Senin, 07 September 2009

Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbas

KEMAJUAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA DINASTI BANI UMAYAH



Selama masa pemerintahan dinasti Bani Umayah (41-132 H/661-750 M) banyak perkembangan dan kemajuan yang terjadi, di antaranya adalah : Kema¬juan dalam bidang administrasi pemerintahan, kemajuan dalam bidang sosial budaya, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Untuk lebih jelas mengenai perkem¬bangan dan kemajuan dimaksud, berikut uraiannya.

A. Kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan
Hampir satu abad lamanya dinasti Bani Umayah berkuasa (41-132 H/661-750), meskipun banyak kendala dan pasang surut dukungan politis dan eko¬no¬mi, tetapi tetap saja ada perkembangan dan kemajuan yang dicapai. Di antara kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang administrasi adalah bidang administrasi pemerintahan dengan terbentuknya lembaga administrasi yang mendukung jalannya roda pemerintahan Bani Umayah. Lembaga-lembaga ter¬se¬but adalah sebagai beriktu:

1. Organisasi Politik ( an-nidham al-siyasi)

Selama masa-masa pemerintahan dinasti Bani Umayah banyak perkem-bangan yang terjadi. Hal tersebut terjadi karena para penguasa dinasti Bani Umayah selalu berorientasi pada upaya perluasan wilayah kekuasaan dan penguatan politik militer guna menjalankan pemerintahan. Untuk mendukung program pembangunan dan cita-cita serta keingian untuk memperbaiki sistem pemerintahan dan administrasi negara, para penguasa banyak mengadopsi sis-tem pemerintahan Persia, Yunani dan Romawi, termasuk dalam hal penggantian pucuk pimpinan, sistem politik, militer, administrasi pemerintahan dan lain-lain.

Oleh karena itu, pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah terdapat sistem organisasi politik yang cukup mapan. Organisasi itu meliputi; jabatan khilafah, kepala negara; wizarah, kementerian, kitabah, kesekretariatan, dan hijabah, pengawal pribadi khalifah. Kepala negara disebut khalifah, yang memiliki kekuasaan penuh untuk menen¬tukan jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan. Wizarah, memiliki tugas dan fungsi membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakna tugasnya sehari-hari.

Sedang kitabah, atau sekretariat negara memiliki tugas dan fungsi menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesekretariatan negara, seperti mencatat dan melaporkan kegiatan-kegiatan di istana, dan lain-lain. Sementara hijabah, memiliki tugas dan fungsi dalam memberikan keamanan dan perlidungan kepada khalifah dan keluarga istana dari berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa. Kalau digambarkan seperti sekarang, hijabah ini sama dengan pasukan pengawal pengamanan presiden (pas¬pam¬pres).

Untuk kelancaran pekerjaan pemerintah, dibentuk lembaga administrasi negara, seperti diwanul kitabah, yang membawahi bidang-bidang seperti, katib al-rasail, yaitu sekretaris bidang keuangan. Katibul Jund, sekretaris militer. Katib al-syuhtah, sekretaris bidang kepolisian, dan katib al-Qadhi, sekretaris bidang keha¬kiman.

2. Organisasi Tata Usaha Negara ( annidham al-idari)

Organisasi teta usaha negara yang mengalami perkembangan dan kema¬juan pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah adalah adanya pembagian wilayah kekuasan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Peme¬rintah pusat di¬pegang oleh khalifah, sebagai pengendali semua pemerintah wi¬layah atau daerah, se¬mentara pemerintah daerah dikendalikan oleh seorang gubernur yang disebut wali se¬bagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Para gubernur bertanggungjawab kepada pemerintah pusat yang berada di bawah kekuasaan khalifah. Para khalifah dengan kekuasaan dan wewenang yang ada pada dirinya dapat mengangkat dan mem¬ber¬hen-tikan para gubernur, terutama bagi yang tidak disukai atau menentang kebijakan pe¬merintah pusat.

Untuk kepentingan pelaksanaan tata usaha negara dalam bidang peme-rintahan, pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayah dibentuklah lembaga yang disebut departeman (al-dawawin). Departemen-departemen itu adalah sebagai berikut:
a. Diwanul kharraj, yaitu departeman pajak yang bertugas mengelola pajak tanah di daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
b. Diwanul rasail, yaitu departeman pos dan persuratan yang bertugas me¬nyampaikan berita atau surat-menyurat dari dan ke suluruh wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
c. Diwanul musytaghillat, yaitu departemen yang bertugas menangani ber¬bagai kepentingan umum.
d. Diwanul khatim, yaitu departemen yang bertugas menyimpan berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting negara.

3. Organisasi Keuangan Negara (annidham al-mal)

Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, para khalifah yang ber-kuasa tetap mempertahankan tradisi lama, yaitu tetap mengelola baitl mal, baik pemasukan maupun pengeluarannya. Sumber-sumber dana baitul mal diperoleh dari hasil pemu¬ngutan pajak pendapatan negara berupa pajak penghasilan dari tanah pertanian yang sering disebut kharraj. Hanya saja pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, pajak tersebut dikurangi, sehingga pemasukan kas negara yang akan disetor ke baitul mal mengalami kemerosotan, sehingga ketika khalifah Hisyam bin Abdul Malik kas tersebut terkuras. Untuk menye¬la¬matkan kas negara akhirnya khalifah Hisyam bin Abdul Malik menaikkan pajak kepada semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaan dinasti Bani Uma¬yah.

Selain dari pajak tanah atau kharraj, pendapat negara juga diperoleh dari jizyah, yaitu pajak pendapatan yang diperoleh dari pajak individu sebagai ben¬tuk konkret dari perlindungan negara atas jiwa dan keluarga masyarakat, teru¬tama masyarakat non-muslim yang berada di dalam pengawasan dan keamanan negara Islam, sehingga posisi dan status mereka sama seperti masyarakat mus¬lim lainnya yang mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama di de¬pan hukum negara saat itu.

Di samping kedua sumber pajak utama sebagai mana disebut di atas, pen¬dapatan negara juga diproleh dari pajak perdagangan yang dikenakan kepada para pedagang asing yang mengimport barang dagangannya ke dalam wilayah kekuasaan Islam dinasti Bani Umayah. Pajak tersebut disebut dengan istilah usyur, yaitu seper¬sepuluh dari harga barang import. Pendapatan itu diperguna¬kan untuk pembangunan wilayah-wilayah Islam dinasti Bani Umayah.

Dalam catatan sejarah, menurut al-Baladzury, pajak yang terkumpul dari kharraj sebanyak 186.000.000,- dirham (mata uang perak). Kebijakan para khalifah bani Umayah yang mewajibkan pajak kepada seluruh warga masyarakat, terus dilanjutkan sebagai pendapatan untuk untuk dimasukan ke kas negara. Setelah itu, semua pendapatan yang diperoleh dari hasil penarikan pajak akan di¬per¬gu¬nakan untuk membiayai pem¬bang¬un¬an dan gaji para pegawai dan pejabat nega¬ra, selain untuk kepentingan keluarga istana.

4. Organisasi Ketentaraan (annidham al-harbi)
Organisasi ketentaraan pada masa pemerintahan dinasti Bani Uayah me¬rupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah dilakukan oleh para penguasa se¬belumnya, seperti para khulafaurrasyidin. Perbedaannya, kalau pada masa sebe¬lumnya semua orang boleh dan berhak menjadi tentara. Tetapi pada masa pe¬merintahan dinasti Bani Umayah, hanya orang-orang Arab atau keturunannya yang hanya boleh manjadi panglima tentara. Sementara yang bukan berasal dari orang Arab atau keturunan Arab tidak mendapatkan kesempatan dan bahkan ti¬dak dibolehkan menjadi panglima tertinggi di dalam ketentaraan. Pucuk pim¬pinan dalam militer harus orang yang berasal dari keturunan bangsa Arab. Ke¬bijakan yang sangat diskriminatif dengan menomor-duakan masyarakat yang bu¬kan berasal dari keturuan Arab, sangat mengecewakan masyarakat, sehingga se¬ring terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat non Arab di luar jazirah Arabia.

Dalam formasi tempur, pamerintah dinasti Bani Umayah mempergu¬na-kan taktik dan strategi tempur kerajan Persia. Formasi itu terdiri dari pasukan inti, yang disebut qalbul jaisyi, yang diisi oleh komandan pasukan. Al-maimanah, yaitu pasukan sayap kanan, al-maysarah, pasukan sayap kiri, al-mutaqaddimun, yaitu pasukan yang menemati posisi terdepan, dan saqah al-jaisyi, yaitu pasukan yang menempati posisi paling belakang, yang bertugas menjaga keamanan dari belakang.

Di belakang pasukan tempur biasanya ada pasukan lain yang disebut rid, yaitu pasukan logistik yang menyiapkan bahan makanan, obat-obatan dan se¬ba¬gainya. Selain itu ada pasukan yang disebut talaiyah, yaitu pasukan pengintai atau intelejen. Pasukan tempur terdiri dari: farsan, yaitu pasukan berkuda atau Kaveleri, rijalah, pasukan pejalan kaki atau infanteri, dan ramat, yaitu pasuan pemanah.

4. Organisasi Kehakiman (annidham al-Qadla.)
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, telah terjadi pemisahan ke¬kua¬saan antara ekskutif (pemerintah) dengan yudikatif (kehakiman atau peng¬adilan). Da¬lam pelaksanaannya, kekuasaan kehakiman dibagi menjadi tiga ba¬gian, yaitu al-Qadla, al-Hisbah, dan al-Nadhar filmadlamin. Untuk mengetahui ma¬sing-masing bagian keha¬kim¬an tersebut, berikut penjelasannya.
a. al-Qadla, yang bertugas menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan negara.
b. al-Hisbah, yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan persoalan pidana yang memerlukan tindakan atau penye¬le-sai¬an secara cepat.
c. al-Nadhar filmadlami, yaitu mahkamah tinggi atau mahkamah ban¬ding, semacam mahkamah agung di Indonesia.

B.Kemajuan dalam bidang Sosial Budaya

Selain perkembangan dan kemajuan tersebut di atas, terdapat pula kemajuan peradaban Islam dalam bidang lain, seperti bidang sosial budaya.
Pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, beberapa cabang seni bu¬daya mengalami kemajuan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa dan seni bangunan. Berikut uraian singkat mengenai perkembangan dan kemajuan dalam bidang sosial budaya.

1. Kemajuan dalam bidang Bahasa dan Sastra

Di antara salah satu faktor terjadinya kemajuan dalam bidang bahasa dan sastra adalah karena luasnya wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah. Wilayah yang luas dengan beragam penduduk dan bahasa yang berbeda, menambah per¬bendaharaan kata menjadi semakin kaya dalam penggunaan bahasa komu¬ni¬kasi di antara penduduk. Akan tetapi, pada masa pemerintahan khalifah al-Wa¬lid bin Abdulm Malik, terjadi penye¬ra¬gaman bahasa. Semua bahasa dae¬rah, terutama dalam bidang administrai dan pemerintahan, diharuskan meng¬gu¬nakan bahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab mengalami kema¬juan yang cukup berati pada masa itu.

Selain faktor tersebut di atas, beberapa kota besar seperti Kufah, Basrah, Damaskus, dan lain-lain, merupakan pusat kegiatan pengembangan sastra. Per¬temuan peradaban antra bangsa yang telah maju sebelumnya dengan bangsa Arab muslim, menambah semarak kegiatan sastra dan bahasa, sehingga ber¬kem¬bang pesat ilmu bahasa dan sastra Arab. Banyak sastrawan lahir dan mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini. Di antara para ahli bahsa dan sastrawan yang terkenal pada saat itu adalah:
1. Nu’man bin Basyir al-Anshary (w.65 H).
2. Ibn Mafragh al-Hamiri (w.69 H).
3. Miskin Addaramy, (w.90 H).
4. Al-Akhthal (w.95 H).
5. Jarir (w.111 H).
6. Abul Aswad al-duwali (w.69 H).
7. Al-Farazdaq (w.0 H)
8. Ar-Rai (w.90 H).
9. Abu Najam al-Rajir (w.130 H)
10.Abul Abbas al-Am’a
11.Asya Rabiah (w.85 H).

Dari pemikiran dan kreatifitas mereka inilah kemudian bahasa dan sastra Arab mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat berarti bagi dunia Is¬lam hingga kini. Permikiran dan karya mereka inilah yang kemudian dikem¬bangkan lebih jauh pada masa pemerintahan dinasi Bani Abbasiyah.

2. Kemajuan dalam bidang Seni Rupa

Seperti telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa salah satu orien¬tasi pemerintahan dinasti Bani Umayah adalah pengembangan wilayah ke¬kuasaan. Usa¬ha ini bukan berarti mengabaikan pengembangan bidang ilmu pe¬ngetahuan, sastra dan seni lainnya. Terbukti banyak ditemukan berbagai per¬kembangan dan kemajuan yang terdapat pada masa pemerintahan, salah satu¬nya adalah perkembangan seni rupa.
Seni rupa yang berkembang pada masa pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah hanyalah seni ukir dan seni pahat. Seni ukir yang berkembang pesat pada ma¬sa itu adalah penggunaan khat Arab (kaligrafi) sebagai motif ukiran. Banyak ayat al-Qur’an, hadis Nabi dan rangkuman syair yang dipahat dan diukir pada tem¬bok bangunan masjid, istana dan gedung-gedung.

Di antara kemajuan dalam bidang ini dapat dilihat pada dinding Qashr Amrah, istana mungil Amrah. Bangunan ini merupakan sebuah istana musim panas yang terletak di daerah pegunungan, sebelah Timur Laut Mati sekitar 50 mil dari kota Amman, Yordania. Istana yang dibangun oleh khalifah al-Walid bin Abdul Malik ini dirancang untuk tempat peristirahatan pada musim panas dan waktu berburu, sehingga tempat tersebut sering disebut dengan istana ber-buru.


3. Seni bangunan atau arsitektur.

Para penguasa dinasti Bani Umayah tidak hanya mampu menjalankan pe¬merin¬tahan dan persoalan-persoalan politik militer, mereka juga memiliki cita rasa seni yang tinggi, terutama cita rasa dalam seni bangunan. Oleh karena itu, banyak para penguasa dinasti Bani Umayah mahir dalam seni ar¬sitektur. Mereka mencurahkan perhatian demi kemajuan bidang ini. Di antara hasil kreatifitas sebagai bentuk perwujudan cita rasa seni rupa itu adalah berdirinya sejumlah bangunan megah, misalnya masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina, ter¬ke¬nal dengan Kubbah al-Sakhra, yaitu kubah batu yang di¬di¬rikan pada masa peme¬rintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 691 M. Bangunan itu me¬rupakan salah satu peninggalan terindah dari masa kejayaan dinasti Bani Uma¬yah. Bangunan masjid tersebut merupakan bangunan masjid yang ditutup atap¬nya dengan kubah. Selain itu, Abdul Malik juga membangun masjid al-Aqsa yang tidak kalah tinggi nilai seni arsitekturnya.

Sebuah masjid indah dengan gaya arsitaktur tiggi juga terdapat di Da-mas¬kus yang dibangun oleh al-Walid bin Abdul Aziz sebagai masjid istana. Ruangan masjid ini dihiasi berbagai ornamen yang terbuat dari batu pualam (marmer) dengan bentuk mosaik yang indah.


C.Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan

Meskipun para penguasa dinasti Bani Umayah lebih mengutamakan usa¬ha pengembangan wilayah kekuasaan dan memperkuat angkatan bersenjatanya, ternyata banyak juga usaha positif yang dilakukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu cara untuk mendorong agar ilmu pengetahuan itu ber¬kembang adalah dengan memberikan motivasi dan anggaran yang cukup besar yang diberikan untuk para ulama, ilmuan, seniman dan satrawan. Tujuannya antara lain agar para ulama, para ilmuan, sastrawan dan seniman, bekerja secara maksimal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, dan tidak lagi memikirkan masalah keuangan rumah tangga mereka.
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu adalah sebagai berikut:

1. Ilmu hadis (al-‘ulum al-hadis)
Meskipun ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya baru mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiah, te¬ta¬pi pertumbuhan dan perkembangan awal mengenai ilmu pengetahuan keaga¬maan sudah terjadi sejak masa-masa awal Islam, seperti pada masa Nabi Mu¬hamad Saw, masa al-khulafa al-rasyidun dan masa pemerintahan dinasti Bani Umayah. Di antara ilmu pengetahuan agama yang berkembang adalah ilmu ha¬dis, yang sudah dirintis sejak masa Nabi Muhammad Saw. Di antara sahabat yang menulis hadis adalah Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah dan Ali bin Abi Tha¬lib. Tradisi ini terus dikembangkan pada masa-masa sesudahnya, seperti yang dilakukan Basyir bin Nahik dan Hammam bin Munabbih. Keduanya adalah murid Abu Hurairah.

Kemudian pada tahun 70 H pada masa pemerintahan khalifah Abdul Ma¬lik bin Marwan (65-86 H), tabi’in mulai memakai metode athraf, yaitu menulis awal hadis sebagai petunjuk untuk menulis materi hadis seluruh¬nya. Orang per¬tama yang melakukan ini adalah Ibnu Sirin.Perkembangan periwayatan hadis semakin pesat pada masa tabi’in de¬ngan berkembangnya gerakan rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan ilmiah yang dilakukan para muhadisin dari satu kota ke kota lain. Mereka mela¬ku¬kan itu untuk mendapatkan suatu hadis dari sahabat yang masih hidup dan tersebar di berbagai kota. Pencarian hadis ini dilakukan oleh mereka hanya untuk membuktikan keaslian suatu hadis. Usaha yang me¬reka lakukan ini menim-bulkan suatu kajian hadis yang kemudian berkem¬bang menjadi ‘ulumul hadis.

Dalam perkembangan selanjutnya, kritik hadis dan upaya pencarian ke-aslian hadis dirasa tidaklah cukup. Karena itu, pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H), dilakukan upaya pembukuan hadis-hadis yang tersebar di berbagai tempat dan dibanyak naskah milik para para tabi’in. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada para gubernurnya dan para ulama terkemuka untuk mengumpulkan dan membukukan hadis untuk disebarkan kepada masyarakat Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat perintah kepada gubernur Madinah ber¬nama Abu Bakar bin Muhamad bin Amr bin Hazm (wafat tahun 117 H). Karena, se¬lain gubernur, ia juga seorang ulama. Di antara tugas yang diembannya adalah mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman dan al-Qasim bin Muhamad bin Abi Bakar. Karena Amrah adalah anak angkat Siti ‘Ai¬syah dan orang yang paling dipercaya untuk menerima hadis dari Siti ‘Aisyah tersebut.

Selain itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri (wafat tahun 124 H) dan ulama lainnya untuk mengumpulkan, dan membukukan hadis yang ada pada mereka serta mengirimkannya kepad kha¬lifah. Bahkan kha¬lifah Umar bin Abdul Aziz sendiri ikut terlibat di dalam men¬diskusikan dan menghimpun hadis-hadis. Az-Zuhri adalah seorang ulama ter¬ke¬muka di Hijaz dan Syria pada masa itu. Usaha itu cukup berhasil, dan telah me¬ram¬pungkannya dengan baik, meskipun khalifah Umar bin Abdul Aziz be¬lum melihat secara langsung hasilnya. Karena khalifah sangat percaya dengan ke¬mampuan dan keahlian mereka di bi¬dang hadis.

Selain mengirim surat perintah kepada para gubernur, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Ibn Syihab az- Zuhri (wafat tahun 124 H) dan ulama lainnya untuk mengumpulkan dan membukukan hadis yang ada pada mereka serta mengirimkannya kepad khalifah. Bahkan khalifah Umar bin Abdul Aziz sendiri ikut terlibat di dalam mendiskusikan dan menghimpun hadis-hadis.

Usaha pembukuan hadis terus dilakukan setelah masa kepemim¬pin¬an khalifah Umar bin Abdul Aziz (102H). Di antara para ulama yang terus ber-juang mengumpulkan dan membukukan hadis adalah Ibnu Juraij (wafat ta¬hun 150 H), di Makah. Muhamad bin Ishak (wafat tahun 151 H) di Ma¬di¬nah. Said bin Urwah (wafat tahun 156 H) di Basrah. Sufyan As-Saury (wafat ta¬hun 161 H) di Kufah dan al-Awza’i (wafat tahun 157 H) di Syria.

Usaha pembukuan hadis ini kemudian melahirkan ilmuan hadis, seperti:
a. Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) karyanya adalah Shahih Bukhari
b. Imam Muslim (wafat tahun 261H) karyanya adalah Shahih Muslim.
c. Imam Nasa’i (wafat tahun 303 H) karyanya adalah Sunan an-Nasa’i.
d. Imam Abu Dawud (wafat tahun 275 H) karyaya adalah Sunan Abi Dawud.
e. Imam Turmudzi (wafat tahun 267 H) karyanya adalah Sunan Tur¬mudzi.
f. Imam Ibnu Majah (wafat tahun 273 H) karyanya adalah Sunanibnu Majah.

Dari merekalah kemudian kita banyak memperoleh informasi me¬nge¬nai perkembangan ilmu hadis hingga kini. Mereka amat berjasa di dalam upaya me¬lestarikan hadis-hadis Nabi Muhamad Saw. Karya-karya mereka menjadi bahan rujukan para ulama untuk mengambil sebuah keputusan hu¬kum Islam. Karena hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’¬an.

2. ilmu tafsir

Tafsir merupakan salah satu ilmu agama Islam yang mendapatkan per¬hatian serius dari umat Islam. Karena dengan mempelajari ilmu tafsir, mereka akan mudah memahami makna-makna yang tersurat dan tersirat al-Qur’an. Ada satu riwayat yang yang diperoleh dari Siti Aisyah bahwa Nabi Muhamad Saw tidak menafsirkan sesuatu apapun dari al-Qur’an melainkan terhadap ayat-ayat yang telah dipersiapkan maknanya oleh malaikat Jibril. Hal ini menunjukan bah¬wa Rasulullah menjadi mufassir pertama mengenai ayat-ayat al-Qur’an, mes¬kipun semua makna mengenai ayat-ayat tersebut telah dipersiapkan oleh ma¬lai¬kat Jibril.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama ketika umat Islam sema¬kin majemuk dan tidak lagi hanya berasal dari kalangan bangsa Arab, maka ada ke¬perluan mendesak untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, sebagian para sahabat terkemuka seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ab¬bas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, mulai menafsirkan al-Qur’an de¬ngan bersandar atas apa yang mereka dengar dari Rasulullah Saw, atau ber¬dasarkan pada pe¬ma¬haman yang mereka terima. Mereka dianggap sebagai pendiri mazhab tafsir da¬lam Islam. Langkah mereka kemudian diikuti oleh para tabi’in, seperti Sa’id bin Jubeir dan lain-lain.

Meskipun begitu, terdapat sahabat yang tidak mau melakukan penaf-siran terhadap al-Qur’an, seperti Umar bin al-Khattab, yang tidak mau me-lakukan pe¬nafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sikap seperti itu ter¬ja¬di karena al-Qur’an dianggap sebagai kitab suci yang tidak boleh dilakukan penafsiran. Me¬reka berpendapat bahwa pembahasan dalam tafsir al-Qur’an merupakan se¬suatu yang berada di luar perintah agama.

Oleh karena itu, orang-orang taqwa pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah menilai seputar tafsir dengan sikap seperti yang dinyatakan oleh se¬ba¬gian di antara mereka, seperti sikap yang ditunjukan oleh Syafiq bin Salamah al-Asadi, seorang yang sejaman dengan Ziyad bin Abihi dan Hajjaj bin Yusuf as-Tsa¬qafi. Apabila ia ditanya tentang suatu ayat dari al-Qur’an, ia hanya menjawab: “Allah Maha Benar dengan yang Dia maksud. Maksud dari jawaban ini adalah bahwa ia tidak berkeinginan untuk membahas mak¬na dari ayat yang ditanyakan kepadanya.

Kemudian Ubaidah bin Qays al-Kufi ketika ditanya mengenai sebab-sebab turunnya beberapa ayat al-Qur’an, ia hanya menjawab:” Kamu harus bertaqwa kepada Allah dan memohon petunjuk. Sungguh orang-orang yang mengetahui tentang diturunkannya al-Qur’an telah berlalu. Hal ini juga me-nunjukan bahwa ia tidak mau membahas mengenai pertanyaan yang diaju¬kan kepadanya.

Pada masa pemerintahan dinasti bani Umayah terdapat salah seorang ahli tafsir bernama Sa’id bin Jubeir (wafat tahun 95 H) diminta untuk me¬naf-sirkan beberapa ayat al-Qur’an. Tetapi ia tidak mau melakukannya, bahkan ia lebih me¬milih kehilangan salah satu anggota tubuhnya daripada harus menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang diminta. Dalam hal ini Sa’id berkata: “Sungguh bagiku ke¬hilangan sebahagian anggota tubuhku lebih baik dari pada aku harus melakukan hal itu.

3. Kemajuan dalam bidang Ilmu Fiqh
Hukum Islam atau fiqih di jaman awal Islam hingga masa al-khulafa ur-rasyidin dibangun melalui proses ijtihad. Meskipun demikian, pada saat itu be-lum dibentuk dasar ijtihad dan pembukuan pedoman pokok dalam berijtihad. Dasar dan pedoman pokok yang telah dibukukan itu kemudian disebut ilmu ushulul fiqih. Ilmu ini tidak lepas dari dasar iman, sehingga ilmu ushulul fiqih ini tidak dapat dipisahkan dari ilmu Islam lainnya, seperti ilmu kalam, ilmu bahasa Arab dan konsep hukum syari’at itu sendiri.

Tradisi ilmiah Rasulullah Saw dan al-khulafa al-rasyidun terus ber¬lang-sung pada jaman sahabat. Para fuqaha diutus ke negeri yang telah menganut Is¬lam. Di jaman Nabi Muhamas Saw, ulama dan fuqaha dari ka¬langan sahabat di u¬tus ke negeri Yaman, Bahrain, dan Mekah. Rujukan ijt¬i¬had mengacu pada per¬nyataan seorang faqih pada jaman Rasulullah Saw, yang bernama Mu’adz bin Jabal, ketika ia diutus oleh Nabi Muhamad ke ne¬geri Yaman. Ia akan meng-gu¬nakan nalarnya di dalam memutuskan perkara jika tidak terdapat rujukan dalam al-Qur’an dan hadis. Dari sinilah kemu¬dian berkembang konsep ijtihad hukum (fiqh) yang melahirkan fuqaha kena¬maan, di antaranya adalah Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.

Gejala terpenting pada paruh kedua abad pertama hijriah ditandai de-ng¬an semakin memuncaknya perbedaan pendapat para fuqaha Hijaz de¬ngan Irak hal pengambilan ra’yu sebagai argumen. Para fuqaha Hijaz ber¬pegang pada atsar (ketetapan hukum yang pernah dilakukan oleh para sahabat) sebagai argu¬men¬tasi hukum. Mereka tidak memiliki kecen¬de¬rung¬an menitikberatkan pada peng¬gunaan ra’yu. Sebaliknya, para fuqaha Irak lebih cenderung menitikberatkan penggunaan ra’yu. Kelompok pertama menganggap bahwa kelompok kedua menga¬bai¬kan sunnah dan lebih meng-utamakan ra’yu. Sementara itu, kelompok ke¬dua menganggap bahwa ke-lompok pertama menganut pemikiran jumud, yai¬tu pemikiran kolot dan tradisional.

Aktivitas keilmuan terus dilakukan oleh para tabi’ittabi’in. Karena mereka adalah murid-murid para tabi’in. Pengambilan dasar hukum yang mereka la¬ku¬kan didasari atas metodologi para pemikir pendahulunya. Fu¬qa¬ha terkenal ge¬nerasi ini adalah Abu Hanifah, Ibnu Laili (Kufah)Ibnu Juraij (Me¬kah) Malik serta Ibnu al-Mahisyun (Madinah) Usman al-Buti serta Sawar ( Bas¬ra), al-Auza’i (Syam) dan Laits (Mesir). Masalah ijtihad pemikir ahli fiqih generasi ini terkadang tidak terda¬pat di lingkungan negeri mereka, tetapi terdapat di negri lainnya. Dalam hal hukumnya, langkah metodologis ijtihad dan istinbath diwarisi dari pemikir fiqih sebelumnya.

Oleh karena itu, secara umum bila mereka menjumpai hadis yang ber-ten¬tangan, mereka akan merujuk kepada pendapat para sahabat kemu¬dian tabi’in. jika pendapat para sahabat dan tabi’in berbeda dalam suatu masalah, mereka memilih pendapat pemikir fiqih negerinya masing-masing. Imam Malik lebih mendahulukan mazhab Umar, Usman, Ibnu Umar, Aisyah, ibnu Abbas, Zaid bin Sa¬bit, dan muridnya seperti Sa’id bin Musayyab (wafat tahun 94 H/713 M). Mereka menganggap para pemikir fiqih tersebut seba¬gai yang paling tepat untuk diikuti.

Adapun Imam Abu Hanifah lebih mendahulukan mazhab Abdullah bin Mas¬’ud dan muridnya, atau keputusan Ali bin Abi Thalib, Syuraih bin Haris al-Qadi, as-Sya’bi, dan fatwa Ibrahim an-Nakha’i, karena pendapat pemikir fiqh tersebut di¬anggap tepat untuk negeri Kufah.

4. Kemajuan dalam bidang Ilmu Tasawuf.
Dalam sejarah, tercatat salah seorang sufi terkenal bernama, Sa’id bin Musayyab (wafat tahun 91 H/710 M) murid dan menantu Abu Hurairah ra (salah seorang ahlu suffah) mencontohkan hidup zuhud kepada para pengikutnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu kali ia ditawari sejumlah tiga puluh lima ribu dirham uang perak oleh Abdul Malik bin Marwan, tapi tolak, karena ia tidak suka. Selain itu, di Basra Hasan al-Basri menjalani kehidupan zuhud. Sikap hidup tersebut didasari atas rasa takut kepada Allah SWT (khauf) dan rasa harap rahmat-Nya (raja’). Ia me¬nyebutkan bahwa dunia yang ber¬sifat se¬mentara ini tidak mengandung nilai sedikitpun jika dibandingkan dengan rahmat Allah SWT di akhirat kelak.

Hasan al-Basri lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M dan me-ninggal di Basra pada tahun 110 H/729 M. Ibunya adalah seorang hamba sahaya Ummu Salamah, isteri Nabi Muhamad Saw. Hasan al-Basri tumbuh dan berkembang di lingkungan yang saleh dan memiliki pengetahuan ke-agamaan yang mendalam. Ia banyak belajar dari Ali bin Abi Thalib dan Huzaifah bin al-Yaman, dua orang sahabat Nabi Muhamad Saw yang banyak menimba pengetahuan kerohanian. Selain Hasan al-Basri, di Kufah terdapat seorang sufi bernama Suf¬yan As-Sauri (97-161 H/716–778 M). Ia menjalani kehidupan penuh kese¬derhanaan, setia kepada ajaran agama, rendah hati, dan menganjurkan hi¬dup zuhud.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu tasawuf pada masa dinasti Bani Umayah belum mengalami perkembangan yang sangat berarti. Meskipun begitu, fase awal dari perkembangan ilmu tasawuf telah ada dan dipraktikan oleh para sahabat dan tabi’in. tahapan yang dipergunakan oleh mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan baru pada fase zuhud dan meninggalkan materi keduniaan, belum melembaga.
Selain ilmu agama, juga berkembang ilmu pengetahuan lain, seperti:
1.Ilmu sejarah dan geografi.
Ilmu ini juga mengalami perkem¬bang¬an yang cukup baik pada masa ini. Salah seorang sejarawan yang telah berhasil mencatat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pasa masa peme¬rintahan sebelumnya dan masa pemerintahan di¬nasti Bani Uma¬yah adalah ubaid bin Syaryah al-Jurhumi. Ia di-pe¬rintah oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menulis buku se¬ja¬rah masa lalu dan masa Bani Umayah. Di antara karyanya adalah Kitab al-Muluk wal akhbar al-Madhi (Buku catatan sejarah raja-raja masa lalu). Selain Ubaid bin Syaryah al-Jurhumi, terdapat sejarawan lain, yaitu Shuhara Abdi, yang menulis buku kitabul amsal.

2.Ilmu kedokteran.
Ilmu ini belum mengalami kemajuan berarti pa¬da masa pemerintahan dinasti Bani Umayah. Tetapi pada masa peme¬rin¬tahan al-Walid bin Abdul Malik telah terjadi perkem¬bangan yang cu¬kup baik dalam bidang ilmu kedokteran, karena pada tahun 88 H/706 M, ia telah berhasil mendirikan sekolah tinggi kedokteran. Al-Walid meme¬rin¬tahkan kepada para dokter untuk melakukan berbagai kegiat¬an riset dengan anggaran yang cukup. Para dokter yang bertugas di lembaga tersebut digaji oleh negara. Al-Walid melarang para penderita penyakit kusta men¬ja¬di pengemis di jalan-jalan. Untuk itu, bahkan khalifah telah me¬nyediakan dana khusus bagi para penderita penyakit kusta.

Untuk pengembangan ilmu kedokteran ini, khalifah Bani Umayah memin¬ta ban¬tuan kepada para dokter yang ada di Jundisaphur, Persia, untuk membantu pengem¬bangn ilmu kedokteran ini. Di lembaga inilah kemudian al-Haris bin Kildah dan pu¬teranya, An-Nazhar meraih ilmu kedokteran. Setelah itu banyak ahli kedokteran menjadi dokter pribadi khalifah yang bekerja di istana khalifah. Di antara dokter istana yang dipercaya untuk menjadi dokter pribadi khalifah adalah Atsal, seorang Nasrani, Hakam al-Dimisyqi, dan lain-lain.

D.Kemajuan dalam bidang politik dan militer
1. Kemajuan dalam bidang politik
a. sistem pemilihan khalifah

Terdapat perbedaan yang sangat mencolok yang terjadi pada masa peme¬rin¬tahan dinasti Bani Umayah dengan masa-masa sebelumnya, yaitu masa, khu¬lafaur¬ra¬syi¬din. Perbedaan tersebut adalah bahwa pada jaman khulafaurrsyidin, se¬orang khalifah di¬pilih langsung oleh masyarakat secara demokratis, setelah itu masyarakat secara bera¬mai-ramai menyatakan sumpah setia di hadapan khalifah terpilih. Sementara pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, khalifah di¬angkat langsung oleh khalifah sebe¬lum¬nya dengan menunjuk salah seorang ke¬turunan khalifah sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khalifah. Sistem penunjukkan ini menandai era baru dalam sis¬tem pemilihan kepemimpinan Islam.

Sistem pemerintahan yang bersifat monarchi herediteis yang diterapkan pa¬da ma¬sa awal pemerintahan Mu’awiyah, berimplikasi pada perkembangan sis¬tem politik pe¬merintahan sesudahnya. Sebab para khalifah Bani Umayah se-su¬dahnya tetap teus mem¬pertahankan sistem tersebut dengan mengabaikan cara-cara demokratis seperti yang pernah diterapkan pada masa pemerintahan khua¬faurrasyidin. Meskipun banyak pihak yang tidak setuju atas sistem yang diterap¬kan Mu’awiyah, ia tetap pada pendirian bah¬wa ia akan terus menjalankan pe¬me¬rintahan dengan sistem kerajaan yang dite¬rap¬kan¬nya. Mu’awiyah bin Abi Suf¬yan atas anjuran al-Mughirah bin Syu’bah agar peme-rin¬tahan Bani Umayah te¬tap langgeng, maka Mu’awiyah harus merubah sistem pemilihan khalifah. Al-Mughirah mengusulkan agar Mu’awiyah mengangkat Yazid bin Mu’awi¬yah sbagai penggantinya kelak, seperti yang diterapkan oleha para raja di Persia dan Romawi Timur.

Demi menjaga kelangsungan kekuaaan dan stabilitas sosial politik, akhir¬nya Mu’awiyah menyetujui saran dan usul gubernur Kufah ini yang sejatinya akan dicopot. Menurut al-Mughirah, belajar dari pengalaman masa lalu bahwa penggantian umat Islam dengan pepilihan secara langsung banyak mengandung risiko. Risikonya antara lain, terjadi pertumpahan darah yang berdampak pada ketidakstabilan negara. Bila negara dalam keadaan seperti itu, maka akan mudah dihancurkan.

Oleh karena itu, masyarakat yang tidak setuju atas sistem baru yang di-te¬rapkan dalam pemilihan kepala pemerintahan atau khalifah, akan dihadapi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan cara-cara kekerasan. Bahkan tak segan ia mengancam akan mem¬bunuh siapa saja yang menolak atas pengangkatan Yazid sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Cara-ca¬ra kekerasan inilah yang dite¬rapkan Mu’awiyah dalam mengatasi lawan poli¬tik¬nya yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkannya.

Dalam hal ini, banyak sejarawan menyatakan bahwa meskipun Mu’a-wi¬yah tetap mempertahankan gelar khalifah, tetapi dalam menjalankan politik pemerintahannya ternyata ia lebih mengacu pada sistem pemerintahan kerajaan atau monarchi. Hal ini ditandai dengan kuatnya pengaruh khalifah dalam segala hal, bahkan Mu’awiyah sen¬diri pernah menyatakan dirinya sebagai raja pertama dari raja-raja Arab.
Pernyataan ini menandakan adanya perubahan sistem kepe¬mimpinan po¬litik dan pemerintahan. Sistem yang akan diterapkan Mu’a¬wiyah dalam menja¬lankan pe¬merintahan adalah sistem kerajaan, bukan sistem syura, seperti yang pernah diterapkan dalam masa-masa pemerintahan khula¬faur¬rasyidin. De-ngan demikian, sistem peme¬rin¬tahan yang ada pada masa pemeri¬ntahan dinasti Bani Umayah merupakan sistem pe¬merintahan monarchi here¬di¬ties yang abso¬lut. Sebab kewenangan ada pada diri sang khalifah. Setiap kebi¬jakan yang dikeluar¬kannya tidak dapat ditentang, sebab ia adalah raja, bahkan ia menyatakan diri¬nya bagai bayang-bayang tuhan di muka bumi.

Setelah Mu’awiyah berkuasa, ia melakukan beberapa perombakan besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Mu’awiyah mendirikan lembaga-lem¬baga politik yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan program pemerintahan, di antara lembaga negara yang dibentuknya adalah al-nidlam al-siyasi. Lembaga ini me¬miliki tugas untuk mengkaji masalah jabatan khalifah. Selain itu, dibentuk pula lembaga kementerian (wizarah), yang bertugas menangani masalah-masalah yang ada di de¬par¬temen-departeman. Di samping itu, dibentuk pula lembaga kesekretariatan negara (kitabah), dan lembaga ke¬a¬manan pribadi khalifah (hijabah). Lembaga ini bertugas menjaga keamanan diri dan keluarga khalifah dari berbagai kemungkinan negatif yang datang dari pi¬hak luar. Sistem hijabah ini ternyata cukup efektif untuk menangkal ber¬bagai ke¬mungkinan datangnya serangan ke dalam istana dan keluarga khalifah.

Berbagai lembaga negara yang dibentuk pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah, merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan Islam, karena tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan khula¬faurrasyidin. Dengan pembentukan lembaga-lembaga ini, para khalifah dinasti Bani Umayah dapat menja¬lan¬kan pemerintahan dengan efektif dan menimbul¬kan dampak positif dalam perkem¬bangan peradaban Islam pada masa itu.
b. Pembentukan lembaga Wazir atau Perdana Menteri
Produk kebijakan baru yang dihasilkan pemerintahan Bani Umayah ada¬lah terbentuknya lembaga wazir. Penerapan sistem wazir atau perdana menteri ini untuk pertama kali dilakukan oleh khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Se¬orang wazir yang berfungsi sebagai pendamping khalifah, memiliki kewe¬nangan untuk menggantikan be¬ban dan tanggungjawab khalifah dalam menja¬lankan pe¬merintahan sehari-hari, apabila khalifah tengah berhalangan atau tidak dapat menjalankan pemerintahan karena se¬sua¬tu, tetapi seorang wazir tetap akan ber¬tanggungjawab kepada khalifah. Karena khalifah memiliki kekuasaan dan kewe¬nangan mutlak. Di antara syarat yang harus dimiliki se-orang wazir adalah cer¬das, cakap, terampil, dapat dipercaya dan mau bekerjakeras un¬tuk kemajuan.

Salah seorang wazir pertama yang diangkat oleh Mu’awiyah adalah Zaid bin Abi¬hi. Ia dikenal sebagai salah seorang sahabat yang cerdas, dan memiliki ke¬beranian. Oleh karena itu, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkuasa, ia meng¬angkat Zaid bin Abihi sebagai wazirnya. Konon dalam beberapa catatan sejarah diketahui bahwa Zaid bin Abihi adalah saudara Mu’awiyah. Ia terlahir dari se¬orang ibu yang pernah dinikahi ayahnya, yaitu Abu Sufyan. Kelebihan yang ter¬dapat di dalam diri Zaid inilah yang dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk mem¬bantunya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul pada masa-ma¬sa awal pemerintahannya. Pada masa peme¬rintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Abihi pengikut Ali dan pernah menjadi salah seorang gu¬bernur. Sejak Mu’awiyah berkuasa, ia bekerjasama untuk membangun kerajaan Bani Umayah.

c. Pembentukan kelembagaan Negara.

Pada masa pemerintahan khulafaurasyidin, para khalifah tidak hanya ber¬fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, juga kepala sebagai aga¬ma. Hal itu di¬sebabkan karena mereka semua adalah para sahabat nabi Muha¬mad Saw, yang meng¬u¬a¬sai ilmu agama dan ilmu-ilmu pemerintahan. Setiap per¬soal¬an yang muncul di tengah-tengah masyarakat, selalu diselesaikan dengan ce¬pat, tanpa menunggu adanya lembaga yang menangani masalah-masalah ter¬se¬but.Biasanya, para khulafaurrasyidin selalu mengajak diskusi para sahabat un¬tuk menemukan solusi atas berbagai persoalan yang di hadapi, sehingga persoalan dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi pada masa pe-merintahan dinasti Bani Uma¬yah berdiri, terjadi perubahan dalam keta¬ta¬ne-garaan dan kelembagaan ne¬gara.

Setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah, ada usaha perbaikan sistem kelembagaan negara yang dibentuk. Bentuk kelembagaan negara yang di¬bentuknya adalah; khalifah, ahlul halli wal aqdi, dan qadli al-qudalat. Ketiga lem¬ba¬ga ini me¬miliki tugas, fungsi dan wewenang berbeda. Pembentukan kelem¬ba¬ga¬an negara ini sebenar¬nya bertujuan untuk membantu Mu’awiyah di dalam men¬ja¬lankan pemerintahannya.

Khlaifah, adalah kepala negara dan penguasa tertinggi. Kekuasaan yang dimi¬li¬kinya sangat tidak terbatas, sehingga ia menjadi penentu segalanya di da-lam pembuatan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, segala keputusan yang telah dikeluarkan oleh kelem¬ba¬ga¬an lain, harus sepengetahuan dan sesuai deng¬an kehendak khalifah. Tidak boleh pejabat negara yang berada di bawah ke¬ku¬a¬saan khalifah menentukan sendiri kebijakannya tanpa melakukan kordinasi dan seijin khalifah. Oleh karena itu, meskipun memiliki tugas, fungsi dan we¬wenang berbeda, tetapi kepu¬tus¬an tetap berada di tangan khalifah Mu’awiyah. Karena khalifah adalah kepala negara dan pemimpin tertinggi di dunia Islam.

Sementara ahlul halli wal Aqdi, adalah para anggota dewan, seperi par-le¬men se¬karang. Mereka yang duduk di kelembagaan ini terdiri dari para pakar atau para ahli di bidang masing-masing yang dibutuhkan pemerintahan dinasti Bani Umayah. Lembaga ini memiliki tugas untuk melakukan kajian atas ber¬ba-gai per¬soalan yang di hadapi pe¬merintah, dan mencari solusi terbaik untuk me-me¬cah¬kan berbagai problem yang diha¬dapi pemerintah; seperti probem sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta problem-prob-lem lain. Hasil kajian mereka kemudian dijadikan ru¬musan sebagai bahan pem¬buatan kebijakan pemerintah dinasti Bani Umayah. Apapun hasil temuan dan rumusan mereka, keputusan terakhir ada di tangan khalifah. Kha¬li¬fahlah yang menentu¬kan apakah hasil temuan dan rumusan mereka akan diterima atau di¬to¬lak. Itulah sistem monarchi absolute yang diberlakukan oleh pemerintahan di¬nasti Bani Umayah. Pembentukan dan keredaan kelembagan ini hanya meru¬pa¬kan bentuk akomodasi dari aspirasi umat Islam dan masyarakat yang adai di ba¬wah kekua¬saannya. Hal itu hanya untuk menciptakan citra positif pemerintahan dinasti Bani Umayah di masyarakat, agar tidak terkesan otoriter dan absolut.
Sedang Qadli al-Qudlat atau kelembagaan kehakiman yang terdiri dari para ahli hukum Islam dan hukum ketatanegaraan, memiliki tugas, fungsi dan wewenang untuk membantu khalifah dalam membuat keputusan hukum dalam pe¬me¬rintahan. Para pakar yang duduk di lembaga ini melakukan kajian hukum-hukum dan bebagai perkara yang ada di masyarakat, kemudian menyele¬sai¬kan¬nya sesuai perkara yang ada. Hasil pemikiran dan konsep-konsep hukum dise¬rahkan kepada khalifah. Setelah hasilnya diserahkan kepada khalifah, keputusan untuk menerapkan atau menolaknya, tetap ada di tangan khalifah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketiga lembaga tersebut di atas telah memiliki tugas, fungsi dan wewenang sendiri di dalam menjalankan prog¬ram-program kelembagaannya. Tetapi, apapun hasil dan konsep yang dibuat oleh masing-masing lembaga, keputusan terakhir tetap berada di tangan kha¬li¬fah.keberadaan lembaga-lem¬baga ini hanya untuk membantu pemenerintah di¬nasti Bani Umayah untuk membantu meringankan pekerjaan khalifah dan ja¬jar¬annya dalam menjalankan roda pemerintahan.

c. Pembentukan Tata Usaha Negara (al-nidlami al-Idary).
Selain terjadi perkembangan dalam bidang politik seperti dijelaskan di ba¬gian sebalumnya, pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah juga terjadi perkembangan dalam bidang ke¬tata usahaan negara (al-nidlami al-Idary). Lem¬ba¬ga ini diperlukan untuk mengatur sistem pemerintahan negara, antara pemerin¬tah pusat dengan pemerintah daerah atau wilayah. Lembaga tata usaha negara ini membawahi bebarapa departemen, seperti :
1. Departemen perpajakan (diwanul kharraj). Departemen ini bertugas meng¬atur dan mengelola administrasi pajak tanah di daerah-daerah yang bera¬da di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
2. Departemen pos dan perhubungan (diwanul rasail). Departemen ini ber¬tugas menyampaikan berita atau informasi dan surat-surat dari dan ke daerah-daerah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
3. Departemen pekerjaan umum (diwanulmusytaghillat). Departemen ini ber¬tugas menangani berbagai kepentingan umum masyarakat.
4. Departemen kearsipan (diwanul khatim). Departemen ini bertugas me¬nyim¬pan berbagai dokumen penting negara yang telah selesai diproses. Lembaga ini sangat penfing, selain karena menyimpan arsip-arsip, juga mengurus surat-surat lamaran khalifah, menyiarkannya, menyetempel dengan cara dibungkus dengan kain, kemudian dibalut dengan lilin, kemudian distempel pada bagian atasnya.

Selain itu, pemerintahan dinasti Bani Umayah juga membetuk lembaga-lembaga yang dapat melakukan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Lembaga ini disebut dengan istilah al-imarah alalbuldan. Latar belakang dibentuknya lembaga ini karena luasnya wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah, yang terbentang dari Indus hingga Andalus. Pembentukan lem¬baga ini adalah untuk mempermudah pola dan koordinasi kerja antara pe¬me¬rintah pusat yang berada di Damaskus dengan pemerintah-pemerintah di luar kota Damaskus. Pada masa ini, pemerintah dinasti Bani Umayah membagi wi¬layahnya menjadi lima provinsi, yaitu:
1. Provinsi Hijaz, Yaman dan Najd.
2. Provinsi Mesir dan Sudan,
3. Provinsi Irak Arab,(yaitu negeri-negeri Babilonia dan Asiria lama). Irak Ajam, yaitu Persia, Aman, Bahrain, Karman, Sijistan, Kabul, Khurasan, Transoxania, Sind (India, Pakistan dan Afghanistan), dan sebagian negara Punjab.
4. Provinsi Armenia, Azerbeizan dan Asia Kecil.
5. Provinsi Afrika Utara, Libya, Andalusia, Pulau Sicilia, Sardinia dan Baylar.
Untuk menjalankan roda pemerintahan di masing-masing provinsi, di-angkat seorang guberur jenderal, yaitu amir al-umara. Mereka inilah yang men-ja¬di penang¬gung¬jawab atas terselenggaranya pemerintahan di masing-masing provinsi yang berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Umayah.

Ada hal yang menarik yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Bani Uma¬yah, yaitu pembentukan pengawal khlaifah yang disebut hijabah. Bentuk pengawalan ini diterapkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebelum ia menjadi khalifah, yaitu semasa ia menjabat sebagai gubernur di Damaskus. Pembentukan pasukan pengawal pribadi kha¬lifah ini bertujuan untuk memberikan perlin¬dungan dan keselamatan sang khalifah dari berbagai kemungkinan buru yang akan menimpa diri khalifah. Pembentukan lembaga ini merupakan sesuatu yang baru, karena lembaga ini belum pernah ada pada masa pemerintahan khula¬faur¬rasyidin, apa lagi diterapkan. Karena pada masa itu semua orang percaya atas ke¬amanan diri khalifah, meskipun banyak ketiga orang khalifah meninggal dengan cara mengenaskan karena tidak menda¬pat pengawalam ketat dari para sahabat lainnya.

B. Kemajuan dalam bidang militer

Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa para penguasa dinasti Bani Uma¬yah dikenal sebagai penguasa yang memiliki keinginan kuat untuk menye¬barkan Islam ke berbagai wilayah di luar jazirah Arabia. Penyebaran itu bia¬sa¬nya dilakukan dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah yang masih dianggap belum Islam. Oleh karena itu, sejak masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Suf¬yan, usaha untuk menaklukkan Kons¬tantinopel, pusat pemerintahan kerajaan Romawi Timur, terus dilakukan. Ia per¬nah mengirim anaknya bernama Yazid bin Mu’awiyah untuk mengikuti pertempuran me-lawan kekuatan tentara Byzan¬tium. Untuk mencapai wilayah yang berada di seberang laut tengah itu, Mu’a¬wiyah membangun armada angkatan laut. Bahkan angkatan laut ini sudah di¬persiapkannya sejak ia masih menjadi gubernur di Damaskus, ketika menjadi wakil khalifah ‘Umar bin al-Khattab dan khalifah ‘Usman bin Affan. Setelah ia menjabat sebagai khalifah, langkah pertama yang dilakukannya adalah mela¬ku¬kan konsolidasi kekuatan militer guna melawan kekuatan pasukan pemberontak khawarij dan syi’ah. Usahanya ini semakin kuat ketika ia mampu merangkul Zaid bin Abihi untuk bergabung bersamanya dalam membangun peradaban Is¬lam melalui kekuatan khalifah Bani Umayah.

Kekuatan militer dinasti Bani Umayah semakin hebat ketika al-Walid bin Abdul Malik berkuasa. Pasukan Islam yang berada di bawah komando gubernur jenderal Musa bin Nushair, mampu memasuki wilayah Eropa. Di bawah kepe¬mimpinan tiga serangkai, yaitu Musa bin Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad, tentara Islam mampu menaklukkan wilayah Andalusia di Eropa. Se¬lain itu, di wilayah Asia Tengah dan Asia Selatan, pasukan militer Bani Umayah berjaya mengembangkan sayap kekuasaan dinasti Bani Umayah. Pasukan yang berada di bawah komando gubernur jenderal Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi, berhasil menaklukkan wilayah India di bawah komandan pasukan Muhamad bin Qasim. Sementara wilayah Asia Tengah, kekuatan Islam di bawah komandan pasukan Qutaibah bin Muslim al-Bahili, berhasil memasuki wilayah Transoxania dan wi¬layah Asia Tengah lainnya, seperti Azerbeijan, Sijikstan, Balkh, Bukhara dan lain-lain.

Keberhasilan pasukan militer dinasti Bani Umayah dalam menakalukkan wi¬la¬yah yang jauh dari pusat pemerintahan dinasti Bani Umayah ini, menun¬juk¬kan kehe¬bat¬an militer Islam. Keberhasilan ini tentu saja hasil strategi petinggi Bani Umayah dan petinggi militernya yang melakukan pembaharuan dalam bi¬dang kemiliteran. Mereka banyak belajar dari pengalaman bertempur selama mereka melakukan penyebaran dan perluasan wilayah kekuasaan di luar jazirah Arabia. Bagaimana mengaturn strategi pe-rang dan membangun kekuatan militer yang tangguh. Selain itu, para panglima perang juga melakukan pembenahan dan peningkatan mutu alat tempur dengan membuat peralatan tempur sendiri. Untuk keperluan itu, para khalifah bani Umayah, khususnya khalifah al-Walid bin Abdul Malik membangun pabrik-pabrik senjata, seperti yang dibangun di wilayan Afrika Utara. Pembanguan kapal perang di teluk Raudlah di laut tengah, mempermudah pasukan untuk menaklukkan negara-negara yang berada dekat di laut tengah.

Banyaknya pengalaman bertempur, menambah wawasan pengetahuan dan kete¬rampilan para panglima perang dalam usaha memperbaiki sistem per-tahanan. Strategi dan kekuatan bersenjata Bani Umayah semula hanya me¬mi-liki dua strategi dan formasi kekuatan perang, yaitu kekuatan belakang dan ke-ku¬at¬an depan. Dari formasi itu ke¬mudian dikembangkan menjadi lima ba¬ris¬an. Pa¬sukan barisan inti atau tengah, disebut qalbuljaisyi, barisan kanan disebut al-mai¬manah, barisan kiri disebut al-maisarah, barisan depan disebut al-muqaddimah, dan barisan belakang disebut saqahal-jaisyi.
Perkembangan sistem pertahanan ini merupakan keberhasilan peme¬rin-tah di¬nasti Bani Umayah dalam mengembangkan formasi pasukan. Sehingga sis¬tem perta¬hanan militer semakin tangguh. Dengan kekuatan dan strategi ini, pa¬sukan dinasti Bani Umayah mampu menguasai seluruh wilayah yang ada di ja¬zirah Arabia, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan hingga Eropa.

Pasukan pengintai atau talailah yang dibentuk pemerintah Bani Umayah ternyata cukup efektif untuk mengintai kekuatan musuh. Salah seorang pang¬li¬ma intelejen yang dikirim untuk memata matai pasukan dan kekuatan musuh adalah Tharif bin Malik. Ia bekerjasama dengan De Graff Julian berhasil me¬nye¬li¬nap ke wilayah Andalusia untuk mencari berbagai informasi mengenai kekuatan yang dimiliki raja Roderick yang ber¬kuasa ketika itu. Setelah ia berhasil meng¬umpulkan berbagai informasi, barulah dikirim pasukan di bawah komando Tha¬riq bin Ziyad, yang kemudian mendarat di sebuah selat yang kemu¬dian dikenal dengan sebutan Jabal Thariq atau Jiblaltar. Keberhasilan Thariq bin Ziyad men¬da¬rat dan menaklukkan Andalusia membuktikan kehebatan militer Bani Umayah.


Ringkasan

Selama lebih kurang satu abad berkuasa, pemerintahan dinasti Bani Umayah te¬rus berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Is-lam. Karena orien¬tasi pemerintahan ini pada usaha pengembangan dan per-luas¬an wilayah kekua¬saan Is¬lam, maka langkah pertama yang dikembangkan dinasti ini adalah ilmu yang dibu¬tuh¬kan dalam pengembangan pemerintahan. Di an¬taranya adalah ilmu administrasi peme¬rintahan.

Dalam bidang ini, peme-rintah dinasti Bani Umayah telah berhasil mencip¬takan sistem ketatanegaraan berupa organisasi politik (al-nidlam al-Siyasi), seperti jabat¬an khilafah, wizarah, kitabah dan hijabah. Kelembagaan ini memiliki tugas dan wewenang masing-masing, sehing¬ga sistem pemerintahan berjalan dengan baik.

Kemajuan lain yang terdapat pada masa Bani Umayah adalah kemajuan dalam bidang tata usaha negara (al-Ni¬dlam al-Idary), berupa dewan atau pem¬bentukan depar¬temen; seperti depar¬te¬men pajak (diwan al-kharraj), departemen pos dan perhubungan (diwan al-rasail), dan departemen kearsipan negara (diwan al-khatim). Dalam hal keuang¬an, bait mal menjadi salah satu alternatif untuk me¬nyimpan keuangan negara yang di¬peroleh dari hasil pajak tanah (kharraj) dan pajak individu (jizyah).

Selain itu, terdapat juga kemajuan dalam bidang lain, seperti dalam bi-dang mili¬ter. Pada masa in telah dibentuk departemen pertahanan (al-nidlan al-harby). Depar¬te¬men ini telah membagi pasukan menjadi beberapa devisi, seperti pasukan inti ( qalbul jaisy), pasukan sayap kanan (al-maimanah), pasukan sayap kiri (al-maisarah), pasukan ba¬risan terdepan (al-mutaqaddimah), pasukan belakang (Saqah al-jaisy), pasukan logistik (rid), pasukian pengintai atau intelejen (talaiyah), pasukan berkuda atau kaveleri (farsan), pasukan pejalan kaki atau infanteri (rija¬lah), dan pasukan pemanah (ramalat). Perkem-bangan dan kemajuan dalam bi¬dang ini sangat membantu pemerintah dinasti Bani Umayah dalam pengem¬bangan dan perluasan wilayah kekuasaan, selain untuk mem¬pertahankan diri dari berbagai kemungkinan serangan musuh.

Perkembangan dan kemajuan lain yang tak kalah pentingnya adalah kemajuan dalam bidang hukum dengan dibentuknya organisasi kehakiman (a-nidlam al-qadla). Da¬lam organisasi ini tedapat bagian berupa al-qadla, yang bertugas menyelesaikan masa¬lah yang berkaitan dengan negara, al-hisbah, tempat menyelesaikan perkara umum, dan al-nadhar al-madlalim, seperti mahkamah agung.
Tidak hanya itu, perkembangan dan kemajuan juga terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra Arab, serta seni arsitektur bangunan yang banyak ber¬kembang pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah. Di antaranya perkembangan sistem pertahanan dan militer, sehingga umat Islam mampu menyeberangi lautan dan menguasai Eropa selama lebih kurang delapan abad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar