Rabu, 19 Agustus 2009

Identitas Betawi





Menengok Masa Lalu, menatap Masa Depan
untuk Mempertegas Identitas Komunitas Etnis Betawi.
Oleh : Murodi


Konon, komunitas etnis Betawi, menurut Lance Casle, sejawaran Australia, ada¬lah konumitas etnis yang baru lahir pada tahun 19830-an. Pendapatnya ini didasari atass hasil sensus kependudukan yang dilakukan yang dilakukan pemerintah Belanda di Batavia pada tahun 1815-1853. Hasil sensus tersebut belum mencatat adanya sebuah komunitas etnis Betawi yang mendiami Batavia waktu itu. Dia menyimpulkan, etnis bernama Betawi adalah campuran Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Me¬layu. Lebih jauh bahkan ia menyebutkan bahwa komunitas etnis itu terbentuk dari ber¬bagai etnis yang didatangkan oleh pemerintah Belanda dari beberapa wilayah Nusan¬tara sebagai budak atau pekerja kasar di perkebunan dan proyek-proyek pemerintah Belanda.
Pendapat ini ditentang banyak orang, misalnya, Ridwan Saidi. Ia mengatakan bahwa pendapat itu salah. Sebab Lance Casle tidak tahu benar tentang komunitas asli penduduk Batavia. Ia bahkan mempertanyakan, apakah Batavia yang dulunya Bandar Sunda atau kemudian berkembang menjadi Sunda Kalapa yang berada di bagian Barat Utara pulau Jawa benar-benar kosong tak ber¬peng¬huni ? Ridwan Saidi, berdasarkan referensi yang dibacanya mengatakan, jauh sebelum Lance Casle melalukan penelitian, sudah terdapat penduduk asli di Batavia. Mereka adalah penduduk asli yang menempati di beberapa daerah, seperti Rawa Belong, Tanah Abang, Menteng, bahkan di daerah Condet, dan lain-lain.
Meskipun begitu, Bang Ridwan mengakui bahwa dalam proses pembentukan komunitas etnis Betawi lebih lanjut, ada semacam proses asimilasi dan akulturasi dari berbagai suku bangsa lain, seperti Sunda, Jawa, Melayu,Bugis, Ambon, Bali, Sum-bawa, bahkan pendatang dari negeri lain, seperti Arab, Cina, dan Eropa. Kenyataan ini dapat dilihat dari unsur kesenian, kebudayaan, bahasa, pakaian, dan lain-lain, dan proses asmilisai itu tentu saja dengan orang Betawi, menurut Yahya Andi Saputra, salah seorang pengurus LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi).
Ketika proses pembentukan komunitas etrnis ini mengalami kemapanan, maka pilihan akhir ideologi agama mereka adalah Islam. Islam tidak hanya dijadikan sebagai sebuah simbol ritual keagamaan, juga telah menjadi sebuah identitas diri dan budaya masyarakat Betawi hingga kini. Dalam teori Millner, yang menjelaskan tentang Islam dan Identitas Kemelayuan, mengatakan ketika orang non Melayu, seperti Cina dan peranakan Eropa masuk Islam, ia menyebutnya beeing a Malay, menjadi Melayu yang identik degang muslim. Untuk memetakan identitas komunitas etnis Betawi, kita dapat meminjam teori ini. Teori ini kemungkinan juga berlaku dalam proses pembentukan komunitas etnis Betawi di Batavia dan sekitaranya di masa lalu. Banyak pendatang de¬ngan latar belakang bahasa agama dan budaya, ketika tiba dan menetap secara perma¬nen di Batavia dan melahirkan generasi baru di wilayah baru mereka, banyak yang ma¬suk Islam dan menjadi Betawi. Dalam konteks ini, Abdul Aziz, mengatakan bahwa Is¬lam memainkan peranan yang cukup penting di dalam proses pembentukan identitas dan kebudayaan komunitas etnis Betawi. Islam dijadikan sebagai simbol pemersatu un¬tuk merekat elemen masyarakat Betawi. Selain itu, tradisi dan kebudayaan yang di¬kem¬bangkan komunitas etnis Betawi selalu didasari atas nilai-nilai keislaman. Sehingga ba¬nyak orang menilai, masyarakat Betawi adalah masyarakat yang religius.
Selain Islam sebagai sebuah ideologi, agama dan identitas, adalah sikap ega¬li-tarisme. Sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat Betawi, dulu, kini dan mendatang adalah masyaraat yang sangat terbuka dan egaliter. Kenyataan ini didasari atas sebuah realitas kehidupan bahwa di dalam kehidupan masyarakat tidak ada sistem kelas, seperti teori Marx. Semua orang di mata masyarakat Betawi memiliki kedudukan yang sama. Ibarat pepatah, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Tidak ditemukan penga¬ruh feodalisme di dalam tataran kehidupan sehari-hari, karena di Betawi tidak pernah ada kerajaan yang berkuasa. Kedudukan dan ketinggian derajat seseorang sa¬ng¬at di¬ten¬tukan oleh ketinggian ilmunya, khususnya ilmu-ilmu keagamaan. Kare¬nanya, ulama se¬lalu menempati posisi tertinggi di mata masyarakat Betawi, bukan tuan tanah atau penguasa.
Perlukan Masyarakat Betawi Mempertegas Identitas Diri?
Pertanyaan ini sebenarnya tidak bermaksud menyudutkan pandangan sebagian masya¬rakat Betawi yang sudah merasa mapan dengan posisi dan identitas yang dimilikinya. Bukan itu tujuannya. Hal yang ingin ditegaskan di sini adalah apakah selama ini ma¬syarakat Betawi pada umumnya sudah kehilangan identitas kebeta-wiannya sehingga memerlukan penegasan kembali tentang identitasnya. Lebih khusus lagi komunitas Be¬tawi yang ada di lingkungan kampus. Apakah selama ini komunitas etnis Betawi yang ada di lingkungan perguruan tinggi sudah melupakan identitas atau bahkan tercerabut dari identitasnya sebagai masyarakat Betawi terdidik? Kalau masih ada sikap seperti itu, maka patut disayangkan. Sebab kini, masyarakat Betawi mestinya merasa bangga de¬ngan identitas bahasa dan budaya yang dimiliki, karena bahasa Betawi yang sederhana, akrab, egaliter, dan tidak terkesan feodalistis, berpengaruh di seluruh antero Indonesia. Bahasa Batawi yang sering dipergunakan dalam sinetron, dan tayangan lainnya di me¬dia elektronik, dijadikan sebagai bahasa gaul sehari-hari masyarakat Indonesia, khu¬susnya anak-anak muda. Mereka sangat terbiasa dengan gaya bahasa dan logat Betawi. Sebagai ilustrasi, misalnya, ketika saya melakukan riset di pelosok Jawa Tengah, Jawa Timur hingg Madura, tampak kelihatan gaya bahasa yang dipergunakan anak-anak muda, baik di sekolah maupun perguruan tinggi dan di pergaulan sehari-hari di kota-kota besarnya. Istilah gile lu, lu jadian ama dia,gua aja nggak berani deketin eh lu mala jadian merupakan ungkapan biasa. Justeru kini, masyarakat dan budayawan Jawa dan lainnya merasa terancam posisinya, karena banyak generasi muda yang sudah kehilangan ident¬itas kedaerahannya. Upaya yang dilakukan pemda dan lembaga-lembaga pendidikan untuk memasukan muatan lokal berupa bahasa dan budaya lokal ke dalam kurikulum pelajaran, tetap saja kurang efektif. Karena di luar, mereka tetap memergunakan bahasa gaul, yaitu bahasa Betawi modern.
Akan tetapi, dalam pengamatan sepintas yang saya lakukan di beberapa tempat ter-ten¬tu, baik dilingkungan kampus atau di perkantoran, ada orang Betawi yang tidak mau disebut dirinya sebagai orang Betawi, karena malu. Menurutnya, orang Betawi itu ke¬tinggalan jaman., kolot, norak, dan sebagainya. Selain itu, kalau dilihat dari sisi psiko¬lo¬gis, stigma yang diarahkan kepada komunitas etnis Betawi sebagai akibat dari teori Lance Casle yang sangat stereotype, bahwa masyarakat Betawi berasal dari komunitas para budak, membuat sebagian masyarakat Betawi yang terdidik sekalipun enggan bahkan malu menyebut dirinya sebagai orang Betawi. Perasaan ini ditambah dengan stigma lain, bahwa orang Betawi adalah komuitas etnis pinggiran yang selalu tergusur digusur dan terbelakang. Tidak berpendidikan, hanya berpofesi sebagai tukang ojek, anggota RCTI ( rombongan calo tanah indonesia), dan sebagainya. Penayangan sinetron yang bernuansa Betawi selalu menampilkan wajah garang, tukang ngomel, cerewet, culas, tukang marah, dan sebagainya, memperburuk citra. Faktor-faktor inilah yang menyebebkan ada sebagian masyarakat Betawi yang enggan mengakui dirinya sebagai orang Betawi.
KMB dan Pencarian Identitas diri
Dalam pengamatan sepintas yang saya lakukan dan diskusi dengan beberapa teman di lingkungan kampus UIN Jakarta, misalnya, keberadaan KMB belum jelas. Masih banyak yang belum mengetahui kalau di UIN Jakarta ada organisasi KMB. Saya tidak tahu persis persoalan yang terjadi. Tapi menurut saya, kurang sosialisasi diri dan program-prorgam yang ditawarkan belum dapat sepenuhnya diketahui apalagi dipahami, selain ada kelompok lain yang juga mengatasnamakan diri sebagai organisasi mahasiswa Betawi.
Dalam konteks mempertegas identitas diri, sebenarnya KMB dapat dengan mudah me¬lakukannya. Sebab, sebagian mahasiswa Betawi yang ada di UIN Jakarta, misalnya, hampir bisa dicirikan identitas, baik asal tempat, budaya, maupun dialeknya. Tentu saja cara ini tidak efektif. Perlu langkah strategis dengan mendata dan melakukan kegiatan atau menyusun program kerja yang benar-benar realistis, tidak mengawang. Selain kon¬solidasi dengan melepaskan warna jaket ekstra masing-masing.
Posisi KMB yang di lingkungan kampus sebenarnya sangat strategis, tidak hanya seba¬gai organisasi kemahasiswaan yang didasari atas asal usul daerah, juga karena ang¬go¬ta¬nya terdiri dari komunitas intelektual muda yang sangat progresif. Karena itu, seha¬rusnya KMB dapat lebih mudah berkembang dan mempertegas identitas diri dan para anggotanya sebagai calon-calon intelektual muda Betawi yang memiliki masa depan cerah dalam membangun komunitas Betawi.
Demikian sedikit catatan ini sebagai bahan diskusi.

Terima kasih

Murodi










Tidak ada komentar:

Posting Komentar