. assan ibn Thbit, misalnya, ia adalah seorang penyair (sastrawan), yang tidak peduli atas peristiwa yang terjadi. Zaid ibn Thbit, punya kepentingan lain. Ia menolak karena ia adalah orang kepercayaan Uthmn untuk mengurusi departeman keuangan dan bait al-ml, ketika Uthmn terbunuh, ia berbicara di hadapan massa, “wahai masyarakat muslim, jadilah penolong Allah”. Ucapan itu dibalas Ab Ayyb al-Ansri, bahwa ucapannya itu hanya akan mendatangkan banyak musuh. Sementara Kaab ibn Mlik, dia adalah kepercayaan Uthmn untuk menjadi petugas pengumpul saede¬kah. Karenanya tidak mungkin saat itu ia begitu mudah menyatakan sumpah setia kepada orang yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa terbunuhnya Khalifah Uthmn ibn Affn.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penobatan Al sebagai khalifah saat itu masih dianggap kontroversial, karena tidak mendapat dukungan bulat dari masyarakat, bahkan ada sebagian tokoh Madinah seperti Qudmah ibn Mazn, Abd Allh ibn Sallm dan al-Mughrah ibn Shubah, tidak melakukan baiat, malah justeru pergi meninggalkan Madinah menuju Sham.
Berbeda dengan penduduk Kufah dan Madinah, orang-orang Basrah malah menginginkan °alah menjadi khalifah, sedang penduduk Makah menginginkan Zubeir ibn al-Awwm. Tetapi kemudian masyarakat Basrah juga menyatakan baiat kepada Al. Sementara itu, Muwiyah ibn Ab Sufyn sebagai gubernur Syam tidak bersedia atau menolak melakukan baiat kepada Al, bahkan dengan terbuka Muwiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah , karena menganggap dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikan Uthmn ibn Affn. Dalam beberapa keterangan yang dicatat Ibn Qutaybah al-Dinwr, Muwiyah adalah orang yang paling berhak menuntut balas atas kematian Uthmn dan mengendalikan pemerin¬tahan, karena ia adalah walinya. Muwiyah dan kelompoknya tidak mau menya-takan baiat kepada Al, menurut al-Farsyi, awalnya bukan karena ia membangkang (bughat) atas perintah Al untuk menyatakan baiat, tetapi karena ia menghendaki terlebih dahulu agar Al menangkap dan menghukum pembunuh Uthmn. Apabila Al tidak mampu melakukannya, maka ia tidak mau tunduk kepada Al.
Dengan demikian, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa apapun alasan yang dikemukakan Muwiyah saat itu untuk tidak tunduk kepada Al, hal pasti yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa Muwiyah sebenarnya hanya mengulur waktu menunggu saat yang tepat untuk memperoleh kedudukan sebagai khalifah. Sebab, dia melihat tampaknya tidak mungkin ketika itu Al menangkap dan meng¬hukum para pemberontak yang membunuh Khalifah Uthmn ibn Affn, karena mereka adalah orang-orang yang mengantarkan Al menjadi khalifah. Selain itu, kursi kekuasaan dan jabatan khilafah merupakan mahkota yang harus direbut dari tangan orang yang cukup diperhitungkan karena mendapat dukungan dari para sahabat dan tokoh-tokoh penting ketika itu. Karena itu ia mencoba menunggu saat yang tepat guna mengambil alh kekuasaan tersebut, karenanya ia tidak melakukan kudeta meskipun secara militer dan massa, ia memiliki kekuatan yang relatif cukup di wilayah Sham. Padahal, dalam berbagai propaganda yang dilakukannya, ia selalu menganggap dirinya sebagai wali Uthmn dan berhak menuntut balas atas kematian Uthmn serta berhak pula menjadi penggantinya. Muwiyah dan kelompok pen¬dukungnya, terutama Amr ibn al-²s, dalam keterangan al-Dinr dan analisis Watt, melakukan propaganda kepada pendukungnya di Sham bahwa Muwiyahlah orang yang paling berhak menduduki jabatan khilafah, karena ia adalah walinya. Hal ini didasari atas sebuah ayat yang menyatakan bahwa “siapa yang terbunuh secara aniaya, maka kami menjadikan walinya sebagai penguasa”. Dasar inilah yang dijadikan argumen Muwiyah dan para pendukungnya untuk menolak kekhi¬la¬fah¬an Al, dan mengklaim dirinya sebagai wl Uthmn ibn Affn.
Sebenarnya, penolakan Muwiyah untuk tidak melakukan baiat kepada Al ibn Ab °lib, tidak mengurangi kekhalifahan Al, sebab Al telah mendapat pengakuan dari para sahabat, baik dari Muhajirin atau Anshar. Meskipun begitu, ia tetap mengakui kesenioran Al dan kedekatannya dengan Nabi. Persoalan yang terjadi di antara keduanya, dan ini yang menjadi penyebab keengganan Muwiyah melakukan baiat adalah tuntutan Muwiyah kepada Al agar segera menangkap dan menyerahkan mereka kepada Muwiyah untuk diqisas, setelah itu baru ia akan membaiat Al. Tetapi kenyataan yang terjadi saat itu adalah Al belum mau melakukan tuntutan Muwiyah karena situasinya belum tepat. Hal ini kemudian dijadikan alasan bagi Muwiyah untuk menentang Al.
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya problem yang menjadi penghambat Muwiyah untuk tidak mengakui kekhalifahan Al awalnya adalah persoalan qisas, bukan semata masalah khilafah. Hal ini seperti diungkap oleh al-°abr bahwa Muwiyah dan para pendukungnya dari Syam berpendapat bahwa Al harus terlebih dahulu melakukan qisas terhadap pembunuh Uthmn, barulah mereka akna ikut baiat. Apabila tidak dilakukan, maka pedang akan bicara. Begitu surat jawaban yang dikirim Muwiyah kepada Al, setelah Al mengirim surat dan mengutus sahabatnya bernama Bashr ibn Ab Masd al-Ansr. Jawaban ini tentu saja mengecewakan Al yang sebenarnya menginginkan agar Muwiyah mau mem¬baiatnya dan bekerjasama dengan Al dalam menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi.
Karena tidak mendapat jawaban positif dari Muwiyah, akhirnya Al mengirim sahabat bernama Jarr ibn Abd Allh menemui Muwiyah di Sham. Isi surat itu antara lain mengajak kembali Muwiyah untuk taat dan mengakui ke¬khi¬lafahannya, bila tidak maka ia akan memerangi Muwiyah dan mereka yang tidak mau tunduk di bawah kepemimpinannya. Bahkan dalam surat itu dijelaskan, bahwa sebenarnya Muwiyah tidak berhak atas jabatan itu, sebab dia adalah termasuk salah seorang tulaq, yaitu orang yang dibiarkan tetap hidup bebas pada waktu fath al-Makkah.
Dengan memahami surat tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya – menurut para pendukung Aljabatan khilafah hanya Al yang berhak memegang¬nya saat itu, setelah mendapat pengakuan dari °alhah, Zubeir dan masyarakat mus¬lim lainnya, baik di Madinah, Makah maupun Kufah dan Basrah, meskipun tidak memperoleh dukungan dengan suara bulat, tetapi ia telah dianggap sah sebagai khalifah ketika itu. Sementara Muwiyah sendiri tidak memiliki hak atas jabatan itu, meskipun ia mengatakan bahwa ia adalah walinya Uthmn. Meskipun begitu, bu¬kan berarti Muwiyah tinggal diam, dengan berbagai cara dan usaha dila¬ku¬kan¬nya untuk memperoleh jabatan tersebut, termasuk melawan kekuatan Al di Siffin yang diselesaikan lewat tahkm, yang menandai kekalahan Al dalam berdiplomasi dan berpolitik. Usaha untuk menggabungkan kekuasa¬annya dengan kekuasaan Al baru tercapai setelah l-asan mengakui kekuasan yang ada pada Muwiyah dalam peristiwa m al-jamah 661 M.

Am al–Jama’ah dan Reaksi Masyarakat Muslim .

Seperti telah disinggung sedikit pada bagian terdahulu, bahwa upaya yang dilakukan al-asan ibn Al untuk menyelesaikan berbagai konflik dan ketegangan politik serta perseteruan antara dirinya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, menimbulkan pro-kontra, baik di antara mereka yang pernah mendukung kepemimpinan al-asan maupun mereka yang memang tidak setuju atas pengangkatan tersebut. Salah seorang tokoh terkenal yang pernah mendukung pengangkatan al-asan ibn Al dan bahkan ia dikabarkan orang pertama yang meminta supaya al-asan membentangkan kedua tangannya untuk dibai’at adalah Qyas ibn Sa’ad ibn Ubadah, menyesalkan tindakan al-asan, dan juga sikap para prajuritnya yang selama itu membelanya di ber¬bagai peperangan, malah lebih memilih berdamai dan bergabung dengan Mu¬wiyah, meskipun Muwiyah dipandang orang lalim. Dalam keadaan seperti ini, Qays merasa dikhianati, tidak hanya oleh al-Hasan juga pasu¬kan¬nya. Bahkan pasukannya lebih memilih pemimpin (imam) yang sesat, ketim¬bang terus berperang antar sesama. karenanya ia lebih memilih pergi me¬ninggalkan al-Hasan, setelah
Selain Qays, ada pula seorang tokoh masyarakat Kufah bernama Sulaiman ibn Surad, yang pernah menjadi sahabat dekat Al ibn Ab °lib dan mengikuti perperangan Jamal dan Siffin. Namun kemudian ia keluar dari barisan Al karena tidak setuju atas kebijakan tahkim. Pada saat peristiwa am al-Jamah, ia tidak berada di Kufah, tapi di Madinah. Setelah ia tahu bahwa al-asan ibn Al telah melakukan penyerahan “kekuasaan”kepada Muwiyah pada tahun 41 H/661 M di Maskin, dan Muwiyah telah kembali ke Damaskus, Syria, Sulaiman kembali ke Kufah. Ketiba tiba di kota Kufah, ia langsung menemui al-asan ibn Al di rumahnya. Dihadapannya Sulaiman ibn Surad seperti ditulis al-Dinwar mengungkapkan kata-kata yang mengejek kelemahan al-asan. Ia bilang, ”Salam sejahtera hai penghina kaum mukmin.“ Al-asan menjawab, ”Salam sejahtera pula, silakan duduk.” Sete¬lah itu Sulaiman berujar ”Kami merasa heran, belum usai perasaan kami membai’atmu, Anda telah melakukan bai’at kepada Muwiyah. Padahal Anda memiliki 100.000 (sic) pasukan yang berasal dari penduduk Irak dan Hijaz yang siap membela Anda. Kenapa Anda tidak menggunakan keper¬ca¬yaan yang telah kami berikan. Malah Anda memanfaatkannya untuk mem¬bai’at Muwiyah.” Kemudian al-asan menjawab. ”Kalian adalah para pengikut dan pendukung setiaku. Aku menerima nasihatmu hai Sulaiman, tetapi aku memiliki pandangan yang berbeda dengan kalian. Aku lebih suka perdamaian daripada peperangan.” Jawaban ini juga tidak memuaskan Sulaiman, karenanya ia lebih memilih menyendiri (‘uzlah) dari hingar bingar politik.
Tampaknya, baik Qays ibn Sa’ad maupun Sulaiman ibn Surad, ter¬pak-sa menerima keputusan al-asan yang mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Reaksi mereka memang beragam, ada yang kecewa, tapi mereka konpensasikan dengan cara mereka masing-masing, seperti Qays yang lebih memilih diam dan menetap untuk selamanya di Madinah dan beribadah, ada pula yang berusaha dengan menyusun kekuatan untuk melawan pasukan lawan mereka, seperti Sulaiman ibn Surad, meskipun agak terlambat, tetapi ada upaya penolakan yang dilakukan Sulaiman sebagai bukti ketidak¬su¬ka¬an¬nya terhadap perilaku al-asan yang seenaknya memberikan kekuasaan ke¬pada Muwiyah ibn Ab Sufyn. Tetapi sekali lagi hal itu menggambarkan adanya berbagai reaksi yang muncul pada saat dan setelah peristiwa am al-Jamah. Akan tetapi pada umumnya, masyarakat menerima kenyataan itu sebagai sebuah realitas politik yang harus mereka terima dan hadapi.

Implikasi Politik Peristiwa ²m al-Jamah:

Mengerasnya Perlawanan Kelompok Khawarij
dan Kemunculan Kelompok al-Tawwabun

Seperti diketahui bahwa konflik politik yang terjadi pada masa pe¬me-rintahan Uthman ibn Affn yang berujung pada pembunuhan, menim-bul¬kan persoalan baru dalam sejarah politik umat Islam. Sebab setelah itu, muncul kelompok pendukung ‘Uthmn yang disebut ‘Uthmniyyah berusaha menentang kekuatan pemerintahan Al ibn Ab °lib. Kelompok Uth¬mniy¬yah yang dipelopori Muwiyah ibn Ab Sufyn mengancam tidak akan tun¬duk terhadap pemerintahan Al, bila Al tidak mampu mengusut tuntas tra¬gedi pembunuhan khalifah Usman. Sebagai penguasa, Al telah melakukan tindakan terhadap mereka karena mereka dipandang melakukan pem¬bang¬kangan (bughat) terhadap penguasa. Tindakan yang dilakukan Al tersebut berdampak pada semakin kuatnya bentuk-bentuk perlawanan yang diarah¬kan kepadanya. Kelompok Muwiyah, misalnya, yang memang sejak awal pengangkatan Al sebagai khalifah tidak mau melakukan bai’at atau tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya sebelum Al berhasil menangkap dan meng-qisas para pembunuh Usman. Konflik keduanya berujung pada pepe¬rangan di Siffin pada tahun 657 M dan diselesaikan lewat tahkim. Perang ini dalam sejarah Islam dipandang sebagai akar sejarah bagi timbulnya aliran-aliran yang memiliki visi politik. Ada dua aliran (partai) bahkan dua kecen¬de-rungan yang masing-masing melahirkan banyak aliran yang lahir sebagai imlikasi dari peperangan tersebut, yaitu Syiah dan Khawarij. Keduanya mun¬cul diakibatkan oleh satu faktor, yaitu ekstrimitas. Timbulnya Khawarij mem¬beri saham besar bagi asal usul penyebaran Syi’ah. Klaim ekstremitas yang dipropagandakan oleh satu aliran di atas menjustifikasi munculnya eks¬trem¬itas tandingan dari aliran lainnya. Pergumulan antara dua partai tersebut me¬lahirkan sebuah orientasi akomodatif yang bertujuan menengahi dua kelom¬pok yang bertikai, yaitu kelompok moderat (Murjiah). Kelompok ini tampak¬nya tidak berani memunculkan visinya sendiri yang akhirnya juga mengikuti visi salah satu dari dua kelompok tersebut di atas.
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa kelompok sempalan pada masa itu hanyalah sekelompok kecil masyarakat muslim dan kebanyakan berasal dari penduduk yang wilayahnya baru ditaklukkan Islam, sehingga pemahaman keagamaannya masih relatif minim, dan loyalitas mereka terhadap pemimpin belum teruji. Karenanya ketika pasukan Muwiyah mengusung mushaf di ujung tombak tanda perdamaian, langsung mereka berhenti berperang dan meminta Al agar persoalan diselesaikan lewat jalan damai. Usaha penyelesaian lewat tahkim ternyata tidak disetujui Al dan juga para . Proses penyelesaian konflik lewat tahkim ternyata juga tidak menuntaskan masalah, malah justeru menimbulkan persoalan baru, yaitu menyempalnya barisan pendukung Al yang kecewa atas hasil yang dicapai di Dumat al-Jandal itu. Kelompok sempalan ini kemudian hari dikenal dengan sebutan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik terhadap Al maupun terhadap Muwiyah. Penentangan mereka terhadap Al, karena Al telah dipandang salah dalam memutuskan masalah yang tidak didasari atas ketentuan hukum Allah. Kalimat “tiada hukum kecuali hukum Allah” kemudian menjadi jargon mereka. Dengan menggunakan jargon semecama ini, kelompok khawarij dengan berbagai cabang, seakan melegalkan penyerangan bahkan pembunuhan terhadap lawan politik mereka. Bahkan Al sendiri sudah dianggap musuh yang wajib diperangi, hingga akhhirnya Al terbunuh dan al-asan dibaiat menjadi penggantinya, walau kemudian al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam peristiwa m al-jamah di Maskin tahun 661 M.
Pengakuan al-asan dan para pengikutnya terhadap kekuasaan Muwiyah menimbulkan ketenangan sementara (ekuilibrium) masa-masa awal pemerintahan Muwiyah, karena kelompok pendukung Al (syi’atu Al) tidak melakukan perlawanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, masa itu mulai meredup atau bahkan menghilang, karena pola pemerintahan Muwiyah yang dianggap begitu”keras”, sehingga terjadi kristalisasi ideologi dan gerakan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik pada masa awal pemerintahan Muwiyah maupun masa-masa sesudahnya. Tokoh pertama dari partai ini yang melakukan pemberontakan melawan kekuatan Muwiyah setelah al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah, menurut al-°abr adalah Farwah ibn Naufal al-Asyja’i. Ketika itu ia berseru kepada kaum khawarij, kini tiba saatnya pergi berangkat memerangi Muwiyah.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, lanjut al-°abr, Muwiyah mengirim pasukan berkuda terdiri dari penduduk Syam untuk menggempur Farwah, tetapi pasukan ini dapat dikalahlan oleh Farwah, dengan pasukan berkekuatan sekitar 500 orang. Mendengar kekalahan ini, Muwiyah geram dan bersumpah akan mengalahkan mereka. Muwiyah berkata kepada penduduk Kufah, aku tidak akan jamin keamanan kalian, hingga kalian menghentikan kejahatan-kejahatan kalian. Karena khawatir Muwiyah akan membumi¬hanguskan Kufah, maka penduduk Kufah berusaha mengusir dan memerangi kelompok khawarij. Kelompok khawarij kemudian terhenyak dan berkomentar, celaka, apa yang kalian kehendaki dari kami? Bukankah Muwiyah itu musuh kami dan juga musuh kalian? Oleh karena itu, biarkanlah kami memerangi Muwiyah. Bila kami menang, berarti kami telah menyingkirkan musuh-musuh kalian. Sebaliknya, bila kami kalah, berarti kalian telah menyingkirkan kami. Akan tetapi, penduduk Kufah tidak peduli atas gertakan tersebut, dan kemudian mereka melakukan serangan terhadap kelompok Farwah. Untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di Kufah, Muwiyah kemudian berencana mengangkat Amr ibn al-A, tetapi dipotes oleh al-Mughirah ibn Syu’bah, karena, menurut al-Mughirah, seperti diriwayatkan al-°abr, sama saja ia memelihara anak macan. Kemudian al-Mughirah sendiri yang ditunjuk menjadi gubernur di Kufah. Keputusan ini juga diprotes Amr, karena al-Mughirah dianggap orang yang akan mengambil pajak tanah untuk dirinya dan tidak disetor ke Muwiyah.
Dari perdebatan seperti diriwayatkan al-°abr di atas, kiranya dapat ditegaskan di sini bahwa ternyata di dalam barisan Muwiyah juga terdapat orang-orang yang haus kekuasaan dan berusaha merebut simpati Muwiyah. Dala kata lain, terdapat intrik politik yang kemungkinan suatu saat akan merugikan kekuatan Muwiyah sendiri bila Muwiyah tidak mampu memanaj konflik internal yang ada di antara mereka. Tetapi, bukan Muwiyah namanya bila ia tidak mampu mengatasi hal semacam itu. Muwiyah memenuhi semua keperluan kelompoknya agar mereka tidak terpecah menjadi beberapa friksi yang akan mengganggu kinerja pemerintahan Muwiyah. Sebab di hadapan Muwiyah, masih banyak tugas yang akan dikerjakan, termasuk memulihkan keamanan dalam negeri dengan mengatasi berbagai gejolak sosial dan politik akibat banyaknya kelompok yang tidak suka atas kepemimpinannya ketika itu.
Kemudian pada tahun berikutnya, yaitu tahun 42 H, para veteran perang Nahrawan berkumpul mengenang para kurban yang mempertahankan prinsip mereka. Kelompok ini menyerahkan tampuk pimpinan kepada Mustaurid ibn Ulfah, dan dibantu oleh Hayyan ibn Zibyan alSulma dan Muaz ibn Juwain. Mereka ini, menurut al-°abr, mendapat banyak dukungan sehingga kekuatan mereka semakin bertambah guna menghadapi pertempuran selanjutnya. Akan tetapi, gubernur Kufah ketika itu al-Mughirah ibn Syu’bah berhasil menangkap beberapa orang pemimpin mereka sebelum terjadi pertempuran. Di antara pemimpin mereka yang ditangkap adalah ayyan ibn Zibyan dan Muaz ibn Juwain, sedang Mustaurid sendiri yang digelari oleh kelompk khawarij sebagai amir al-mukminin, berhasil lolos. Kemudian ia menyusun kekuatan kembali dan mempersiapkan pasukannya guna melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tetapi, kekuatan ini, sekali lagi dapat dikalahkan oleh Maqil ibn Qays yang memimpin pasukan pemerintah Muwiyah.
Kekuatan pasukan pemerintah Muwiyah semakin kokoh ketika Ziyd ibn Abhi bergabung dengan Muwiyah. Karena kedekatan darah (sering juga disebut Ziyd ibn Ab Sufyn), akhirnya ia diberi jabatan sebagai gubernur Basrah pada tahun 45 H, dan wilayah kekuasaannya semakin meluas meliputi ketika al-Mughirah wafat pada tahun 51 H. Tugas utama Ziyd selain menjalankan pemerintahan wilayah, juga mengatasi berbagai pemberontakan yang kerap terjadi di Kufah, kkhususnya para pemberontak yang berafiliasi ke kelompok khawarij. Kelompok khawarij mulai memperlihatkan kelemahannya dalam melancarkan gerakan selama masa pemerintahan gubernur Ziyd hingga Ziyd wafat tahun 55 H. Akan tetapi, kelompok ini–menurut al-°abr—mulai menampakkan kekuatannya kembali ketika Ubaid Allh ibn Ziyd (putera Ziyd) menggantikan kedudukan ayahnya sebagai gubernur di Basrah tahun 55 H. Tampaknya, sikap tegas Ubaid Allh ini sama seperti ayahnya, ia tidak mengenal kompromi terhadap para perusuh dan pemberontak seperti kelompok khawarij. Di antara tokoh khawarij yang dapat dikalahkannya ketika itu adalah Urwah ibn Adiyah, Abu Bilal Mirdas ibn Adiyah. Kematian kedua tokoh ini semakin memperkuat keinginan Ubaid Allh ibn Ziyd untuk menumpas semua gerakan perlawanan yang diarahkan kepada pemerintahan Bani Umayah.
Dalam perkembangan berikutnya, kelompok khawarij mengalami masa perkembangan yang cukup baik, ketika kelompok ini berada di bawah pimpinan al-Muhallab ibn Sufrah. Sebab sekitar tahun enam puluhan dan tujuh puluhah ketika pendekar-pendekar Muwiyah meninggal, seperti al-Mughrah ibn Shu’bah, Ziyd ibn Abhi, ‘Ubaid Allh ibn Ziyd, seakan kelompok khawarij menemukan masa kebebasan setelah lama tidak berhasil melakukan perlawanan terhadap penguasa Ban Umayyah. Kelompok ini masih mengenang bagaimana para pendahulu mereka tewas bergelimpangan di tangan orang-orang Muwiyah, mereka masih menyimpan rasa dendam terhadap Muwiyah dan para penguasa Ban Umayyah. Kemunculan kelompok ini juga didasari atas kenyataan bahwa Muwiyah telah meninggal, sehingga situasinya memungkinkan bagi kelompok ini untuk menyusun kekuatan dan melakukan gerakan kembali. Rekonsolidasi dilakukan dan kemudian mereka memilih pimpinan baru yang lebih siap untuk melakukan berbagai bentuk perlawanan, yaitu Nafi’ ibn Azrq (azriqah) dan Qatar ibn Fujah. Akan tetapi, kekuatan kelompok ini juga menemukan lawan politik yang cukup kuat, karena di barisan Ban Umayyah ada Marwn ibn al-akam, al-ajjj ibn Ysuf dan al-Muallab ibn Sufrah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menguatnya kelompok khawarij juga ditandingi dengan kekuatan pemerintah, sehingga saat itu bisa dikatakan ada dua kekuatan besar yang mengancam kekuatan pemerintahan Bani Umayah. Sekiranya tidak terjadi perpecahan di kalangan kelompok khawarij, kemungkinan sejarah akan berbicara lain.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa setelah Muwiyah meninggal, kelompok khawarij menggabungkan diri dengan Abd Allh ibn Zubeir di Makah. Akan tetapi kemudian mereka menyempal lagi dan menganggap diri mereka bersalah karena telah memberikan pertolongan kepada Ibn Zubeir, kemudian mereka pergi meninggalkan Ibn Zubeir di Makah. Setelah itu mereka kemudian terpecah menjadi dua golongan, Azriqah dan Najdat. Golongan pertama pergi menuju Basrah, sedang golongan kedua menuju Yamamah. Golongan pertama ini lebih kuat dan lebih ekstrem, karena Nafi’ ibn Azraq menghalalkan membunuh anak-anak dan mengkafirkan orang-orang yang tidak mau ikut berperang, dan menganggap harta mereka halal.
Usaha Nafi’ ibn Azraq berhasil menguasai al-Ahwaz, karena situasi politik pemerintahan Bani Umayah tengah kacau. Tetapi karena prinsip politik dan doktrinnya itu, akhirnya ia juga mendapat banyak tantangan dari penduduk yang telah memberikan dukungan pada saat penaklukkan al-Ahwaz. Oleh sebab itu kemudian penduduk Basrah mengangkat al-Muallab ibn Sufrah sebagai pemimpin mereka, yang telah bersiap untuk menyerang kelompok khawarij dan berhasil membunuh Nafi ibn Azraq. Sukses ini menambah kuat posisi al-Muhallab dan usaha kelompok khawarij untuk melakukan pemberontakan semakin susah. Tetapi setelah al-Muhallab dipindahtugaskan menjadi gubernur di Khurasan, kelompok khawarij melakukan gerakan kembali. Gerakan ini dirasakan sangat mengganggu ketentraman masyarakat Basrah, sehingga mereka meminta kepada kepada Musab, gubernur Basrah, untuk mengembalikan al-Muhallab ibn Sufrah ke Basrah. Permintaan mereka dikabulkan dan al-Muallab memerangi kelompok khawarij yang ketika itu kepemimpinan berada di tangan Qatary ibn al-Fujaah.
Kelompok Khawarij, meskipun terus digempur pemerintah, terus melakukan gerakan perlawanan. Gerakan ini tidak hanya berhenti pada masa-masa awal dan pertengahan pemerintahan Bani Umayah, juga pada masa-masa akhir pemerintahan. Gerakan terakhir yang dilakukan ke¬lom¬pok khawarij pada masa akhir pemerintahan Bani Umayah adalah ge¬rak¬an yang dilakukan oleh Hamzah al-Khariji di Makah pada tahun 129 H, dan berhasil menguasai Makah dan Madinah pada tahun 130 H. Tetapi Marawan ibn Muammad, khalifah terakhir Bani Umayah mengi¬rim pa¬sukan guna menggempur kelompok pemberontak ini, hingga akhirnya kelompok ini dapat dihancurkan. Seiring dengan melemahnya kelompok Khawarij, pemerintahan Bani Umayah juga mengalami masa-masa kemun¬duran dan kehancuran. Energi pemerintah terkuras dipergukan untuk mengatasi berbagai gejolak politik dan sosial. Kenyataan ini ditambah kemunculan kelompok yang mengatasnamakan al al-bait guna merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayah.
Selain kelompok Khawarij yang banyak menghabiskan energi pe-merintah dalam mengatasi berbagai pemberontakan yang dilakukannya, juga terdapat gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh al-usein ibn Al dan kelompok al-tawwabun, (orang-orang yang bertobat).
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa upaya al-asan ibn Al membaiat Muwiyah ditentang oleh al-usein, karena dianggap telah mengkhianati amanah umat yang telah menunjukkan menjadi khalifah. Begitu juga ketika al-asan berencana kembali ke Madinah dan menetap di sana dengan meninggalkan problem politik dan konflik sosial yang tengah terjadi, al-usein juga menunjukkan sikap keti¬dak¬setu¬juan¬nya. Al-usein mau menuruti perintah kakaknya karena ia mendapat amanah dari ayahnya untuk selalu bersama dan menuruti ucapan kakak¬nya itu, termasuk masalah khilafah. Dalam perjanjian dengan Muwiyah pada peristiwa m al-jamah 661 M, disepakati bahwa persoalan khilafah sepeninggal Muwiyah harus diserahkan kepada umat Islam untuk me-nentukan pilihan mereka, siapa yang paling layak menjadi pemimpin. Tetapi sebelum meninggal, Muwiyah telah mengangkat Yazd pute¬ra¬nya sendiri sebagai penggantinya kelak. Tindakan ini tentu saja menge¬ce¬wakan banyak pihak, termasuk al-usein sendiri.
Setelah Muwiyah wafat pada hari Kamis bulan Rajab tahun 60 H. Yazd naik tahta dan dia meminta seluruh penduduk yang berada di bawah wilayah kekuasaannya membai’atnya, termasuk al-usein ibn Al. Untuk itu, Yazd meminta gubernur Madinah al-Walid ibn Utbah ibn Ab Sufyn menemui al-usein dan meminta bai’at darinya. Tetapi, menurut al-°abr, al-usein tidak mau melakukannya saat itu, bahkan kemudian ia pergi ke Makah bersama isteri dan keluarganya.
Di Makah, al-usein menerima banyak tawaran dari penduduk Kufah agar ia pergi ke Kufah, karena merekan akan membelanya. Permintaan tersebut tidak begitu saja diterima, tetapi al-usein mengutus Muslim ibn Aqil ibn Ab °lib untuk menyelediki keadaaan sebenarnya. Kedatangan Muslim diterima dengan baik oleh penduduk Kufah. Me¬lihat kenyataan ini, Muslim memerintahkan al-usein untuk segera pergi ke Kufah dan meninggalkan Makah, karena di kota ini ia dan keluarganya akan aman. Tetapi apa yang terjadi, rencana kepergian al-usein dike¬ta¬hui oleh Yazd, sehingga ia memerintahkan Ubaid Allh ibn Ziyd pergi ke Kufah dan menggantikan posisi Nu’man ibn Basyir sebagai gubernur baru. Di sini Ubaid Allh diperintahkan untuk menghukum mereka yang membantu al-usein, termasuk Muhamad ibn Aqil yang tengah ber¬lin¬dung di rumah Hani ibn Urwah. Kedua orang ini kemudian dibunuh, dan peristiwa itu tidak diketahui al-usein. Keinginan dan tekad al-u¬sein untuk pergi ke Kufah sangat kuat, meskipun telah disarankan oleh Ibn Abbas agar membatalkan niatnya itu. Karena Ibn Abbs tahu bahwa masyarakat Kufah adalah masyarakat yang tidak dapat dipegang ucap¬an¬nya. Setelah mendapat saran dari tetap akan dilaksanakan. Selain Ibn Abbs, al-usein juga mendapat nasihat dari Abd Allh ibn Muti al-Adwi, salah seorang pemimpin Arab. Ia memberi saran agar al-usein tidak datang ke Kufah dan jangan melawan kekuatan Bani Umayah, ka¬re¬na ia akan membunuhmu.
Di tengah perjalanan, masih menurut al-°abr, al-Husein juga bertemu dengan Bakir ibn Salabah al-Asadi. Kebetulan dua orang pe¬ng¬ikut al-usein berasal dari Bani Asad, yaitu Abd Allh ibn Salim al-Asadi dan al-Muzr ibn al-Musyamil al-Asadi. Kedua orang ini bertanya ten¬tang keadaan Kufah dan peristiwa yang menimpa Muammad ibn Aqil kepada Bakir. Bakir menjelaskan bahwa kedua orang tersebut telah di¬bu¬nuh, karena ia menyarankan agar al-Husein kembali ke Hijaz dan mem¬batalkan rencananya menetap di Kufah. Tetapi lagi-lagi nasihat tersebut diabaikan oleh al-Husein, sehingga ia tetap melanjutkan perjalannya ke Kufah. Mendengar keterangan itu, al-Husein memberikan kebebasan ke¬pada para pengikutnya, mereka yang mau kembali silakan dan yang mau meneruskan juga dipersilakan ikut bersamanya. Sebagian dari pengi¬kut¬nya mengundurkan diri dan yang tianggal bersamanya hanya sahabat se¬tianya yang sama-sama berangkat dari Madinah, serta bebarapa orang lainnya.
Kedatangan al-Husein ke Kufah bertujuan untuk memperoleh dukungan kuat dari penduduk Kufah dan melakukan serangan kepada Yazd yang dianggapnya telah merampas hak umat Islam, yaitu khilafah. Tetapi tampaknya al-Husein tidak mau belajar banyak dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa penduduk Kufah tidak dapat dipercaya, ayahnya tewas di tangan pemberontak yang sebelumnya adalah pen¬du-kungnya sendiri dan itu terjadi di Kufah. Akan tetapi karena keingin¬an¬nya begitu kuat untuk bertemu para pendukungnya di Kufah, ia tetap ne¬kat hingga akhirnya ia sendiri dan para pengikutnya tewas mengenaskan di Karbala pada tahun 61 H di tangan Sinan ibn Anas.
Wafatnya al-Husein, meninggalkan duka mendalam di kalangan umat Islam. Umat Islam yang anti Bani Umayah membutuhkan figur yang akan menjadi pempinan mereka. Karenanya setelah Yazd mening¬gal tahun 63 H, Abd Allah ibn Zubeir memproklamirkan diri sebagai khalifah dan mengumumkan perlawanan terhadap Bani Umayah. Gerak¬an Abd Allah ibn Zubeir semakin meluas dan mendapat dukungan dari masyarakat Hijaz. Gerakan perlawanan terhadap Bani Umayah juga kemudian meluas setelah kemunculan kelompok al-tawwabun di Kufah yang dipelopori oleh Sulaiman ibn Surad al-Khuza’i. Kelompok ini me¬nuntut balas atas kematian al-Husein dan kemudian mereka menya¬lah¬kan diri mereka karena tidak membantu dan mengkhianati al-Husein ke¬tika diperangi oleh pasukan Ubaid Allah ibn Ziyd di Karbala. Untuk me¬wujudkan hal itu, kelompok al-tawwabun di bawah pimpinan Sulaiman ibn Surad dengan kekuatan sekitar 4000 pasukan melakukan serangan ke Kufah melawan gubernur Ubaid Allh ibn Ziyd. Tetapi kekuatan yang dimiliki kelompok ini tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pemerintah, sehingga Sulaiman ibn Surad dan pasukannya dapat dika¬lahkan di ain alwardah tahun 65 H/685 M.
Kemunculan kelompok ini membuktikan sekali lagi bahwa per¬da-maian dan pengakuan al-asan ibn Al dengan Muwiyah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, memiliki implikasi politik yang cukup kuat, karena selama masa-masa awal pemerintahan bahkan pertengahan dan akhir masa kekuasaan Bani Umayah, kelompok-kelompok yang tidak se¬paham atau tidak menjadi jama’ah, melakukan perlawanan terhadap pe¬merintahan Bani Umayah walaupun semua pemberontakan dari pihak oposisi selalu dapat dikalahkan, tetap mengindi¬kasikan bahwa peristiwa m al-jamah menimbulkan kelompok atau partai-partai dan menge¬ras¬nya bentuk perlawanan mereka terhadap pemerintah Bani Umayah.

Implikasi Teologis Peristiwa m al-Jamah.
Peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, tidak hanya menimbulkan implikasi politik dengan munculnya berbagai partai atau golongan yang melakukan gerakan perlawanan dan menge¬rasnya bentuk-bentuk perlawanan yang mereka lakukan, juga berdampak pada persoalan-persoalan teologis. Dalam konteks penulisan disertasi ini, yang dimaksud dengan implikasi teologis bukan hanya diartikan sebagai sebuah kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan sebagainya dengan ideologi mereka masing-masing, tetapi—dan ini yang menjadi fokus penulisan dalam sub bab ini adalah—penentuan posisi seseorang atau kelompok tertentu yang melakukan afi¬liasi atau bergabung (berjama’ah) dengan adalah kelompok lain, misalnya bagaimana posisi kelompok yang tidak mau melakukan bai’at kepada Muwiyah setelah al-asan ibn Al melakukan sumpah setia kepadanya. Berdosakah kelompok yang tidak ikut berjama’ah, kalau berdosa apa hu¬kumnya. Apakah kelompok oposisi (yang tidak berafiliasi ke pihak pe¬nguasa) haru atau bahkan wajib diperangi, dan sebagainya. Kemudian, apakah konsep jama’ah di sini memiliki benang merah dengan sebuah ke¬lompok Islam yang dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Tetapi, satu hal penting yang juga perlu ditegaskan di sini adalah bahwa pada sub bab ini juga tidak akan dibahas mengenai sejarah dan per¬kem¬bangan kelompok al al-sunnah wa al-jamah dengan berbagai konsep pe¬mikiran dan gerakan yang dilakukannya. Sebab fokusnya adalah apakah peristiwa m al-jamah memiliki dampak bagi perkembangan aliran ini, sebab aliran ini baru mengalami perkembangan bahkan kemajuan dalam berbagai bentuk pemikiran jauh setelah peristiwa m al-jamah yang ter¬jadi di Maskin tahun 661 M/41 H.
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa kekuasaan atau pemerintahan Muwiyah yang telah mendapat legitimasi massa al-asan ibn Al, merupakan sebuah pengalaman atau praktik satu-satunya se-orang penguasa yang berhasil menjadi penguasa (khalifah,amir atau al-ma¬lik), melalui manuver politiknya yang dilakukan terhadap semua per¬se¬lisihan agama dan politik atau perselisihan suku daerah yang ada. Se¬be¬lum Muwiyah berkuasa, untuk memperoleh otoritas politik, operasi mi¬liter jarang dipergunakan, juga kekerasan tidak dilakukan secara terang-terangan. Ada hal penting yang patut dicatat di sini bahwa fakta adanya kekerasan yang dilakukan Muwiyah dalam memperoleh legitimasi ke¬kuasaannya merupakan sebuah fakta yang harus diterima, seperti fakta-fakta politik lainnya yang terjadi pada awal masa kekhalifahan yang ke¬mudian berubah secara logis menjadi teori pemerintahan. Untuk mem¬per¬oleh pengakuan publik, ketika seorang penguasa dapat membungkam kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya dengan mengguna¬kan otoritas politiknya, maka kemudian muncullah jamah.
Hanya saja persoalannya kemudian adalah dilema apa yang diha¬dapi oleh mereka yang menekankan konsep jamah dan yang menga¬ta¬kan bahwa mereka akan menjadi pihak terakhir yang berbai’at? Dengan dalih eksistensi jamah, maka mereka, tak peduli bagaimana cara yang dipergunakan penguasa untuk berkuasa, berbai’at pada seorang khalifah yang diseutujui oleh banyak orang atau mayoritas. Muwiyah sendiri menyatakan bahwa dirinya dapat menjadi khalifah bukan karena dirinya memiliki hubungan baik dengan masyarakat, melainkan karena meng-gunakan pedang atau kekerasan. Karena itu, ketika Muwiyah mem¬per-oleh pengakuan dari mayoritas masyarakat pada tahun 41 H/661 M, me-namakan tahun itu dengan sebutan “ tahun jama’ah”.
Kemampuan Muwiyah dalam memperoleh pengakuan dari mayoritas umat dan menjadi penguasa saat itu, merupakan kemam¬puan¬nya merebut hati dan menguasai anggota-angggota masyarakat, kaum muhajirin dan ansar, sehingga ia memperoleh dukungan yang relatif kuat. Dengan demikian, makna jama’ah dalam konteks politik di sini adalah bersatunya umat di bawah satu kepemimpinan. Hanya saja muncul per¬tanyan kemudian, bagaimana mereka yang tidak mau ikut berjama’ah dan membai’at Muwiyah, apakah mereka tidak masuk ke dalam ke¬lom¬pok jama’ah. Jawabannya, kalau kata jama’ah di sini diartikan sebagai ba¬gian dari ketaatan seseorang atau kelompok kepada penguasa, atau dalam istilah politik afiliasi politik seseorang atau kelompok pada kelompok pe¬nguasa, maka itu dinamakan jama’ah. Artinya, kekuasaan seseorang men¬dapat dukungan mayoritas. Dalam konsep fiqh, dibenarkan memerangi mereka yang tidak mau membai’at atau ikut mayorits, karena mereka di¬masukkan ke dalam kategori pemberontak. Misalnya, Al memerangi Muwiyah dan kelompok khawarij karena ia dianggap telah mem¬beron¬tak kepada penguasa, begitu juga Muwiyah, ia memerangi ibn Zubeir dan penduduk Madinah yang tidak mau membai’atnya.
Dukung mendukung dan menolak kekuasaan para penguasa ini kemudian memunculkan berbagai kelompok atau partai politik yang berdampak pada menguatnya kelompok tertentu dari masyarakat untuk meredam persoalan. Akibatnya, mayoritas umat Islam, sebagian besar ulama fiqh dan pembawa sunnah bersatu di bawah satu aliran yang kokoh, yaitu jamah yang dalam perkembangan kemudian dikenal de¬ng¬an sebutan al al-sunnah wa al-jamah. Terdapat beberapa athar sai yang menjelaskan perpecahan umat ke dalam berapa aliran atau mazhab dan kecenderungan yang berbeda, juga dijelaskan akan ada satu aliran lurus yang akan menegakkan agama Allah dalam meredam berbagai per¬ten¬tangan. Dalam persoalan teologi dan urusan-urusan lainnya, aliran ini menggunakan metode dan langkah rasul Allah. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa rasul Allah memprediksikan bahwa umatnya akan ter¬pecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang masuk surga, yaitu aliran yang mengikuti jalanku dan para sahabatku ( ma ana alaihi wa ashabi).
Tinjauan terhadap al al-Sunnah wa al-jamah memperlihatkan adanya kesesuaian antara akidah mereka dengan akidah Nabi, menjauhi sikap ekstremitas dan lebih mengutamakan sikap moderat dalam pemi¬kiran dan akitifitas. Dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah mereka mengikuti apa yang dipahami generasi salaf, yaitu para sahabat. Dalam menyikapi perselisihan dan peperangan yang terjadi di antara para sa¬habat, menurut al-Tahawai seperti dikutif Ahmazun, mereka selalu ber¬kata, kami mencintai para sahabat dan tidak membedakan di antara mere¬ka,dan juga tidak mengabaikan mereka. Mereka juga membenci orang-orang yang membenci sahabat. Kami tidak menyebut mereka kecuali de¬ngan sesuatu yang baik. Mencintai mereka merupakan ekspresi agama, dan membenci mereka merupakan ekspresi kemunafikan dan pem¬bang¬kangan. Pemberontakan terhadap pemimpin yang lalim, menurut mere¬ka dapat dilakukan Oleh karena itu, ketika mereka melihat adanya per¬tentangan di antara para sahabat dalam soal kepemimpinan, menurut me¬reka dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Satu di antaranya adalah tidak menimbulkan fitnah (konflik) dan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi kepentingan umat. Mayoritas mereka tidak memandang perlu pemberontakan, kecuali apabila terdapat tanda-tanda adanya keku¬furan di sana. Dalam konteks ini, al-Tahawi seperti dikutip Amhazun me¬ngatakan bahwa kami tidak mem¬be-rontak imam dan pemimpin urusan kami, walaupun mereka berbuat lalim. Kami tetap mentaatinya... dan ka¬mi berbuat baik karena mengikuti sunnah dan jama’ah, menghindari pe¬nyimpangan-penyimpangan, dan per¬pecahan. Dengan melihat kenyata¬an ini, kiranya dapat dipahami bahwa ke¬lompok al al-sunnah wa al-ja¬mah sangat mengidamkan perdamaian dan ke-tentraman umat atau ja¬ma’ah walau berada di dalam masa pemerintahan yang lalim tapi kuat, ketimbang berada di bawah pimpinan saleh tapi lemah.
Dengan memperhatikan masalah di atas, maka tak mengherankan apabila banyak sahabat yang justeru berpihak atau berafiliasi secara po¬litik dan ideologis kepada Muwiyah ketimbang al-asan pada waktu m jamah 661 M, karena Muwiyah secara militer dan mungkin fi¬nan¬sial lebih kuat ketimbang al-asan. Bahkan Muwiyah tidak segan-segan memberikan berbagai fasiltas yang dibutuhkan mereka yang punya po¬tensi dan berpihak kepadanya, seperti Amr ibn al-As, al-Mughirah ibn Syu’bah, dan kemudian Ziyd ibn Abhi, meskipun hal itu juga tidak menjamin tidak adanya pemberontakan yang terjadi, baik selama masa kepemimpinan Muwiyah atau sesudahnya.
Oleh karena itu, dalam akhir tulisan ini penulis tidak berani meng-atakan bahwa peristiwa m al-jamah memiliki kaitan langsung dengan kelompok al al-sunnah wa al-jamah, sebab belum banyak data yang di-peroleh dalam proses penulisan disertasi ini. Meskipun begitu, bila dilihat dari perkembangan sejarah yang ada pada masa awal pemerintahan Bani Umayah, terlihat jelas adanya kecenderungan sebuah kelompok ma¬yo¬ri¬tas atau jamah yang berpihak kepada pemerintahan ini. Waalhu a’lam bi muradihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar