Rabu, 19 Agustus 2009

Dakwah

Dakwah Islam dan Pembentukan Civil Society
Oleh : Murodi*

Pengantar

Dakwah dapat ditafsirkan sebagai community development, dalam bahasa Islam artinya mem¬bangun“masyarakat Muslim”.Hal itu didasari atas realitas doktrinal bahwa se-mua aktifitas dakwah bermuara pada perubahan sosial dan pembangunan masya¬ra¬kat muslim. Selain itu, juga terdapat perubahan sikap dan prilaku sosial, serta peningkatan kualitas keimanan mad'u (obyek dakwah). Aktivitas dakwah dinyatakan berhasil apabila kegiatannya telah menunjukan hasil berupa penciptaan situasi sosial kemasyarakatan yang ideal—di mana tidak ada lagi penindasan, kelaliman, kemis-kinan, kesengsaraan, ke¬keringan spiritual, pe¬ne¬gakkan rasa keadilan, tidak ada lagi kemunafikan, dan sebagainya Hanya persoalannya, apakah ta¬taran masya¬ra¬kat ideal dari hasil gerakan dakwah Is¬lam itu sudah pernah ada dalam sejarah ma¬sya¬ra¬kat muslim atau belum? Bila sudah, kapan dan masyarakat muslim mana, dan bila be¬lum, ber¬arti gerakan dakwah yang dilakukan selama in belum berhasil secara mak¬si¬mal, karena belum terciptanya sebuah komunitas muslim berperadaban sebagai mo¬del masyarakat ideal.

Tetapi sebenarnya, usaha menuju terciptanya masyarakat ideal tersebut, yang ke¬mu-dian dipahami sebagai masyarakat madani atau civil society, telah dilakukan masya¬ra¬kat muslim ketika ber¬a¬da di bawah pimpinan Nabi Muhamad Saw dan para khulafa al-rasyidin.Usaha ini terus berlangsung, meskipun tidak berjalan secara baik pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terutama masa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, dan masa pemerintahan Bani Abbas di ba¬wah pemerintahan Harun al-Rasyid. Para penguasa Islam, dengan kelebihan dan kekurangannya, telah menunjukkan usa¬ha yang baik dalam menciptakan masyarakat berkeadilan. Khlaifah Umar ibn Abd al-Aziz, misalnya, berusaha menciptakan kedamaian, ketentraman, kesejah¬te¬raan, memberikan perlindungan bagi kaum minoritas, bahkan ia rela menanggalkan se¬mua kekayaan yang dimilikinya untuk dipergunakan demi kepentingan masyarakat. Masyarakat menjadi mitra pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Tidak ditemukan adanya indikasi presure terhadap masyarakat, apalagi minoritas, terutama pemeluk agama lain.
Sementara gerakan dakwah Islam di Indonesia yang sudah berjalan cukup lama—sejak abad ke-7 hingga kini, juga belum mampu menciptakan masyarakat ideal ter¬se-but. Apalagi kemudian istilah masyarakat madani atau civil society lebih dipahami da-lam konteks ber¬nuansa politis, ketimbang sosiologis dan agama.

Dalam konteks ke Indonesiaan, gerakan dakwah Islam yang berimplikasi pada pe-ngem¬bang¬an masyarakat menuju masyarakat madani (civil society), juga dirasakan ma-sih jauh dari apa yang diidealkan. Sebab masih terdapat kegiatan yang tidak didasari atas nlai-nilai ideal civil society, seperti keadilan, HAM, demokrasi, plu¬rali¬tas, keru-kunan dan seba¬gainya. Kesemua nilai itu sebenarnya ada pada ajaran Islam, hanya tidak atau belum dilak¬sanakan dengan benar dalam pengembangan dakwah Islam, baik di masamasa lalu maupun kini.

Dakwah Islam dan Pembentukan Civil Society:
Refleksi Historis

Sementara ini masyarakat masih memiliki paradigma berpikir sangat sederhana mengenai dakwah. Dakwah dipahami hanya sebatas tabligh, penyampaian materi le-wat ceramah. Pada¬hal, dakwah memiliki aspek jauh dari itu. Pemikirian yang sangat simplistis itu kemudian, tentu saja, berimplikasi pada gerakan dakwah secara me-nyeluruh, karena masih belum optimal gerakan dan pelaksanaan dakwah Islam yang berorientasi ada perubahan sosial. Hal ini dapat dilihat dari realitas sosial umat, bahwa masih banyak umat yang berada pada garis kehidupan yang ter¬sisih, baik dari sisi ekonmi, sosial, politik, buduaya dan sebagainya. Padahal, bila dakwah di¬pahami sebagai sebuah aktifitas umat yang didasari atas nilai-nilai keislaman, kimanan dan ketaqwaan dan berujung pada perubahan sosial, maka itulah dakwah yang sebenarnya.

Apabila kita melihat perhjalanan sejarah Islam, khususnya periode Nabi dan para khulafa al-Rasyidun, dapat diketahui bahwa dakwah yang dilakuka Rasul Allah, baik ketika masih berada di Makah maupun pada saat di Madinah, tidak hanya terfokus pada persoalan ke¬tauhidan, juga masalah kehidupan sosial, bahkan politik. Hal ini dapat dilaihat dari seja¬rah kedatangan Nabi Muhamad di Madinah. Sejak keda¬tang-annya, beliau sudah melakukan aksi sosial politik dan keagamaan dengan mem¬ben¬tuk sebuah perjanjian dengan masya¬ra¬kat Madinah yang multietnis dan multi agama. Masyarakat ini kemudian disatukan dalam se¬bu¬ah wadah negara dan konstitusi yang kemudian dikenal dengan Konstitusi Madinah. Dari ge¬rakan dakwah ini kemudian Ra-sul menciptakan sebuah komunitas masyarakat Madinah di bawah Konstitusi Ma¬dinah. Untuk komunitas muslim, Nabi Muhamad Saw menyatukan ma¬syarakat mus¬lim yang multietnis dengan konsep ummah.

Sebagaimana diketahui, Konstitusi Madinah, meskipun tidak berlaku lama, karena di-langgar oleh masyarakat Yahudi, memberikan perlindungan hukum dan kebebasan beragama se¬suai dengan ajaran agama masing-masing. Rasul berusaha menegakkan keadilan pada se¬mua komunitas etnis dan agama yang ada, sehingga tercipta suasana kedamaian da keten¬traman. Penghargaan terhadap keberadaan komunitas etnis dan pemeluk agama yang ada di Madinah, merupakan salah satu indikator adanya ma-syarakat yang harmonis, sebagai ben¬tuk dari civil society.

Pembentukan masyarakat madani (civil society) sebagai hasil dari gerakan dawkah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhamad Saw, terus dilakukan para sahabat yang menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau wafat. Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab misalnya, usaha menegakkan keadilan terus dilakukan. Bahkan kedua orang sahabat besar ini yang sebelum muslim merupakan orang ter-pandang dan terhormat dari sisi sosial dan ekonomi, tidak kenal lelah dalam me¬la-kukan gerakan dakwah. Mereka memulai dari sendiri untuk tidak berbuat lalim dan menghargai hak-hak orang lain, termasuk hak kehidupan beragama dan sebagainya.

Dalam satu riwayat disebutkan, ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia malah menjadi mis¬kin. Untuk menutupi kehidupannya, ia berusaha bekerja sendiri dengan berjualan di sa¬lah satu pasar yang ada di kota Madinah. Harta kekayaan yang pernah dimiliki diper¬gu¬nakan untuk melakukan gerakan dakwah agar masyarakat terhindar dari kemiskinan dan dari ke¬ti¬dakdilan. Melihat kenyataan ini Umar ibn al-Khattab menegur khalifah dan meminta Abu Bakar mengambil sebagian kecil dari harta yang tersimpan di bait al-mal, karena ia juga se¬benarnya punya hak di situ. Tetapi Abu Bakar tidak mau, bahka ia berujar dia akan sangat tersiksa bila melihat umat dan masyarakat yang berada di bawah kepemimpinannya seng¬sara. Ia tidak mau memikul beban dosa yang begitu besar nanti.

Kenyatan historis tersebut dapat dipahami bahwa keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak orang lain, merupakan salah satu bentuk dakwah yang sebenarnya dalam menuju ma¬syarakat madani (civil society). Pembentukan dan perkembangan ma¬sya-rakat madani ini ter¬nyata tidak berlangsung lama, terutama setelah kepemim¬pinan berada di bawah peme¬rin¬tahan Bani Umayah dan Bani Abbas. Karena sistem pe-merintahan dan politik yang diber¬la¬kukan tidak lagi didasari atas nilai-nilai syura, terutama dalam pemilihan dan pengangkatan pejabat pemerintah. Karena sistem pemerintahan yang ada bersifat monarchi absolut, yang ti¬dak melibatkan masyarakat banyak dalam proses pemilihan, maka ketidakadilan menjadi fenomena politik yang lazim ada ketika itu. Memang ada satu dua tokoh yang mencoba menerapkan ke-adilan dan mengakui keberaaan kelompok dan pemeluk agama lain yang ada pada masa pemerintahan Bani Umayah, seperti khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (99-1002H). Khalifah ini berusaha menerapkan keadilan, HAM, pluralisme, dan lain se-ba¬gai¬nya. Tetapi karena masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama, maka cita-citanya un¬tuk menciptakan masyarakat madani ang didasari atas nilai-nilai keis¬laman, tidak terlaksana, karena penggantinya merubah sistem dan kebijakan ter¬se¬but.

Ketika pemerintahan jatuh ke tengan Bani Abbas, situasi tersebut – pada masa awal-- tidak mengalami perubahan yang sangat signifikan, meskipun pemerintahan ini di kelilingi oleh masyarakat non Arab, seperti masyarakat mawali yang berasal dari Persia. Proses pem¬ben¬tukan masyarakat multikultur ini baru terjadi pada masa pemerinahan Abu Ja’far al-Mansur dan Harun al-Rasyid. Pada masa ini, masyarakat yang multi etnis, agama dan kultur ini bersatu membantu pemerintah Bani Abbas dalam pengembangan peradaban Islam. Salah seorang di antara kelompok itu ada¬lah al-Walid ibn Barmak, Khalid ibn Barmak, yang berasal dari keluarga pemeluk Majusyi. Abu Ja’far dan al-Rasyid sangat apresitif terhadap kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian untuk pengembangan peradaban Islam, Beliau tidak me-mandang latar belakang agama, budaya dan sosial politik mereka. Sebab hal ter-penting adalah bagaimana Bani Abbas menjadi maju. Pelibatan masyarakat multi et-nis dan multi agama ini, sebagai bentuk penghargan terhadap keberadaan dan peran me¬re¬ka dalam pengembangan peradaban Islam, merupakan salah satu indikator adanya sebuah ke¬percayan, trust, pemerintah muslim atas masyarakat non Muslim.

Keadaan mulai berubah ketika pemerintahan Bani Abbas tercabik-cabik oleh ke-kuatan lain, terutama kaum mamluk atau mamalik, yang pernah menguasai Bagdad. Kelompok ini jus¬teru mengacaukan sistem yang dianggap sudah cukup baik. Me¬re¬ka tidak memberikan ke¬sempatan da toleransi kepada pemeluk agama non-muslim. Inilah awal bencana yang ke¬mudian membawa petaka dalam tragedi perang Salib (1095 M). Perang ini membawa im¬pli¬kasi sangat serius bagi hubungan antar pe¬me¬luk agama. Sebab sejak saat itu, hubung¬an an¬tar pemeluk agama yang tinggal dalam satu wlayah, menjadi tidak harmonis. Dari situ mun¬cul kecurigaan yang kemudian menimbulkan ketidaktentraman dan bahkan ketidak¬adilan di antara sesama. Pe¬lang-garan HAM dan sebagainya sering terjadi. Hal itu antara lain di¬se¬bab¬kan pema¬ham-an keislaman mereka yang belum kaffah, karena mayoritas mereka adalah muallaf.

Dengan melihat sepintas perjalanan sejarah politik Islam tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya Islam telah memberikan rambu-rambu bagi kehidupan berma¬sya-rakat, bahkan berbangsa dan bernegara. Karena di dalam ajarannya banyak nilai yang sebenarnya kini banyak dipakai dalam pengembangan konsep civil sciety, seperti keadilan (adalah), amanah (trust), to¬leransi (tasamuh), dan seba¬gai¬nya. Nilai-nlai inilah yang semestinya dikembangkan oleh para da’i dalam melakukan dak¬wah Islam, baik di mimbar maupun di luar mimbar.

Penutup
Dengan memperhatikan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa sudah semesinya gerakan dakwah Islam yang dilakukan harus berorientasi pada upaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lewat aksi nyata, tidak hanya sebatas retorika melalui mimbar. Karena banyak persoala yang memerlukan penyelesaian segera dalam konteks dakwah Islam. Demkain, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar