‘Â M AL-JAMÂ ‘AH:
Episode Sejarah yang Nyaris Terabaikan
Masa pemerintahan al-Hasan ibn Ali pada periode klasik dapat dikatakan sebagai masa transisi, sebab ia hanya berkuasa selama lebih kurang enam bulan sebelum masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah menerima jabatan khilafah itu setelah penyerahan kekuasaan dari tangan al-Hasan pada 41 H/661 M di Maskin. Peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan sebuitan am al-jama’ah. Akan tetapi, tidak banyak orang tahu peristiwa âm al-jama’ah yang terjadi di Maskin pada 661 M/41 H, bahkan hanya sejumlah kecil sejarawan yang berhasil men¬je¬las¬kan episode sejarah ini dengan baik, di antaranya adalah al-Tabary. Selain itu, tidak banyak data dan alasan yang ditemukan mengapa para seja¬rawan kurang tertarik mem¬bi¬ca¬ra¬kannya. Padahal âm al-jama’ah ini meru¬pa¬kan salah satu episode penting dalam panggung sejarah politik umat Islam, karena ia merupakan tahapan awal se¬buah rekonsiliasi umat pasca ‘Ali ibn Abi Talib. Ada dugaan sementara bahwa ke¬kurangtertarikan para sejara¬waran untuk menjelaskan masalah ini disebab¬kan ka¬re¬naâm al-jama’ah hanya merupakan partikel kecil dari debu sejarah politik umat Islam ketika itu. Du¬gaan lain karena peristiwa itu tidak banyak memiliki im¬plikasi politik secara global bagi dunia Islam ketika itu, selain tidak membawa pengaruh bagi perkembangan teologi Islam, yang sering disebut ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Namun dari hasil penelusuran fakta dan data sejarah, dugaan tersebut tidaklah benar seratus prosen, sebab ternyata âm al-jama’ah mem¬bawa implikasi politik dan teologis yang relatif cukup kuat bagi dunia Islam. Impli¬kasi politik itu, misalnya ditandai oleh bersatunya umat Islam di bawah satu ke¬pe¬mimpinan tunggal, yaitu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dari Bani Umayyah, yang se¬be¬lumnya kelompok-kelompok Islam terfrag¬men¬tasi ke beberapa partai atau kelompok politik pasca terbunuhnya khalifah Uthman ibn Affan. Sementara im¬plikiasi teologis dapat dilihat dari semakin mengkristalnya ideologi ke¬agamaan faksi-faksi yang ber¬tikai, semisal kelompok Khawarij, Murji’ah, Syi’ah dan kelompok Sunni. Kelompok-ke¬lompok Khawarij dan Syi’ah mulai melakukan berbagai gerakan perlawanan guna menentang kekuasaan Bani Umayah, yang dianggap telah melakukan kudeta ter¬ha¬dap kekuasaan al-Hasan dari Bani Hasyim. Sementara penguasa Bani Umayyah me¬lawannya dengan membentuk kelompok Sunni yang didukung oleh mayoritas mus¬lim ketika itu.
Jabatan Khalîfah
Mahkota yang Diperebutkan
Setelah terbunuhnya Khalifah Uthmn ibn Affn, para sahabat dari Muhajirin dan Ansr, termasuk °alah dan Zubeir mendatangi Al ibn Ab °lib dan meminta kesediaannya untuk menjadi khalifah pengganti Uthmn. Kedatangan °alah dan Zubeir kepada Al terdorong oleh kehendak umat, dan mereka adalah massa pemberontak yang mempelopori pembaiatan terhadap Al ibn Ab °lib. Di antara alasan mengapa mereka memilih Al, seperti dikatakan ibn Qutaybah al-Dinwar, karena Al lebih berhak dan karena kedekatannya dengan Nabi dalam hubungan kekerabatan. Pada mulanya Al menolak, dan mengatakan kepada massa ketika itu, “tinggalkan aku dan cari yang lain. Karena masalah ini bukan urusan kalian, tetapi urusan para tokoh al al-shr bersama al al-Badr. Siapa saja yang disetujui oleh tokoh-tokoh itu, dialah yang berhak menjadi khalifah. Karena itu, kami akan berkumpul dan memba¬hasnya “.
Akan tetapi, karena adanya desakan massa yang membutuhkan seorang pemimpin dalam situasi kritis seperti itu, akhirnya Al menerima tawaran itu, selain tidak ada sahabat yang mau menerima tawaran jabatan khilafah. Maka dibaiatlah Al di masjid di hadapan kaum Muhjirn dan Ansr pada tanggal 18 Dzulhijjah 36 H (17 Juni 656 M). Pembaiatan ini dilakukan oleh para sahabat, seperti °alah ibn ‘Ubaid Allh dan Zubeir ibn al-Awwm. Keduanya melakukan baiat setelah dipaksa oleh yang lain atau melakukannya setengah hati. Begitu juga sahabat Saad ibn Ab Waqqs dan Abd Allh ibn Umar melakukan baiat setelah umat Islam melakukannya.
Penobatan Al ibn Ab °lib sebagai khalifah bukan tidak mendapat tan¬tangan dari sahabat lain, beberapa orang sahabat nabi dari kelompok Ansr (nufairan yasiran) menolak melakukannya, mereka adalah assan ibn Thbit, Kaab ibn Mlik, Maslamah ibn Mukhallid, Ab Sad al-Khudr, Muammad ibn Maslamah, al-Numn ibn Basyair, Zaid ibn Thbit, Rfi ibn Khudaij, Fudhlah ibn Ubaid, dan Kaab ibn Ujrah. Mereka disebut kelompokUthmniyyah, para pendukung Uthmn. Alasan penolakan mereka, menurut al-°abr cukup beragam. assan ibn Thbit, misalnya, ia adalah seorang penyair (sastrawan), yang tidak peduli atas peristiwa yang terjadi. Zaid ibn Thbit, punya kepentingan lain. Ia menolak karena ia adalah orang kepercayaan Uthmn untuk mengurusi departeman keuangan dan bait al-ml, ketika Uthmn terbunuh, ia berbicara di hadapan massa, “wahai masyarakat muslim, jadilah penolong Allah”. Ucapan itu dibalas Ab Ayyb al-Ansri, bahwa ucapannya itu hanya akan mendatangkan banyak musuh. Sementara Kaab ibn Mlik, dia adalah kepercayaan Uthmn untuk menjadi petugas pengumpul saede¬kah. Karenanya tidak mungkin saat itu ia begitu mudah menyatakan sumpah setia kepada orang yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa terbunuhnya Khalifah Uthmn ibn Affn.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penobatan Al sebagai khalifah saat itu masih dianggap kontroversial, karena tidak mendapat dukungan bulat dari masyarakat, bahkan ada sebagian tokoh Madinah seperti Qudmah ibn Mazn, Abd Allh ibn Sallm dan al-Mughrah ibn Shubah, tidak melakukan baiat, malah justeru pergi meninggalkan Madinah menuju Sham.
Berbeda dengan penduduk Kufah dan Madinah, orang-orang Basrah malah menginginkan °alah menjadi khalifah, sedang penduduk Makah menginginkan Zubeir ibn al-Awwm. Tetapi kemudian masyarakat Basrah juga menyatakan baiat kepada Al. Sementara itu, Muwiyah ibn Ab Sufyn sebagai gubernur Syam tidak bersedia atau menolak melakukan baiat kepada Al, bahkan dengan terbuka Muwiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah , karena menganggap dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikan Uthmn ibn Affn. Dalam beberapa keterangan yang dicatat Ibn Qutaybah al-Dinwr, Muwiyah adalah orang yang paling berhak menuntut balas atas kematian Uthmn dan mengendalikan pemerin¬tahan, karena ia adalah walinya. Muwiyah dan kelompoknya tidak mau menya-takan baiat kepada Al, menurut al-Farsyi, awalnya bukan karena ia membangkang (bughat) atas perintah Al untuk menyatakan baiat, tetapi karena ia menghendaki terlebih dahulu agar Al menangkap dan menghukum pembunuh Uthmn. Apabila Al tidak mampu melakukannya, maka ia tidak mau tunduk kepada Al.
Dengan demikian, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa apapun alasan yang dikemukakan Muwiyah saat itu untuk tidak tunduk kepada Al, hal pasti yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa Muwiyah sebenarnya hanya mengulur waktu menunggu saat yang tepat untuk memperoleh kedudukan sebagai khalifah. Sebab, dia melihat tampaknya tidak mungkin ketika itu Al menangkap dan meng¬hukum para pemberontak yang membunuh Khalifah Uthmn ibn Affn, karena mereka adalah orang-orang yang mengantarkan Al menjadi khalifah. Selain itu, kursi kekuasaan dan jabatan khilafah merupakan mahkota yang harus direbut dari tangan orang yang cukup diperhitungkan karena mendapat dukungan dari para sahabat dan tokoh-tokoh penting ketika itu. Karena itu ia mencoba menunggu saat yang tepat guna mengambil alh kekuasaan tersebut, karenanya ia tidak melakukan kudeta meskipun secara militer dan massa, ia memiliki kekuatan yang relatif cukup di wilayah Sham. Padahal, dalam berbagai propaganda yang dilakukannya, ia selalu menganggap dirinya sebagai wali Uthmn dan berhak menuntut balas atas kematian Uthmn serta berhak pula menjadi penggantinya. Muwiyah dan kelompok pen¬dukungnya, terutama Amr ibn al-²s, dalam keterangan al-Dinr dan analisis Watt, melakukan propaganda kepada pendukungnya di Sham bahwa Muwiyahlah orang yang paling berhak menduduki jabatan khilafah, karena ia adalah walinya. Hal ini didasari atas sebuah ayat yang menyatakan bahwa “siapa yang terbunuh secara aniaya, maka kami menjadikan walinya sebagai penguasa”. Dasar inilah yang dijadikan argumen Muwiyah dan para pendukungnya untuk menolak kekhi¬la¬fah¬an Al, dan mengklaim dirinya sebagai wl Uthmn ibn Affn.
Sebenarnya, penolakan Muwiyah untuk tidak melakukan baiat kepada Al ibn Ab °lib, tidak mengurangi kekhalifahan Al, sebab Al telah mendapat pengakuan dari para sahabat, baik dari Muhajirin atau Anshar. Meskipun begitu, ia tetap mengakui kesenioran Al dan kedekatannya dengan Nabi. Persoalan yang terjadi di antara keduanya, dan ini yang menjadi penyebab keengganan Muwiyah melakukan baiat adalah tuntutan Muwiyah kepada Al agar segera menangkap dan menyerahkan mereka kepada Muwiyah untuk diqisas, setelah itu baru ia akan membaiat Al. Tetapi kenyataan yang terjadi saat itu adalah Al belum mau melakukan tuntutan Muwiyah karena situasinya belum tepat. Hal ini kemudian dijadikan alasan bagi Muwiyah untuk menentang Al.
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya problem yang menjadi penghambat Muwiyah untuk tidak mengakui kekhalifahan Al awalnya adalah persoalan qisas, bukan semata masalah khilafah. Hal ini seperti diungkap oleh al-°abr bahwa Muwiyah dan para pendukungnya dari Syam berpendapat bahwa Al harus terlebih dahulu melakukan qisas terhadap pembunuh Uthmn, barulah mereka akna ikut baiat. Apabila tidak dilakukan, maka pedang akan bicara. Begitu surat jawaban yang dikirim Muwiyah kepada Al, setelah Al mengirim surat dan mengutus sahabatnya bernama Bashr ibn Ab Masd al-Ansr. Jawaban ini tentu saja mengecewakan Al yang sebenarnya menginginkan agar Muwiyah mau mem¬baiatnya dan bekerjasama dengan Al dalam menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi.
Karena tidak mendapat jawaban positif dari Muwiyah, akhirnya Al mengirim sahabat bernama Jarr ibn Abd Allh menemui Muwiyah di Sham. Isi surat itu antara lain mengajak kembali Muwiyah untuk taat dan mengakui ke¬khi¬lafahannya, bila tidak maka ia akan memerangi Muwiyah dan mereka yang tidak mau tunduk di bawah kepemimpinannya. Bahkan dalam surat itu dijelaskan, bahwa sebenarnya Muwiyah tidak berhak atas jabatan itu, sebab dia adalah termasuk salah seorang tulaq, yaitu orang yang dibiarkan tetap hidup bebas pada waktu fath al-Makkah.
Dengan memahami surat tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya – menurut para pendukung Aljabatan khilafah hanya Al yang berhak memegang¬nya saat itu, setelah mendapat pengakuan dari °alhah, Zubeir dan masyarakat mus¬lim lainnya, baik di Madinah, Makah maupun Kufah dan Basrah, meskipun tidak memperoleh dukungan dengan suara bulat, tetapi ia telah dianggap sah sebagai khalifah ketika itu. Sementara Muwiyah sendiri tidak memiliki hak atas jabatan itu, meskipun ia mengatakan bahwa ia adalah walinya Uthmn. Meskipun begitu, bu¬kan berarti Muwiyah tinggal diam, dengan berbagai cara dan usaha dila¬ku¬kan¬nya untuk memperoleh jabatan tersebut, termasuk melawan kekuatan Al di Siffin yang diselesaikan lewat tahkm, yang menandai kekalahan Al dalam berdiplomasi dan berpolitik. Usaha untuk menggabungkan kekuasa¬annya dengan kekuasaan Al baru tercapai setelah l-asan mengakui kekuasan yang ada pada Muwiyah dalam peristiwa m al-jamah 661 M.
Am al–Jama’ah dan Reaksi Masyarakat Muslim .
Seperti telah disinggung sedikit pada bagian terdahulu, bahwa upaya yang dilakukan al-asan ibn Al untuk menyelesaikan berbagai konflik dan ketegangan politik serta perseteruan antara dirinya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, menimbulkan pro-kontra, baik di antara mereka yang pernah mendukung kepemimpinan al-asan maupun mereka yang memang tidak setuju atas pengangkatan tersebut. Salah seorang tokoh terkenal yang pernah mendukung pengangkatan al-asan ibn Al dan bahkan ia dikabarkan orang pertama yang meminta supaya al-asan membentangkan kedua tangannya untuk dibai’at adalah Qyas ibn Sa’ad ibn Ubadah, menyesalkan tindakan al-asan, dan juga sikap para prajuritnya yang selama itu membelanya di ber¬bagai peperangan, malah lebih memilih berdamai dan bergabung dengan Mu¬wiyah, meskipun Muwiyah dipandang orang lalim. Dalam keadaan seperti ini, Qays merasa dikhianati, tidak hanya oleh al-Hasan juga pasu¬kan¬nya. Bahkan pasukannya lebih memilih pemimpin (imam) yang sesat, ketim¬bang terus berperang antar sesama. karenanya ia lebih memilih pergi me¬ninggalkan al-Hasan, setelah
Selain Qays, ada pula seorang tokoh masyarakat Kufah bernama Sulaiman ibn Surad, yang pernah menjadi sahabat dekat Al ibn Ab °lib dan mengikuti perperangan Jamal dan Siffin. Namun kemudian ia keluar dari barisan Al karena tidak setuju atas kebijakan tahkim. Pada saat peristiwa am al-Jamah, ia tidak berada di Kufah, tapi di Madinah. Setelah ia tahu bahwa al-asan ibn Al telah melakukan penyerahan “kekuasaan”kepada Muwiyah pada tahun 41 H/661 M di Maskin, dan Muwiyah telah kembali ke Damaskus, Syria, Sulaiman kembali ke Kufah. Ketiba tiba di kota Kufah, ia langsung menemui al-asan ibn Al di rumahnya. Dihadapannya Sulaiman ibn Surad seperti ditulis al-Dinwar mengungkapkan kata-kata yang mengejek kelemahan al-asan. Ia bilang, ”Salam sejahtera hai penghina kaum mukmin.“ Al-asan menjawab, ”Salam sejahtera pula, silakan duduk.” Sete¬lah itu Sulaiman berujar ”Kami merasa heran, belum usai perasaan kami membai’atmu, Anda telah melakukan bai’at kepada Muwiyah. Padahal Anda memiliki 100.000 (sic) pasukan yang berasal dari penduduk Irak dan Hijaz yang siap membela Anda. Kenapa Anda tidak menggunakan keper¬ca¬yaan yang telah kami berikan. Malah Anda memanfaatkannya untuk mem¬bai’at Muwiyah.” Kemudian al-asan menjawab. ”Kalian adalah para pengikut dan pendukung setiaku. Aku menerima nasihatmu hai Sulaiman, tetapi aku memiliki pandangan yang berbeda dengan kalian. Aku lebih suka perdamaian daripada peperangan.” Jawaban ini juga tidak memuaskan Sulaiman, karenanya ia lebih memilih menyendiri (‘uzlah) dari hingar bingar politik.
Tampaknya, baik Qays ibn Sa’ad maupun Sulaiman ibn Surad, ter¬pak-sa menerima keputusan al-asan yang mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Reaksi mereka memang beragam, ada yang kecewa, tapi mereka konpensasikan dengan cara mereka masing-masing, seperti Qays yang lebih memilih diam dan menetap untuk selamanya di Madinah dan beribadah, ada pula yang berusaha dengan menyusun kekuatan untuk melawan pasukan lawan mereka, seperti Sulaiman ibn Surad, meskipun agak terlambat, tetapi ada upaya penolakan yang dilakukan Sulaiman sebagai bukti ketidak¬su¬ka¬an¬nya terhadap perilaku al-asan yang seenaknya memberikan kekuasaan ke¬pada Muwiyah ibn Ab Sufyn. Tetapi sekali lagi hal itu menggambarkan adanya berbagai reaksi yang muncul pada saat dan setelah peristiwa am al-Jamah. Akan tetapi pada umumnya, masyarakat menerima kenyataan itu sebagai sebuah realitas politik yang harus mereka terima dan hadapi.
Implikasi Politik Peristiwa ²m al-Jamah:
Mengerasnya Perlawanan Kelompok Khawarij
dan Kemunculan Kelompok al-Tawwabun
Seperti diketahui bahwa konflik politik yang terjadi pada masa pe¬me-rintahan Uthman ibn Affn yang berujung pada pembunuhan, menim-bul¬kan persoalan baru dalam sejarah politik umat Islam. Sebab setelah itu, muncul kelompok pendukung ‘Uthmn yang disebut ‘Uthmniyyah berusaha menentang kekuatan pemerintahan Al ibn Ab °lib. Kelompok Uth¬mniy¬yah yang dipelopori Muwiyah ibn Ab Sufyn mengancam tidak akan tun¬duk terhadap pemerintahan Al, bila Al tidak mampu mengusut tuntas tra¬gedi pembunuhan khalifah Usman. Sebagai penguasa, Al telah melakukan tindakan terhadap mereka karena mereka dipandang melakukan pem¬bang¬kangan (bughat) terhadap penguasa. Tindakan yang dilakukan Al tersebut berdampak pada semakin kuatnya bentuk-bentuk perlawanan yang diarah¬kan kepadanya. Kelompok Muwiyah, misalnya, yang memang sejak awal pengangkatan Al sebagai khalifah tidak mau melakukan bai’at atau tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya sebelum Al berhasil menangkap dan meng-qisas para pembunuh Usman. Konflik keduanya berujung pada pepe¬rangan di Siffin pada tahun 657 M dan diselesaikan lewat tahkim. Perang ini dalam sejarah Islam dipandang sebagai akar sejarah bagi timbulnya aliran-aliran yang memiliki visi politik. Ada dua aliran (partai) bahkan dua kecen¬de-rungan yang masing-masing melahirkan banyak aliran yang lahir sebagai imlikasi dari peperangan tersebut, yaitu Syiah dan Khawarij. Keduanya mun¬cul diakibatkan oleh satu faktor, yaitu ekstrimitas. Timbulnya Khawarij mem¬beri saham besar bagi asal usul penyebaran Syi’ah. Klaim ekstremitas yang dipropagandakan oleh satu aliran di atas menjustifikasi munculnya eks¬trem¬itas tandingan dari aliran lainnya. Pergumulan antara dua partai tersebut me¬lahirkan sebuah orientasi akomodatif yang bertujuan menengahi dua kelom¬pok yang bertikai, yaitu kelompok moderat (Murjiah). Kelompok ini tampak¬nya tidak berani memunculkan visinya sendiri yang akhirnya juga mengikuti visi salah satu dari dua kelompok tersebut di atas.
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa kelompok sempalan pada masa itu hanyalah sekelompok kecil masyarakat muslim dan kebanyakan berasal dari penduduk yang wilayahnya baru ditaklukkan Islam, sehingga pemahaman keagamaannya masih relatif minim, dan loyalitas mereka terhadap pemimpin belum teruji. Karenanya ketika pasukan Muwiyah mengusung mushaf di ujung tombak tanda perdamaian, langsung mereka berhenti berperang dan meminta Al agar persoalan diselesaikan lewat jalan damai. Usaha penyelesaian lewat tahkim ternyata tidak disetujui Al dan juga para . Proses penyelesaian konflik lewat tahkim ternyata juga tidak menuntaskan masalah, malah justeru menimbulkan persoalan baru, yaitu menyempalnya barisan pendukung Al yang kecewa atas hasil yang dicapai di Dumat al-Jandal itu. Kelompok sempalan ini kemudian hari dikenal dengan sebutan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik terhadap Al maupun terhadap Muwiyah. Penentangan mereka terhadap Al, karena Al telah dipandang salah dalam memutuskan masalah yang tidak didasari atas ketentuan hukum Allah. Kalimat “tiada hukum kecuali hukum Allah” kemudian menjadi jargon mereka. Dengan menggunakan jargon semecama ini, kelompok khawarij dengan berbagai cabang, seakan melegalkan penyerangan bahkan pembunuhan terhadap lawan politik mereka. Bahkan Al sendiri sudah dianggap musuh yang wajib diperangi, hingga akhhirnya Al terbunuh dan al-asan dibaiat menjadi penggantinya, walau kemudian al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam peristiwa m al-jamah di Maskin tahun 661 M.
Pengakuan al-asan dan para pengikutnya terhadap kekuasaan Muwiyah menimbulkan ketenangan sementara (ekuilibrium) masa-masa awal pemerintahan Muwiyah, karena kelompok pendukung Al (syi’atu Al) tidak melakukan perlawanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, masa itu mulai meredup atau bahkan menghilang, karena pola pemerintahan Muwiyah yang dianggap begitu”keras”, sehingga terjadi kristalisasi ideologi dan gerakan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik pada masa awal pemerintahan Muwiyah maupun masa-masa sesudahnya. Tokoh pertama dari partai ini yang melakukan pemberontakan melawan kekuatan Muwiyah setelah al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah, menurut al-°abr adalah Farwah ibn Naufal al-Asyja’i. Ketika itu ia berseru kepada kaum khawarij, kini tiba saatnya pergi berangkat memerangi Muwiyah.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, lanjut al-°abr, Muwiyah mengirim pasukan berkuda terdiri dari penduduk Syam untuk menggempur Farwah, tetapi pasukan ini dapat dikalahlan oleh Farwah, dengan pasukan berkekuatan sekitar 500 orang. Mendengar kekalahan ini, Muwiyah geram dan bersumpah akan mengalahkan mereka. Muwiyah berkata kepada penduduk Kufah, aku tidak akan jamin keamanan kalian, hingga kalian menghentikan kejahatan-kejahatan kalian. Karena khawatir Muwiyah akan membumi¬hanguskan Kufah, maka penduduk Kufah berusaha mengusir dan memerangi kelompok khawarij. Kelompok khawarij kemudian terhenyak dan berkomentar, celaka, apa yang kalian kehendaki dari kami? Bukankah Muwiyah itu musuh kami dan juga musuh kalian? Oleh karena itu, biarkanlah kami memerangi Muwiyah. Bila kami menang, berarti kami telah menyingkirkan musuh-musuh kalian. Sebaliknya, bila kami kalah, berarti kalian telah menyingkirkan kami. Akan tetapi, penduduk Kufah tidak peduli atas gertakan tersebut, dan kemudian mereka melakukan serangan terhadap kelompok Farwah. Untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di Kufah, Muwiyah kemudian berencana mengangkat Amr ibn al-A, tetapi dipotes oleh al-Mughirah ibn Syu’bah, karena, menurut al-Mughirah, seperti diriwayatkan al-°abr, sama saja ia memelihara anak macan. Kemudian al-Mughirah sendiri yang ditunjuk menjadi gubernur di Kufah. Keputusan ini juga diprotes Amr, karena al-Mughirah dianggap orang yang akan mengambil pajak tanah untuk dirinya dan tidak disetor ke Muwiyah.
Dari perdebatan seperti diriwayatkan al-°abr di atas, kiranya dapat ditegaskan di sini bahwa ternyata di dalam barisan Muwiyah juga terdapat orang-orang yang haus kekuasaan dan berusaha merebut simpati Muwiyah. Dala kata lain, terdapat intrik politik yang kemungkinan suatu saat akan merugikan kekuatan Muwiyah sendiri bila Muwiyah tidak mampu memanaj konflik internal yang ada di antara mereka. Tetapi, bukan Muwiyah namanya bila ia tidak mampu mengatasi hal semacam itu. Muwiyah memenuhi semua keperluan kelompoknya agar mereka tidak terpecah menjadi beberapa friksi yang akan mengganggu kinerja pemerintahan Muwiyah. Sebab di hadapan Muwiyah, masih banyak tugas yang akan dikerjakan, termasuk memulihkan keamanan dalam negeri dengan mengatasi berbagai gejolak sosial dan politik akibat banyaknya kelompok yang tidak suka atas kepemimpinannya ketika itu.
Kemudian pada tahun berikutnya, yaitu tahun 42 H, para veteran perang Nahrawan berkumpul mengenang para kurban yang mempertahankan prinsip mereka. Kelompok ini menyerahkan tampuk pimpinan kepada Mustaurid ibn Ulfah, dan dibantu oleh Hayyan ibn Zibyan alSulma dan Muaz ibn Juwain. Mereka ini, menurut al-°abr, mendapat banyak dukungan sehingga kekuatan mereka semakin bertambah guna menghadapi pertempuran selanjutnya. Akan tetapi, gubernur Kufah ketika itu al-Mughirah ibn Syu’bah berhasil menangkap beberapa orang pemimpin mereka sebelum terjadi pertempuran. Di antara pemimpin mereka yang ditangkap adalah ayyan ibn Zibyan dan Muaz ibn Juwain, sedang Mustaurid sendiri yang digelari oleh kelompk khawarij sebagai amir al-mukminin, berhasil lolos. Kemudian ia menyusun kekuatan kembali dan mempersiapkan pasukannya guna melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tetapi, kekuatan ini, sekali lagi dapat dikalahkan oleh Maqil ibn Qays yang memimpin pasukan pemerintah Muwiyah.
Kekuatan pasukan pemerintah Muwiyah semakin kokoh ketika Ziyd ibn Abhi bergabung dengan Muwiyah. Karena kedekatan darah (sering juga disebut Ziyd ibn Ab Sufyn), akhirnya ia diberi jabatan sebagai gubernur Basrah pada tahun 45 H, dan wilayah kekuasaannya semakin meluas meliputi ketika al-Mughirah wafat pada tahun 51 H. Tugas utama Ziyd selain menjalankan pemerintahan wilayah, juga mengatasi berbagai pemberontakan yang kerap terjadi di Kufah, kkhususnya para pemberontak yang berafiliasi ke kelompok khawarij. Kelompok khawarij mulai memperlihatkan kelemahannya dalam melancarkan gerakan selama masa pemerintahan gubernur Ziyd hingga Ziyd wafat tahun 55 H. Akan tetapi, kelompok ini–menurut al-°abr—mulai menampakkan kekuatannya kembali ketika Ubaid Allh ibn Ziyd (putera Ziyd) menggantikan kedudukan ayahnya sebagai gubernur di Basrah tahun 55 H. Tampaknya, sikap tegas Ubaid Allh ini sama seperti ayahnya, ia tidak mengenal kompromi terhadap para perusuh dan pemberontak seperti kelompok khawarij. Di antara tokoh khawarij yang dapat dikalahkannya ketika itu adalah Urwah ibn Adiyah, Abu Bilal Mirdas ibn Adiyah. Kematian kedua tokoh ini semakin memperkuat keinginan Ubaid Allh ibn Ziyd untuk menumpas semua gerakan perlawanan yang diarahkan kepada pemerintahan Bani Umayah.
Dalam perkembangan berikutnya, kelompok khawarij mengalami masa perkembangan yang cukup baik, ketika kelompok ini berada di bawah pimpinan al-Muhallab ibn Sufrah. Sebab sekitar tahun enam puluhan dan tujuh puluhah ketika pendekar-pendekar Muwiyah meninggal, seperti al-Mughrah ibn Shu’bah, Ziyd ibn Abhi, ‘Ubaid Allh ibn Ziyd, seakan kelompok khawarij menemukan masa kebebasan setelah lama tidak berhasil melakukan perlawanan terhadap penguasa Ban Umayyah. Kelompok ini masih mengenang bagaimana para pendahulu mereka tewas bergelimpangan di tangan orang-orang Muwiyah, mereka masih menyimpan rasa dendam terhadap Muwiyah dan para penguasa Ban Umayyah. Kemunculan kelompok ini juga didasari atas kenyataan bahwa Muwiyah telah meninggal, sehingga situasinya memungkinkan bagi kelompok ini untuk menyusun kekuatan dan melakukan gerakan kembali. Rekonsolidasi dilakukan dan kemudian mereka memilih pimpinan baru yang lebih siap untuk melakukan berbagai bentuk perlawanan, yaitu Nafi’ ibn Azrq (azriqah) dan Qatar ibn Fujah. Akan tetapi, kekuatan kelompok ini juga menemukan lawan politik yang cukup kuat, karena di barisan Ban Umayyah ada Marwn ibn al-akam, al-ajjj ibn Ysuf dan al-Muallab ibn Sufrah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menguatnya kelompok khawarij juga ditandingi dengan kekuatan pemerintah, sehingga saat itu bisa dikatakan ada dua kekuatan besar yang mengancam kekuatan pemerintahan Bani Umayah. Sekiranya tidak terjadi perpecahan di kalangan kelompok khawarij, kemungkinan sejarah akan berbicara lain.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa setelah Muwiyah meninggal, kelompok khawarij menggabungkan diri dengan Abd Allh ibn Zubeir di Makah. Akan tetapi kemudian mereka menyempal lagi dan menganggap diri mereka bersalah karena telah memberikan pertolongan kepada Ibn Zubeir, kemudian mereka pergi meninggalkan Ibn Zubeir di Makah. Setelah itu mereka kemudian terpecah menjadi dua golongan, Azriqah dan Najdat. Golongan pertama pergi menuju Basrah, sedang golongan kedua menuju Yamamah. Golongan pertama ini lebih kuat dan lebih ekstrem, karena Nafi’ ibn Azraq menghalalkan membunuh anak-anak dan mengkafirkan orang-orang yang tidak mau ikut berperang, dan menganggap harta mereka halal.
Usaha Nafi’ ibn Azraq berhasil menguasai al-Ahwaz, karena situasi politik pemerintahan Bani Umayah tengah kacau. Tetapi karena prinsip politik dan doktrinnya itu, akhirnya ia juga mendapat banyak tantangan dari penduduk yang telah memberikan dukungan pada saat penaklukkan al-Ahwaz. Oleh sebab itu kemudian penduduk Basrah mengangkat al-Muallab ibn Sufrah sebagai pemimpin mereka, yang telah bersiap untuk menyerang kelompok khawarij dan berhasil membunuh Nafi ibn Azraq. Sukses ini menambah kuat posisi al-Muhallab dan usaha kelompok khawarij untuk melakukan pemberontakan semakin susah. Tetapi setelah al-Muhallab dipindahtugaskan menjadi gubernur di Khurasan, kelompok khawarij melakukan gerakan kembali. Gerakan ini dirasakan sangat mengganggu ketentraman masyarakat Basrah, sehingga mereka meminta kepada kepada Musab, gubernur Basrah, untuk mengembalikan al-Muhallab ibn Sufrah ke Basrah. Permintaan mereka dikabulkan dan al-Muallab memerangi kelompok khawarij yang ketika itu kepemimpinan berada di tangan Qatary ibn al-Fujaah.
Kelompok Khawarij, meskipun terus digempur pemerintah, terus melakukan gerakan perlawanan. Gerakan ini tidak hanya berhenti pada masa-masa awal dan pertengahan pemerintahan Bani Umayah, juga pada masa-masa akhir pemerintahan. Gerakan terakhir yang dilakukan ke¬lom¬pok khawarij pada masa akhir pemerintahan Bani Umayah adalah ge¬rak¬an yang dilakukan oleh Hamzah al-Khariji di Makah pada tahun 129 H, dan berhasil menguasai Makah dan Madinah pada tahun 130 H. Tetapi Marawan ibn Muammad, khalifah terakhir Bani Umayah mengi¬rim pa¬sukan guna menggempur kelompok pemberontak ini, hingga akhirnya kelompok ini dapat dihancurkan. Seiring dengan melemahnya kelompok Khawarij, pemerintahan Bani Umayah juga mengalami masa-masa kemun¬duran dan kehancuran. Energi pemerintah terkuras dipergukan untuk mengatasi berbagai gejolak politik dan sosial. Kenyataan ini ditambah kemunculan kelompok yang mengatasnamakan al al-bait guna merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayah.
Selain kelompok Khawarij yang banyak menghabiskan energi pe-merintah dalam mengatasi berbagai pemberontakan yang dilakukannya, juga terdapat gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh al-usein ibn Al dan kelompok al-tawwabun, (orang-orang yang bertobat).
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa upaya al-asan ibn Al membaiat Muwiyah ditentang oleh al-usein, karena dianggap telah mengkhianati amanah umat yang telah menunjukkan menjadi khalifah. Begitu juga ketika al-asan berencana kembali ke Madinah dan menetap di sana dengan meninggalkan problem politik dan konflik sosial yang tengah terjadi, al-usein juga menunjukkan sikap keti¬dak¬setu¬juan¬nya. Al-usein mau menuruti perintah kakaknya karena ia mendapat amanah dari ayahnya untuk selalu bersama dan menuruti ucapan kakak¬nya itu, termasuk masalah khilafah. Dalam perjanjian dengan Muwiyah pada peristiwa m al-jamah 661 M, disepakati bahwa persoalan khilafah sepeninggal Muwiyah harus diserahkan kepada umat Islam untuk me-nentukan pilihan mereka, siapa yang paling layak menjadi pemimpin. Tetapi sebelum meninggal, Muwiyah telah mengangkat Yazd pute¬ra¬nya sendiri sebagai penggantinya kelak. Tindakan ini tentu saja menge¬ce¬wakan banyak pihak, termasuk al-usein sendiri.
Setelah Muwiyah wafat pada hari Kamis bulan Rajab tahun 60 H. Yazd naik tahta dan dia meminta seluruh penduduk yang berada di bawah wilayah kekuasaannya membai’atnya, termasuk al-usein ibn Al. Untuk itu, Yazd meminta gubernur Madinah al-Walid ibn Utbah ibn Ab Sufyn menemui al-usein dan meminta bai’at darinya. Tetapi, menurut al-°abr, al-usein tidak mau melakukannya saat itu, bahkan kemudian ia pergi ke Makah bersama isteri dan keluarganya.
Di Makah, al-usein menerima banyak tawaran dari penduduk Kufah agar ia pergi ke Kufah, karena merekan akan membelanya. Permintaan tersebut tidak begitu saja diterima, tetapi al-usein mengutus Muslim ibn Aqil ibn Ab °lib untuk menyelediki keadaaan sebenarnya. Kedatangan Muslim diterima dengan baik oleh penduduk Kufah. Me¬lihat kenyataan ini, Muslim memerintahkan al-usein untuk segera pergi ke Kufah dan meninggalkan Makah, karena di kota ini ia dan keluarganya akan aman. Tetapi apa yang terjadi, rencana kepergian al-usein dike¬ta¬hui oleh Yazd, sehingga ia memerintahkan Ubaid Allh ibn Ziyd pergi ke Kufah dan menggantikan posisi Nu’man ibn Basyir sebagai gubernur baru. Di sini Ubaid Allh diperintahkan untuk menghukum mereka yang membantu al-usein, termasuk Muhamad ibn Aqil yang tengah ber¬lin¬dung di rumah Hani ibn Urwah. Kedua orang ini kemudian dibunuh, dan peristiwa itu tidak diketahui al-usein. Keinginan dan tekad al-u¬sein untuk pergi ke Kufah sangat kuat, meskipun telah disarankan oleh Ibn Abbas agar membatalkan niatnya itu. Karena Ibn Abbs tahu bahwa masyarakat Kufah adalah masyarakat yang tidak dapat dipegang ucap¬an¬nya. Setelah mendapat saran dari tetap akan dilaksanakan. Selain Ibn Abbs, al-usein juga mendapat nasihat dari Abd Allh ibn Muti al-Adwi, salah seorang pemimpin Arab. Ia memberi saran agar al-usein tidak datang ke Kufah dan jangan melawan kekuatan Bani Umayah, ka¬re¬na ia akan membunuhmu.
Di tengah perjalanan, masih menurut al-°abr, al-Husein juga bertemu dengan Bakir ibn Salabah al-Asadi. Kebetulan dua orang pe¬ng¬ikut al-usein berasal dari Bani Asad, yaitu Abd Allh ibn Salim al-Asadi dan al-Muzr ibn al-Musyamil al-Asadi. Kedua orang ini bertanya ten¬tang keadaan Kufah dan peristiwa yang menimpa Muammad ibn Aqil kepada Bakir. Bakir menjelaskan bahwa kedua orang tersebut telah di¬bu¬nuh, karena ia menyarankan agar al-Husein kembali ke Hijaz dan mem¬batalkan rencananya menetap di Kufah. Tetapi lagi-lagi nasihat tersebut diabaikan oleh al-Husein, sehingga ia tetap melanjutkan perjalannya ke Kufah. Mendengar keterangan itu, al-Husein memberikan kebebasan ke¬pada para pengikutnya, mereka yang mau kembali silakan dan yang mau meneruskan juga dipersilakan ikut bersamanya. Sebagian dari pengi¬kut¬nya mengundurkan diri dan yang tianggal bersamanya hanya sahabat se¬tianya yang sama-sama berangkat dari Madinah, serta bebarapa orang lainnya.
Kedatangan al-Husein ke Kufah bertujuan untuk memperoleh dukungan kuat dari penduduk Kufah dan melakukan serangan kepada Yazd yang dianggapnya telah merampas hak umat Islam, yaitu khilafah. Tetapi tampaknya al-Husein tidak mau belajar banyak dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa penduduk Kufah tidak dapat dipercaya, ayahnya tewas di tangan pemberontak yang sebelumnya adalah pen¬du-kungnya sendiri dan itu terjadi di Kufah. Akan tetapi karena keingin¬an¬nya begitu kuat untuk bertemu para pendukungnya di Kufah, ia tetap ne¬kat hingga akhirnya ia sendiri dan para pengikutnya tewas mengenaskan di Karbala pada tahun 61 H di tangan Sinan ibn Anas.
Wafatnya al-Husein, meninggalkan duka mendalam di kalangan umat Islam. Umat Islam yang anti Bani Umayah membutuhkan figur yang akan menjadi pempinan mereka. Karenanya setelah Yazd mening¬gal tahun 63 H, Abd Allah ibn Zubeir memproklamirkan diri sebagai khalifah dan mengumumkan perlawanan terhadap Bani Umayah. Gerak¬an Abd Allah ibn Zubeir semakin meluas dan mendapat dukungan dari masyarakat Hijaz. Gerakan perlawanan terhadap Bani Umayah juga kemudian meluas setelah kemunculan kelompok al-tawwabun di Kufah yang dipelopori oleh Sulaiman ibn Surad al-Khuza’i. Kelompok ini me¬nuntut balas atas kematian al-Husein dan kemudian mereka menya¬lah¬kan diri mereka karena tidak membantu dan mengkhianati al-Husein ke¬tika diperangi oleh pasukan Ubaid Allah ibn Ziyd di Karbala. Untuk me¬wujudkan hal itu, kelompok al-tawwabun di bawah pimpinan Sulaiman ibn Surad dengan kekuatan sekitar 4000 pasukan melakukan serangan ke Kufah melawan gubernur Ubaid Allh ibn Ziyd. Tetapi kekuatan yang dimiliki kelompok ini tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pemerintah, sehingga Sulaiman ibn Surad dan pasukannya dapat dika¬lahkan di ain alwardah tahun 65 H/685 M.
Kemunculan kelompok ini membuktikan sekali lagi bahwa per¬da-maian dan pengakuan al-asan ibn Al dengan Muwiyah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, memiliki implikasi politik yang cukup kuat, karena selama masa-masa awal pemerintahan bahkan pertengahan dan akhir masa kekuasaan Bani Umayah, kelompok-kelompok yang tidak se¬paham atau tidak menjadi jama’ah, melakukan perlawanan terhadap pe¬merintahan Bani Umayah walaupun semua pemberontakan dari pihak oposisi selalu dapat dikalahkan, tetap mengindi¬kasikan bahwa peristiwa m al-jamah menimbulkan kelompok atau partai-partai dan menge¬ras¬nya bentuk perlawanan mereka terhadap pemerintah Bani Umayah.
Implikasi Teologis Peristiwa m al-Jamah.
Peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, tidak hanya menimbulkan implikasi politik dengan munculnya berbagai partai atau golongan yang melakukan gerakan perlawanan dan menge¬rasnya bentuk-bentuk perlawanan yang mereka lakukan, juga berdampak pada persoalan-persoalan teologis. Dalam konteks penulisan disertasi ini, yang dimaksud dengan implikasi teologis bukan hanya diartikan sebagai sebuah kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan sebagainya dengan ideologi mereka masing-masing, tetapi—dan ini yang menjadi fokus penulisan dalam sub bab ini adalah—penentuan posisi seseorang atau kelompok tertentu yang melakukan afi¬liasi atau bergabung (berjama’ah) dengan adalah kelompok lain, misalnya bagaimana posisi kelompok yang tidak mau melakukan bai’at kepada Muwiyah setelah al-asan ibn Al melakukan sumpah setia kepadanya. Berdosakah kelompok yang tidak ikut berjama’ah, kalau berdosa apa hu¬kumnya. Apakah kelompok oposisi (yang tidak berafiliasi ke pihak pe¬nguasa) haru atau bahkan wajib diperangi, dan sebagainya. Kemudian, apakah konsep jama’ah di sini memiliki benang merah dengan sebuah ke¬lompok Islam yang dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Tetapi, satu hal penting yang juga perlu ditegaskan di sini adalah bahwa pada sub bab ini juga tidak akan dibahas mengenai sejarah dan per¬kem¬bangan kelompok al al-sunnah wa al-jamah dengan berbagai konsep pe¬mikiran dan gerakan yang dilakukannya. Sebab fokusnya adalah apakah peristiwa m al-jamah memiliki dampak bagi perkembangan aliran ini, sebab aliran ini baru mengalami perkembangan bahkan kemajuan dalam berbagai bentuk pemikiran jauh setelah peristiwa m al-jamah yang ter¬jadi di Maskin tahun 661 M/41 H.
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa kekuasaan atau pemerintahan Muwiyah yang telah mendapat legitimasi massa al-asan ibn Al, merupakan sebuah pengalaman atau praktik satu-satunya se-orang penguasa yang berhasil menjadi penguasa (khalifah,amir atau al-ma¬lik), melalui manuver politiknya yang dilakukan terhadap semua per¬se¬lisihan agama dan politik atau perselisihan suku daerah yang ada. Se¬be¬lum Muwiyah berkuasa, untuk memperoleh otoritas politik, operasi mi¬liter jarang dipergunakan, juga kekerasan tidak dilakukan secara terang-terangan. Ada hal penting yang patut dicatat di sini bahwa fakta adanya kekerasan yang dilakukan Muwiyah dalam memperoleh legitimasi ke¬kuasaannya merupakan sebuah fakta yang harus diterima, seperti fakta-fakta politik lainnya yang terjadi pada awal masa kekhalifahan yang ke¬mudian berubah secara logis menjadi teori pemerintahan. Untuk mem¬per¬oleh pengakuan publik, ketika seorang penguasa dapat membungkam kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya dengan mengguna¬kan otoritas politiknya, maka kemudian muncullah jamah.
Hanya saja persoalannya kemudian adalah dilema apa yang diha¬dapi oleh mereka yang menekankan konsep jamah dan yang menga¬ta¬kan bahwa mereka akan menjadi pihak terakhir yang berbai’at? Dengan dalih eksistensi jamah, maka mereka, tak peduli bagaimana cara yang dipergunakan penguasa untuk berkuasa, berbai’at pada seorang khalifah yang diseutujui oleh banyak orang atau mayoritas. Muwiyah sendiri menyatakan bahwa dirinya dapat menjadi khalifah bukan karena dirinya memiliki hubungan baik dengan masyarakat, melainkan karena meng-gunakan pedang atau kekerasan. Karena itu, ketika Muwiyah mem¬per-oleh pengakuan dari mayoritas masyarakat pada tahun 41 H/661 M, me-namakan tahun itu dengan sebutan “ tahun jama’ah”.
Kemampuan Muwiyah dalam memperoleh pengakuan dari mayoritas umat dan menjadi penguasa saat itu, merupakan kemam¬puan¬nya merebut hati dan menguasai anggota-angggota masyarakat, kaum muhajirin dan ansar, sehingga ia memperoleh dukungan yang relatif kuat. Dengan demikian, makna jama’ah dalam konteks politik di sini adalah bersatunya umat di bawah satu kepemimpinan. Hanya saja muncul per¬tanyan kemudian, bagaimana mereka yang tidak mau ikut berjama’ah dan membai’at Muwiyah, apakah mereka tidak masuk ke dalam ke¬lom¬pok jama’ah. Jawabannya, kalau kata jama’ah di sini diartikan sebagai ba¬gian dari ketaatan seseorang atau kelompok kepada penguasa, atau dalam istilah politik afiliasi politik seseorang atau kelompok pada kelompok pe¬nguasa, maka itu dinamakan jama’ah. Artinya, kekuasaan seseorang men¬dapat dukungan mayoritas. Dalam konsep fiqh, dibenarkan memerangi mereka yang tidak mau membai’at atau ikut mayorits, karena mereka di¬masukkan ke dalam kategori pemberontak. Misalnya, Al memerangi Muwiyah dan kelompok khawarij karena ia dianggap telah mem¬beron¬tak kepada penguasa, begitu juga Muwiyah, ia memerangi ibn Zubeir dan penduduk Madinah yang tidak mau membai’atnya.
Dukung mendukung dan menolak kekuasaan para penguasa ini kemudian memunculkan berbagai kelompok atau partai politik yang berdampak pada menguatnya kelompok tertentu dari masyarakat untuk meredam persoalan. Akibatnya, mayoritas umat Islam, sebagian besar ulama fiqh dan pembawa sunnah bersatu di bawah satu aliran yang kokoh, yaitu jamah yang dalam perkembangan kemudian dikenal de¬ng¬an sebutan al al-sunnah wa al-jamah. Terdapat beberapa athar sai yang menjelaskan perpecahan umat ke dalam berapa aliran atau mazhab dan kecenderungan yang berbeda, juga dijelaskan akan ada satu aliran lurus yang akan menegakkan agama Allah dalam meredam berbagai per¬ten¬tangan. Dalam persoalan teologi dan urusan-urusan lainnya, aliran ini menggunakan metode dan langkah rasul Allah. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa rasul Allah memprediksikan bahwa umatnya akan ter¬pecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang masuk surga, yaitu aliran yang mengikuti jalanku dan para sahabatku ( ma ana alaihi wa ashabi).
Tinjauan terhadap al al-Sunnah wa al-jamah memperlihatkan adanya kesesuaian antara akidah mereka dengan akidah Nabi, menjauhi sikap ekstremitas dan lebih mengutamakan sikap moderat dalam pemi¬kiran dan akitifitas. Dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah mereka mengikuti apa yang dipahami generasi salaf, yaitu para sahabat. Dalam menyikapi perselisihan dan peperangan yang terjadi di antara para sa¬habat, menurut al-Tahawai seperti dikutif Ahmazun, mereka selalu ber¬kata, kami mencintai para sahabat dan tidak membedakan di antara mere¬ka,dan juga tidak mengabaikan mereka. Mereka juga membenci orang-orang yang membenci sahabat. Kami tidak menyebut mereka kecuali de¬ngan sesuatu yang baik. Mencintai mereka merupakan ekspresi agama, dan membenci mereka merupakan ekspresi kemunafikan dan pem¬bang¬kangan. Pemberontakan terhadap pemimpin yang lalim, menurut mere¬ka dapat dilakukan Oleh karena itu, ketika mereka melihat adanya per¬tentangan di antara para sahabat dalam soal kepemimpinan, menurut me¬reka dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Satu di antaranya adalah tidak menimbulkan fitnah (konflik) dan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi kepentingan umat. Mayoritas mereka tidak memandang perlu pemberontakan, kecuali apabila terdapat tanda-tanda adanya keku¬furan di sana. Dalam konteks ini, al-Tahawi seperti dikutip Amhazun me¬ngatakan bahwa kami tidak mem¬be-rontak imam dan pemimpin urusan kami, walaupun mereka berbuat lalim. Kami tetap mentaatinya... dan ka¬mi berbuat baik karena mengikuti sunnah dan jama’ah, menghindari pe¬nyimpangan-penyimpangan, dan per¬pecahan. Dengan melihat kenyata¬an ini, kiranya dapat dipahami bahwa ke¬lompok al al-sunnah wa al-ja¬mah sangat mengidamkan perdamaian dan ke-tentraman umat atau ja¬ma’ah walau berada di dalam masa pemerintahan yang lalim tapi kuat, ketimbang berada di bawah pimpinan saleh tapi lemah.
Dengan memperhatikan masalah di atas, maka tak mengherankan apabila banyak sahabat yang justeru berpihak atau berafiliasi secara po¬litik dan ideologis kepada Muwiyah ketimbang al-asan pada waktu m jamah 661 M, karena Muwiyah secara militer dan mungkin fi¬nan¬sial lebih kuat ketimbang al-asan. Bahkan Muwiyah tidak segan-segan memberikan berbagai fasiltas yang dibutuhkan mereka yang punya po¬tensi dan berpihak kepadanya, seperti Amr ibn al-As, al-Mughirah ibn Syu’bah, dan kemudian Ziyd ibn Abhi, meskipun hal itu juga tidak menjamin tidak adanya pemberontakan yang terjadi, baik selama masa kepemimpinan Muwiyah atau sesudahnya.
Oleh karena itu, dalam akhir tulisan ini penulis tidak berani meng-atakan bahwa peristiwa m al-jamah memiliki kaitan langsung dengan kelompok al al-sunnah wa al-jamah, sebab belum banyak data yang di-peroleh dalam proses penulisan disertasi ini. Meskipun begitu, bila dilihat dari perkembangan sejarah yang ada pada masa awal pemerintahan Bani Umayah, terlihat jelas adanya kecenderungan sebuah kelompok ma¬yo¬ri¬tas atau jamah yang berpihak kepada pemerintahan ini. Waalhu a’lam bi muradihi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar