Rabu, 19 Agustus 2009

al-Qiyadah al-Islamiah

Munculnya al-Qiyâdah al-Islâmiyah:
Potret Buram Gerakan Dakwah di Indonesia.

Oleh : Murodi

Pengantar

Baru-baru ini,umat Islam Indonesia dikejutkan oleh pengakuan seorang mantan palatih bulu tangkis Indonesia dan pensiunan Pegawan Negeri Sipil, Ahmad Mosha¬d¬deq. Pengakuannya menghebohkan umat Islam. Betapa tidak. Lelaki berpenampilan necis ini mengaku mendapat wahyu dari tuhan dan mengutusnya sebagai nabi dan ra¬sul, setelah bertirakat selama 40 hari 40 malam di sebuah saung miliknya di gunung Bunder, Bogor Jawa Barat pada 23 Juli 2006. Pengakuannya mendapat respons beragam. Ada yang menolak, bahkan mengancam akan memberangus kelompok ini, ada yang netral, dan ada pula yang pro. Kelompok terakhir ini tentu saja datang dari kalangan para pengikutnya.
Pengakuan Moshaddeq sebagai seorang nabi di abad modern ini, baru di¬prok-lamirkan pada tahun 2007. Padahal, menurut cerita Moshadeq, ia sudah menyebarkan aliran ini sejak 2001. Ini berarti aktivitasnya sudah berjalan lebih kurang 6 tahun. Dan berarti pula, banyak hal yang sudah dilakukan Moshaddeq selama itu,di antaranya pe¬nyu¬sunan buku ajaran aliran ini, membuka jaringan, rekruitmen, pembaiatan, kon¬so¬li¬dasi dan lain sebagainya. Per¬ta¬nya¬an¬nya, mengapa aliran ini baru diketahui pemerintah, tokoh aga¬ma dan tokoh masyarakat setelah adanya informasi yang diberitakan media massa ? Kemana saja para ulama dan kaum cendekiawan muslim selama ini? Aktivitas dakwah apa saja yang selama ini di-lakukan para da’i? Sudahkah dakwah mereka me-nyentuh persoalan mereka yang paling mendasar, khususnya dalam akidah dan masa¬lah-ma¬salah sosial-ekonomi lainnya? Ada apa dengan dakwah kita? Pertanyaan-per¬ta¬nyaan seperti inilah, hemat saya, yang mesti dijawab, sebelum memberi kecaman kepa¬da Mo¬shaddeq dan para pengikutnya. Ini bu¬kan membela, hanya bertanya. Semoga per¬ta¬nyan ini membuka mata hati umat Islam, terutama para ulama, praktisi dakwah, tokoh ma¬syarakat, po-litisi, pe¬jabat, pendidik, dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah artikel ini ditulis. Pe¬nu¬lisan artikel ini bukan untuk memojokkan suatu kelompok, dan meng¬angkat kelompok lain. Tapi hanya sebuah resonansi diri yang dapat dijadikan cer¬min kehidupan dalam men¬jalankan aktivitas dakwah di ma¬sya¬rakat.

Al-Qiyâdah al-Islâmiyah :
Wadah Baru Bagi Pemburu Wahyu di Abad Modern

Berawal dari pencarian identitas diri dan pemantapan spiritualitas seorang man¬tan pegawai negeri sipil Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan mantan pelatih bulu¬tang¬kis Indonesia, bernama H. Abd Salam atau Ahmad Moshaddeq, lahirlah sebuah aliran baru yang cukup menggegerkan muslim Indonesia. Ia terlahir sebagai putera Betawi di kawasan Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Sebagai putera Betawi, tentu saja ia terbiasa me¬laksanakan ajaran Islam yang dianut mayoritas komunitas etnis ini, yaitu Islam Sunni. Meskipun alumni Sekolah Tinggi Olahraga, ia dapat mengucapkan lafal al-Qur’an de¬ ngan baik. Mungkin karena pendidikan agama yang diperoleh dari orangtuanya atau mengaji di lingkungan tempat tinggalnya yang banyak berdiri mushalla atau masjid, tempat mencari ilmu agama. Bahkan menurut para tetangganya, sejak muda ia sangat aktiv sebagai pengurus masjid di lingkungannya, dan terkadang menjadi penceramah. Sikapnya yang ramah dan supel, membuat masyarakat di sekitarnya senang bila ber¬temu dengannya. Upaya “pancaran spiritualitas” ini, menurut sebagian orang, sebagai upaya pencarian wahyu, sudah sejak lama dilakukannya, mungkin sejak masa-masa mudanya. Tetapi, ia baru menemukan “wahyu “setelah bertapa atau bersemedi selama 40 hari 40 malam di salah satu saung yang ada di sekitar vilanya di Gunung Bundar, Bo¬gor, Jawa Barat. Ia, pada wawancara dalam tayangan Sigi 30 menit SCTV tanggal 4 No¬vember 2007 menyamakan aktivitas dirinya seperti yang dilakukan nabi Muhamad saw. Dulu, katanya, nabi Musa bertapa di Gunung Sinai selama 40 hari 40 malam, nabi Isa juga seperti itu. Begitu juga nabi Muhammad Saw mendapat wahyu dari Allah setelah ia bersemedi selama lebih kurang 40 hari 40 malam di Gua Hira. Jadi me¬nu¬rut¬nya, sah-sah saja kalau kemudian ia juga melakukan hal yang sama guna memburu wahyu itu. Karena itu, ia sekali lagi berargumen sebagaimana argumen yang dulu pernah diucap¬kan Nabi Muhamad Saw, bahwa ia adalah penyempurna ajaran para nabi sebelumnya. Ia tidak memungkiri risalah Nabi Muhammad, tapi hanya ingin menyem¬purnakan ajar¬an nabi Muhamad yang menurutnya sudah saatnya disempurnakan. Inilah antara lain argumen dasar yang dikemukakan Amhad Moshaddeq, nabinya al-Qiyâdah al-Islâmi¬yah, dalam meyakinkan umat Islam Indonesia.
Menurut pengakuan Moshaddeq, sebenarnya aliran al-Qiyâdah al-Is¬lâm¬iyah te¬lah terbentuk sejak tahun 2001, tetapi baru diproklamirkan secara umum pada 2007. Per¬nyataan secara terbuka di depan publik dilakukan setelah ke¬lompok alir¬an ini mela¬ku¬kan tahapan dakwah Sirriyah, yaitu dakwah secara tertutup, seperti yang dila¬ku¬kan saat-saat awal Nabi Muhammad berdakwah di Makkah. Ini berarti aliran ini sudah sejak la¬ma melakukan “gerakan dakwah“ tanpa diketahui oleh masyarakat dan peme¬rintah. Pertanyaannya, kemana saja para ulama pembina umat selama ini, dan apa pula yang selama itu mereka lakukan. Apakah mereka asyik dengan kesibukannya ma¬sing-ma¬sing, sehingga melupakan tugas utamanya sebagai juru dakwah dan pene¬rang umat, ketika umat Islam membutuhkannya. Sayangnya hampir sebagian besar para ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, para politisi dan birokrat, tidak menya¬da¬ri hal ini akan terjadi. Bahkan tak jarang para ulama yang lebih senang “mondok” di Se¬na¬yan, ketim¬bang mengurus pondoknya sendiri. Ironis memang, tapi itulah ke¬nya¬taan yang ada.
Banyaknya tokoh agama atau ulama yang memilih mondok di Senayan, me¬ru-pakan implikasi nyata arus reformasi. Sejak bergulirnya reformasi pada 1988, banyak tokoh agama dan masyarakat yang terjun ke dunia politik praktis. Ada yang mendirikan partai politik berbasis agama, ada yang berbasis ideologi orga¬ni¬sasi sosial keagamaan¬nya, dan ada pula yang masuk ke partai politik yang tidak men¬da¬sari ideologinya ke¬pada salah satu agama besar di Indonesia. Dengan demikian, prak¬tis para ulama, yang seharusnya menjadi pembimbing umat, malah sibuk dengan dirinya sen¬dirinya. Ka¬renanya wajar kalau kemudian banyak masyarakat muslim yang kehi¬langan pegangan, mencari jalan sendiri untuk menemukan apa yang dicarinya dalam agama. Dalam si¬tuasi krisis seperti itu, biasanya ada orang atau kelompok orang yang mencoba mem¬berikan jawaban alternatif atas keresahan umat dengan memberikan bim¬bingan spiri¬tual keagamaan, dengan berbabagi janji yang menyegarkan. Dalam tradisi Kristen bia¬sanya disebut mesiachs, dan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan Ratu Adil, dan sebagainya. Barangkali inilah yang menjadi latar belakang kemunculan aliran atau sekte agama yang mengklaim diri sebagai agama paling mutakhir dan paling be¬nar, sementara agama lama yang dianggap telah mapan oleh kebanyakan masyarakat peng¬anutnya, dinilai telah kehilangan pegangan, usang dan perlu direformasi. Untuk itulah mereka menyatakan bahwa al-Qiyâdah al-Islâmiyah adalah agama baru dan wa¬dah spritusalitas bagi pencari wahyu di abad modern ini.
Tak pelak, pernyataan ini mendapat respon beragam; ada yang secara terang-terangan menolak dan menyatakan al-Qiyâdah al-Islâmiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan; ada pula yang berusaha membela aliran ini, meskipun bukan anggota kelompok al-Qiyadah al-Islamiya, ada pula yang bersikap netral. Untuk kelompok ter-akhir ini biasanya muncul dari kalangan akademisi, aktivis dan pemerhati hak asasi manusia (HAM), bahkan kelompok yang menyatakan diri sebagai Jaringan Islam Li-beral (JIL). Dalam dialog di Metro TV, Abdul Moqshit Ghazali, mewakili JIL, seakan membela aliran ini. Bahkan ia menyatakan fatwa MUI yang menyatakan aliran al-Qiyâ¬dah al-Islâmiyah adalah sesat dan menyesatkan, justeru malah bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Sebab Islam, menurutnya lebih jauh, sebagai sebuah agama, memiliki aturan yang menjamin adanya perbedaan agama atau mazhab. Karena itu, Moqshit menyayangkan keluarnya fatwa MUI yang menyatakan al-Qiyâdah al-Islâmi¬yah merupakan aliran sesat dan menyesatkan. Dan sekali lagi, fatwa MUI tidak meng¬i¬kat. Abdul Moqshit merasa khawatir kalau fatwa MUI itu akan menimbulkan sikap anarkis masyarakat, dengan menangkap, menghakimi atau membakar tempat – tempat ibadah aliran ini, seperti yang terjadi pada aliran Ahmadiyah dan lain sebagainya. Pa¬da¬hal, menurut Kautsar Azhari Noor, negara menjamin lewat Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2. Karena itu, bila terjadi penangkapan atau tindakan anarkis, baik yang dilakukan oleh aparat atau masyarakat, maka tindakan itu sangat ti¬dak produktif dan bertentangan. Selain itu, menurut Guru Besar UIN Jakarta ini, pasal 146a KUHP (?), me¬ngenai penistaan agama, dinilai pasal karet. Karena pasal itu akan selalu digunakan oleh kelompok penguasa atau mayoritas untuk menghakimi aliran seperti al-Qiyâdah al-Is¬lâmiyah. Menurutnya, mestinya negara justeru memberikan perlindung¬an terhadap se¬mua pemeluk agama, apapun aliran mereka. Apalagi pasal itu digunakan untuk meng-hakimi keyakinan, semakin tidak masuk akal. Sebab soal keya¬kinan sangat tergantung pada kepercayaan diri, dan tidak bisa dipaksakan. Oleh sebab itu, ia menya¬rankan agar pemerintah, MUI dan masyarakat berhati-hati dalam mem¬be¬rikan vonis terhadap se¬buah kepercayaan.
Senada dengan itu, Abdul Moqshit Ghazali, mengatakan bahwa salah satu fatwa MUI yang menyatakan aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah sesat, terutama berkaitan dengan syahadat yang tidak menyebutkan Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul Allah, tidak bertentangan bagi siapa saja yang berpegang pada al-Qur’ân. Karena menurutnya, ba¬nyak aliran sejenis yang tidak menyebut Muhammad sebagai nabi terakhir, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai khâtam al-nabiyyîn, meskipun kata-kata tersebut terdapat di dalam al-Qur’ân. Tetapi, menurutnya lebih jauh, kata-kata ini khâtam al-nabiyyîn, inter¬pretable, memiliki penafsiran atau pemahaman berbeda. Sebab kata khâtam bermakna banyak. Kata khatam bisa berati cincin, stempel, bukan penutup saja. Karena kata bahasa Arab yang berarti penutup adalah khâtim, bukan khâtam. Karena itu, sejak dulu, teru¬ta¬ma di kalangan Ahmadiyah, kata ini juga menjadi debatable, yang menyebabkan aliran ini dikategorikan sesat dan menyesatkan. Karena tidak mengakui Muhamad saw se¬ba¬gai nabi dan rasul terakhir.
Menanggapi masalah ini, Moshaddeq berkomentar, bahwa syahadat yang di-pa¬kai dalam membai’at jama’ahnya berbeda bukan berarti menafikan Muhamad sebagai nabi dan rasul. Justeru ia ingin menyempurnakan ajaran Nabi Muhamad Saw yang di¬anggapnya belum sempurna. Ia mencoba memformulasikan konsep ajarannya dari ke¬tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam. Karenanya, syahadat kedua yang diu¬cap¬kan bukan mengakui Muhammad sebagai Nabi dan rasul, tapi dengan menyebut al-masîh al-maw’ûd, yaitu juru selamat yang dijanjikan. Konsep ini hampir sama dengan ajaran kelompok al-Rawandiyah, yang terjadi pada masa pemerintahan dinansti Ab¬basiyah. Kelompok ini mencoba memadukan ajaran Islam dengan ajaran Zoroaster, Mazdakiyah, Manuwiyah, dan tradisi Kristen. Di antara doktirn kelompok al-Rawan¬diyah adalah bahwa ruh nabi Isa telah menjelma di dalam diri ‘Ali ibn Abî Thâlib. Se¬telah ‘Ali wafat, ruh itu pindah ke anak cucunya, dan ada yang menjadi juru selamat atau al-mahdi. Paham ini ternyata terus berkembang, terutama di daratan anak Benua India. Adanya unsur kedekatan paham antara al-maw’ûd dengan konsep reinkarnasi, membuat ajaran ini berkembang, dan malah mendapat dukungan dari pemerintah pen¬jajah Inggris, hingga lahirlah satu aliran baru dalam Islam, yaitu Ahmadiyah, meskipun kemudian aliran ini terpecah menjadi dua, yaitu Lahore dan Qadiyan.
Dengan demikian, bila melihat matarantai ajaran, terutama soal syahadat yang tidak menyebut Muhammad saw sebagai rasulullah, ada kemungkinan aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan beberapa aliran sebe¬lumnya, seperti disebutkan di atas. Artinya, bahwa kelompok Islam yang dianggap “nyeleneh” sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum al-Qiyâdah al-Islâmiyah lahir. Bah¬kan sejak masih ada Nabi Muhammad Saw, muncul seseorang dari Yamamah (kini Riyadh, ibu kota Saudi Arabia), bernama Musailamah, yang kemudian di kalangan muslim pengikut setia nabi Muhammad disebut nabi palsu ( al-kadzdzâb).
Ajaran kontroversial lainnya adalah soal shalat, pusa, zakat dan haji. Aliran ini belum tidak melaksanakan shalat lima waktu, melarang pusa, melarang membayar zakat dan melarang melaksanakan ibadah haji. Alasannya, mereka belum memperoleh perintah dari tuhan untuk melaksanakannya. Sebab, kelompok ini beranggapan masih pada periode awal penyebaran Islam. Shalat yang dilaksanakan hanya shalat malam, ka¬rena itu terdapat dalam al-Qur’ân. Sementara shalat lima waktu yang kini dilaksanakan umat Islam kebanyakan, tidak terdapat di dalam al-Qur’ân, dan masih banyak lagi ajar¬an yang dianggap kontroversial. Merespons hal ini, Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag mengatakan, kalau elemen dasar ajaran aliran ini berbeda dengan ajaran Islam, maka jelas ini meru¬pakan aliran yang salah. Dan syahadat adalah salah satu pilar penting dalam Islam.

Sekelumit Tafsir yang dianggap sesat

Sebagian besar artikel ini dikutip dari Lajnah Pembela Sunnah. Dalam penje¬las-an¬nya, lajnah ini mengatakan bahwa tafsir yang dipergunakan oleh kelompok ini tidak di¬dasari atas kaidah-kadiah tafsir sesuai aturan yang berlaku. Lajnah ini memberikan contoh dengan mengutip pendapat al-Hâfidz Ibn Katsîr dalam pendahuluan tafsir Ibn Katsir. Berikut kutipannya:

1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metodologi ini merupakan yang paling shalih (valid) dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Kata beliau -rahmahullah-, bahwa As-Sunnah merupakan pensyarah dan yang menjelaskan tentang menjelaskan tentang Al-Qur’an. Untuk hal ini beliau -rahimahullah- mengutip pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- : “Setiap yang dihukumi Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka pemahamannya berasal dari Al-Qur’an. Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:
       ••         
ً
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) membela orang-orang yang khianat.” (An-Nisaa’:105)

3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pernyataan para shahabat. Menurut Ibnu Katsir
-rahimahullah- : “Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para shahabat, karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi, yang secara khusus mereka menyaksikannya. Merekapun adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang sempurna, strata keilmuan yang shahih (valid), perbuatan atau amal yang shaleh tidak membedakan diantara mereka, apakah mereka termasuk kalangan ulama dan tokoh, seperti khalifah Ar-Rasyidin yang empat atau para Imam yang memberi petunjuk, seperti Abdullah bin Mas’ud -radliyallahu anhu-.

4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman yang dimiliki oleh para Tabi’in (murid-murid para shahabat). Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau pernyataan shahabat, maka banyak dari kalangan imam merujuk pernyataan-pernyataan para tabi’in, seperti Mujahid, Said bin Jubeir. Sufyan At-Tsauri berkata : “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan”.

Ibnu Katsir -rahimahullah- pun mengemukakan pula, bahwa menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari sebagaimana yang berasal dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- atau para Sala¬fush Shaleh (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) adalah haram. Telah disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas -radliyallahu ‘anhuma- dari Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-:
من قال في القرأن برأيه او بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Qur’an dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di Neraka.” (Dikeluarkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu Daud, At Tirmidzi mengatakan : hadist hasan).


Sementara umat Islam lain menggunakan metode tafsir sebagaimana di jelaskan di atas, Al-Qiyâdah al-Islâmiyah telah menerbitkan sebuah tulisan dengan judul“Tafsir wa Ta’wil”.Tu¬lis¬an setebal 97 hal + vi disertai dengan satu halaman berisi ikrar yang menjadi pegangan jama¬’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyyah. Sebagai gerakan keagamaan yang menganut keyakinan datang¬nya seorang Rasul Allah yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud pada masa sekarang ini, mereka me¬lakukan berbagai bentuk penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang dibenarkan berdasarkan syari’at, ayat-ayat Al-Qur’an dipelintir sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai dalil bagi pemahaman yang sesat. Sebagai contoh, bagaimana mereka menaf¬sirkan surat al-mukminun ayat 27:

فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنـا

“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera dibawah penilikan dan petunjuk Kami.” (Al-Mu’minuun :27)

Maka, mereka katakan bahwa kapal adalah amtsal (permisalan,ed) dari qiyadah, yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda. Ahli Nuh adalah orang-orang mukmin yang beserta beliau, sedangkan binatang ternak yang dimasukkan berpasang-pasangan adalah perumpamaan dari umat yang mengikuti beliau. Lautan yang dimaksud adalah bangsa Nuh yang musyrik itu….. (lihat tafsir wa ta’wil hal.43).

Demikian upaya al-Qiyâdah al-Islâmiyah mempermainkan Al-Qur’an guna kepen¬tingan gerakan sesatnya. Sungguh, seandainya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Ra¬sulullah -shallallahu ‘alihi wasallam- boleh ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang, tan¬pa mengindahkan kaidah-kaida penafsiran sebagaiman dipahami salaful ummah, maka akan jadi apa Islam yang mulia itu ditengah pemeluknya ? Al-Qiyâdah Al-Islâmi¬yah ha¬nya sebuah sample dari sekian banyak aliran/paham yang melecehkan Al-Qur’an de¬ngan cara melakukan interpretasi atau tafsir yang tidak menggunakan ketentuan yang selaras dengan pemahaman yang benar.
Dalam kata lain, gaya dan metode penafsiran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’¬ân, tidak sejalan dengan kaidah-kaidah baku yang telah disepakati bersama oleh para ulama salaf ( al-Salaf al-Shâlih). Mereka lebih mengedepankan penafsiran melalui ta’wil yang didasari atas akal se¬mata, tidak merujuk pada metodologi penafsiran para ulama salaf. Hal ini meng¬in¬dikasikan bahwa mereka yang belum atau tidak memahami meto¬dologi penafsiran yang diajarkan para ulama salaf yang merujuk pada al-qur’an, dan hadis. Tapi lebih pada pendapat mereka sendiri. Karena itu, banyak ulama dan masya¬rakat yang menolak ajaran ini dan dikategorikan sebagai aliran sesat oleh MUI.


al-Qiyâdah al-Islâmiyah:
Respons masyarakat dan Pemerintah

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, kemunculan aliran al-Qiyâdah al-Islâmi-yah mendapat respons bermacam-macam. Ada yang menolak dan dengan tegas me-nya¬takan bahwa aliran ini sesat dan menyesatkan. Ada yang bersikap netral, dan ada yang membela. Di antara lembaga dan ormas Islam yang menolak dan menyatakan al-Qi¬yâdah al-Islâmiyah adalah sesat, adalah MUI, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Dari pihak MUI, keluar fatwa bahwa al-Qi¬yâdah al-Islâmiyah adalah aliran sesat dan menye¬satkan. Keluarnya fatwa ini, ditambah adanya laporan masyarakat, membuat al-Qiyâ¬dah al-Islâmiyah seolah menjadi musuh bersama (common enemy) umat Islam Indonesia, yang mesti dibasmi. Tak pelak, Departemen Agama, Kejaksaaan Agung dan Kepolisian, bahkan presiden Soesilo Bambang Yudoyono, juga disibukkan dengan aliran baru ini.
Sementara kelompok netral, meskipun terkesan membela, berasal dari para ak-tivis HAM dan JIL, yang menyebutkan siapapun berhak menganut agama dan keper-ca¬yaan di negeri ini, karena Indonesia bukan negara Islam. Apalagi masalah kebebasan beragama mendapat perlindungan hukum dalam pasal 29 ayat 2. Tidak hanya para ak¬tivis HAM dan JIL, beberapa intelektual muslim, mecoba memberikan penjelasan bahwa soal akidah tidak dapat diintervensi siapapun, termasuk negara. Sedang mereka yang pro, tentu saja dari kelompok aliran ini. Mereka akan membela mati-matian nabi dan aliran mereka, sehingga tak seorangpun berhak menghakimi keyakinan yang mere¬ka anut. Apapun yang terjadi, mereka tetap akan berada pada pendirian bahwa al-Qiyâdah al-Islâmiyah adalah agama terakhir yang paling benar, dan Ahmad Moshad¬deq adalah nabi dan rasul mereka, yang disebut sebagai al-masîh al-maw’ûd.
Anehnya, aliran yang katanya sudah berjalan lebih kurang enam tahun dan me¬miliki pengikut lebih dari 50 ribu di seluruh Indonesia, baru diketahui oleh instansi ter¬kait dan masyarakat, setelah Ahmad Moshaddeq, memproklamirkan diri secara ter¬buka di depan publik. Jadi, selama ini, diam-diam aliran ini telah melakukan pem-bai’atan dan konsolidasi untuk memperkuat barisan mereka. Pengikutnya, tidak hanya dari kalangan masyarakat bawah kurang terdidik, juga kalangan menengah atas yang terdidik. Mulai dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), seperti di Lampung, hingga maha¬sis¬wa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, menjadi pengikut setianya;, misalnya di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Jawa Timur, Padang, Makassar, dan beberapa kota lain di Indonesia. Di hampir tiap daerah, pengikut aliran ini menjadi komunitas eks¬lusif, tidak mau bergaul dengan masyarakat. Akibatnya, masyarakat curiga. Ada apa gerang¬an dengan komunitas ini. Adakah kelompok agama atau aliran tertentu di balik kemun¬culan aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah, siapakah dalangnya dan untuk apa aliran ini lahir di Indonesia yang mayoritas muslim. Bagaimanan dengan adanya tudingan da¬ri seba¬gian masyarakat bahwa munculnya gerakan ini akibat gerakan dakwah yang be¬lum tuntas, karena banyak ulama yang lebih memilih mondok di Senayan, di birok¬rasi, atau jadi politisi, dan lain sebagainya. Pertanyaan ini pantas mengemuka, meng¬ingat aliran ini cukup merepotkan banyak pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan data dan informasi nyang diperoleh sementara, masyarakat dan or¬mas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, mengecam keras alir¬an ini. Mereka mendesak pemerintah untuk membubarkan dan menangkap pe-mimpin dan anggota aliran ini. Masyarakat khawatir bila dibiarkan, aliran ini akan mengganggu keimanan dan keamanaan masyarakat muslim lainnya. Desakan itu terus dilakukan ter¬lebih setelah MUI mengeluarkan fatwa diperkuat dengan hasil investigasi Depag bahwa al-Qiyâdah al-Islâmiyah termasuk salah satu aliran sesat dan dilarang ber¬kem¬bang di Indonesia. Desakan ormas Islam dan MUI untuk membubarkan al-Qi¬yâdah al-Islâmi¬yah, semakin menambah kepercayaan para anggota aliran ini, bahwa al-Qiyâdah al-Is¬lâmiyah adalah yang benar. Karena itu, mereka tetap pada pendirian bah¬wa mereka ti¬dak akan kembali ke ajaran “Islam lama” yang mereka anut atau bertobat. MUI meng¬an¬jurkan kepada mereka yang sudah terlanjur menjadi anggota aliran ini untuk bertobat dan kembali kepada ajaran Islam yang selama ini dianut oleh muslim In¬donesia dan mungkin juga dunia. Tetapi tetap saja mereka tidak bergeming dan ber¬ta¬han pada ke¬ya¬kinan. Menurut Fachry Ali, pemerintah sulit membendung aliran sesat se¬perti al-Qiyâ¬dah al-Islâmiyah. Alasannya, pemerintah ada dalam posisi yang dilematis, karena tiap tindakan (pemberantasan) dikategorikan sebagai pelanggaran kebe¬basan ber¬a¬gama dan itu juga berarti pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM).
Semakin kuat mereka mempertahankan keyakinan ini, semakin kuat desakan masyarakat kepada pemerintah untuk membubarkan aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah ini. Hal yang dikhawatirkan oleh anggota masyarakat lain, terutama pemerhati dan aktvias HAM, adalah implikasi politik dan sosial yang ditimbulkan, misalnya, perusakan dan penangkapan yang berlebihan yang dilakukan oleh aparat dan anggota masyarakat, se¬perti yang terjadi pada aliran Ahmadiyah. Tindakan anrkis inilah yang tidak dike¬hen¬daki oleh para aktivis HAM di Indonesia. Karena, menurut mereka, siapapun sebe¬nar¬nya diperbolehkan menganuta agama dan kepercayaan di Indnesia, bahkan dijamin oleh UUD 45 pasal 29 ayat 2.
Menurutnya lebih jauh, pemerintah tegak pada konstitusi yang berbasis sosial sekuler, sehingga mengakomodasi gagasan-gagasan yang bersifat sekuler, terutama da¬lam konteks Hak Asasi Manusia. ''Inilah yang kemudian menimbulkan tindakan peme¬rintah itu kelihatan begitu ragu-ragu. Satu saat pemerintah khawatir teralienasi dari masyarakat, pada saat yang sama pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek-as¬pek kemanusiaan dari tindakannya. Mengenai legalitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa aliran sesat terhadap beberapa sekte, ia mengatakan organisasi keaga¬maan itu berhak menentukan, sesat tidaknya sebuah aliran agama. Karena me¬nurutnya lebih jauh, MUI membuat fatwa sebagai patokan dari penilaian dia. Pegangan yang di¬buat oleh MUI berdasarkan ke-Islaman yang secara umum berlaku selama ber¬abad-abad lalu, kemudian mendapatkan keabsahan dari tradisi Nabi Muhammad SAW maupun di dalam Al Qur`an serta penafsiran dari Ulama-ulama yang diakui oleh umat Islam se¬dunia. Jadi itu merupakan koridor untuk mengatakan mana yang Islam dan mana yang bukan Islam, lanjutnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usaha pemerintah dan masyarakat untuk membubarkan aliran ini, sebagai sebuah bentuk respons. Sebab masyarakat tidak menghendaki adanya aliran Islam yang berbeda dengan aliran yang selama ini dianut, terlebih dalam ajarannya menafikan Muhammad saw sebagai nabi terakhir, dam hanya mengakui Ahmad Moshaddeq sebagai nabi al-masîh al-maw’ûd. Klain nubuwat inilah yang “membuat gerah” komunitas muslim yang telah mapan di Indonseia. Dan mereka te¬rus melakukan tekanan psikologis dengan mengancam akan meberangus aliran ini, membuat sebagian anggota aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah bertobat, termasuk “sang na¬bi dari Betawi “ ini yang menyerahkan diri pada tanggal 29 Oktober 2007. Sejak itu, ge¬ma aliran ini mulai meredup. Tapi kita tidak tahu selanjutnya, sebab ada sebagian to¬kohnya di daerah yang bersikukuh mempertahankan keyakinannya ini. Inilah tugas kita semua untuk berdakwah secara aktiv, simultan dan sinergis dengan lembaga-lembaga Islam lain, hingga menghasilkan sebuah komunitas muslim yang shâlihîn.


Al-Qiyâdah al-Islâmiyah:
Potret Gerakan Dakwah yang belum tuntas

Setuju atau tidak, bahwa kemunculan aliran menyimpang atau disebut juga se¬bagai aliran sesat, merupakan salah satu faktor kegagalan gerakan dakwah Islam. Alas¬annya, ternyata para pendiri dan pengikut aliran ini bukan hanya terdiri dari ma¬sya¬ra¬kat biasa atau masyarakat awam di bidang ilmu agama. Banyak pula mereka yang me¬mang berasal dari komunitas muslim yang sedari kecil sudah mengenyam pen¬di¬dik¬an agama di pesantren atau madrasah. Salah satu contoh pendiri gerakan Islam Jama’ah. Organisasi ini hingga kini masih dianggap sebagai komunitas muslim ekslusif.
Berbeda dengan pendiri Islam Jama’ah, pendiri aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah, Ahmad Moshaddeq, bukan berasal dari keluarga santri.. Ini dapat dilihat dari pengem¬baraan ilmunya yang tidak satupun menyebut dirinya pernah nyantri di salah satu pon¬dok pesantren ternama. Ia hanya seorang alumni Sekolah Tinggi Olah Raga di Jakarta. Bahkan mantan pelatih bulutangis di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia ( PBSI). Hanya karena keingintahuannya tentang ajaran Islam, ia mencoba mencarinya sendiri tanpa bimbingan dari guru agama atau kyai, dan ia “menemukan wahyu“ di gunung Bunder (Ijo), Bogor, Jawa Barat. Dari situlah Moshaddeq menyebar ajarannya dan menganggap dirinya sebagai nabi setelah bertapa selama lebih kurang 40 hari 40 malam.
Ketika ia mengkalim diri sebagai seorang nabi, al-masih al-maw’ud, mendadak sontak semua terperangah. Kaget, marah, mengecam dengan kata-kata kasar, dan ada pula yang mengatakan, kasihan dia, dan sebagainya. Kecaman itu ditujukan pada aliran ini. Lalu, siapa yang disalahkan. Apakah Moshaddeq dan para pengikut setianya, para ulama, para da’i, ormas Islam atau siapa. Dalam konteks ini, ti¬dak pantas saling melon¬tarkan kesalahan. Tapi yang jelas, kehadiran aliran ini me¬nambah deretan panjang ke¬munculan aliran sesat di tanah air, dan tantangan langsung bagi gerakan dakwah Islam di Indonesia.
Selama ini, dakwah hanya dipahami sebatas tabligh dan pengajian, baik di masjid, mushalla, perkantoran dan lain sebagainya. Padahal, secara teoritis dan praktis, dakwah memiliki pengertian sangat luas, dengan cakupan obyek yang cangat luas pula. Dalam konsep dakwah, secara teoritis bentuk dakwah terbagi pada tiga bagian besar dengan pendekatan yang sesuai dengan obyek dakwah tersebut. Ada dakwah bil lisân, yang diaktualisasikan dalam bentuk tabligh atau pengajian. Dakwah bil qalam, yakni penyam¬paian pesan atau ajaran Islam melaui media massa, seperti koran, majalah, tabloid, bulletin, TV, radio, emial dan lain sebaganya. Dan ada pula yang disebut dakwah bil hâl, yaitu dakwah yang mampu memberdayakan masyarakat melalui potensi yang dimi¬likinya. Bentuk ketiga ini yang belum banyak tergarap dengan baik di bidang dak¬wah. Padahal ia merupakan potensi besar untuk memberdayakan masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing, sehingga tidak ada lagi masyarakat muslim mustadh¬’afîn. Baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Simplifikasi pengertian dan pemahaman dakwah sebatas tabligh atau ceramah dan pengajian, menyebabkan banyak orang salah paham, bahwa intensifikasi nilia-nilai ajaran Islam cukup dilakukan di situ. Terserah masyarakat, setelah mengikuti pengajian apakah mereka akan terberdayakan secara sosial ekonomi atau tidak, atau pemahaman kea¬gamaan mereka bertambah atau tidak, bukan lagi urusan sang dâ’i. Semuanya ter¬pulang dan mejadi tugas masing-masing individu masyarakat muslim itu sendiri. Kare¬na itu wajar jika ada sekelompok orang yang ingin mencari solusi sendiri mengenai problem yang selama ini mereka hadapi. Termasuk Ahmad Moshaddeq dan para peng¬i¬kutnya. Mereka mencari solusi tanpa bimbingan para ulama dan arahan dari lembaga-lembaga Islam, semisal MUI dan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Ja¬mi’ah al-Washliyah, Perti, dan lain sebagainya.
Karena banyak aktivitas dakwah dianggap “tuntas” di tempat pengajian, dan ti¬dak dilanjutkan dengan upaya bimbingan agama bagi para mad’û , maka tidak banyak penambahan wawasan dan pengetahuan para mad’û. Melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dakwah, da’i, tokoh agama dan masyarakat, belumlah tuntas. Kenyataan ini dapat di¬li¬hat dari fenomena munculnya gerakan atau aliran Islam yang dianggap menyimpang. Salah satunya aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah.
Lantas apa yang mesti kita lakukan? Membiarkan masyarakat mencari solusi sendiri dalam menyelesaikan persoalan pengetahuan keagamaan, atau membimbing mereka menemukan solusi yang tepat dalam menjawab kebutuhan spiritualitas mereka. Semua terpulang pada kita, akademisi, tokoh agama, ulama, ormas dan pemerintah. Bila kita membiarkan, maka risikonya akan semakin banyak bermunculan aliran atau paham keagamaan yang “nyeleneh” di Indonesia. Karena itu, diharapkan gerakan dakwah da¬pat menjawab segala tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim Indonesia. Selain itu, gerakan dakwah tidak hanya sebatas tabligh, juga melalui aksi sosial dan pem¬ber¬dayaan umat; baik dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, model atau ketiga bentuk dakwah (bil lisan, bil qalam, dan bil hal) wajib dilaksanakan dengan seksama dan ter¬prog¬ram dengan baik, sehingga tidak ada lagi masyarakat muslim yang tertindas dan termarginalkan di negeri Indonesia ini, yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu saja penerapan ketiga bentuk atau model dakwah tersebut harus dilakukan dengan standar yang jelas menurut al-Qur’an, yaitu bi al-hikmah, al-mau’idhah al-hasanah, dan al-mujâdalah. ( al-Nahl; 125).
Amin.




















Penutup

Demikian seklias paparan mengenai gerakan dan dakwah dan fenomena kemun¬culan aliran al-Qiyâdah al-Islâmiyah. Diharapkan, setelah seminar ini, kepedulian kita terhadap masyarakat muslim mustadh’afîn semakin bertambah, sehingga kegiatan dak¬wah yang kita lakukan lebih terfokus dengan program jauh lebih mengena sasaran. De¬ngan demikian, tidak akan muncul kembali atau paling tidak menimimalisir kemun¬culan aliran sesat di Indonesia. Karena salah satu faktor kemunculan aliran semacam ini disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan. Banyak di antara para pengikutnya memiliki latar belakang sosial ekonomi yang miskin. Karena kemiskinan ilmu dan harta, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya yang mereka lakukan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang mereka anut. Semoga.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat, 16 Januari 2007

Murodi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar