KHILAFAH FATHIMIYAH:
PEMBENTUKAN DAN KEMAJUAN
I.Pengantar
Imamah (istilah yang dipakai oleh kaum Syi’ah untuk jabatan Kepala Negara) adalah masalah yang prinsip dan menjadi rukun agama. Bagi mereka, imamah adalah hak monopoli Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya, karena Ali adalah anggota ke¬luarga Nabi terdekat dan sekaligus menantunya. Oleh karena itu menurut kebanyakan kaum Syiah, Khilafah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Khilafah dari Bani Abbas atau Bani Umayyah adalah tidak syah. Maka dalam sepanjang sejarahnya, kaum Syiah se¬la¬lu berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang utuh dibawah imam-imam dari ke¬turunan Ali. Mereka berusaha bahu membahu dengan Bani Abbas untuk menum¬bangkan ke¬kuasaan Bani Umayyah. Akan tetapi setelah berhasil, kaun Syi’ah disisih¬kan oleh Bani Abbas yang ingin berkuasa sendiri. Akhirnya kaum Syi’ah mengambil sikap menen¬tang mereka dalam bentuk gerakan-gerakan seperti yang dilakukan go¬longan Qara¬mi¬tah, Hasyasyasyin, dan sebagainya. Gerakan mereka akhirnya mewu¬judkan Khilafah Syi’ah di Mesir, Yaitu Khilafah Fatimiah (969-1171 M) dfan kerajaan Syi’ah di Iran semenjak tahun 1501 M.
Di antara kaum Syi’ah ada yang berpendirian bahwa jabatan Imamah setelah imam keenam yaitu Ja’far Al Shadiq beralih kepada putra tertuanya Ismail meskipun telah meninggal lebih dahulu dari ayahnya, dan bukan beralih kepada adiknya yang masih hidup, yaitu Musa Al Kazhim. Dari nama Ismail inilah lahir nama Syi’ah Is¬lam¬iyah. Secara bergantian meskipun tersembunyi menurut keyakinan mereka, imam-imam itu memegang kekuasaan imamamh sampai muncul seorang yang bernama Ubaidillah Al Mahdi pendiri Dinasti Fatimiyah. Dakwah Fatimiyah dilancarkan secara aktif bermula pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismail. Penyebaran Doktrin yang mempopulerkan bahwa anak Abu Ubaidillah berhak atas posisi “penyelamat” (al Mahdi) menjadi efektif hasil dari pada system jaringan oara Da’I yang terorganisir rapi. Ini yang menyebabkan dakwah Abu Ubaidillah mendapt dukungan luas dibeberpa daerah yang diabaikan oleh para khilafah Abbasiyah. Yaman termasuk ibu kotanya Suria dapat dikuasai dengan usaha para da’i seperti Ali bin Fad al-Yamami dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufi. Penguasaan Yaman telah membuktikan ke¬mampuan dakwah Fatimiyah dan memberi motivasi bagi gerakan dakwah itu meng¬hantar da’i ke berbagai daerah termasuk Afrika Utara dan Negara-negara di belahan timur Arabia.
Para Da’i berhasil mempengaruhi kaum Barbar untuk mendukung kepe¬mim¬pinan Ubaidillah al-Mahdi dengan menonjolkan konsep akan datangnya al-Mahdi dari ahl al-bait. Kekuatan agama kaum Syi’ah telah berkembang menjadi kekuatan politik. Dengan dukungan pasukan yang mayoritas terdiri dari orang-orang Barbar Kutamah, Abu Abdullah al-Syi’i, seorang da’i, berhasil menguasai Raqqadah, pusat peme¬rin¬tah¬an Bani Aghlab. Ubaidillah yang pada waktu itu menjadi Imam di Salamiyah, Siria, da¬tang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai Khalifah (amir al-mu’minin). Dengan itu Khi¬lafah Fathimiyah mulai berkuasa pada 909 M/296 H di Tunis dengan ibu kotanya Qairawan. Dua tahun kemudian, seluruh wilayah Afrika Utara dan Maroko hingga perbatasan Mesir dikuasai oleh Khilafah Fathimiyah. Kemudian pada tahun 973 M. Mesir berhasil ditaklukan dan pusat pemerintahan khilafah Fathimiyah dipindahkan ke Kairo hingga tahun 1171.
II.Pembentukan Khilafah Fathimiyah
Gencarnya kaum Syi’ah melakukan gerakan untuk mempengaruhi massa dalam upaya merebut kekuasaan dari tangan penguasa Bani Abbas, membuat para penguasa dinasti Abbasiyah curiga. Kecurigaan ini dilanjutkan dengan melakukan refresif da pe¬nangkapa terhadap kelompok penentang, khususnya yang berasal dari keturunan Ali. Sebagian dari rangkaian pembasmian mereka termasuk pembunuhan terhadap al-Hu¬sein ibn al-Hasan di Fakh, Muhammad dan Ibrahim ibn Abdillah pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Tantangan yang hebat dari pihak Bani Abbas menjadikan Syi’ah se¬nantiasa lebih berhati-hati dalam mengorganisir kekuatan dan propaganda dalam usa¬ha menarik dukungan massa. Kegiatan mereka lebih bersifat gerakan bawah tanah dan lebih memusatkan kegiatannya didaerah-daerah yang jauh dari pusat ke¬ku¬asaan Bani Abbas.
Mereka memilih Afrika Utarasebagai pangkalan kegiatan mereka yang menyulitkan Bani Abbas untuk melacak perkembangan mereka yang kemudian men¬jadi lebih leluasa.
Abu Abdillah al-Syi’i menggantikan Hulwani dan Abi Sufyan sebagai da’i atau propagandis di Yaman ketika keduanya meninggal dunia. Sikap dan pendekatan Abu Abdillah al-Syi’i dan pembantu-pembantunya yang berdakwah dengan penuh kelem¬butan, persahabatan, persamaan dan keadilan berhasil mendapat simpati penduduk asli yang melihat sikap penguasa yang penuh dengan kekasaran. Gerakan propaganda Abu Abdillah al-Syi’i berhasil merangkul kaum Barbar menjadi golongan Syi’ah yang bersimpati dengan ahl al-bait yang diperlukan kasar oleh para penguasa bawahan Bani Abbas.
Kejayaan golongan Syi’ah yang menonjol dalam wilayah Afrika mendorong Abu Abdillah untuk mengajak Ubaidillah al-Mahdi meninggalkan pusat Ismailiyahnya di Salamiyah, Siria. Ia dan Anaknya Abi al-Qasim berangkat menuju Afrika utara dengan menyamar sebagai pedagang. Ketika Khalifah al-Muqtadir mengetahu hal ini, ia memerintahkan untuk menangkat Ubaidillah al-Mahdi. Walaupun lolos sampai Afrika Utara namun Ubaidillah tertangkap di Sijilmasah oleh al-Yasa’, Gubernur Sijilmasah
Abu Abdillah al-Syi’i berhasil menguasai seluruh Afrika Utara dengan dukungan pasukan tentara kaum Barbar. Ia berhasil merebut Raqqadah, di pinggir kota Qaira¬wan, pusat pemerintahan Aghlabi. Al-Syi’i membebaskan Abu Ubaidillah al-Mahdi dari penjara dan membawanya ke Qairawan. Ia disambut oleh masyarakat Qairawan dan membaiatnya sebagai imam. Sejak itu Ubaidillah di gelar sebagai al-Mahdi Amir al-Mukminin yang namanya disebut dalam khotbah menggantikan nama khalifah Ba¬ni Abbas. Dengan demikian remillah berdiri khilafah Fathimiyah dengan pusat pe¬me¬rintahannya di Qairawan pada 909 M.
Khilafah ini menggunkan nama Fathimiyah yang dinisbatkan kepada Fathimah binti Rosulillah karena menurut kaum Syi’ah, Ubaidillah al-Mahdi adalah keturunan Ali dengan Fathimah. Para Ahli sejarah berbeda pendapat mengenai nasab Ubaidillah al-Mahdi. Diantara mereka yang masyhur yang mengesahkan keabsahan keturunan¬nya dari Fathimah Binti Rasulillah ialah ibn al-Athir, Ibn Khaldun dan al-Maqrizi. Di antara mereka yang mencurigai dan menafikan keturunan Ubaidillah menganggap bahwa ia keturunan dari Daishan ibn Said al-Khariji. Dua tahun setelah mendapat ku¬asa tertinggi, Ubaidillah membunuh al-Syi’i. Setelah kedudukannya kuat di Tunis, al-Mahdi meluaskan wilayahnya keseluruh wilayah Afrika Utara, dari Maroko sampai keperbatasan Mesir. Al-Mahdi berhasil menaklukan Bani Midrar di Sijilmasah (Magh¬rib al-Aqsa), Bani Rustam di Tahart (Maghrib al-Awasth) dan Dinasti Idrisi di belahan Barat. Ke Timur, al-Mahdi berhasil mendudukan al-Jazair (Maghrib al-Adna). Sedang¬kan ke utara menyeberangi Lautan tengah, ia berhasil menduduki daerah Sisilia dan Kalabria, bagian selatan Italia. Sebelumnya daerah itu merupakan kekuasaan Dinasti Umayah di Andalus, Spanyol.
Keinginan al-Mahdi adalah menaklukan Mesir. Hal ini di dorong oleh faktor ekonomi dan faktor politik. Faktor ekonomi adalah keadaan alam Mesir yang agraris dan subur serta kaya dengan berbagai penghasilan dan kerajinan. Sedangkan faktor politik yang mendorong al-Mahdi menaklukan Mesir adalah letaknya yang strategis, dekat dengan Syam, Palestina dan Hejaz yang merupakan wilayah Mesir sejak masa Bani Tulun. Dengan demikian, apabila ia berhasil menaklukan Mesir, akan mudah ba¬gi khilafah Fathimiyah untuk menguasai pusat-pusat pemerintahan Islam dahulu yaitu Madinah, Damasyik dan Baghdad, yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan khilafah Abbasiyah. Oleh karena itu ia melakukan ekspedisi ke Mesir di bawah pim¬pinan putranya Abi al-Qasim. Tiga kali ekspedisi tersebut dilaksanakan, yaitu pada ta¬hun 913M. 919M dan 933M akan tetapi semuanya tidak berhasil. Ambisi al-Mahdi untuk menaklukan Mesir tertahan oleh munculnya berbagai pemberontakan di Magh¬ribi. Maka praktisnya, sisa hidup al-Mahdi dihadapkan kepada usaha penum¬pasan pemberontakan dan konsolidasi kekuatan dalam rangka menciptakan stabilitas dalam negeri dan menjamin kelangsungan hidup dinastinya.
Al-Qasim (322-334H) yang menggantikan ayahnya dihadapkan kepada masalah yang sama. Demikian pula penggantinya, al-Manshur (334-341H) maupun al-Muiz pada separuh pertama dari masa pemerintahannya. Kalaupun disela-sela itu, mereka beberapa kali melakukan, karena kekuatan terpecah untuk memadamkan pembe¬ron¬takan sehingga mereka menemui kegagalan.
Penaklukan Mesir baru berhasil setelah kurang lebih lima puluh tahun per¬ju¬angan melalui Panglima Jawhar yang berkebangsaan Sicilia pada masa Pemerintahan Khalifah al-Muiz pada tahun 969M/338H yang berangkat dengan 100.000 orang ten¬taranya menuju Mesir. Kenerhasilan penaklukan Mesir adalah disebabkan oleh per¬si¬apan penyerbuan yang matang melalaui konsolidasi kekuatan militer, keamanan dalam negeri, perbekalan yang cukup dan perencanaan yang baik. Setelah Menduduki Barqah dan Iskandariyah, Jawhar memasuki Fustat, ibu kota Mesir, sebelumnya, ia meyakinkan rakyat Mesir bahwa mereka bebas mempraktekan keyakinan mereka mengikut agama dan mazhabnya masing-masing dan memberi jaminan akan melaksanakan pem¬bangunan dan menegakkan keadilan serta mempertahankan Mesir dari serangan Mu¬suh. Dengan itu Jawhar berhasil menduduki Mesir tanpa perlawanan. Keberhasilan Jawhar juga disebabkan oleh keadaan Mesir yang goncamg setelah matinya wali Me¬sir, Kafur dan pada masa itu juga rakyat Mesir telah terpengaruh dengan propaganda Syi’ah.
III.Kemajuan Pemerintahan Fathimiyah di Mesir
Masa kegemilangan khilafah Fathimiyah terwujud setelah penaklukan Mesir dan berpindahnya pusat pemerintahn di Kairo. Khilafah ini mencatat kemajuan dalam zaman keemasannya selama lebih kurang seratus tahun (969-1076M) dalam berbagai bidang termasuk politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan.
A.Politik
1. Perluasan Wilayah
Sebelum menaklukan Mesir Khilafah Fathimiyah pada zaman khalifah per¬ta¬manya, al-Mahdi, telah menguasai Maghrib al-Aqsa, Delta, Sisilia, Corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya di Asia Kecil. Pada zaman al-Qaim, pengganti al-Mahdi, di¬nasti itu menaklukan Genoa dan sepanjang oantai Calabria. Setelah penaklukan Mesir Khalifah al-Muiz meluaskan wilayah ke wilayah yang dikuasai oleh Bani Abbas yang sampai ke Damsyik dan Siria. Dengan dijakdikan Mesir/Kairo sebagai pusat pe¬me¬rintahan, maka menjadi mudah bagi daulat Fathimiyah untuk mengontrol kota-kota pusat Islam pada saat itu seperti al-Madinah al-Munawwarah, Damaskus dan Bagdad.
2.Sistem Pemerintahan
Pada umumnya organisasi pemerintahan Fathimiyah mengikuti organisasi peme-rintahan Abbasiyah. Namun pada zaman al-Muiz dan anaknya, al-Aziz, telah dilak¬sa¬nakan pembaharuan besar dalam bidang administrasi. Administrasi intern khilafah Fathimiyah dikatakan dicipta oleh penasihat khalifah al-Muiz dan khalifah al-Aziz yaitu Ya’aqub ibn Killis, seorang Yahudi Baghdad yang memeluk Islam. Seorang Mesir, al-Qalqahandi memberikan panduan untuk digunakan oleh calon-calon peme¬rintah menerangkan secara ringkas system-sistem militer dan administrasi khilafah Fathimiyah. Dalam bidang militer ada tiga jabatan utama. Pertama, para amir yang termasuk pegawai tertinggi dan para pengawal dengan pedang terhunus mengawal khalifah. Kedua, para pegawai yang mengawal terdiri dari pada para ketua (ustadz) dan para sida-sida. Ketiga, resimen yang berbagai jawatan memakai gelar Hafiziyah, Juyus¬hiyah, Sudaniyah dan sebagainya.
Para pengawal terdiri dari beberapa kelas. Kelas yang paling tinggi adalah penga¬wal yang menggunakan pedang yang mengawal tentara dan pejabat perang. Ke¬mu¬dian pengawal pintu dan pengawal yang mengurus urusan istana yang mempunyai ke¬istimewaan mewakili utusan-utusan asing. Mereka yang menggunakanpena termasuk qadi yang juga menjadi direktur percetakan uang logam, inspektur pasar yang menga¬wal timbangan dan pengukuran, bendahara Negara yang mengawasi bayt al-mal. Ja¬batan yang paling rendah untuk mereka yang menggunakan pena ialah pengawal, sipil yang terdiri dari kerani dan sekretaris dalam berbagai departemen.
Khalifah dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh menteri-menterinya (wazir-tanfiz) yang mengawasi beberapa dewan. Antara dewan-dewan yang menjadi tanggung jawab menteri ialah Dewan Isya’ yang bertanggung jawab terhadap pem¬bangunan; Dewan Idarah al-Maliyah yang bertanggungjawab terhadap pem¬bangun¬an; Dewan Idarah al-Maliyah yang bertanggung jawab terhadap keuangan Negara; Dewan al-Idarah al-Mahalliyah yang menguruskan hubungan dengan daerah yang pemerintahan¬nya dipegang oleh Gubernur; Dewan al-Jihad yang bertanggungjawab atas pem¬bangun¬an dan perlengkapan angkatan perang; dan Dewan Rasail yang ber¬tang¬gung¬jawab mengenai urusan pos. Para pegawai diberikan gaji yang memuaskan. Pakaian dan ber¬bagai hadiah juga diberikan pada hari-hari besar tertentu.
Kerapian sistem administrasi menjadi dasar bagi kemajuan ekonomi di Lembah Nil semasa pemerintahan Fathimiyah. Penentuan system warisan dalam pergantian khalifah yang diatur secara turun temurun kepada anak, kecuali khalifah kesepuluh dan ketiga belas yang mewariskan jabatan khalifah kepada putra pamannya, merupa¬kan salah satu factor bertahannya daulah ini dalam masyarakat Sunni selama lebih dua abad.
B.Kemajuan Ekonomi
Stabilitas, keamanan dan ketentraman yang dijamin oleh kemampuan militer serta kecakapan administrasi membuat kegiatan-kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan dengan maksimal sehingga dapat menjadikan rakyat Mesir makmur. Kegiatan eko¬nomi berjalan lancer meliputi bidang pertanian, perdagangan dan industri. Peme¬rin¬tahan Fathimiyah memberikan perhatian yang besar pada bidang pertanian, karena Mesir merupakan Negara agraris yang subur. Diantara usaha-usaha pemerintah Fathi¬miyah untuk memajukan sector pertanian ini ialah dengan membangun irigasi dan mebina kanal-kanal. Selain menghasilkan gandum, kurma, tebu, kapas, ba¬wang putih dan bawang merah, penanaman pohon-pohon hutan juga juga digalakkan sehingga Mesir menghasilkan kayu untuk membangun armada laut dan kapal-kapal dagang.
Sektor industri di Mesir juga menghasilkan berbagai tenunan. Industri tekstil yang maju pesat menghasilkan kain sutera dan wol yang dapat dieksport sampai ke Eropah. Pabrik khas didirikan oleh al-Muiz untuk membuat pakaian pegawai peme¬rintah di semua peringkat. Selain dari pada industri tekstil juga terdapat industri-in¬dustri lain yang tidak kalah perannya dalam menunjang perekonomian Mesir seperti industri kerajinan tangan, kristal, keramik, dan hasil tambang seperti besi, baja dan tembaga. Sektor perdagangan di Mesir pada masa pemerintahan Fathimiyah menun¬jukan kemajuan yang sangat pesat. Perdagangan dalam negeri berpusat di kota-kota seperti Fustat, Kairo, Diniyat, dan Qaus. Kota Iskandariyah menjadi pelabuhan in¬ternasional yang menjadi pangkalan kapal-kapal dagang dari dunia barat dan timur. Fasilitas pelabuhan menjadi perdagangan luar negeri meluas sampai ke Asia dan Ero¬pah. Pajak dari pada sector perdagangan ini menjadi isumber utama pemasukan uang Negara dan mengukuhkan perekonomian Negara.
C.Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Pada masa abad ke tiga dan keempat hijriah ini peradaban Islam sangat tersebar luas di berbagai wilayah Islam yang makmur termasuk Mesir yang dibawah peme¬rin¬tahan Fathimiyah. Kemajuan peradaban Islam yang pesat ini diikuti oleh kemajuan il¬mu pengetahuan yang pesat juga. Di Mesir para khalifah Fathimiyah sangat mem¬be¬ri¬kan perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Sejak khalifah al-Muiz kota Kairo telah menjadi pusat ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan yang di¬capai termasuk bidang ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir, hadits, fiqh, teologi, dan ilmu aqliyah seperti filsafat, kedokteran, fisika, kimia dan sejarah.
Pusat-pusat pengajuan tinggi yang kemudian menjadi masyhur di dunia Islam didirikan seperti Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh khalifah al-Aziz yang bu¬kan saja mengajar ilmu fikih tetapi ilmu-ilmu lain juga seperti sejarah dan sastra; dan khalifah al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah akademi setara dengan Masjid Kordova di Andalusia, Spanyol. Pada masa pemerintahan al-Hakim di bina sebuah observatorium di Mesir dan Siri. Pada zaman pemerintahan al-Mustansir di bidang perpustakaan negara yang terkumpul 200.000 buku termasuk buku-buku fikih, sastra, fisika, kimia dan kedokteran. Ibn Killis yang menjadi penasehat khalifah al-Muiz dan al-Aziz mendirikan sebuah akademi yang menyediakan dana beribu dinar setiap bulan untuk pengembangan ilmu.
Di antara tokoh ilmu dalam bidang agama ialah Abu Hanifah al-Maghribi, seorang ulama Syi’ah Ismailiyah dan Ja’far ibn Manshur al-Yaman seorang qadi al- qudah. Dalam ilmu aqliyah, Muhammad al-Tamimi, Musa ibn al-Azhar dan Ali ibn Ridwan terkenal dalam bidang kedokteran; Ibn al-Haitsam terkenal dalam bidang fisika, kimia doptik; Ali ibn Yunus dan Zij ibn Yunus terkenal dalam bidang astro¬nomi; dan Abu al-Ala’ al-Ma’arri terkenal dalam bidang falsafah.
Kemajuan pesat tercapai juga dalam bidang seni dan arsitektur. Para khalifah Fathimiyah mendirikan berbagai bangunan yang menarik dengan memadukan seni Pesia, Afrika Utara dan tulun seperyi yang terdapat pada Masjid al-Azhar, Masjid al-Hakim, Masjid al-Salih dan bebebrpa kuburan seperti al-Jaffari dan Sayyidah Athiqah.
IV.Kemunduran dan Kehancuran
A.Kemunduran Khilafah Fathimiyah
Kemunduran khilafah Fathimiyah terjadi segera setelah pemerintahan al’Aziz menerapkan kebijakan mendatangkan tentara-tentara bayaran yang terdiri atas orang-orang Turki dan negro. Pembangkangan dan perselisihan yang senantiasa terjadi di antara tentara-tentara bayaran itu dengan bodyguard-bodyguard barbar menjadi sebab utama keruntuhan khilafah Fathimiyah.
Pengganti al-‘Aziz, Abu ‘Ali Mansur al-Hakim (996-1021), menduduki sing¬ga¬sana kekhalifahan ketika baru berumur sebelas tahun. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazir-nya; merusak sejumlah ge¬reja Kristen, termasuk gereja Holy Sepulchre (1009). Ia memaksa orang-orang Kris¬ten dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, membolehkan mereka hanya menung¬gang keledai; ketika mandi orang Kristen diharuskan memakai kalung salib dan orang Yahudi memakai semacam gandar ? dengan sejumlah bel. W. Montgomery Watt me¬lukiskan al-Hakim sebagai orang yang kejam, eksntrik, dan barang kali kurang waras. Seandainya penindasan terhadap orang-orang Kristen dan Yahudi itu benar-benar terjadi dan bukan fitnah, hal-hal tersebut merupakan perkecualian di dalam zaman Fathimiyah, Kemudian yang paling fatal, sesuai dengan faham Islamiyah Ekstrem, ia menyatakan diri sebagai inkarnasi Tuhan. Pernyataan ini diterima dengan baik oleh suatu sekte baru yang disebut Druz. Akhirnya, pada tanggal 13 Pebruaru 1021 al-Ha¬kim di bunuh di Muqqotam, yang di duga dilakukan oleh suatu komplotan yang di pimpin oleh saudara perempuannya sendiri, Sitt al-Mulk, yang telah di tuduh berzina oleh al-Hakim.
Setelah al-Hakim, yang diangkat menjadi khalifah adalah anak-anak di bawah umur dengan kekuasaan yang sebenarnya berada ditangan para wazir. Al-Zahir, anak¬nya al-Hakim, menggantikan ayahnya dan naik tahta ketika berusia enam belas tahun. Konstantin VIII mengizinkan nama khalifah muda ini disebutkan di masjid-masjid di wilayah kekaisarannya. Ia juga diizinkan untuk memperbaiki masjid yang ada di Kon¬stantinopel sebagai balas budi atas diperbolehkannya pembangunan kembali gereja Holy Sepulchre.
Pengganti al-Zahir adalah Ma’add al-Mustansir (1035-1094) yang masih berusia sebelas tahun; masa kekuasaannya yang hamper mencapai enam puluh tahun meru¬pa¬kan masa kekuasaan yang terpanjang di dalam sejarah muslim. Pada awal masa pe¬me-rintahannya, khilafah Fathimiyah mencakup daerah-daerah Afrika Utara, Sicilia, Me¬sir, Syria, dan Asia Barat. Oleh karena itu Bernard Lewis mengatakan bahwa puncak kekuatan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah pada masanya.
Akan tetapi, sejak tahun 1043 kekuasaan Fathimiyah di Syria mulai goyah. Pa¬lestina selalu memberontak. Kekuatan Seljuk dari Timur dapat menguasai Asia Barat. Provinsi-provinsi Fathimiyah di Afrika memboikot pembayaran pajak, menyatakan kemerdekaan, atau kembali bersekutu dengan kekuasaan Abbasiyah. Pada tahun 1052 suku Arab Banu Hilal dan Sulaym bergerak ke barat dan empat tahun bercokol di Tripoli dan Tunisia. Menjelang pertengahan abad kesebelas Bani Fathimiyah mulai dibingungkan oleh masalah yang tidak berhasil diselesaikan oleh berbagai dinasti di ti¬mur, masalah bagaimana mengendalikan tentara professional. Bahkan di Mesir, ten¬tara Turki menguasai keadaan, walau terdapat juga orang-orang Sudan, Barbar, dan Armenia.
Terdapat persaingan sengit antara kelompok-kelompok ini, yang kadang-ka¬dang pecah menjadi pertempuran.Setelah tahun 1058 kekuasaan boleh dikatakan ber¬¬da di tangan klik-klik militer, yang tidak memahami kebutuhan Negara yang sebe¬ar¬ya. Setelah suatu bencana kelaparan yang hebat dari tahun 1065 sampai dengan 1072 khalifah al-Mustansir meminta banyua seorang jenderal dari suku Armenia bernama Badr al-Jamali, yang menjabat gubernu Acre. Orang ini segera berlayar ke Mesir de¬gan pengawal Armenia dan sepasukan tentara yang setia. Sebelum maksud pemang¬ilannya oleh al-Mustansir diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah. De¬ngan tindakan-tindakan tegas lainnya dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki ke¬makmuran sekedarnya.
Pada tahun 1071 bagian terbesar Sicilia dapat dikuasaioleh bangsa Normandia. Namun, pada saat-saat yang runyam ini seorang jenderal asal Turki, al-Basasiri ber¬ha¬sil menyebut nama khalifah Fathimiyah di masjid-masjid kota Baghdad selama 40 hari Jum’at berturut-turut. Serban Khalifah Abbasiyah, al-Qaim, sebuah jendela indah dari istananya, dan Jubah Nabi berhasil di bawa ke kota Kairo. Serban dan jubah dikem¬balikan lagi ke Baghdad satu abad kemudian oleh Salahuddin. Pada tahun 1094, al-Malik al-Afdal putra Badr al-Jamali menggantikan peranan ayahnya sebagai wazir dan amir al-Juyusy, ia berusaha meneruskan upaya memakmur¬kan Negara sampai wa¬fatnya tahun 1121. Usaha Badr maupun anaknya, al-Afdal, tidak mampu mem¬ben¬dung ke¬munduran Khilafah Fathimiyah. Masa yang tersisa bagi pemerintahan Dinasti Fathi¬miyah ditandai dengan pertentangan sengit antara para wazir yang di dukung oleh fraksi-fraksi di dalam tubuh angkatan bersenjata.
Setelah al-Mustansir meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan al-Afdal yang pertama adalah mengatur penggantian al-Mustansir. Sebenarnya Khalifah telah menunjuk puteranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal sebaliknya menunjuk puteranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk pejabat-pejabat senior untuk menerima keputusannya itu. Barang kali dia berharap bahwa al-Musta’li dapat diken¬dalikan di bawah pengaruhnya atau khawatir Nizar akan memecatnya. Maka, Nizar lari ke Iskandaria dan di sana ia menyatakan diri sebagai khalifah dengan al-Mustafa li din Allah. Setelah mengetahui hal itu, al-Afdal dengan membawa pasukan yang besar, bergerak untuk menyerang, mengepung, dan menangkap Nizar. Akhirnya menyerah. Walau tadinya dijanjikan keselamatan, tetapi dia lenyap tidak diketahui lagi. Hal ini membawa perpecahan di dalam pergerakan Ismailiyah. Rakyat yang loyal kepada al-Mustansir pecah menjadi dua golongan, pengikut Nizar dan pengikut al-Musta’li.
Ke¬lompok-kelompok yang kecewa di berbagai daerah tertarik kepada suatu rencana pemberontakan yang memperoleh dukungan militer dari Fathimiyah.
Sementara itu, pada tahun 1090, mungkin karena sudah tidak bisa mengha¬rap¬kan bantuan dari Bani Fathimiyah lagi, kaum Ismailiyah di wilayah Seljuk yang di pimpin Hasan Sabah (al-Hasan ibn Al-Sabbah) merebut perbentengan Alamaut dan beberapa benteng lainnya. Setelah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 1094 mereka ini terus menyatakana kesetiaanya kepada Nizar. Ketika dia lenyap bahwa dia bersembunyi, dan Hasan Sabbah dianggap sebagai hujjah atau bukti. Mula-mula me¬mang terdapat keyakinan akan keberan hak Nizar, selain perasaan curiga terhadap ‘pemimpin tentara’ yang menguasai khalifah. Akan tetapi, kemudian Hasan Sabbah tidak bisa lagi berhubungan dengan Nizar; namun, menyadari bahwa mengakui Nizar adalah cara terbaik untuk menjadikan diri nya sendiri pemimpin tertinggi gerakan di Timur yang bebasdari Mesir. Para pengikut Hasan Sabbah dikenal juga dengan sebut¬an kaum Assasin, yang memakai pembunuhan sebagai sarana politis dan kata serta makna itu dipakai sampai sekarang (assassination diartikan sebagai pembunuh politis).
Pada Musta’li, tentara salib berangkat menuju perbatasan pantai negeri syam, ke-mudian menguasai pantai antokia dan mencapai Bait al-Maqdis. Dengan 20.000 ten¬tara al-Afdal menyerang mereka, tetapi menderita kekalahandan kembali ke Mesir. Satu pasukan tentara dalam jumlah besar kemudian dikirim di bawah komando Sa’ad al-Dawlah, tapi juga menderita kekalahan. Sa’ad Al-Dawlah terbunuh dan kaum salib menguasasi kota-kota pantai di Syam dan Palestina. Setelah al-Musta’li wafat, al-Afdal mengangkat anak al-Musta’li yang masih berusia lima tahun, al-Amir, sebagai khalifah. Ia naik tahta mulai tahun 1101 sampai dengan 1130. Setelah al-Amir di bunuh oleh sekelompok kaum Batiniyah, saudara sepupunya yang bernama abd al-Majid al-Hafid naik tahta (1130-1149). Kematian al-Amir membawa Syi’isme baru dalam kelompok Ismailiyah. Kaum Ismailiyah yang ada di pantai Arabia dan pantai laut India, Karena yakin al-Amir mempunyai putra, Tayyib, yang berhak menggantikannya, menolak tampilnya al-Hafid dan menjadi kelompok Tayyibah, yang kini terdapat pada komu¬nitas pedagang di Bohras India.
Wazil al-Akmal, anak al-Afdal, sangat kuat pengaruhnya. Maka, ia menangkap dan memenjarakan al-Hafid serta menyatakan bahwa kekayaan di istana adalah milik ayahnya. Sebagai pengikut faham Imamiyah, ia menghapus penyebutan nama khalifah dan nama Ismail ibn Ja’far al-Sidiq dari Khutbah. Karena manuver-manuver politikya itu, ia di benci dan di bunuh oleh pendukung al-Hafid yang akhirnya dikeluarkan darim penjara. Ha¬nya saja, hingga akhir hayatnya, kekuasaan khalifah tidak lebih dari sekedar berkuasa disekita istana. Selanjutnya, tampak semakin jelaslah tanda-tanda keruntuhan khilafat Fathimiyah.
B.Keruntuhan Khilafah Fathimiyah
Pertentangan antara para wazir dan klik-klik militer pada masa al-Hafid semakin memuncak, terutama antara Bahram dan Ridwan. Ini merupakan salah satu factor pe¬nyebab kehancuran khilafah Fathimiyah. Bahram berasal dari Armenia. Ia adalah gu¬bernur al-Gharbiyah yang beraga Kristen. Pada tahun 529 Hijriyah ia datang ke Kairo kemudian diangkat menjadi wazir. Sekalipun rakyat tidak menyukainya, kekuasaanya semakin bertambah. Ia membawa keluarganya dan kerabat-kerabatnya ke Kairo se¬hingga mencapai 30.000 orang. Mereka menyita harta kaum Muslimin dan mem¬bang¬un gereja-gereja. Sedangkan Ridwan adalah pengganti Bahram di al-gharbiyah.
De¬ngan 30.000 tentara ia dating mengusir Bahram dari Kairo.Pada tahun 531 H. Rid¬wan menjadi wazir dan banyak membunuh pendukung Bahram. Tindakan Ridwan mem¬buat khalifah marah. Bahram di panggil lagi ke istana dan ia di paksa keluar. Ridwan kembali ke Kairo dengan bala tentaranya, tapi dapat ditaklukan oleh tentara khalifah dan dipenjarakan selama 10 tahun. Setelah melarikan diri dari penjara, ia mencari pen¬dukung lalu menduduki masjid al-Aqmar di depan istana. Namun, tentara khalifah yang berasal dari Sudan dapat mengalahkan dan membunuhnya.
Dua hari setelah terbubnuhnya Ridwan, al-Hafid meninggal dunia dan digan¬tikan oleh puteranya Abu al-Mansur Ismail al-Zafir (1149-1154) yang masih berusia 16 tahun. Langkah pertamanya adalah memecat wazir Ibn al-Sallar yang dijulukial-Malik al-‘Adil dan menggantikannya dengan Najm al-Din Ibn Musal (orang Maroko dan Syi’i). Setelah bekerja lebih kurang selama 50 hari ibn Musal menjadi wazir dan Ibn al-Sallar merebut kedudukan itu kembali. Akan tetapi, kemudian khalifah berhasil membujuk seorang pemuda yang bernama Nasr Ibn “Abbas, cucu istri Ibn al-Sallar sendiri, untuk membunuh kakek tirinya itu.“Abbas, ayah Nasr, kemudian diangkat se¬bagai wazir pengganti Ibn al-Sallar. Akhirnya, dengan tangan Nasr itu khalifah al-Za¬hir terbunuh. Karena terjadinya kekacauan politik ini, tentara salib dapat meng¬uasai Asqalan. Peristiwa pembunuhan Ibn al-Sallar dan al-Zahir ini merupakan salah-satu peristiwa yang paling kelam di dalam sejarah Mesir.
Putra al-Zahir, Abu al-Qasim Isa al-Faiz (1154-1160) yang masih berumur em¬pat tahun, naik tahta. Yang menjadi wazirnya adalah Talai Ibn Ruzzik dengan gelar al-Malik al-Salih. Persaingan antar klik di Mesir terus berlanjut. Akan tetapi di dalam ke¬kacauan itu pihak Ruzzik sempat melakukan operasi militer menghadapi tentara salib dan memperoleh kemenangan di dekat Gazza, kemudian di hebron pada tahun 1158. Namun, pemerintahan al-Faiz dengan wazirnya Ibn Ruzzik hanya berjalan selama enam tahun. Pengganti al-Faiz adalah sepupunya yang masih berusia sembilan tahun, Abu Muhammad Abdullah al-‘Adid (1160-1171). Atas anjuran al-‘Adid, Ibn Ruzzik dibunuh pada tahun 1161. Pengganti Ibn Ruzzik adalah anaknya sendiri, al-“Adil, yang kemudian di rebut oleh Syawar (asal Arab dan teman Ibn Ruzzik). Anak Syawar, Tayy, kemudian membunuh al-‘Adil pada tahun 1163.
Dirgham bersama pendukung al-‘Adil melakukan pemberontakan. Tentara Sya¬war kalah dan lari ke Suriah, sedangkan Dirgham naik sebagai wazir. Syawar meminta pertolongan kepada Nur al-Din, penguasa Damaskus, dengan janji akan membiayai ekspedisi militer dan memberikan sepertiga pajak mesir sebagai upeti tahunan, jika Negara itu dapat dikuasai lagi. Untuk memenuhi permohonan Syawar dan setelah me¬ngetahui bahwa keadaan Mesir kacau balau dengan bala tentara yang lemah, Nur al-Din mengirim ekspedisi militer pertama dengan tentara asal Turki di bawah pimpinan Syirkuh.
Dirgham yang baru saja mengalami kekalahan dari Amalric I, penguasa Yerus¬salem, tidak berkutik. Ia di bunuh oleh rakyatnya sendiri karena mengambil harta wa¬kaf. Syawar, sebagai politikus ulung, setelah kembali menjadi wazir Mesir pada ta¬hun 1164, mengingkari janjinya kepada Nur al-Din dan dengan bantuan tentara Pe¬rancis ia dapat mengusir Syirkuh dari Mesir.
Oleh karena mengetahu banyak kekacauan di Mesir, apalagi dengan meletusnya pemberontakan Banu Liwatah dan yahya Ibn Khayyat pendukung Ibn Ruzzik, Syir¬kuh berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166. Atas bantuan tentara Perancis, Syirkuh dan tentaranya dapat dikalahkan dan diusir kembali. Syirkuh yang dibantu oleh adik¬nya dan keponakannya, salahudin, meyerang dan dapat mengalahkan tentara koalisi Perancis dan Mesir, serta sekaligus menguasai Mesir. Atas perintah khalifah, Syawar dibunuh dan Syirkuh diangkat menjadi wazir pada tahun 1169.
Salahudin menggantikan pamannya sebagai wazir. Sebagai seorang yang pe¬ra¬mah, ia cepat mendapat simpatirakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh khalifah. Saat itu ada komplotan istana untuk membunuh Salahudin di bawah komando Najah. Akan tetapi, Najah dapat di tangkap dan di bunuh. Selanjutnya pecahlah perang an¬ta¬ra 50.000 tentara asal Sudan yang berada di pihak khalifah melawan tentara asal Turki dari pihak Salahuddin dan tentara Salahuddin memperoleh kemenangan. Langkah Salahuddin berikutnya adalah mengirim ekspedisi militer melawan tentara salib di Ka¬rak dan Syubik. Setelah meraih kemenangan, ia meminta kepada Nur al-Din untuk mengirimkan orang tua dan kerabatnya ke Mesir (1170). Rakyat Mesir yang Syi’i mau¬pun orang-orang Turki yang Sunni sama-sama menganggap Salahuddin sebagai pelin¬dung mereka mengahdapi musuh, yaitu tentara salib. Kemudian, ia menyerang tentara salib di Syam. Perang ini terus berlanjut sehingga di buat perjanjian damai dengan Ri¬chard the Lion Heart, raja Inggris. Langkah berikutnya adalah mengisi pos-pos urusan keagamaan dengan para fuqoha Sunni dan menyingkirkan oknum-oknum angakatan bersenjata yang tidak loyal.
Setelah yakin bahwa Salahuddin telah berada di atas angin, Nur al-Din mengirim surat memintanya menyebut nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah, menggantikan nama khalifah Fathimiyah. Karena melihat kondisi rakyat Mesir yang masih terikat hatinya dengan khalifah Fathimiyah, Salahuddin tidak berani mengabulkan permin¬taan itu, sedangkan Nur al-Din tetap memaksanya. Ketiaka al-‘Adid dalam keadaan sakit, Salahuddin mengadakan rapat pimpinan tentang permintaan Nur al-Din itu. Rapat itu tidak menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dalam rapat itu tampillah se¬orang keturunan Persia, al-Amir, dan mengajukan diri untuk melaksanakan keinginan Nur al-Din. Maka, pada hari Jum’at pertama bulan Muharram. Sebelum khatib naik mimbar dan menyebut nama khalifah ‘Abbasiyah, al-Mustadli’. Karena tidak ada re¬aksi negative dari public, Salahuddin menginstruksikan agar para khatib menyebut nama khalifah ‘Abbasiyah pada hari Jum’ay berikutnya.
Al-‘Adidi meninggal dunia pada tanggal 10 Muharram 1171 dengan tanpa me-ngetahui peristiwa yang agung dalam sejarah itu. Pada saat itulah khalifah Fathimiyah hancur setelah berkuasa skitar 280 tahun lamanya. Selanjutnya, Salahuddin yang me-megang khalifah.
V.Penutup
Pembentukan khalifah Fathimiyah adalah hasil kegigihan perjuangan kaum Syi¬’ah untuk mendapatkan kursi khalifah bahkan sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin. Melewati kekuatan agama pada awalnya dan diikuti oleh kekuatan militer telah mem¬buat golongan Syi’ah menyebarkan pengaruhnya sehingga berhasil menguasai wila¬yah pemerintahan yang luas meliputi negara-negara yang membentang dari Ya¬man sampai laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul. Dengan penaklukan Mesir dan ber¬pin¬dahnya pusat pemerintahan di Kairo, khilafah Fathimiyah mengalami zaman kege¬mi¬langan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai.
Setelah mengalami masa kejayaan, dinasti Fathimiyah megalami kemnduran hingga kehancuran. Kemunduran disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kele¬mahan khalifah, sehingga kekuasaan wazir melebihi kekuasaan khalifah; ambisi wazir untuk memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari khalifah, sehingga mereka berusaha untuk mengendalikan khalifah, misalnya, dengan jalan mengangkat khalifah-khalifah yang masih di bawah umur; terjadinya perebutan kedudukan wazir di antara pimpinan militer dari berbagai suku; tidak adanya persatuan dan kesatuan di dalam tubuh ang¬katan bersenjata, karena tentara-tentaranya berasal dari suku-suku diluar mesir (se¬perti Sudan, Turki dan Barbar) sehingga tidak ada rasa nasionalisme, senantiasa ter¬ja¬di pertengkaran, dan bahkan pertempuran diantara mereka; terjadinya pem¬be¬ron¬tak¬an-pemberontakan dan banyaknya wilayah-wilayahyang telepas dari kekuasaan Di¬nasti Fathimiyah; adanya pemaksaan paham Syi’ah terhadap pemeluk Sunni dan per¬tentangan antara Sunni dan Syi’ah; bencana alam yang terjadi cukup lama sehingga menimbulkan kelaparanyang berkepanjangan dengan kelemahan perekonomian; ter¬jadinya perebutan kedudukan khalifah di antara anak-anak khalifah.
Sementara faktor kehancuran dinasi Fathimiyah adalah serangan pasukan Sa¬lahuddin al-Ayyubi, meninggalnya khalifah al-‘Adid, dan tampilnya Salahuddin seba¬gai khalifah. Kemenangan Ayyubi atas Fathimiyah dapat dikatakan sebagai keme¬na¬ngan Sunni atas Syi’ah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar